"Ya Rabb-ku, ampunilah aku, dan anugerahkanlah kepadaku kerajaan, yang tidak dimiliki oleh seorangpun juga sesudahku, sesungguhnya Engkaulah Yang Maha pemberi’."
Rabu, 13 Agustus 2014
Balas Dendam
Dilatarbelakangi kekalahan mereka dari kaum muslimin pada peperangan di Lembah Badar (17 Ramadhan 1 H), kaum Quraisy (Makkah) bersepakat membalas dendam.
Lalu, mereka menyiapkan pasukan berkekuatan sekitar 3.000 prajurit di bawah pimpinan Abu Sufyan bin Harb.
Pasukan sebesar itu ternyata merupakan gabungan dari kaum Quraisy, sejumlah warga Habsyah dan warga Arab dari Bani Kinanah dan Bani Tihamah.
Setelah informasi tersebut diketahui Rasulullah SAW, tanpa membuang-buang waktu beliau berkonsolidasi dengan para sahabat untuk mencari jalan ke luar terbaik.
Setelah perdebatan panjang, kaum muslimin bersepakat menghadang mereka di luar Kota Madinah yakni di Gunung Uhud.
Dengan kekuatan sekitar 1.000 prajurit, Rasul berangkat ke Gunung Uhud menghadang musuh (pertengahan Syaban 2 H).
Maka berkecamuklah peperangan itu. Berbeda dengan peperangan di Lembah Badar tahun sebelumnya, peperangan di Gunung Uhud berakhir dengan kemenangan pihak musuh.
Kekalahan tersebut terasa sangat menyakitkan. Bukan saja karena banyaknya korban di kalangan kaum muslimin namun karena ketidakdisiplinan prajurit Islam sendiri. Konon, prajurit pemanah yang berjaga di punggung gunung sekonyong-konyong meninggalkan pos mereka.
Mereka tergiur harta benda yang ditinggalkan begitu saja oleh pihak musuh. Dengan begitu, ketika prajurit Islam yang serakah tersebut sedang mengambil harta benda di kaki Gunung Uhud seketika itu pula disergap musuh.
Maka terjadilah malapetaka yang sangat menyakitkan itu. Hamzah bin Abdul Muthalib, panglima perang sekaligus paman Rasulullah SAW terbunuh ditombak dari belakang oleh Wahsyi, budak milik Muth’im bin Jubair.
Dalam suatu riwayat dikemukakan, pada peperangan di Gunung Uhud itu, gugur 64 orang dari kalangan Anshar dan enam orang dari kalangan Muhajirin termasuk Hamzah. Semua prajurit Islam itu anggota tubuhnya dikoyak-koyak dengan kejam.
Bahkan, ketika Hindun bin Uthbah (istri Abu Sufyan bin Harb) melihat jasad Hamzah yang sudah tidak bernyawa, dihampirinya dengan penuh kebencian. Lalu, dia belah dadanya. Dia keluarkan jantungnya. Dia mengunyahnya, dan menelannya. Biadab!
Maka berkatalah kaum Anshar, “Jika kami mendapat kemenangan, kami akan berbuat lebih dari apa yang mereka lakukan.” (HR At-Tirmidzi dari Ubay bin Ka’ab).
Dalam riwayat lain, ketika Rasulullah berdiri SAW di hadapan jenazah Hamzah beliau berkata, “Aku akan bunuh 70 orang dari mereka sebagaimana mereka lakukan terhadap dirimu.” (HR Al-Hakim dan Al-Baihaqi dalam Kitab Ad-Dalail dan Al-Bazzar dari Abu Hurairah).
Apa yang diungkapkan kaum Anshar dan Rasulullah SAW menyiratkan keinginan membalas dendam. Mereka saat itu beranggapan, yang dilakukan musuh telah melampaui batas peri kemanusiaan. Maka menurut mereka sepantasnya dibalas dengan balasan yang setimpal.
Allah SWT berfirman, “Dan jika kamu memberikan balasan, maka balaslah dengan balasan yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu. Akan tetapi jika kamu bersabar, sesungguhnya itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang sabar. Bersabarlah (hai Muhammad) dan tiadalah kesabaranmu itu melainkan dengan pertolongan Allah dan janganlah kamu bersedih hati terhadap (kekafiran) mereka dan janganlah kamu bersempit dada terhadap apa yang mereka tipu dayakan. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang bertakwa dan orang-orang yang berbuat kebaikan.” (QS An-Nahl [16] : 126 -128).
Menurut Ibnu Hishar ayat-ayat tersebut diturunkan hingga tiga kali. Mula-mula diturunkan di Makkah, lalu di Gunung Uhud, selanjutnya saat Fathu Makkah. Kandungan ayat itu juga sangat menarik. Dalam keadaan sesulit apapun, kaum muslimin diajarkan untuk bersabar.
Dalam situasi seperti itu, bersabar akan terasa sangat berat. Namun, Allah SWT menjanjikan pertolongan. Dalam ayat lain ditegaskan pertolongan Allah itu dekat. Karena itu, tidak perlu bersedih hati dan tidak perlu bersempit dada.
Republika