رَبِّ اغْفِرْ لِي وَهَبْ لِي مُلْكًا لا يَنْبَغِي لأحَدٍ مِنْ بَعْدِي إِنَّكَ أَنْتَ الْوَهَّابُ


"Ya Rabb-ku, ampunilah aku, dan anugerahkanlah kepadaku kerajaan, yang tidak dimiliki oleh seorangpun juga sesudahku, sesungguhnya Engkaulah Yang Maha pemberi’."

Senin, 06 Oktober 2014

Keutamaan Berdoa Saat Makan




Melihat yang demikian itu, Nabi SAW tertawa kemudian berkata, ‘Setan tadi makan bersamanya. Tatkala laki-laki itu menyebut nama Allah, setan memuntah­kan apa yang telah masuk ke dalam perutnya’.” (Diriwayatkan Abu Dawud dan An-Nasa`i).


Keindahan sunnah Nabi Muhammad SAW salah satunya tampak pada persoalan makanan. Bu­daya Barat yang banyak diikuti masya­rakat kita yang latah budaya modern mengenal istilah etiket kulinari. Padahal itu semua hanya budaya semu yang mengajarkan pola-pola yang kalah jauh dengan nilai-nilai sunnah Nabi SAW. Dengan keindahan sunnahnya, Nabi SAW mengajarkan keterpaduan antara adab dan doa. Doa-lah yang menjadi ma­kanan, bukan sekadar cicip-cicip, me­nuai nilai berkah hingga ampunan dosa. Pada edisi ini, kajian hadits mengete­ngahkan hal yang sering luput dari per­hatian orang tersebut.

Dari Umayyah bin Makhsyiyy Ash-Shahabiyy RA, ia berkata, “Suatu ketika, saat Rasulullah SAW tengah duduk-duduk, ada seorang laki-laki yang se­dang makan tetapi ia tak menyebut nama Allah hingga makanannya tinggal satu suapan. Tatkala ia akan menyuap satu suapan itu ke mulutnya, ia berdoa: Bismillahi awwalahu wa akhirahu (De­ngan menyebut nama Allah di awal dan di akhir makan).

Melihat yang demikian itu, Nabi SAW tertawa kemudian berkata, ‘Setan tadi makan bersamanya. Tatkala laki-laki itu menyebut nama Allah, setan memuntah­kan apa yang telah masuk ke dalam perutnya’.” (Diriwayatkan Abu Dawud dan An-Nasa`i).

Syarah Hadits
Hadits ini diriwayatkan Abu Dawud dalam bab Makanan bagian Menyebut Nama Allah di Hadapan Makanan. Al-Mundziri juga mengaitkan hadits ini pada riwayat An-Nasa‘i dalam bab dan bagian yang sama dalam kitabnya, Sunan al-Kubra.

Sesungguhnya setan akan ikut serta bersama manusia dalam berbagai ke­adaan ketika seseorang lepas dari meng­­ingat Allah Ta’ala, termasuk di dalam urusan makan dan minum.

Saat seseorang lupa membaca doa di awal melahap makanan, lalu baru ingat setelahnya, hendaklah tatkala meng­­ingatnya itu ia segera membaca doa: Bismillahi awwalahu wa akhirahu. Dengan demikian, setan akan berhenti mengikutinya di dalam makannya.

Dari Aisyah RA, ia berkata, “Suatu ketika, saat Rasulullah SAW tengah ma­kan bersama enam orang sahabatnya, datanglah seorang Arab baduwi yang ma­kan dua kali suapan. Lalu Rasulullah SAW bersabda, ‘Seandainya ia menye­but nama Allah, niscaya makanan itu cukup bagi kalian’.” (Diriwayatkan At-Tirmidzi).

Syarah Hadits
Hadits ini diriwayatkan At-Tirmidzi dalam bab Makanan bagian Apa yang Disampaikan dalam Bertasmiyah atas Makanan.
Sesungguhnya Allah Ta’ala akan mem­berikan keberkahan pada makanan yang di dalamnya disebut nama Allah Ta’ala. Dan sebaliknya, keberkahan tak akan ada bila tak disebut nama Allah atas santapan itu.
Bagi si badwi, makanan itu berku­rang nilainya, yakni nilai keberkahannya dan nilai jumlah makanan. Tapi yang le­bih penting, sebagaimana maksud ha­dits ini, nilai keberkahannya. Karena ke­berkahan ada di saat makan bersama-sama (al-barakah fil jama’ah) dengan menyebut nama Allah.

Dari Umamah RA, Nabi SAW jika mengangkat hidangannya berdoa, “Se­gala puji bagi Allah dengan pujian yang banyak dan baik serta penuh keber­kah­an di dalamnya, yang tak terbalaskan dan amat dibutuhkan, wahai Tuhan kami.” (Diriwayatkan Al-Bukhari).

Syarah Hadits

Hadits ini diriwayatkan Al-Bukhari dalam bab Makanan bagian Apa yang Diucapkan jika telah Selesai Makan.

Maksud mengangkat hidangan di sini ialah seusai makan makanan sehingga tem­pat sajiannya lalu diangkat. Dan Ra­sulullah SAW mencontohkan hal sema­cam itu. Beliau mengangkat sendiri wa­jan makannya jika telah selesai makan.

Disunnahkan menyebut pujian bagi Allah Ta’ala di akhir santap makanan sebagai wujud meneladani Rasulullah SAW dan yang utamanya hendaknya doa­nya dengan doa yang ma’tsur se­macam ini.

Dari Mu‘adz bin Anas RA, ia berkata, “Rasulullah SAW bersabda: Siapa yang memakan makanan lalu ia berdoa ‘Se­gala puji bagi Allah,  yang telah memberi­ku makanan ini dan telah mengkarunia­kan rizqi bagiku dengan tanpa daya dan kekuatan dari diriku’ dihapuskanlah dosa­nya yang telah berlalu’.” (Diriwayat­kan Abu Dawud dan At-Tirmidzi).

Syarah Hadits
Hadits ini diriwayatkan At-Tirmidzi dalam awal-awal permulaan bab Pakai­an, sedangkan At-Tirmidzi memuatnya dalam bab Doa-doa.

Disunnahkan memuji Allah Ta’ala di akhir makan bersamaan dengan menun­jukkan sikap tadharru’ (tunduk patuh) kepada-Nya, yang telah memberikan kecukupan dalam hidup, karena Allah-lah Yang Maha Memberi kenikmatan, Yang Maha Mengkaruniakan rizqi. Dan tidak ada bagian kemuliaan bagi manu­sia dalam hal semacam ini, karena me­reka makhluk, yang berhajat kepada Khaliq.

Hadits ini juga menerangkan bahwa orang yang berdoa dan memuji Allah atas limpahan nikmat makanan itu men­dapatkan ampunan dari Allah atas ke­salahannya di masa lalu. Masih saja Allah Ta’ala membalas sesuatu yang wa­jib dilakukan hamba-Nya atas pemberi­an-Nya itu dengan balasan yang tiada bandingnya. Subhanallah.


Majalah-Alkisah

Rasul SAW Menyukai Memulai Dari Yang Kanan



Banyak hal yang kita lakukan dalam kegiatan sehari-hari tanpa memperhatikan mana yang sesuai Sunnah Rasul atau tidak, karena tiap gerakkan mengandung makna dan pahala kebaikan untuk di dunia maupun akhirat. Marilah kita simak kutipan yang kami ambil dari pengajian Majelis Rasulullah SAW yang diasuh oleh Habib Munzir Almusawa pada tanggal 30 Januari 2012, senin malam di Masjid Al-Munawar Pancoran Jakarta.


قال رسول اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُعْجِبُهُ التَّيَمُّنُ فِي تَنَعُّلِهِ وَتَرَجُّلِهِ وَطُهُورِهِ وَفِي شَأْنِهِ كُلِّهِ
صحيح البخاري
 
Sabda Rasulullah saw : “Bahwa nabi saw menyukai memulai dari kanan, ketika beliau (saw) memakai sandal, ketika beliau (saw) menyisir, ketika beliau (saw) bersuci, dan dalam gerak gerik beliau (saw) ” (Shahih Bukhari)

Sampailah kita pada tuntunan mulia sayyidina Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, yang disampaikan oleh sayyidah Aisyah Ra dan diriwayatkan dalam Shahih Al Bukhari bahwa nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam dalam melakukan suatu perbuatan menyukai untuk mengawalinya dari sebelah kanan, seperti ketika memakai sandal, ketika bersuci, menyisir rambut, dan yang lainnya.

Hal tersebut sangat disukai oleh nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, dan hal tersebut pun telah terbukti secara ilmiah bahwa peredaran darah terlebih dahulu mengalir pada anggota tubuh yang bagian kanan kemudian pada bagian yang kiri, sehingga aliran darah itu terlebih dahulu membersihkan anggota tubuh bagian kanan, dan hal ini secara Ilmiah baru diketahui dalam akhir-akhir ini, namun hal tersebut telah diajarkan dalam tuntunan nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam kepada ummat Islam, yaitu dengan mengawali segala perbuatan baik dari anggota tubuh sebelah kanan. 

Dijelaskan oleh Al Imam Ibn Hajar Al Asqalany dalam Fathul Bari bisyarah Shahih Al Bukhari bahwa hadits tersbut diatas bermakna ‘aam makhsuus (bersifat umum tapi dikhususkan), yaitu secara umum bermakna demikian adanya namun terdapat pengecualian, diantaranya adalah ketika masuk ke masjid mendahulukan kaki kanan, namun ketika keluar dari masjid mendahulukan kaki kiri, sebaliknya ketika masuk ke kamar mandi dengan mendahulukan kaki kiri dan ketika keluar mendahulukan kaki kanan, mengapa demikian?, 
Al Imam An Nawawi berkata bahwa segala hal atau sesuatu yang baik atau bersifat ibadah maka didahulukan dengan anggota sebelah kanan, maka selayaknyalah kita memahami sunnah-sunnah nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

مَنْ تَمَسَّكَ بِسُنَّتِي عِنْدَ فَسَادِ أُمَّتِي فَلَهُ أَجْرُ مِائَةِ شَهِيدٍ

“Barangsiapa yang berpegang pada sunnahku ketika kerusakan ummatku, maka baginya pahala 100 orang yang mati syahid”

Berpegang kepada sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam seperti ini adalah hal yang mudah, namun banyak diremehkan oleh kaum muslimin, maka kita berusaha untuk menghidupkan kembali hal tersebut dengan melakukan sesuatu yang baik diawali dengan yang kanan.


Akhirat Jauh Lebih Berharga Daripada Dunia dan Seisinya




Suatu hari ‘Umar bin Khaththab r.a. menemui Rasulullah SAW di kamar beliau, lalu ‘Umar mendapati beliau tengah berbaring di atas sebuah tikar usang yang pinggirnya telah lapuk. Jejak tikar itu membekas di belikat beliau, sebuah bantal yang keras membekas di bawah kepala beliau, dan jalur kulit samakan membekas di kepala beliau. Di salah satu sudut kamar itu terdapat gandum sekitar satu gantang. Di bawah dinding terdapat qarzh (semacam tumbuhan untuk menyamak kulit).

Air mata ‘Umar bin Khaththab r.a. meleleh. Ia tidak kuasa menahan tangis karena iba dengan kondisi pimpinan tertinggi umat Islam itu. Rasulullah SAW melihat air mata ‘Umar r.a. yang berjatuhan, lalu bertanya “Apa yang membuatmu menangis, Ibnu Khaththab?” Umar r.a. menjawab dengan kata-kata yang bercampur-aduk dengan air mata dan perasaannya yang terbakar,
“Wahai Nabi Allah, bagaimana aku tidak menangis, sedangkan tikar ini membekas di belikat Anda, sedangkan aku tidak melihat apa-apa di lemari Anda? Kisra dan Kaisar duduk di atas tilam dari emas dan kasur dari beludru dan sutera, dan dikelilingi buah-buahan dan sungai-sungai, sementara Anda adalah Nabi dan manusia pilihan Allah!”

Lalu Rasulullah SAW menjawab dengan senyum tersungging di bibir beliau, “Wahai Ibnu Khaththab, kebaikan mereka dipercepat datangnya, dan kebaikan itu pasti terputus. Sementara kita adalah kaum yang kebaikannya ditunda hingga hari akhir. Tidakkah engkau rela jika akhirat untuk kita dan dunia untuk mereka?”

‘Umar menjawab, “Aku rela.” (HR. Hakim, Ibnu Hibban dan Ahmad) Dalam riwayat lain disebutkan: ‘Umar berkata, “Wahai Rasulullah, sebaiknya Anda memakai tikar yang lebih lembut dari tikar ini.”

Lalu, Rasulullah SAW menjawab dengan khusyuk dan merendah diri, “Apa urusanku dengan dunia? Perumpamaan diriku dengan dunia itu tidak lain seperti orang yang berkendara di suatu hari di musim panas, lalu ia berteduh di bawah sebuah pohon, kemudian ia pergi dan meninggalkannya.” (HR. Tirmidzi)

Betapa Rasulullah SAW sangat sederhana. Ia menyadari bahwa akhirat jauh lebih berharga daripada dunia dan seisinya.

“Barang siapa menjadikan akhirat sebagai tujuannya maka Allah SWT akan membuat baik semua urusannya, dan menjadikan kekayaan dalam hatinya, dan dunia akan datang dengan mudah. Barang siapa yang menjadikan dunia sebagai tujuannya, maka Allah akan mencerai beraikan urusannya, menjadikan kefakiran ada di depan matanya, dan dunia tidak akan datang kepadanya, kecuali sebatas yang telah ditentukan.”
 
Rasulullah SAW bersabda : “Menjauhi kesenangan dunia lebih pahit rasanya daripada pahitnya brotowali dan lebih menyakitkan daripada sabetan pedang di medan perang. Tiada seorangpun yang menjauhinya, melainkan akan dianugerahi Allah SWT pahala yang sama seperti yang diberikan Nya kepada para syuhada. Cara menjauhi kesenangan duniawi adalah dengan sedikit makan dan tidak terlalu kenyang serta tidak suka dipuji orang lain. Barang siapa yang suka dipuji orang, berarti dia menyukai dunia dan kesenangannya. Oleh karena itu, barang siapa yang ingin meraih kesenangan yang hakiki hendaklah menjauhi keduniawian dan pujian orang lain”(HR. Dailami)
Wallahu ‘alam



Sarkub

Al-Qamah Dan Cinta Seorang Ibu





“Wahai sahabat Muhajirin dan Anshar, sesiapa mengutamakan istrinya daripada ibunya, dia akan dilaknat oleh Allah, dan semua ibadahnya tidak diterima Allah.” 
Al-Qamah adalah sahabat Nabi SAW yang baik dan pemuda yang sangat rajin beribadah. Pada suatu hari, ia sakit keras. Istrinya menyuruh seseorang memberi kabar kepada Rasulallah SAW tentang keadaan suaminya yang sakit keras dan dalam keadaan sakratul maut. Lalu Rasulallah SAW menyuruh Ali, Bilal RA, dan dan beberapa sahabat lainya melihat keadaan Al-Qamah. 

Begitu mereka sampai di rumah Al-Qamah, mereka melihat keadaanya sudah kritis. Maka kemudian mereka segera membantunya membaca kalimah syahadat, tetapi lidah Al-Qamah tidak mampu mengucapkannya.Bilal lalu menceritakan kepada Nabi segala hal yang terjadi atas diri Al-Qamah.
Lalu Rasulallah SAW bertanya kepada Bilal, “Apakah ayah Al-Qamah masih hidup?”
Bilal menjawab, “Tidak, ya Rasulallah, ayahnya sudah meninggal, tetapi ibunya masih hidup dan sangat tua usianya.”

Kemudian Rasulallah SAW berkata lagi, “Pergilah kamu, ya Bilal, menemui ibunya, sampaikan salamku, dan katakan kepadanya, kalau ia bisa datang menjumpaiku, datanglah. Kalau ia tidak bisa berjalan, katakan bahwa aku akan datang ke rumahnya menjumpainya.”

Ketika Bilal tiba di rumah ibu Al-Qamah, sang ibu mengatakan bahawa ia ingin menemui Rasulallah SAW. Lalu ia mengambil tongkat dan terus berjalan menuju rumah beliau.

Setibanya di rumah Rasulullah, ibu Al-Qamah memberi salam dan duduk di hadapan beliau.
Kemudian Rasulullah SAW membuka pembicaraan, “Ceritakan kepadaku yang sebenarnya ihwal anakmu, Al-Qamah. Jika kamu berdusta, niscaya akan turun wahyu kepadaku.”

Dengan rasa sedih ibunya bercerita, “Ya Rasulallah, sepanjang masa, aku melihat Al-Qamah adalah laki-laki dewasa, laki-laki yang cerdas, shalih, dan selalu melakukan perintah Allah dengan sempurna, sangat rajin beribadah. Shalat dan puasa tidak pernah ditinggalkannya, dan ia sangat suka bersedekah.

Ya Rasullah, aku membawa Al-Qamah sembilan bulan di perutku. Aku tidur, berdiri, makan, dan bernapas bersamanya. Ya Rasulallah, aku mengandungnya dalam kondisi lemah di atas lemah, tapi aku begitu gembira dan puas setiap aku rasakan perutku semakin hari semakin bertambah besar dan ia dalam keadaan sehat wal afiat dalam rahimku.

Kemudian tiba waktu melahirkanya. Ya Rasulallah, pada saat itu aku melihat kematian di mataku.
Hingga tibalah waktunya ia keluar ke dunia. Ia pun lahir. Aku mendengar ia menangis, maka hilang semua sakit dan penderitaanku bersama tangisannya.”

Ibu Al-Qamah mulai menangis, lalu ia melanjutkan ceritanya, “Kemudian, berlalulah waktu. Hari berganti hari, bulan berganti bulan, dan tahun berganti tahun. Selama itu aku setia menjadi pelayannya yang tidak pernah lalai, menjadi pendampingnya yang tidak pernah berhenti. Aku tidak pernah lelah mendoakannya agar ia mendapat kebaikan dan taufiq dari Allah.

Ya Rasulallah, aku selalu memperhatikannya hari demi hari hingga ia menjadi dewasa. Badannya tegap, ototnya kekar. Kumis dan cambang telah menghiasi wajahnya. Pada saat itu aku mulai melirik ke kiri dan ke kanan untuk mencari pasangan hidupnya.”

Ia melanjutkan ceritanya, “Tapi sayang, ya Rasulallah, setelah ia beristri, aku tidak lagi mengenal dirinya. Senyumnya, yang selama itu menjadi pelipur duka dan kesedihanku, telah hilang, dan tawanya telah tenggelam. Aku benar-benar tidak mengenalnya lagi, karena ia telah melupakanku dan melupakan hakku.

Aku tidak mengharap sesuatu darinya, ya Rasulallah. Yang aku harapkan hanya aku ingin melihat rupanya, rindu dengan wajahnya. Ia tidak pernah menghapiriku lagi. Ia tidak pernah menanyakan halku, tidak memperhatikanku lagi. Seolah-olah aku dibuang di tempat yang jauh.

Ya Rasulallah, aku ini tidak meminta banyak darinya, dan tidak menagih kepadanya yang bukan-bukan. Yang aku pinta darinya, jadikan aku sebagai sahabat dalam kehidupannya. Jadikanlah aku sebagai pembantu di rumahnya, agar bisa juga aku bisa menatap wajahnya setiap saat. Sayangnya ia lebih mengutamakan istrinya daripada diriku dan menuruti kata-kata istrinya sehingga ia menentangku.”

Rasulallah SAW sangat terharu mendengar cerita ibu Al-Qamah. Kemudia beliau menyuruh Bilal mencari kayu bakar utuk membakar Al-Qamah hidup-hidup.

Begitu Ibu Al-Qamah mendengar perintah tersebut, ia pun berkata dengan tangisan dan suara yang terputus-putus, “Wahai Rasullullah, Tuan hendak membakar anakku di depan mataku? Bagaimana hatiku dapat menerimanya? Ya Rasulallah, walaupun usiaku sudah lanjut, punggungku bungkuk, tanganku bergetar, walaupun ia tidak pernah menghapiriku lagi, cintaku kepadanya masih seperti dulu, masih seperti lautan yang tidak pernah kering. Janganlah Tuan bakar anakku hidup-hidup.”
Rasulallah SAW bersabda “Siksa Allah itu lebih berat dan kekal. Karena itu jika engkau ingin Allah mengampuni anakmu itu, hendaklah engkau memaafkannya….”

Kemudian ibu Al-Qomah mengangkat kedua tangannya dan berdoa, “Ya Rasullullah, aku bersaksi kepada Allah, dan bersaksi kepadamu, ya Rasullullah, mereka-mereka yang hadir di sini, bahwa aku aku telah ridha kepada anakku, Al-Qamah.”

Lalu Rasulallah SAW berkata kepada Bilal RA, “Pergilah kamu, wahai Bilal, dan lihat keadaan Al-Qamah.”

Bilal pun sampai di rumah Al-Qamah, dan tiba-tiba terdengar suara Al-Qamah menyebut, “La ilaha illallah.”

Lalu Bilal masuk sambil berkata, “Wahai semua orang yang berada di sini. Ketahuilah, sesungguhnya kemarahan seorang ibu kepada anaknya bisa membuat kemarahan Allah, dan ridha seorang ibu bisa membuat keridhaan-Nya.”

Al-Qamah wafat pada waktu dan saat yang sangat baik baginya.
Lalu Rasulallah SAW segera pergi ke rumah Al-Qamah.

Para sahabat memandikan, mengkafani, dan menshalatinya, diimami oleh Rasulallah SAW.
Sesudah jenazah dikuburkan, Nabi bersabda sambil berdiri di dekat kubur, “Wahai sahabat Muhajirin dan Anshar, sesiapa mengutamakan istrinya daripada ibunya, dia akan dilaknat oleh Allah, dan semua ibadahnya tidak diterima Allah.”
Wallahu ‘alam.