رَبِّ اغْفِرْ لِي وَهَبْ لِي مُلْكًا لا يَنْبَغِي لأحَدٍ مِنْ بَعْدِي إِنَّكَ أَنْتَ الْوَهَّابُ


"Ya Rabb-ku, ampunilah aku, dan anugerahkanlah kepadaku kerajaan, yang tidak dimiliki oleh seorangpun juga sesudahku, sesungguhnya Engkaulah Yang Maha pemberi’."

Jumat, 07 Februari 2014

LARANGAN MENJADI PEMINTA-MINTA (PENGEMIS)



Akhir-akhir ini marak sekali pemberitaan tentang pengemis. Pengemis menyebar di mana-mana. Apalagi di wilayah perkotaan. Banyak orang yang tidak memiliki rasa malu untuk mengemis, padahal badan mereka terlihat sangat kuat untuk bekerja.
Ketika seorang pengemis ditanya tentang penghasilan perbulan mereka, maka kebanyakan mereka menjawab bahwa penghasilan mereka melebihi gaji para PNS. Subhanahu wa ta'ala, hanya dengan cara ringkas, menengadahkan tangan di hadapan orang-orang, mereka bisa memiliki penghasilan melebihi orang-orang yang bekerja keras.
Bagaimana sebenarnya Islam memandang hal tersebut? Halalkah berprofesi sebagai pengemis? Apakah mengemis termasuk perbuatan dosa? Insya Allah permasalah ini dijawab pada artikel ini.

Tercelakah mengemis?

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

(( إِنَّ الْمَسْأَلَةَ كَدٌّ يَكُدُّ بِهَا الرَّجُلُ وَجْهَهُ إِلاَّ أَنْ يَسْأَلَ الرَّجُلُ سُلْطَانًا أَوْ فِى أَمْرٍ لاَ بُدَّ مِنْهُ.))

“Sesungguhnya meminta-minta adalah cakaran yang seseorang mencakar sendiri wajahnya, kecuali seseorang yang meminta kepada pemimpin atau pada urusan yang harus untuk meminta.” [1]

(( مَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَسْأَلُ النَّاسَ حَتَّى يَأْتِيَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لَيْسَ فِي وَجْهِهِ مُزْعَةُ لَحْمٍ.))

“Senantiasa seseorang meminta-minta kepada manusia, sampai nanti di hari kiamat wajahnya tidak memiliki daging sedikit pun.”[2]

Kedua hadits ini menerangkan kepada kita bahwa meminta-minta hanya dibenarkan pada sebagian orang saja dan bukan semua orang. Ada orang-orang tertentu yang boleh mengemis. Orang yang tidak berhak mengemis akan dibangkitkan pada hari kiamat dengan tidak memiliki daging di wajahnya. Hal ini menunjukkan orang tersebut benar-benar hina dan tidak memiliki rasa malu.

Hukum harta yang dihasilkan dari mengemis

Mengemis hukum asalnya adalah haram, terkecuali seseorang yang benar-benar terpaksa harus mengemis, seperti: orang yang menanggung hutang untuk orang lain, orang yang ditimpa bencana atau wabah dalam sumber penghasilannya sehingga jatuh miskin dan orang miskin yang dinyatakan miskin oleh tiga tokoh masyarakat di daerahnya.
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pernah berkata kepada Qabishah radhiallahu 'anhu:

(( يَا قَبِيصَةُ! إِنَّ الْمَسْأَلَةَ لاَ تَحِلُّ إِلاَّ لأَحَدِ ثَلاَثَةٍ: رَجُلٍ تَحَمَّلَ حَمَالَةً فَحَلَّتْ لَهُ الْمَسْأَلَةُ حَتَّى يُصِيبَهَا ثُمَّ يُمْسِكُ, وَرَجُلٍ أَصَابَتْهُ جَائِحَةٌ اجْتَاحَتْ مَالَهُ فَحَلَّتْ لَهُ الْمَسْأَلَةُ حَتَّى يُصِيبَ قِوَامًا مِنْ عَيْشٍ -أَوْ قَالَ سِدَادًا مِنْ عَيْشٍ-, وَرَجُلٍ أَصَابَتْهُ فَاقَةٌ حَتَّى يَقُومَ ثَلاَثَةٌ مِنْ ذَوِى الْحِجَا مِنْ قَوْمِهِ لَقَدْ أَصَابَتْ فُلاَنًا فَاقَةٌ فَحَلَّتْ لَهُ الْمَسْأَلَةُ حَتَّى يُصِيبَ قِوَامًا مِنْ عَيْشٍ -أَوْ قَالَ سِدَادًا مِنْ عَيْشٍ-, فَمَا سِوَاهُنَّ مِنَ الْمَسْأَلَةِ يَا قَبِيصَةُ سُحْتًا يَأْكُلُهَا صَاحِبُهَا سُحْتًا.))

“Wahai Qabishah! Sesungguhnya meminta-minta tidak dihalalkan kecuali untuk tiga orang: (1) seseorang yang menanggung hutang untuk orang lain, maka halal baginya meminta sampai dia dapat melunasinya kemudian dia berhenti meminta, (2) seseorang yang tertimpa bencana sehingga hancur hartanya, maka halal baginya meminta sampai dia bisa hidup secukupnya, (3) seorang miskin yang tiga orang yang memiliki akal cerdas dari kaumnya mengatakan bahwa orang tersebut telah tertimpa kemiskinan, maka halal baginya meminta sampai dia bisa hidup secukupnya. Adapun selain ketiga orang ini, wahai Qabishah, maka tidak halal. Orang yang meminta-minta telah memakan harta dengan cara yang haram.”[3]

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam juga bersabda:

(( مَنْ سَأَلَ مِنْ غَيْرِ فَقْرٍ ، فَكَأَنَّمَا يَأْكُلُ الْجَمْرَ.))

“Barang siapa yang meminta bukan karena alasan kemiskinan, maka seolah-olah dia telah memakan bara api.”[4]

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam juga bersabda:

(( مَنْ سَأَلَ النَّاسَ أَمْوَالَهُمْ تَكَثُّرًا فَإِنَّمَا يَسْأَلُ جَمْرًا فَلْيَسْتَقِلَّ أَوْ لِيَسْتَكْثِرْ.))

Barang siapa yang meminta-minta kepada manusia harta-harta mereka untuk memperbanyak harta, maka sesungguhnya dia sedang meminta bara api. Oleh karena itu, dia persedikit (bara api itu) atau dia perbanyak.”[5]

Pada hadits ini diterangkan bahwa orang yang meminta-meminta bukan karena suatu keperluan atau darurat, maka sesungguhnya dia telah melakukan dosa. Apabila dia ingin memperbanyak bara apinya, maka perbanyaklah meminta-minta harta manusia. Jika dia ingin mendapatkan sedikit saja, maka mintalah sedikit saja. Tetapi yang lebih utama adalah orang yang tidak meminta bara api, yaitu orang yang tidak mau meminta-minta kepada manusia.

Apakah meminta-minta termasuk dosa besar?

Seorang yang meminta-minta tanpa ada alasan yang dibenarkan, maka dia telah terjatuh ke dalam dosa besar, sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin.[6]

Dan kita mengetahui bahwa salah satu ciri dosa besar adalah mendapatkan ancaman buruk di akhirat nanti.

Pujian Allah kepada orang miskin yang menahan dirinya untuk meminta-minta

Allah subhanahu wa ta'ala memuji orang yang tidak meminta-minta meskipun mereka adalah orang yang miskin. Allah subhanahu wa ta'ala berfirman:

{ لِلْفُقَرَاءِ الَّذِينَ أُحْصِرُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ لَا يَسْتَطِيعُونَ ضَرْبًا فِي الْأَرْضِ يَحْسَبُهُمُ الْجَاهِلُ أَغْنِيَاءَ مِنَ التَّعَفُّفِ تَعْرِفُهُمْ بِسِيمَاهُمْ لَا يَسْأَلُونَ النَّاسَ إِلْحَافًا وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ خَيْرٍ فَإِنَّ اللَّهَ بِهِ عَلِيمٌ }

“(Berinfaklah) kepada orang-orang fakir yang terikat (untuk jihad) di jalan Allah. Mereka tidak dapat (berusaha) di bumi. Orang yang tidak tahu menyangka mereka adalah orang kaya karena mereka memelihara diri dari minta-minta. Engkau mengenali mereka dengan melihat sifat-sifatnya, mereka tidak meminta kepada orang secara mendesak. Dan apa saja harta yang baik yang kalian nafkahkan (di jalan Allah), maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui.” (QS Al-Baqarah: 273)


Jaminan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk orang yang tidak mau meminta-minta

عَنْ ثَوْبَانَ قَالَ وَكَانَ ثَوْبَانُ مَوْلَى رَسُولِ اللَّهِ –صلى الله عليه وسلم- قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ –صلى الله عليه وسلم- (( مَنْ تَكَفَّلَ لِى أَنْ لاَ يَسْأَلَ النَّاسَ شَيْئًا وَأَتَكَفَّلَ لَهُ بِالْجَنَّةِ؟)). فَقَالَ ثَوْبَانُ: أَنَا. فَكَانَ لاَ يَسْأَلُ أَحَدًا شَيْئًا.

Diriwayatkan dari Tsauban, beliau adalah mantan budak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dia mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Siapa yang dapat menjamin untukku agar dia tidak meminta-minta kepada manusia sedikit pun, maka saya akan menjaminnya untuk masuk ke dalam surga?” (Berkatalah seorang perawi), “Tsauban pun menjawab, ‘Saya.’ Memang dulu dia (Tsauban) tidak pernah meminta apapun kepada seorang pun.”[HR Abu Dawud no. 1643. Syaikh Al-Albani men-shahih-kannya dalam Shahih Al-Jami’ no. 6604.]

Ma’mar berkata, “Telah disampaikan kepadaku bahwa ‘Aisyah radhiallahu ‘anha pernah berkata, ‘Perhatikanlah Tsauban! Sesungguhnya dia tidak pernah meminta sesuatu kepada seorang pun. Dulu pernah terjatuh tongkat dan cambuk (miliknya), beliau tidak pernah minta diambilkan untuknya, melainkan dia turun sendiri dan mengambilnya.”[Tambahan ini diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dalam Syu’abul-Iman no. 3245.]

Contoh yang baik dari Hakim bin Hizam radhiallahu 'anhu

Diriwayatkan dari ‘Urwah bin Az-Zubair dan Sa’id bin Al-Musayyab bahwasanya Hakim bin Hizam radhiallahu 'anhu pernah berkata:

سَأَلْتُ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم فَأَعْطَانِي ثُمَّ سَأَلْتُهُ فَأَعْطَانِي ثُمَّ سَأَلْتُهُ فَأَعْطَانِي

“Saya pernah meminta kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau pun memberiku. Kemudian saya pun meminta lagi kemudian beliau pun memberiku. Kemudian beliau berkata:

يَا حَكِيمُ إِنَّ هَذَا الْمَالَ خَضِرَةٌ حُلْوَةٌ فَمَنْ أَخَذَهُ بِسَخَاوَةِ نَفْسٍ بُورِكَ لَهُ فِيهِ ، وَمَنْ أَخَذَهُ بِإِشْرَافِ نَفْسٍ لَمْ يُبَارَكْ لَهُ فِيهِ كَالَّذِي يَأْكُلُ ، وَلاَ يَشْبَعُ الْيَدُ الْعُلْيَا خَيْرٌ مِنَ الْيَدِ السُّفْلَى قَالَ حَكِيمٌ ، فَقُلْتُ : يَا رَسُولَ اللهِ وَالَّذِي بَعَثَكَ بِالْحَقِّ لاَ أَرْزَأُ أَحَدًا بَعْدَكَ شَيْئًا حَتَّى أُفَارِقَ الدُّنْيَا

“Ya Hakim! Sesungguhnya harta ini adalah hijau[Maksudnya enak dipandang oleh mata.] dan manis[Maksudnya manis dirasakan.]. Barang siapa yang mengambilnya dengan tanpa memaksakan diri, maka akan diberkahi harta tersebut. Barang siapa yang mengambilnya/memintanya dengan memaksakan diri untuk mendapatkannya, maka dia seperti orang yang makan dan tidak pernah kenyang.Tangan yang di atas lebih baik daripada tangan yang di bawah.” Hakim pun berkata, “Ya Rasulullah! Demi yang mengutusmu dengan kebenaran, saya tidak akan meminta kepada seorang pun setelah ini sampai saya meninggal dunia.”

فَكَانَ أَبُو بَكْرٍ ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ، يَدْعُو حَكِيمًا إِلَى الْعَطَاءِ فَيَأْبَى أَنْ يَقْبَلَهُ مِنْهُ ثُمَّ إِنَّ عُمَرَ ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ، دَعَاهُ لِيُعْطِيَهُ فَأَبَى أَنْ يَقْبَلَ مِنْهُ شَيْئًا فَقَالَ عُمَرُ إِنِّي أُشْهِدُكُمْ يَا مَعْشَرَ الْمُسْلِمِينَ عَلَى حَكِيمٍ أَنِّي أَعْرِضُ عَلَيْهِ حَقَّهُ مِنْ هَذَا الْفَيْءِ فَيَأْبَى أَنْ يَأْخُذَهُ فَلَمْ يَرْزَأْ حَكِيمٌ أَحَدًا مِنَ النَّاسِ بَعْدَ رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم حَتَّى تُوُفِّيَ.

Kemudian Abu Bakar radhiallahu 'anhu memanggil Hakim untuk menerima hadiah, beliau pun tidak mau menerimanya. Kemudian ‘Umar radhiallahu 'anhu memanggilnya untuk menerima hadiah, beliau pun tidak mau menerimanya.Umar pun berkata, “Saya bersaksi kepada kalian, wahai kaum muslimin atas Hakim! Sesungguhnya saya telah menyodorkan haknya dari harta fai’ tetapi dia tidak mau menerimanya.”

Hakim tidak pernah meminta kepada seorang pun dari manusia setelah permintaannya kepada Rasulullah itu, sampai beliau wafat.[HR Al-Bukhari no. 1482.]

Ditulis oleh: Ustadz Said Yai Ardiansyah, Lc., M.A. (Beliau adalah  alumni Universitas Islam Madinah, Jurusan Hadits. Dan mengambil Master di MEDIU Malaysia, Jurusan Fiqhussunnah. Beliau juga kepala SDIT Al-Istiqomah Prabumulih)

Daftar Pustaka
  1. Ath-Thabaqat-Al-Kubra. Muhammad bin Sa’ad Al-Bashri. Dar Shadir.
  2. Mir’atul-mafatih Syarh Misykatil-Mashabih . Muhammad ‘Abdussalam Al-Mubarakfuri.
  3. Riyadhush-shalihin. Imam An-Nawawi.
  4. Subulussalam. Muhammad bin Isma’il Al-Amir Ash-Shan’ani. Kairo: Darul-Hadits.
  5. Syarh Riyadhishshalihin. Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin. Darussalam.
  6. Umdatul-Qari Syarh Shahih Al-Bukhari. Badruddin Al-‘Aini Al-Hanafi.
  7. Buku-buku lain yang sebagian besar telah dicantumkan di footnotes.
 

HUKUM ZAKAT

Zakat adalah salah satu di antara rukun Islam yang lima. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

بُنِيَ الْإِسْلَامُ عَلَى خَمْسَةٍ عَلَى أَنْ يُوَحَّدَ اللَّهَ وَإِقَامِ الصَّلَاةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ وَصِيَامِ رَمَضَانَ وَالْحَجِّ

“Islam dibangun di atas lima dasar; Mentauhidkan Allah (bersyahadat Laailaahaillallah dan Muhammad Rasulullah), mendirikan shalat, menunaikan zakat, puasa Ramadhan dan berangkat Haji.” (HR. Muslim)

Kaum muslimin semuanya ijma’ tentang kewajiban zakat, barang siapa yang mengingkari kewajiban zakat, padahal ia mengetahui tentang wajibnya maka dia kafir. Dan barang siapa yang enggan membayar zakat, namun tetap mengakui kewajibannya maka dia telah berdosa besar, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَا مِنْ صَاحِبِ ذَهَبٍ وَلَا فِضَّةٍ لاَ يُؤَدِّيْ مِنْهَا حَقَّهَا إِلاَّ إِذَا كاَنَ يَوْمُ اْلقِيَامَةِ صُفِّحَتْ لَهُ صَفَائِحُ مِنْ نَارٍ فَأُحْمِيَ عَلَيْهَا فِيْ نَارِ جَهَنَّمَ فَيُكْوَى بِهَا جَنْبُهُ وَجَبِيْنُهُ وَظَهْرُهُ كُلَّمَا بَرَدَتْ أُعِيْدَتْ لَهُ فِي يَوْمٍ كَانَ مِقْدَارُهُ خَمْسِيْنَ أَلْفَ سَنَةٍ حَتَّى يُقْضَى بَيْنَ اْلعِبَادِ

“Tidak ada pemilik emas maupun perak yang enggan membayar zakatnya kecuali pada hari kiamat akan dibuatkan untuknya lempengan-lempengan dari api, lalu dipanaskan di neraka Jahanam kemudian disetrika dahi, lambung dan punggungnya dengannya. Setiap kali menjadi dingin, maka diulangi lagi dalam sehari yang lamanya 50.000 tahun sampai diputuskan masalah di kalangan manusia.” (HR. Muslim)

Bagi orang yang enggan itu wajib diambil zakatnya secara paksa oleh pemerintah Islam ditambah dengan separuh hartanya diambil juga sebagai hukuman buatnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

وَمَنْ مَنَعَهَا فَإِنَّا اخِذُوْهَا وَ شَطْرَ مَالِهِ عَزْمَةً مِنْ عَزَمَاتِ رَبِّنَا

“Dan barang siapa yang enggan berzakat, maka kami akan mengambilnya beserta separuh hartanya, sebagai perintah keras di antara perintah-perintah Tuhan kami.” (Hasan, HR. Abu Dawud, Nasa’i dan Ahmad)

Jika sekelompok orang enggan membayar zakat, padahal mereka meyakini wajibnya, dan mereka memiliki kekuatan, maka diperangi oleh pemerintah hingga mereka mau membayar zakat sebagaimana yang dilakukan oleh Abu Bakar Ash Shaddiq, ia pernah berkata, “Demi Allah, jika mereka tetap enggan membayar zakat unta yang mereka bayar dahulu kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, tentu aku akan memerangi mereka.” (HR. Bukhari)

Hikmah Zakat

Zakat memiliki banyak hikmah, di antaranya adalah membersihkan jiwa dari sifat bakhil dan tamak, membantu kaum fakir dan agar harta tidak hanya beredar di kalangan orang-orang kaya saja.
Macam-macam zakat
Berikut beberapa macam zakat:

1.  Emas dan perak

Allah Azza wa Jalla berfirman:

“Dan orang-orang  yang menyimpan emas dan perak serta tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka,  siksa yang pedih." (terj. At Taubah: 34)

Tidak menafkahkannya di ayat ini adalah tidak mengeluarkan zakatnya.
Zakat pada emas dan perak berlaku baik yang berbentuk logam, masih belum diolah (seperti barang tambang), sudah menjadi perhiasan dsb. berdasarkan keumuman dalil wajibnya zakat pada emas dan perak tanpa perincian. Ukuran wajib zakat (nishab) pada emas adalah 20 dinar. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

إِذَا كَانَتْ لَكَ مِائَتَا دِرْهَمٍ -وَحَالَ عَلَيْهَا اَلْحَوْلُ- فَفِيهَا خَمْسَةُ دَرَاهِمَ, وَلَيْسَ عَلَيْكَ شَيْءٌ حَتَّى يَكُونَ لَكَ عِشْرُونَ دِينَارًا, وَحَالَ عَلَيْهَا اَلْحَوْلُ, فَفِيهَا نِصْفُ دِينَارٍ, فَمَا زَادَ فَبِحِسَابِ ذَلِكَ, وَلَيْسَ فِي مَالٍ زَكَاةٌ حَتَّى يَحُولَ عَلَيْهِ اَلْحَوْلُ

“Apabila kamu memiliki dua ratus dirham dan telah lewat satu tahun, maka zakatnya lima dirham, dan tidak wajib bagimu zakat sampai kamu memiliki dua puluh dinar dan berlalu satu tahun terhadapnya, maka (jika demikian) zakatnya setengah dinar. Jika lebih, maka zakatnya menurut perhitungan itu dan tidak ada zakat pada harta kecuali setelah lewat satu tahun.” (Hasan, HR. Abu Dawud dan Daruquthni)

1 dinar = 4 ¼ gram. Jadi 20 dinar = 85 gram emas. Untuk nishab perak adalah 200 dirham (595 gram perak), zakat yang dikeluarkan pada emas dan perak adalah 1/40 (2,5 %).

Zakat juga wajib pada uang kertas, karena ia pengganti perak, apabila uang kertas tersebut telah mencapai nishab perak, maka wajib dikeluarkan zakatnya setelah lewat satu tahun penuh (haul) dengan menggunakan tahun hijriah. Kewajiban zakat pada emas, perak dan mata uang ini berlaku baik hartanya ada padanya maupun pada tanggungan orang lain (piutang), oleh karena itu zakat wajib pada piutang (baik pemberian pinjaman, orang lain belum membayar barangnya yang sudah dibeli maupun orang lain menyewa tetapi belum dibayar), yakni jika piutang tersebut ada pada orang kaya atau pada seseorang, di mana dia mampu mengambilnya kapan saja jika mau, maka ia zakatkan dengan cara menggabungkan dengan harta yang ada di tangannya untuk setiap tahun atau ia tunda zakatnya hingga menerima piutang tersebut lalu ia zakatkan untuk beberapa tahun yang telah lewat. Namun jika piutang itu ada pada orang yang susah atau suka menunda-nunda pembayaran di mana si peminjam agak sulit mengambilnya maka tidak dikenakan zakat sampai ia menerima, lalu ia keluarkan zakatnya setahun saja meskipun telah berlalu beberapa tahun.

2.  Yang keluar dari bumi; berupa biji, buah-buahan, dan rikaz,

Allah Ta’ala berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah  sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu."  (terj. Al Baqarah: 267)
Dikenakan zakat pada biji dan buah-buahan apabila telah mencapai nishab (ukuran wajib zakat), yaitu 5 wasaq, berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

لَيْسَ فِيْ حَبٍّ وَلَا ثَمَرٍ صَدَقةٌ حَتَّى يَبْلُغَ خَمْسَةَ أَوْسُقٍ

“Tidak kena zakat pada biji dan buah-buahan sampai mencapai lima wasaq.” (HR. Muslim)

1 wasaq = 60 sha’, jadi 5 wasaq = 300 sha’, yakni sesuai sha’ Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang timbangannya jika berdasarkan ukuran burr/gandum yang bagus 1 sha’= 2040 gram atau 2,04 kg, sehingga nishab tanaman berdasarkan ukuran tersebut adalah 612 kg, kurang dari ukuran ini tidak kena zakat. Yang wajib dikeluarkan adalah 1/10 apabila disirami tanpa beban/biaya (yakni atsariy, tanaman tersebut menyerap air dengan akarnya, terkena aliran air dari mata air atau sungai termasuk yang tumbuh dengan siraman air hujan) dan apabila disirami dengan biaya/beban (seperti dengan timba atau tenaga binatang) maka yang wajib dikeluarkan adalah 1/20.

Buah yang wajib dizakatkan adalah tamar (kurma) dan zabib (anggur kering/kismis). Adapun buah-buahan lainnya seperti apel, semangka, mangga dsb. termasuk sayur-sayuran maka tidak terkena zakat.
Biji-bijian yang harus dizakatkan adalah segala biji yang dapat mengenyangkan (makanan pokok) dan bisa disimpan seperti gandum, sya’ir (semisal dengan beras), jagung, beras dsb. Zakat pada buah dan biji-bijian ini tidak memakai haul. Buah dan biji-bijian dikeluarkan zakatnya ketika hari memetiknya,


وَهُوَ الَّذِي أَنْشَأَ جَنَّاتٍ مَعْرُوشَاتٍ وَغَيْرَ مَعْرُوشَاتٍ وَالنَّخْلَ وَالزَّرْعَ مُخْتَلِفًا أُكُلُهُ وَالزَّيْتُونَ وَالرُّمَّانَ مُتَشَابِهًا وَغَيْرَ مُتَشَابِهٍ ۚ كُلُوا مِنْ ثَمَرِهِ إِذَا أَثْمَرَ وَآتُوا حَقَّهُ يَوْمَ حَصَادِهِ ۖ وَلَا تُسْرِفُوا ۚ إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ

Dan Dialah yang menjadikan kebun-kebun yang berjunjung dan yang tidak berjunjung, pohon korma, tanam-tanaman yang bermacam-macam buahnya, zaitun dan delima yang serupa (bentuk dan warnanya) dan tidak sama (rasanya). Makanlah dari buahnya (yang bermacam-macam itu) bila dia berbuah, dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya (dengan disedekahkan kepada fakir miskin); dan janganlah kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan. 
(surat Al An’aam: 141).


Rikaz (harta karun)
Rikaz adalah harta pendaman orang-orang jahiliyyah yang diambilnya tanpa membutuhkan biaya dan tanpa susah-payah, orang yang menemukan di area tanahnya atau di rumahnya harta pendaman tersebut, ia wajib mengeluarkan zakatnya yaitu 1/5. Zakat pada rikaz tidak memakai nishab dan haul.

3.  Binatang ternak

Syaratnya adalah: (1) Sampai batas nishabnya, (2) Lewat satu tahun, (3) Binatang yang cari makan sendiri (saa’imah) di rerumputan mubah pada sebagian besar hari-harinya dalam setahun bukan dengan biaya dan (4) Binatang tersebut bukan untuk dipekerjakan, tetapi untuk ternak/nasl dan diambil susunya.

 

a. Unta

Nishab unta adalah 5 ekor, dan perhitungannya adalah sebagai berikut
Jumlah Onta Jumlah yang dikeluarkan.
5 ekor 1 syaath
10 ekor 2 syaath
15 ekor 3 syaath
20 ekor 4 syaath
25 ekor seekor bintu makhadh atau ibnu labun bila tidak ada.
36 ekor seekor bintu labun
46 ekor seekor hiqqah
61 ekor seekor jadza’ah
76 ekor 2 ekor bintu labun
91 ekor 2 ekor hiqqah

Syaath artinya kambing, yakni jika domba (kira-kira yang usianya hampir setahun (seperti 8 atau 9 bulan)), sedangkan jika kambing biasa (yang usianya setahun).
Bintu makhaadh adalah unta betina yang berumur satu tahun dan masuk tahun kedua.
Ibnu Labun adalah unta jantan yang berumur dua tahun dan masuk tahun ketiga.
Bintu labun adalah unta betina yang berumur dua tahun dan masuk tahun ketiga.
Hiqqah adalah unta betina yang berumur tiga tahun dan masuk tahun keempat.
Jadza’ah adalah unta betina yang berumur empat tahun dan masuk tahun kelima.
Selanjutnya dalam setiap 40 ekor zakatnya 1 bintu labun, dan dalam setiap 50 ekor zakatnya 1 hiqqah. Contoh:

121 ekor 3 ekor bintu labun
130 ekor seekor hiqqah dan 2 ekor binta labun
140 ekor 2 ekor hiqqah dan 1 ekor bintu labun

Catatan:
Jika seseorang terkena kewajiban mengeluarkan binatang yang berusia tertentu, namun ternyata tidak ada, maka ia boleh mengeluarkan binatang yang kurang usianya dengan ditambah mengeluarkan dua kambing atau uang senilai dua puluh dirham. Tetapi jika ternyata binatang yang ada usianya lebih dari yang ditentukan, maka ia boleh mengeluarkannya, hanya saja si ‘amil (petugas zakat) harus memberikan kepadanya dua kambing atau dua puluh dirham untuk menutupi kelebihannya. Contoh: ia terkena zakat jadza’ah, namun tidak punya jadza’ah, yang dimilikinya adalah hiqqah maka bisa diterima hiqqahnya dengan ditambah 2 kambing atau 20 dirham.
Jika ia terkena zakat hiqqah, namun ia tidak punya hiqqah, tetapi ia mempunyai jadza’ah maka bisa diterima jadza’ahnya, hanya saja nanti si amil memberikan kepada pemberi zakat 20 dirham atau dua kambing.
Lain halnya dengan Ibnu Labun, ia bisa sebagai pengganti bintu makhaadh tanpa tambahan.

b. Sapi (termasuk juga kerbau)

Nishab sapi adalah 30 ekor, dan perhitungannya adalah sbb:
Jumlah Sapi Jumlah yang di keluarkan
30 ekor seekor tabi’ atau tabi’ah
40 ekor seekor Musinah
60 ekor 2 ekor tabi’ atau 2 ekor tabi’ah
70 ekor seekor tabi’ dan seekor musinah
80 ekor 2 ekor Musinnah
Tabi’/tabi’ah adalah sapi yang berusia 1 tahun.
Musinnah adalah sapi yang berusia 2 tahun.
Selanjutnya, dalam setiap 30 ekor zakatnya 1 tabi’ dan dalam setiap 40 ekor zakatnya 1 musinnah.

4.  Kambing (baik kambing domba maupun kambing biasa)

Nishab kambing adalah 40 ekor, dan perhitungannya adalah sbb:
Jumlah kambing Jumlah yang dikeluarkan
40 ekor seekor syaath
121 ekor 2 ekor syaath.
201 ekor 3 ekor syaath.
Lebih dari 300 ekor setiap seratus satu ekor syath.
Sehingga jika jumlah kambing 400 ekor, maka zakatnya empat kambing, 500 ekor zakatnya lima kambing dst.

Catatan:
-   Tidak ada zakat dalam waqsh. Waqsh artinya antara dua batasan. Pada zakat kambing misalnya, antara 40 dengan 121 (yakni 41-120) disebut waqsh, tidak kena zakat. Jika sudah mencapai 121, barulah terkena dua ekor kambing.
-   Hendaknya petugas zakat mengambil hewan zakat yang pertengahan (tidak hewan yang jelek atau yang sangat berharga).
-    Anak hewan yang baru lahir dari hewan saa’imah yang sudah terkena zakat dan pada laba yang baru dari barang yang hendak didagangkan, maka haul keduanya (yakni anak hewan saa’imah dan laba yang baru) mengikuti asalnya (hewan sa’imah dan harta perniagaan yang sudah mencapai nishab). Jika asalnya belum mencapai nishab, maka haulnya dimulai dari sejak sempurna nishabnya.

5.  Barang yang hendak didagangkan,

Barang tersebut bisa berupa rumah, tanah, hewan, makanan, mobil maupun barang-barang yang lain, ia jumlahkan berapa nilainya. Jika dijumlahkan telah mencapai nishab (baik nishab emas maupun perak), maka setelah lewat haul wajib dikeluarkan zakatnya yaitu 1/40, hal ini untuk barang-barang dagangan mudaarah/dipasarkan (yang dijual dengan harga hari itu juga, tanpa menunggu naiknya harga). Sedangkan untuk barang-barang yang muhtakarah/disimpan (yang dijual ketika harga naik) maka jika telah mencapai nishab, ia wajib mengeluarkan pada hari penjualannya untuk setahun saja meskipun barang tersebut sudah ada padanya bertahun-tahun karena menunggu naiknya harga. Namun menimbun barang jika mengakibatkan orang-orang menderita karena dibutuhkannya barang tersebut, hukumnya adalah haram.
Contoh perhitungannya adalah sbb:
Sorang pedagang menjumlahkan barang dagangan dengan jumlah total Rp. 200.000.000,- dan laba bersih sebesar Rp.50.000.000,- sementara dia mempunyai hutang sebesar 100.000.000,-. Maka modal dikurangi hutang:
200.000.000 - 100.000.000 = 100.000.000.
Jumlah harta zakat:
100.000.000 + 50.000.000 = 150.000.000
maka zakat yang wajib dikeluarkan setelah berlalu haul adalah 150.000.000 x 1/40 = 3.750.000,-
Catatan: Tidak ada zakat pada barang-barang yang disiapkan seseorang untuk memenuhi kebutuhannya misalnya makanan, minuman, kasur, tempat tinggal, hewan, kendaraan, barang-barang yang dipakai lainnya selain perhiasan emas dan perak. Demikian juga tidak ada zakat pada barang-barang yang disiapkan untuk disewa seperti rumah, kendaraan, dsb. yang kena zakat adalah upahnya jika sudah mencapai nishab atau akan mencapai nishab jika digabung dengan harta sejenisnya dan telah lewat satu tahun.

6.  Zakat fithri (zakat fitrah)

Zakat Fitri diwajibkan kepada orang Islam baik yang merdeka, maupun yang budak, yang tua maupun yang muda, besar-kecil, laki-laki maupun perempuan. Adapun janin maka tidak wajib padanya zakat, namun disukai mengeluarkannya.
Singkatnya, zakat fitri ini wajib bagi setiap muslim yang memiliki kelebihan makanan pokok untuk diri dan orang yang diranggungnya sehari semalam, ia wajib mengeluarkan bagi dirinya dan bagi orang yang ditanggungnya seperti isterinya, anaknya dan pembantunya bila mereka beragama Islam. Ukuran zakat fitri yang harus dikeluarkan adalah 1 sha’ (1 sha’ = 4 mud, atau kira-kira 2,04 kg atau 2040 gram). Hal ini menggunakan ukuran gandum, namun jika beras ukuran sedang, kira-kira 2,33 kg atau 2,7 liter (berdasarkan ukuran 2040 g jika dimasukkan ke dalam sebuah takaran).
Namun qamh/gandum cukup dikeluarkan setengah sha’.

Catatan: Yang dikeluarkan dalam zakat fithri adalah makanan pokok sesuai kebiasaan setempat. Tidak ada riwayat yang menyebutkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengeluarkan zakat fitri dengan uang.
Waktu wajib zakat fitri adalah saat matahari tenggelam malam Idul Fitri, dan boleh dikeluarkan sehari atau dua hari sebelum Idul Fitri. Zakat fitri lebih diutamakan diberikan kepada kaum fakir dan miskin daripada 8 asnaf lainnya di


إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ ۖ فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ ۗ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ

Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu´allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. 
(surat At Taubah: 60)


Oleh: Ustadz Marwan bin Musa

HUKUM MEMPERJUAL-BELIKAN KUCING



Kucing persia adalah salah satu jenis kucing yang sangat disukai oleh para penggemar kucing. Kucing ini pun ramai diperjualbelikan. Lalu, bagaimanakah sebenarnya hukum jual beli kucing persia atau kucing peliharaan lainnya?


عَنْ أَبِى الزُّبَيْرِ قَالَ سَأَلْتُ جَابِرًا عَنْ ثَمَنِ الْكَلْبِ وَالسِّنَّوْرِ قَالَ زَجَرَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ ذَلِكَ.


Dari Abuz Zubair, "Aku bertanya kepada Jabir mengenai uang hasil penjualan anjing dan kucing." Jabir menjawab, "Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam melarang keras hal tersebut." (HR. Muslim, no. 4098)

Ibnu Utsaimin mengatakan, "Realitanya, kucing itu bermanfaat, karena kucinglah yang memakan tikus, tokek, dan jangkrik. Sebagian kucing, ada yang berada di dekat seorang yang tidur, dan dada kucing tersebut bersuara dan memiliki gerakan tertentu. Jika ada hewan yang akan mendekati manusia yang sedang tidur tadi maka, dengan sigap, kucing tersebut menangkapnya. Jika dia mau, dia (kucing tersebut) bisa memakannya. Bisa juga, dia tinggalkan. Inilah manfaat kucing. Oleh karena itu, banyak ulama yang memperbolehkan jual beli kucing. Dalam Shahih Muslim, terdapat hadis dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam yang berisi larangan jual beli kucing.

Karena itulah, para ulama berselisih pendapat. Ada ulama yang memperbolehkan jual beli kucing. Mereka mengatakan bahwa kucing yang di dalam hadis, (yang terlarang) untuk diperjualbelikan, adalah kucing yang tidak ada manfaatnya karena mayoritas kucing itu menyerang manusia. Akan tetapi, jika kita jumpai kucing peliharaan yang bisa diambil manfaatnya maka pendapat yang mengatakan bolehnya jual beli kucing tersebut adalah pendapat yang kuat karena adanya manfaat dalam objek transaksi." (Asy-Syarh Al-Mumti', jilid 8, hlm. 113--114)

Dari kutipan di atas, bisa kita simpulkan bahwa menurut Ibnu Utsaimin, jual beli kucing yang memiliki manfaat—misalnya: bisa menangkap tikus--adalah hal yang diperbolehkan. Sebaliknya, kucing yang, secara realita, tidak memiliki manfaat yang diakui oleh syariat adalah kucing yang terlarang untuk diperjualbelikan. Kucing persia lebih tepat jika dimasukkan ke dalam kategori kedua, daripada yang pertama.
Syekh Abdullah Al-Fauzan mengatakan, "Hadis tersebut adalah dalil atas haramnya uang yang didapatkan dari jual beli kucing. Jika demikian, tentu saja transaksi jual beli kucing adalah haram. Kucing adalah hewan yang tidak bisa diambil manfaatnya kecuali ada kebutuhan tertentu--alias 'tidaklah bisa diambil manfaatnya setiap saat'-- misalnya: untuk memburu tikus atau hewan lain yang semisal dengannya.
Pendapat yang mengatakan bahwa jual beli kucing itu terlarang adalah pendapat yang difatwakan oleh Jabir bin Abdillah dan Abu Hurairah--dari kalangan para sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam , Thawus dan Mujahid--dari kalangan tabiin--,dan merupakan salah satu pendapat Imam Ahmad. Inilah pendapat yang dipilih oleh Abu Bakar Abdul Aziz dan Ibnul Qayyim, serta dinilai sebagai pendapat yang benar oleh Ibnu Rajab.

Sedangkan, mayoritas ulama memperbolehkan jual beli kucing, dan pendapat inilah yang dijadikan sebagai pendapat Mazhab Hambali oleh para ulama Mazhab Hambali. Pendapat ini pula yang dipilih oleh Al-Kharqi, dalam bukunya Mukhtashar Al-Kharqi. Mereka beralasan bahwa kucing itu memiliki manfaat. Mereka menafsirkan hadis yang berisi larangan jual beli kucing dengan larangan menjual kucing milik orang lain, atau kucing yang tidak memiliki manfaat. Ada juga yang menjelaskan bahwa larangan yang dimaksudkan adalah larangan makruh, bukan haram. Masih ada penafsiran lain yang diberikan oleh mayoritas ulama untuk hadis ini.

Yang benar, adalah pendapat yang mengharamkan jual beli kucing, karena dasar pendapat ini adalah sebuah hadis yang sahih, dan tidak dijumpai hadis lain yang menyelisihinya, sehingga kita semua wajib berpendapat sejalan dengan isi hadis tersebut.

Al-Baihaqi mengatakan, 'Mengikuti kandungan hadis adalah (sikap) yang lebih baik. Seandainya Imam Syafi'i mendengar hadis yang ada dalam masalah ini, tentu beliau akan berpendapat sejalan dengan isi kandungannya, insya Allah.'

Sedangkan, pendapat yang kedua itu telah memalingkan makna hadis dari makna gamblang yang (dapat) ditangkap. Berpendapat sejalan dengan makna hadis yang umum, itulah yang lebih kuat." (Minhah Al-'Allam, jilid 6, hlm. 41)

Artikel www.PengusahaMuslim.com