رَبِّ اغْفِرْ لِي وَهَبْ لِي مُلْكًا لا يَنْبَغِي لأحَدٍ مِنْ بَعْدِي إِنَّكَ أَنْتَ الْوَهَّابُ


"Ya Rabb-ku, ampunilah aku, dan anugerahkanlah kepadaku kerajaan, yang tidak dimiliki oleh seorangpun juga sesudahku, sesungguhnya Engkaulah Yang Maha pemberi’."
Tampilkan postingan dengan label Hadist. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Hadist. Tampilkan semua postingan

Senin, 02 November 2015

Keutamaan Mencintai Orang Miskin



Ada sebuah do’a yang diajarkan oleh Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam yang isinya: Allahumma inni as-aluka fi’lal khoiroot wa tarkal munkaroot wa hubbal masaakiin … (Ya Allah, aku memohon kepada-Mu untuk mudah melakukan kebaikan dan meninggalkan kemungkaran serta aku memohon pada-Mu sifat mencintai orang miskin). Dari do’a ini saja menunjukkan keutamaan seorang muslim mencintai orang miskin. Lalu kenapa sampai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya berdo’a sedemikian rupa? Apa gerangan dengan si miskin?
Mencintai orang miskin adalah tanda ikhlasnya cinta seseorang. Karena apa yang dia harap dari si miskin? Si miskin tidak memiliki materi atau harta yang banyak. Beda halnya dengan seseorang mencintai orang kaya, pasti ada maksud, ada udang di balik batu. Dan kadang maksud mencintai orang kaya tadi tidak ikhlas. Inilah di antara alasan kenapa Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan do’a yang demikian kepada kita.

Mari kita lihat penjelasan mengenai hadits yang kami maksudkan di atas. Dalam hadits qudsi, Allah Ta’ala berfirman,

اللَّهُمَّ إِنِّى أَسْأَلُكَ فِعْلَ الْخَيْرَاتِ وَتَرْكَ الْمُنْكَرَاتِ وَحُبَّ الْمَسَاكِينِ وَأَنْ تَغْفِرَ لِى وَتَرْحَمَنِى وَإِذَا أَرَدْتَ فِتْنَةَ قَوْمٍ فَتَوَفَّنِى غَيْرَ مَفْتُونٍ أَسْأَلُكَ حُبَّكَ وَحُبَّ مَنْ يُحِبُّكَ وَحُبَّ عَمَلٍ يُقَرِّبُ إِلَى حُبِّكَ

“Wahai Muhammad, jika engkau shalat, ucapkanlah do’a: Allahumma inni as-aluka fi’lal khoiroot wa tarkal munkaroot wa hubbal masaakiin, wa an taghfirolii wa tarhamanii, wa idza arodta fitnata qowmin fatawaffanii ghoiro maftuunin. As-aluka hubbak wa hubba maa yuhibbuk wa hubba ‘amalan yuqorribu ilaa hubbik (Ya Allah, aku memohon kepada-Mu untuk mudah melakukan kebaikan dan meninggalkan kemungkaran serta aku memohon pada-Mu supaya bisa mencintai orang miskin, ampunilah (dosa-dosa)ku, rahmatilah saya, jika Engkau menginginkan untuk menguji suatu kaum maka wafatkanlah saya dalam keadaan tidak terfitnah. Saya memohon agar dapat mencintai-Mu, mencintai orang-orang yang mencintai-Mu dan mencintai amal yang dapat mendekatkan diriku kepada cinta-Mu)”. Dalam lanjutan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan, “Ini adalah benar. Belajar dan pelajarilah”. (HR. Tirmidzi no. 3235 dan Ahmad 5: 243. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).

Kandungan Do’a yang Penuh Berkah

Do’a yang penuh berkah di atas berisi berbagai macam permintaan dan menunjukkan kesempurnaan serta menjelaskan pula agungnya do’a yang diminta. Di dalamnya berisi permintaan agar diberi taufik untuk melaksanakan kebaikan dari berbagai macam amalan sholeh. Begitu pula di dalamnya berisi permintaan agar seorang muslim dijauhkan dari perbuatan munkar dan kejelekan. Juga di dalamnya seorang muslim meminta agar tidak terkena fitnah dan kerusakan dalam agama, hal dunia, dan saat hari pembalasan. Oleh karenanya, sudah sepatutnya seorang muslim memperbanyak do’a tersebut. Hendaklah pula ia memahami maksudnya, lalu mengamalkan isinya. Siapa saja yang mempelajari dan mengamalkan isi kandungan do’a tersebut niscaya ia akan meraih kebahagiaan di dunia, alam barzakh dan di akhirat.

Yang menunjukkan agungnya do’a di atas, sampai-sampai Allah Ta’ala memerintahkan pada Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk memanjatkan do’a tersebut ketika beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat-Nya dalam mimpi sebagaimana disebutkan dalam kisah di awal hadits.
Meminta Seluruh Kebaikan

Pertama, do’a di atas berisi meminta segala macam kebaikan dan meminta agar dijauhkan dari berbagai kemungkaran. Yang namanya kebaikan adalah segala hal yang Allah cintai berupa perkataan dan perbuatan, baik amalan wajib maupun amalan sunnah. Sedangkan kejelekan adalah setiap yang Allah benci berupa perkataan dan perbuatan.

Siapa saja yang mendapatkan kebaikan yang diminta dalam do’a ini, maka ia telah meraih kebaikan di dunia dan akhirat. Inilah do’a yang jaami’, ringkas namun syarat makna. Do’a yang jaami’ seperti inilah yang beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam sukai.  Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata,

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسْتَحِبُّ الْجَوَامِعَ مِنْ الدُّعَاءِ وَيَدَعُ مَا سِوَى ذَلِكَ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyukai doa-doa yang singkat padat, dan meninggalkan selain itu.” (HR. Abu Daud no. 1482, dikatakan shahih oleh Syaikh Al Albani). Hendaklah kita membiasakan membaca do’a yang memiliki sifat demikian, apalagi yang langsung diajarkan atau dituntukan dalam Al Qur’an dan hadits Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Keutamaan Mencintai Orang Miskin

Pertama: Mencintai orang miskin termasuk kebaikan
Mencintai orang miskin termasuk kebaikan. Dalam do’a yang diajarkan di atas, mencintai orang miskin disebutkan secara tersendiri dan ini menunjukkan pentingnya amalan ini, di samping menunjukkan kemuliaannya.

Kedua: Mencintai orang miskin dan dekat dengan mereka akan memudahkan hisab seorang muslim pada hari kiamat

Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ نَفَّسَ عَنْ مُؤْمِنٍ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُّنْيَا نَفَّسَ اللهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ، وَمَنْ يَسَّرَ عَلَى مُعْسِرٍ يَسَّرَ اللهُ عَلَيْهِ فِي الدُّنْيَا وَاْلآخِرَةِ…

“Barangsiapa menghilangkan satu kesusahan dunia dari seorang mukmin, Allah akan menghilangkan darinya satu kesusahan di hari Kiamat. Dan barangsiapa yang memudahkan kesulitan orang yang dililit hutang, Allah akan memudahkan atasnya di dunia dan akhirat ” (HR. Muslim no. 2699).
Dalam hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berdo’a agar bisa menjadi bagian dari orang miskin (karena tawadhu’nya beliau) bahkan bisa berkumpul dengan mereka di hari kiamat karena orang miskin-lah yang mudah dihisab di hari kiamat. Mereka tidak memiliki banyak harta dibanding orang kaya, sehingga mereka lebih dahulu masuk surga. Bukti bahwa sedikit harta akan sedikit hisabnya adalah pada hadits Mahmum bin Labid, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

اثْنَتَانِ يَكْرَهُهُمَا ابْنُ آدَمَ الْمَوْتُ وَالْمَوْتُ خَيْرٌ لِلْمُؤْمِنِ مِنَ الْفِتْنَةِ وَيَكْرَهُ قِلَّةَ الْمَالِ وَقِلَّةُ الْمَالِ أَقُلُّ لِلْحِسَابِ

“Dua hal yang tidak disukai oleh manusia:  kematian, padahal kematian itu baik bagi muslim tatkala fitnah melanda, dan yang tidak disukai pula adalah sedikit harta, padahal sedikit harta akan menyebabkan manusia mudah dihisab (pada hari kiamat)” (HR. Ahmad 5: 427. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini jayyid)

Ketiga: Dekat dengan orang miskin berarti semakin dekat dengan Allah pada hari kiamat
Dalam hadits Anas bin Malik, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

قَالَ « اللَّهُمَّ أَحْيِنِى مِسْكِينًا وَأَمِتْنِى مِسْكِينًا وَاحْشُرْنِى فِى زُمْرَةِ الْمَسَاكِينِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ». فَقَالَتْ عَائِشَةُ لِمَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ « إِنَّهُمْ يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ قَبْلَ أَغْنِيَائِهِمْ بِأَرْبَعِينَ خَرِيفًا يَا عَائِشَةُ لاَ تَرُدِّى الْمِسْكِينَ وَلَوْ بِشِقِّ تَمْرَةٍ يَا عَائِشَةُ أَحِبِّى الْمَسَاكِينَ وَقَرِّبِيهِمْ فَإِنَّ اللَّهَ يُقَرِّبُكِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ »

“Ya Allah, hidupkanlah aku dalam keadaan miskin, matikanlah aku dalam keadaan miskin dan kumpulkanlah aku bersama dengan orang-orang miskin pada hari kiamat”. ‘Aisyah berkata, “Mengapa –wahai Rasulullah- engkau meminta demikian?” “Orang-orang miskin itu masuk ke dalam surga 40 tahun sebelum orang-orang kaya. Wahai ‘Aisyah, janganlah engkau menolak orang miskin walau dengan sebelah kurma. Wahai ‘Aisyah, cintailah orang miskin dan dekatlah dengan mereka karena Allah akan dekat dengan-Mu pada hari kiamat”, jawab Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam (HR. Tirmidzi no. 2352. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih). Lihatlah bagaimana sampai Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam mendorong ‘Aisyah untuk mencintai dan dekat dengan orang miskin. Karena keutamaannya, seseorang akan semakin dekat dengan Allah pada hari kiamat. Namun patut diingat, Mencintai orang-orang miskin dan dekat dengan mereka, yaitu dengan membantu dan menolong mereka. Jadi bukan hanya sekedar dekat dengan mereka.

Catatan: Adapun maksud do’a yang disebutkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas adalah agar Allah Ta’ala memberikan sifat tawadhu` dan rendah hati, serta agar tidak termasuk orang-orang yang sombong lagi zhalim maupun orang-orang kaya yang melampaui batas. Makna hadits ini bukanlah meminta agar beliau menjadi orang miskin, sebagaimana yang dijelaskan oleh Ibnu Atsir rahimahullah, bahwa kata “miskin” dalam hadits di atas adalah tawadhu’. Sebab, di dalam hadits yang lain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berlindung dari kefakiran.

Keempat: Mencintai orang miskin adalah landasan kecintaan pada Allah
Para ulama menjelaskan bahwa mencintai orang miskin adalah landasan kecintaan pada Allah. Karena orang miskin tidaklah memiliki materi dibanding orang kaya. Namun seseorang harus mencintai si miskin itu karena Allah, artinya semakin si miskin itu beriman, ia pun semakin menaruh cinta padanya. Dari Abu Umamah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ أَحَبَّ لِلَّهِ وَأَبْغَضَ لِلَّهِ وَأَعْطَى لِلَّهِ وَمَنَعَ لِلَّهِ فَقَدِ اسْتَكْمَلَ الإِيمَانَ

“Barangsiapa yang mencintai karena Allah, membenci karena-Nya, memberi karena-Nya, dan tidak memberi juga karena-Nya, maka ia telah sempurna imannya” (HR. Abu Daud no. 4681, Tirmidzi no. 2521, dan Ahmad 3: 438. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).
Kelima: Mencintai orang miskin termasuk dalam wasiat Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berwasiat pada Abu Dzar Al Ghifari di mana Abu Dzar berkata,

أَوْصَانِيْ خَلِيْلِي بِسَبْعٍ : بِحُبِّ الْمَسَاكِيْنِ وَأَنْ أَدْنُوَ مِنْهُمْ، وَأَنْ أَنْظُرَ إِلَى مَنْ هُوَ أَسْفَلُ مِنِّي وَلاَ أَنْظُرَ إِلَى مَنْ هُوَ فَوقِيْ، وَأَنْ أَصِلَ رَحِمِيْ وَإِنْ جَفَانِيْ، وَأَنْ أُكْثِرَ مِنْ لاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ، وَأَنْ أَتَكَلَّمَ بِمُرِّ الْحَقِّ، وَلاَ تَأْخُذْنِيْ فِي اللهِ لَوْمَةُ لاَئِمٍ، وَأَنْ لاَ أَسْأَلَ النَّاسَ شَيْئًا.

“Kekasihku (Rasulullah) shallallahu ‘alaihi wa sallam berwasiat kepadaku dengan tujuh hal: (1) supaya aku mencintai orang-orang miskin dan dekat dengan mereka, (2) beliau memerintahkan aku agar aku melihat kepada orang yang berada di bawahku dan tidak melihat kepada orang yang berada di atasku, (3) beliau memerintahkan agar aku menyambung silaturahmiku meskipun mereka berlaku kasar kepadaku, (4) aku dianjurkan agar memperbanyak ucapan laa hawla wa laa quwwata illa billah (tidak ada daya dan upaya kecuali dengan pertolongan Allah), (5) aku diperintah untuk mengatakan kebenaran meskipun pahit, (6) beliau berwasiat agar aku tidak takut celaan orang yang mencela dalam berdakwah kepada Allah, dan (7) beliau menasehatiku agar tidak meminta-minta sesuatu pun kepada manusia” (HR. Ahmad 5: 159. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini shahih).

Keenam: Memperjuangkan kehidupan orang miskin termasuk jihad di jalan Allah
Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

السَّاعِى عَلَى اْلأَرْمَلَةِ وَالْمِسْكِيْنِ كَالْمُجَاهِدِ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ –وَأَحْسِبُهُ قَالَ-: وَكَالْقَائِمِ لاَ يَفْتُرُ وَكَالصَّائِمِ لاَ يُفْطِرُ.

“Orang yang membiayai kehidupan para janda dan orang-orang miskin bagaikan orang yang berjihad fii sabiilillaah.” –Saya (perawi) kira beliau bersabda-, “Dan bagaikan orang yang shalat tanpa merasa bosan serta bagaikan orang yang berpuasa terus-menerus” (HR. Muslim no. 2982).

Ketujuh: Menolong orang miskin akan mudah memperoleh rizki dan pertolongan Allah, serta akan mudah mendapatkan barokah do’a mereka.

Dengan menolong orang-orang miskin dan lemah, kita akan memperoleh rezeki dan pertolongan dari Allah subhanahu wa ta’ala. Dalam hadits disebutkan bahwa Sa’ad menyangka bahwa ia memiliki kelebihan dari sahabat lainnya karena melimpahnya dunia pada dirinya, lantas Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

هَلْ تُنْصَرُوْنَ وَتُرْزَقُوْنَ إِلاَّ بِضُعَفَائِكُمْ

“Kalian hanyalah mendapat pertolongan dan rezeki dengan sebab adanya orang-orang lemah dari kalangan kalian” (HR. Bukhari no. 2896).

Dalam lafazh lain disebutkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّمَا يَنْصُرُ اللهُ هَذَهِ اْلأُمَّةَ بِضَعِيْفِهَا: بِدَعْوَتِهِمْ، وَصَلاَتِهِمْ، وَإِخْلاَصِهِمْ.

“Sesungguhnya Allah menolong ummat ini dengan sebab orang-orang lemah mereka di antara mereka, yaitu dengan doa, shalat, dan keikhlasan mereka” (HR. An Nasai no. 3178. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)

Ibnu Baththol berkata, “Ibadah orang-orang lemah dan doa mereka lebih ikhlas dan lebih terasa khusyu’ karena mereka tidak punya ketergantungan hati pada dunia dan perhiasannya. Hati mereka pun jauh dari yang lain kecuali dekat pada Allah saja. Amalan mereka bersih dan do’a mereka pun mudah diijabahi (dikabulkan)”. Al Muhallab berkata, “Yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam maksudkan adalah dorongan bagi Sa’ad agar bersifat tawadhu’, tidak sombong dan tidak usah menoleh pada harta yang ada pada mukmin yang lain” (Lihat Syarh Al Bukhari li Ibni Baththol, 9: 114).
Kedelapan: Memiliki sifat tawadhu’ dan qona’ah
Orang yang mencintai si miskin akan memberikan pengaruh baik pada dirinya yaitu semakin tawadhu’ (rendah diri) dan selalu merasa cukup (qona’ah) karena ia selalu memperhatikan bahwa ternyata Allah masih memberinya kelebihan materi dari yang lainnya. Inilah sifat mulia yang diajarkan Islam pada umatnya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

انْظُرُوا إِلَى مَنْ أَسْفَلَ مِنْكُمْ وَلاَ تَنْظُرُوا إِلَى مَنْ هُوَ فَوْقَكُمْ فَهُوَ أَجْدَرُ أَنْ لاَ تَزْدَرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ

“Pandanglah orang yang berada di bawahmu (dalam masalah harta dan dunia) dan janganlah engkau pandang orang yang berada di atasmu (dalam masalah ini). Dengan demikian, hal itu akan membuatmu tidak meremehkan nikmat Allah padamu” (HR. Muslim no. 2963).

Siapa Si Miskin yang Patut Dicintai?

Perlu dipahami, siapa orang miskin yang pantas dicintai? Tentu saja bukan orang miskin yang musyrik. Tentu saja bukan orang yang sering meninggalkan shalat, atau yang lebih parah tidak pernah shalat. Tentu saja bukan yang malas puasa wajib di bulan Ramadhan. Tentu saja bukan yang gemar melakukan ajaran yang tidak ada tuntunan dalam Islam. Yang patut dicintai adalah seorang muslim yang taat. Begitu pula bukanlah masuk kategori miskin jika malas-malasan kerja, yang hanya menjadikan meminta-minta di jalan sebagai profesi harian. Pahamilah hadits berikut, yaitu dari Abu Hurairah, ia berkata bahwa Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَيْسَ الْمِسْكِينُ الَّذِى تَرُدُّهُ الأُكْلَةُ وَالأُكْلَتَانِ ، وَلَكِنِ الْمِسْكِينُ الَّذِى لَيْسَ لَهُ غِنًى وَيَسْتَحْيِى أَوْ لاَ يَسْأَلُ النَّاسَ إِلْحَافًا

“Namanya miskin bukanlah orang yang tidak menolak satu atau dua suap makanan. Akan tetapi miskin adalah orang yang tidak punya kecukupan, lantas ia pun malu atau tidak meminta dengan cara mendesak” (HR. Bukhari no. 1476).

Ya Allah, berilah kami sifat mencintai orang miskin dan menjadi mujahid di jalan Allah dengan memperjuangkan dan menolong mereka.

اللَّهُمَّ إِنِّى أَسْأَلُكَ فِعْلَ الْخَيْرَاتِ وَتَرْكَ الْمُنْكَرَاتِ وَحُبَّ الْمَسَاكِينِ
Ya Allah, aku memohon kepada-Mu untuk mudah melakukan kebaikan dan meninggalkan kemungkaran serta aku memohon pada-Mu supaya bisa mencintai orang miskin.



Rumasyo

Minggu, 01 November 2015

Waspadai Kebiasaan Berbohong



Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Malik terdapat sebuah dialog antara seorang sahabat dengan Rasulullah shollallahu ’alaih wa sallam. Lengkapnya sebagai berikut:


و حَدَّثَنِي مَالِك عَنْ صَفْوَانَ بْنِ سُلَيْمٍ أَنَّهُ قَالَ قِيلَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيَكُونُ الْمُؤْمِنُ جَبَانًا فَقَالَ نَعَمْ فَقِيلَ لَهُ أَيَكُونُ الْمُؤْمِنُ بَخِيلًا فَقَالَ نَعَمْ فَقِيلَ لَهُ أَيَكُونُ الْمُؤْمِنُ كَذَّابًا فَقَالَ لَا

Telah menceritakan kepadaku Malik dari Shafwan bin Sulaim berkata; “Ditanyakan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, “Apakah seorang mukmin bisa menjadi penakut?” Beliau menjawab: ‘Ya.” Kemudian ditanya lagi; “Apakah seorang mukmin bisa menjadi bakhil?” Beliau menjawab: “Ya.” Lalu ditanyakan lagi; “Apakah seorang mukmin bisa menjadi pembohong?” Beliau menjawab: “Tidak.” (HR. Imam Malik No. 1571)

Berdasarkan hadits itu jelas bahwa Nabi shollallahu ’alaih wa sallam memaklumi jika seorang mukmin memiliki sifat sebagai penakut. Begitu pula Nabi shollallahu ’alaih wa sallam masih memaklumi jika seorang mukmin memiliki sifat bakhil. Namun Nabi shollallahu ’alaih wa sallam samasekali tidak membenarkan seorang mukmin menjadi seorang pembohong alias pendusta. Mengapa demikian?

Di dalam berbagai penjelasan –baik ayat Al-Qur’an maupun hadits Nabi shollallahu ’alaih wa sallam- selalu saja sifat kaum munafiqun dikaitkan dengan kebiasaan berdusta. Berdusta merupakan trademark utama kaum munafiqun.

إِذَا جَاءَكَ الْمُنَافِقُونَ قَالُوا نَشْهَدُ إِنَّكَ لَرَسُولُ اللَّهِ وَاللَّهُ يَعْلَمُ إِنَّكَ لَرَسُولُهُ وَاللَّهُ يَشْهَدُ إِنَّ الْمُنَافِقِينَ لَكَاذِبُونَ

“Apabila orang-orang munafik datang kepadamu, mereka berkata: “Kami mengakui, bahwa Sesungguhnya kamu benar-benar Rasul Allah”. dan Allah mengetahui bahwa Sesungguhnya kamu benar-benar Rasul-Nya; dan Allah mengetahui bahwa Sesungguhnya orang-orang munafik itu benar-benar orang pendusta.” (QS. Al-Munafiqun [63] : 1)

عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَرْبَعٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ كَانَ مُنَافِقًاأَوْ كَانَتْ فِيهِ خَصْلَةٌ مِنْ أَرْبَعَةٍ كَانَتْ فِيهِ خَصْلَةٌ مِنْ النِّفَاقِ حَتَّى يَدَعَهَا إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ وَإِذَا عَاهَدَ غَدَرَ وَإِذَا خَاصَمَ فَجَرَ

Dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Ada empat hal yang bila ada pada seseorang berarti dia adalah munafiq atau siapa yang memiliki empat kebiasaan (tabi’at) berarti itu tabiat munafiq sampai dia meninggalkannya, yaitu jika berbicara dusta, jika berjanji ingkar, jika membuat kesepakatan khiyanat dan jika bertengkar (ada perselisihan) maka dia curang”. (HR. Bukhari No. 2279)

Oleh karenanya, sudah sepatutnya orang-orang beriman mewaspadai sifat dan kebiasaan berdusta. Karena jika seseorang sudah mulai terbiasa berdusta, maka ia akan distempel Allah menjadi seorang pendusta. Dan pada gilirannya hal ini bisa menceburkan dirinya ke dalam golongan kaum munafiqun. Dan sebaliknya, jika ia membiasakan diri untuk selalu berlaku benar atau jujur, niscaya ia akan dicap oleh Allah sebagai lelaki yang jujur, sehingga ia bakal digolongkan ke dalam kelompok orang beriman sejati.


عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِي إِلَى الْبِرِّ وَإِنَّ الْبِرَّ يَهْدِي إِلَى الْجَنَّةِ وَإِنَّ الرَّجُلَ لَيَصْدُقُ حَتَّى يَكُونَ صِدِّيقًاوَإِنَّ الْكَذِبَ يَهْدِي إِلَى الْفُجُورِ وَإِنَّ الْفُجُورَ يَهْدِي إِلَى النَّارِ وَإِنَّ الرَّجُلَ لَيَكْذِبُ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ كَذَّابًا

Telah menceritakan kepada kami Utsman bin Abu Syaibah telah menceritakan kepada kami Jarir dari Manshur dari Abu Wa`il dari Abdullah radliallahu ‘anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam beliau bersabda: “Sesungguhnya kejujuran akan membimbing pada kebaikan, dan kebaikan itu akan membimbing ke surga, sesungguhnya jika seseorang yang senantiasa berlaku jujur hingga ia akan dicatat sebagai orang yang jujur. Dan sesungguhnya kedustaan itu akan mengantarkan pada kejahatan, dan sesungguhnya kejahatan itu akan menggiring ke neraka. Dan sesungguhnya jika seseorang yang selalu berdusta sehingga akan dicatat baginya sebagai seorang pendusta.” (HR. Bukhari No. 5629)


Saudaraku, dalam kehidupan modern dimana fitnah sedemikian mewabah, sangatlah sulit menemukan sifat jujur di tengah masyarakat. Sebaliknya, sangat mudah kita jumpai sifat berdusta di sekeliling kita. Sedemikian langkanya sifat jujur sehingga kita sering mendengar orang berkata: ”Mana bisa maju kalau kita berlaku jujur terus….. Sudahlah, bersikap realistik sajalah. Kita kadang-kala memang perlu berbohong…!” Malah, terkadang kita mendengar orang dengan yakinnya berkata: ”Hanya dengan berbohonglah kita bakal berhasil di dunia…!”
Orang yang hidup penuh dusta akan menjadi orang yang senantiasa dilanda keraguan. Sedangkan orang yang hidup selalu berlaku jujur pasti akan memiliki ketenteraman di dalam hatinya, walaupun ia berresiko dikucilkan. Demikianlah janji Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.


قَالَ حَفِظْتُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَعْ مَا يَرِيبُكَ إِلَى مَا لَا يَرِيبُكَ فَإِنَّ الصِّدْقَ طُمَأْنِينَةٌ وَإِنَّ الْكَذِبَ رِيبَةٌ

Dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam: “Tinggalkan yang meragukanmu kepada sesuatu yang tidak meragukanmu karena kejujuran itu ketenangan dan dusta itu keraguan.” (HR. Tirmidzi No. 2442)

Saudaraku, waspadailah kebiasaan berdusta yang menjadi ciri utama kaum munafiqun. Sebab inilah kelompok manusia yang paling merugi kelak. Mereka bukan saja bakal bernasib sama dengan kaum kafir, yaitu masuk ke dalam azab Allah neraka yang menyala-nyala. Tetapi mereka bahkan dimasukkan ke dalam neraka dengan berada di kapling paling berat siksanya. Dan mereka kekal di dalamnya, tanpa ada fihak yang bisa menolong.


إِنَّ الْمُنَافِقِينَ فِي الدَّرْكِ الأسْفَلِ مِنَ النَّارِ وَلَنْ تَجِدَ لَهُمْ نَصِيرًا

”Sesungguhnya orang-orang munafik itu (ditempatkan) pada tingkatan yang paling bawah dari neraka. dan kamu sekali-kali tidak akan mendapat seorang penolongpun bagi mereka.” (QS. An-Nisa [4] : 145)



ERAMUSLIM

Kamis, 09 Oktober 2014

Sungai Eufrat, Gunung Emas, dan Hari Kiamat




Rasulullah SAW bersabda, :

‘’Hari Kiamat tak akan terjadi sebelum Sungai Eufrat mengering dan menyingkapkan 'Gunung Emas' yang mendorong manusia berperang. 99 dari 100 orang akan tewas (dalam pertempuran), dan setiap dari mereka berkata,  ‘Mungkin aku satu-satunya yang akan tetap hidup’.’’
(HR Bukhari)

Dalam riwayat lainnya, Rasulullah bersabda, :

‘’Sudah dekat suatu masa di mana sungai Eufrat akan menjadi surut airnya lalu ternampak perbendaharaan daripada emas, maka barang siapa yang hadir di situ janganlah ia mengambil sesuatu pun daripada harta itu.’’
(HR Bukhari Muslim)

Imam Bukhari juga  meriwayatkan hadis lainnya, Rasulullah SAW bersabda, ‘’Segera Sungai Eufrat akan memperlihatkan kekayaan (gunung) emas, maka siapa pun yang berada pada waktu itu tidak akan dapat mengambil apa pun darinya. Imam Abu Dawud juga meriwayatkan hadis yang sama.

Dalam hadis itu, Rasulullah pernah  bersabda, bahwa sungai yang mengalir di tiga negara besar, Turki, Suriah, dan Irak itu pada saatnya nanti akan menyingkapkan harta karun yang besar berupa gunung emas. Selain itu, dalam kitab Al-Burhan fi `Alamat al-Mahdi Akhir az-Zaman, diungkapkan bahwa keringnya sungai Eufrat merupakan saat datangnya Al-Mahdi sebagai akhir zaman.

Hadis di atas membicarakan tentang Sungai Eufrat. Dalam bahasa Arab dikenal dengan nama Al-Furat atau air paling segar. Menurut Dr Syauqi Abu Khalil dalam Athlas Al-Hadith Al-Nabawi, Eufrat adalah sungai yang mengalir dari timur laut Turki.

‘’Sungai itu membelah pengunungan Toros, lalu melewati Suriah di kota Jarablus, melewati Irak di kota al-Bukmal, dan bertemu Sungai Tigris di Al-Qurnah yang bermuara di Teluk Arab,’’  ujar Dr Syauqi. Panjang sungai itu mencapai 2.375 kilometer. Dua anak sungainya, yakni Al-Balikh dan  Al-Khabur sudah mengering.

                                                                  ***


Pada saat Nabi Muhammad SAW memprediksi masa depan Sungai Eufrat lewat sabdanya, wilayah subur di daerah mediterania itu masih dikuasai oleh dua kekuatan besar, Persia dan Bizantium. Sungai Eufrat adalah garis batas alami dari dua kerajaan tersebut.

Selain berada di kawasan Suriah  dan Iran, kekuasaan Persia ternyata juga mencakup daerah Yaman hingga daerah disekitar Laut Merah. Sedangkan Bizantium mencakup sebagian Suriah (bagian utara) dan Turki hingga ke Eropa.

Seiring perkembangan zaman, dengan kebangkitan Islam dan bersatunya daerah-daerah di Arab, dua kekuasaan besar itu mau tidak mau menjadi terpengaruh. Islam menjadi kekuatan baru dan mulai menunjukan taringnya pada masa Khalifah Abu Bakar.

Gesekan pun mulai terjadi. Persia maupun Bizantium tidak bisa lagi menganggap enteng kekuatan negara Islam.  Kaisar Persia sempat mengirimkan pasukan untuk menyerang Madinah. Bizantium juga menyerang kawasan utara kekuasaan negara Islam, yang mengakibatkan terbunuhnya Jenderal Muslim, Zaid bin Haris.

Pasukan Islam mulai menggenggam kemenangan pada masa Khalifah Umar bin Khattab. Saat itu, kekuatan negara Islam berada d iatas dua kerajaan besar yang sudah ada sebelumnya itu. Selama 10 tahun, beragam pencapaian dalam dunia militer didapatkan.

Pergerakan ke Suriah, negara yang dilintasi Sungai Eufrat, dimulai pada era Umar. Sebagaian daerah yang sebelumnya dikuasai oleh Bizantium akhirnya berhasil ditaklukkan kekuatan pasukan Muslim.

Sementara itu, Persia merasa khawatir. Mereka sudah kehilangan kekuatan pada kawasan perbatasn di sebelah barat Sungai Eufrat. Bebeberapa peperangan pun terjadi antara Kerajaan Persia dan pasukan Muslim. Pada akhirnya, Persia berhasil tunduk di bawah kekuasaan pemerintahan Islam.

Wilayah itu kemudian menjadi salah satu bagian penting bagi penyebaran agama dan peradaban Islam di seluruh dunia. Penaklukan terhadap Persia inilah yang juga menandai awal mula peradaban Islam di sisi sungai Eufrat.

                                                                  ***

Khalifah Umar bin Khattab kemudian membentuk wilayah-wilayah administratif untuk memudahkan proses pemerintahan. Beberapa wilayah itu adalah Makkah, Madinah, Syuriah, Jazirah (wilayah diantara Sungai Tigris dan Eufrat di Irak), Basrah, Khurasan, Azerbaizan, Persia, dan Mesir. Setiap gubernur di tempatkan di daerah itu.

 Mereka bertanggung jawab pada sang Khalifah. Pada masa-masa inilah, agama Islam juga menjadi kuat di daerah-daerah tersebut. Berkat kepemimpinan Umar, Islam sampai saat ini masih menjadi ideologi dan peradaban penting di daerah sekitar Sungai Eufrat. Namun dalam perkembangannya, apa yang telah diramalkan oleh Nabi Muhammad sepertinya mulai muncul.

Berbagai polemik soal ketersediaan air dari sungai tersebut selalu mencuat di antara tiga negara yang dilaluinya. Pembangunan DAM selalu menjadi permasalahan bagi negara-negara tersebut. Pembuatan DAM di Turki berpengaruh pada debet air yang mengalir di Suriah.

Pembuatan DAM di Suriah akan mempengaruhi air yang sampai di Irak. Meskipun belum sampai pada tahap peperangan, tetapi perdebatan soal air ini masih saja terjadi. Banyak orang mulai khawatir, bahwa ramalan Nabi Muhammad pada akhirnya menjadi kenyataan.

Ramalan itu telah disebutkan dalam hadis di atas, yakni Sungai Eufrat menjadi kering dan terjadi peperangan setelahnya. Kekhawatiran ini tampak dari banyaknya laman-laman yang mengungkap tanda-tanda akhir zaman terkait dengan keringnya sungai yang berakhir di Teluk Persia itu.


Selasa, 07 Oktober 2014

Hari Yang Panjang Dimasa Dajjal




Dari beberapa hadis dapat di jelaskan bahwa dalam masa kehidupan dajjal nantinya ada tiga hari yang panjang seperti hadis berikut ini.

“Kami bertanya kepada Rasulullah: ‘Wahai Rasulullah, berapa lama ia hidup dan tinggal di muka bumi?’. Beliau bersabda: ‘Selama empat puluh hari. Sehari seperti satu tahun, sehari seperti laksana satu bulan, sehari seperti satu pekan, lalu seluruh hari harinya seperti hari hari kalian’. Kami  kemudian bertanya kepada Rasulullah: ‘Wahai Rasulullah, sehari yang seperti satu tahun itu, apakah kita cukup shalat sehari saja?’. Jawab Rasul: ‘Tidak, tapi ukurlah seperti hari hari biasa’,” 
(HR Muslim).

Hadis tersebut sudah sedemikian jelasnya, hanya saja sebagian mereka mereka menolak hadis tersebut dikarenakan dianggap tidak masuk akal. Dalam masa hidup dajjal yang hanya 40 hari, ada tiga hari yang panjang, ada satu hari yang panjang seperti satu tahun, ada yang seperti satu bulan dan ada yang seperti satu minggu. Panjang di sini tentu panjang yang hakiki, dan bukan panjang secara kiasan, apalagi mengingkari hadis tersebut.

Jika seandainya bukan secara lahiriah yang harus dipahami, maka artinya apa pertayaan sahabat tersebut? Bahwasanya pertayaan itu lahir atas keyakinan sahabat terhadap apa yang Rasulullah katakan. Dan jawaban beliau membuktikan bahwa memang secara lahiriahlah yang Allah maksudkan. Jika bukan, tentunya beliau tidak akan menjawab seperti itu, dan pastinya akan menjelaskan kepada mereka bahwa pemahaman mereka salah.

Lantas, bagaimana satu contoh hari yang panjang seperti satu tahun? Mengenai hal ini ada dua kemungkinan. Pertama, matahari berjalan lambat sehingga untuk mencapai titik yang sama diperlukan waktu satu tahun. Kedua, matahari berhenti berputar mengelilingi bumi hingga berputar kembali setelah masa yang dijelaskan Rasulullah. Jika kita lihat hadis-hadis  shahih, maka sepertinya kita tak akan menjumpainya. Sedangkan jika dilihat dari hadis hadis yang dhaif, maka matahari berhenti berputar. Terlepas dari semua itu, yang jelas Rasulullah memerintahkan kita agar shalat disesuaikan.

Begitu juga terlepas dari itu semua, apakah matahari berhenti berputar atau matahari berjalan lambat, yang jelas itu semua jauh lebih mengerikan daripada sekadar matahari terbit dari barat. oleh karena itulah ada beberapa hadis shahih yang menjelaskan bahwa yang pertama kali terjadi dari sepuluh tanda kiamat besar adalah terbitnya matahari dari barat. Oleh karena itu pula Rasulullah menjelaskan bahwa ada tiga hal yang apabila hal itu terjadi, maka tidak akan diterima orang yang baru beriman dan yang belum sempat mengusahakan kebaikan dalam masa imannya. Wallahu a’lam.


Islampos

Minggu, 07 September 2014

Hukum Nikah Bagi Perempuan Yang Dalam Keadaan Hamil

 

Bahwa banyak perempuan yang menikah ketika sedang berbadan dua. Bagaimana Islam memandangnya?

Perempuan yang dinikahi dalam keadaan hamil ada dua macam :

Satu : Perempuan yang diceraikan oleh suaminya dalam keadaan hamil.

Dua : Perempuan yang hamil karena melakukan zina sebagaimana yang banyak terjadi di zaman ini –Wal ‘iyadzu billah- mudah-mudahan Allah menjaga kita dan seluruh kaum muslimin dari dosa terkutuk ini.

Adapun perempuan hamil yang diceraikan oleh suaminya, tidak boleh dinikahi sampai lepas ‘iddah nya. Dan ‘iddah-nya ialah sampai ia melahirkan sebagaimana dalam firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala :


وَ اللاَّئي‏ يَئِسْنَ مِنَ الْمَحيضِ مِنْ نِسائِكُمْ إِنِ ارْتَبْتُمْ فَعِدَّتُهُنَّ ثَلاثَةُ أَشْهُرٍ وَ اللاَّئي‏ لَمْ يَحِضْنَ وَ أُولاتُ الْأَحْمالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ وَ مَنْ يَتَّقِ اللهَ يَجْعَلْ لَهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْراً

 “Dan perempuan-perempuan yang hamil waktu ‘iddah mereka sampai mereka melahirkan kandungannya,” (QS. Ath-Tholaq : 4).

Dan hukum menikah dengan perempuan hamil seperti ini adalah haram dan nikahnya batil tidak sah sebagaimana dalam firman Allah Ta’ala :

وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا عَرَّضْتُم بِهِۦ مِنْ خِطْبَةِ ٱلنِّسَآءِ أَوْ أَكْنَنتُمْ فِىٓ أَنفُسِكُمْ ۚ عَلِمَ ٱللَّهُ أَنَّكُمْ سَتَذْكُرُونَهُنَّ وَلَٰكِن لَّا تُوَاعِدُوهُنَّ سِرًّا إِلَّآ أَن تَقُولُوا۟ قَوْلًۭا مَّعْرُوفًۭا ۚ وَلَا تَعْزِمُوا۟ عُقْدَةَ ٱلنِّكَاحِ حَتَّىٰ يَبْلُغَ ٱلْكِتَٰبُ أَجَلَهُۥ ۚ وَٱعْلَمُوٓا۟ أَنَّ ٱللَّهَ يَعْلَمُ مَا فِىٓ أَنفُسِكُمْ فَٱحْذَرُوهُ ۚ وَٱعْلَمُوٓا۟ أَنَّ ٱللَّهَ غَفُورٌ حَلِيمٌۭ

 “Dan janganlah kalian ber’azam (bertetap hati) untuk beraqad nikah sebelum habis ‘iddahnya”.
(QS. Al-Baqarah : 235).

Berkata Ibnu Katsir dalam tafsir-nya tentang makna ayat ini : “Yaitu jangan kalian melakukan akad nikah sampai lepas ‘iddah-nya”. Kemudian beliau berkata : ‘Dan para ‘ulama telah sepakat bahwa akad tidaklah sah pada masa ‘iddah”. Lihat : Al-Mughny 11/227, Takmilah Al-Majmu’ 17/347-348, Al-Muhalla 10/263 dan Zadul Ma’ad 5/156.

Adapun perempuan hamil karena zina, kami melihat perlu dirinci lebih meluas karena pentingnya perkara ini dan banyaknya kasus yang terjadi di seputarnya. Maka dengan mengharap curahan taufiq dan hidayah dari Allah Al-‘Alim Al-Khabir, masalah ini kami uraikan sebagai berikut :

Perempuan yang telah melakukan zina menyebabkan dia hamil atau tidak, dalam hal bolehnya melakukan pernikahan dengannya terdapat persilangan pendapat dikalangan para ‘ulama.
Secara global para ‘ulama berbeda pendapat dalam pensyaratan dua perkara untuk sahnya nikah dengan perempuan yang berzina.

Syarat yang pertama : Bertaubat dari perbuatan zinanya yang nista. Dalam pensyaratan taubat ada dua pendapat dikalangan para ‘ulama :

Satu : Disyaratkan bertaubat. Dan ini merupakan madzhab Imam Ahmad dan pendapat Qatadah, Ishaq dan Abu ‘Ubaid.

Dua : Tidak disyaratkan taubat. Dan ini merupakan pendapat Imam Malik, Syafi’iy dan Abu Hanifah.
Tarjih Yang benar dalam masalah ini adalah pendapat pertama yang mengatakan disyaratkan untuk bertaubat.

BERKATA Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Al-Fatawa 32/109 : “Menikahi perempuan pezina adalah haram sampai ia bertaubat, apakah yang menikahinya itu adalah yang menzinahinya atau selainnya. Inilah yang benar tanpa keraguan”.

Tarjih diatas berdasarkan firman Allah ‘Azza Wa Jalla :

الزَّاني‏ لا يَنْكِحُ إِلاَّ زانِيَةً أَوْ مُشْرِكَةً وَ الزَّانِيَةُ لا يَنْكِحُها إِلاَّ زانٍ أَوْ مُشْرِكٌ وَ حُرِّمَ ذلِكَ عَلَى الْمُؤْمِن

“Laki-laki yang berzina tidak menikahi melainkan perempuan yang berzina atau perempuan yang musyrik. Dan perempuan yang berzina tidak dinikahi melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik. Dan telah diharamkan hal tersebut atas kaum mu`minin,” 
(QS. An-Nur : 3).

Dan dalam hadits ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya ‘Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash, beliau berkata :
“Sesungguhnya Martsad bin Abi Martsad Al-Ghonawy membawa tawanan perang dari Makkah dan di Makkah ada seorang perempuan pelacur disebut dengan (nama) ‘Anaq dan ia adalah teman (Martsad). (Martsad) berkata : ‘Maka saya datang kepada Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam lalu saya berkata : ‘Ya Rasulullah, Saya nikahi ‘Anaq?’.

Martsad berkata : “Maka beliau diam, maka turunlah (ayat) : “Dan perempuan yang berzina tidak dinikahi melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik”. Kemudian beliau memanggilku lalu membacakannya padaku dan beliau berkata : “Jangan kamu nikahi dia,” (Hadits hasan, riwayat Abu Daud no. 2051, At-Tirmidzy no. 3177, An-Nasa`i 6/66 dan dalam Al-Kubra 3/269, Al-Hakim 2/180, Al-Baihaqy 7/153, Ibnul Jauzy dalam At-Tahqiq no. 1745 dan disebutkan oleh Syeikh Muqbil rahimahullahu dalam Ash-Shohih Al-Musnad Min Asbabin Nuzul).

Ayat dan hadits ini tegas menunjukkan haram nikah dengan perempuan pezina. Namun hukum haram tersebut bila ia belum bertaubat. Adapun kalau ia telah bertaubat maka terhapuslah hukum haram nikah dengan perempuan pezina tersebut berdasarkan sabda Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam :

“Orang yang bertaubat dari dosa seperti orang yang tidak ada dosa baginya,” (Dihasankan oleh Syeikh Al-Albany dalam Adh-Dho’ifah 2/83 dari seluruh jalan-jalannya)

Adapun para ‘ulama yang mengatakan bahwa kalimat ‘nikah’ dalam ayat An-Nur ini bermakna jima’ atau yang mengatakan ayat ini mansukh (terhapus hukumnya) ini adalah pendapat yang jauh dan pendapat ini (yaitu yang mengatakan bermakna jima’ atau mansukh) telah dibantah secara tuntas oleh Ibnu Taimiyah dalam Al-Fatawa 32/112-116. Dan pendapat yang mengatakan haram nikah dengan perempuan pezina sebelum bertaubat, ini pula yang dikuatkan Asy-Syinqithy dalam Adwa Al-Bayan 6/71-84 dan lihat Zadul Ma’ad 5/114-115.

Dan lihat permasalahan di atas dalam : Al-Ifshoh 8/81-84, Al-Mughny 9/562-563 (cet. Dar ‘Alamil Kutub), dan Al-Jami’ Lil Ikhtiyarat
Al-Fiqhiyah 2/582-585.

Catatan :
Sebagian ‘ulama berpendapat bahwa perlu diketahui kesungguhan taubat perempuan yang berzina ini dengan cara dirayu untuk berzina kalau ia menolak berarti taubatnya telah baik. Pendapat ini disebutkan oleh Al-Mardawy dalam Al-Inshof 8/133 diriwayatkan dari ‘Umar dan Ibnu ‘Abbas dan pendapat Imam Ahmad. Dan Ibnu Taimiyah dalam Al-Fatawa 32/125 kelihatan condong ke pendapat ini.

Tapi Ibnu Qudamah dalam Al-Mughny 9/564 berpendapat lain, beliau berkata : “Tidak pantas bagi seorang muslim mengajak perempuan untuk berzina dan memintanya. Karena permintaannya ini pada saat berkhalwat (berduaan) dan tidak halal berkhalwat dengan Ajnabiyah (perempuan bukan mahram) walaupun untuk mengajarinya Al-Qur’an maka bagaimana (bisa) hal tersebut dihalalkan dalam merayunya untuk berzina?”

Maka yang benar adalah ia bertaubat atas perbuatan zinanya sebagaimana ia bertaubat kalau melakukan dosa besar yang lainnya. Yaitu dengan lima syarat :

1. Ikhlash karena Allah.
2. Menyesali perbuatannya.
3. Meninggalkan dosa tersebut.
4. Ber’azam dengan sungguh-sungguh tidak akan mengulanginya.
5. Pada waktu yang masih bisa bertaubat seperti sebelum matahari terbit dari Barat dan sebelum ruh sampai ke tenggorokan.

Dan bukan disini tempat menguraikan dalil-dalil lima syarat ini. Wallahu A’lam.
Syarat Kedua : Telah lepas ‘iddah.

Para ‘ulama berbeda pendapat apakah lepas ‘iddah, apakah merupakan syarat bolehnya menikahi perempuan yang berzina atau tidak, ada dua pendapat :

Pertama : Wajib ‘iddah. Ini adalah pendapat Hasan Al-Bashry, An-Nakha’iy, Rabi’ah bin ‘Abdurrahman, Imam Malik, Ats-Tsaury, Imam Ahmad dan Ishaq bin Rahawaih.

Kedua : Tidak wajib ‘iddah. Ini adalah pendapat Imam Syafi’iy dan Abu Hanifah, tapi ada perbedaan antara mereka berdua pada satu hal, yaitu menurut Imam Syafi’iy boleh untuk melakukan akad nikah dengan perempuan yang berzina dan boleh berjima’ dengannya setelah akad, apakah orang yang menikahinya itu adalah orang yang menzinahinya itu sendiri atau selainnya.

Sedangkan Abu Hanifah berpendapat boleh melakukan akad nikah dengannya dan boleh berjima’ dengannya, apabila yang menikahinya adalah orang yang menzinahinya itu sendiri. Tapi kalau yang menikahinya selain orang yang menzinahinya maka boleh melakukan akad nikah tapi tidak boleh berjima’ sampai istibro` (telah nampak kosongnya rahim dari janin) dengan satu kali haid atau sampai melahirkan kalau perempuan tersebut dalam keadaan hamil.
Tarjih

Dan yang benar dalam masalah ini adalah pendapat pertama yang wajib ‘iddah berdasarkan dalil-dalil berikut ini :

1. Hadits Abu Sa’id Al-Khudry radhiyallahu ‘anhu, sesungguhnya Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda tentang tawanan perang Authos : “Jangan dipergauli perempuan hamil sampai ia melahirkan dan jangan (pula) yang tidak hamil sampai ia telah haid satu kali”. (HR. Ahmad 3/62,87, Abu Daud no. 2157, Ad-Darimy 2/224 Al-Hakim 2/212, Al-Baihaqy 5/329, 7/449, Ath-Thobarany dalam Al-Ausath no. 1973 dan Ibnul Jauzy dalam At-Tahqiq no. 307 dan di dalam sanadnya ada rowi yang bernama
Syarik bin ‘Abdullah An-Nakha’iy dan ia lemah karena hafalannya yang jelek tapi hadits ini mempunyai dukungan dari jalan yang lain dari beberapa orang shohabat sehingga dishohihkan dari seluruh jalan-jalannya oleh Syeikh Al-Albany dalam Al-Irwa` no. 187).

2. Hadits Ruwaifi’ bin Tsabit radhiyallahu ‘anhu dari Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam, beliau bersabda : “Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, maka jangan ia menyiramkan airnya ke tanaman orang lain,” (HR. Ahmad 4/108, Abu Daud
no. 2158, At-Tirmidzi no. 1131, Al-Baihaqy 7/449, Ibnu Qoni’ dalam Mu’jam Ash-Shohabah 1/217, Ibnu Sa’ad dalam Ath-Thobaqot 2/114-115, Ath-Thobarany 5/no.4482 dihasankan oleh Syeikh Al-Albany dalam Al-Irwa` no. 2137).

3. Hadits Abu Ad-Darda` riwayat Muslim dari Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam : “Beliau mendatangi seorang perempuan yang hampir melahirkan di pintu Pusthath. Beliau bersabda : “Barangkali orang itu ingin menggaulinya?” (Para sahabat) menjawab : “Benar”. Maka Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda : “Sungguh saya telah berkehendak untuk melaknatnya dengan laknat yang dibawa ke kuburnya. Bagaimana ia mewarisinya sedangkan itu tidak halal baginya dan bagaimana ia memperbudakkannya sedang ia tidak halal baginya?”

Berkata Ibnul Qayyim rahimahullah : “Dalam (hadits) ini ada dalil yang sangat jelas akan haramnya menikahi perempuan hamil, apakah hamilnya itu karena suaminya, tuannya (kalau ia seorang budak-pent.), syubhat (yaitu nikah dengan orang yang haram ia nikahi karena tidak tahu atau karena ada kesamar-samaran-pent.) atau karena zina.”

Nampaklah dari sini kuatnya pendapat yang mengatakan wajib ‘iddah dan pendapat ini yang dikuatkan oleh Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim, Asy-Syinqithy, Syaikh Ibnu Baz dan Al-Lajnah Ad-Daimah (Lembaga Fatwa Saudi Arabia). Wallahu A’lam.

Catatan :
Nampak dari dalil-dalil yang disebutkan di atas bahwa perempuan hamil karena zina tidak boleh dinikahi sampai melahirkan, maka ini ‘iddah bagi perempuan yang hamil karena zina dan ini juga ditunjukkan oleh keumuman firman Allah ‘Azza Wa Jalla :

وَ اللاَّئي‏ يَئِسْنَ مِنَ الْمَحيضِ مِنْ نِسائِكُمْ إِنِ ارْتَبْتُمْ فَعِدَّتُهُنَّ ثَلاثَةُ أَشْهُرٍ وَ اللاَّئي‏ لَمْ يَحِضْنَ وَ أُولاتُ الْأَحْمالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ وَ مَنْ يَتَّقِ اللهَ يَجْعَلْ لَهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْراً

“Dan perempuan-perempuan yang hamil waktu ‘iddah mereka sampai mereka melahirkan kandungannya,” 
 (QS. Ath-Tholaq : 4).

Adapun perempuan yang berzina dan belum nampak hamilnya, ‘iddahnya diperselisihkan oleh para ‘ulama yang mewajibkan ‘iddah bagi perempuan yang berzina. Sebagian para ‘ulama mengatakan bahwa ‘iddahnya adalah istibro` dengan satu kali haid. Dan ‘ulama yang lainnya berpendapat : tiga kali haid yaitu sama dengan ‘iddah perempuan yang ditalak.

Dan yang dikuatkan oleh Imam Malik dan Ahmad dalam satu riwayat adalah cukup dengan istibro` dengan satu kali haid. Dan pendapat ini yang dikuatkan oleh Ibnu Taimiyah berdasarkan hadits Abu Sa’id Al-Khudry di atas. Dan ‘iddah dengan tiga kali haid hanya disebutkan dalam Al-Qur’an bagi perempuan yang ditalak (diceraikan) oleh suaminya sebagaimana dalam firman Allah Jalla Sya`nuhu:

وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ ۚ وَلَا يَحِلُّ لَهُنَّ أَنْ يَكْتُمْنَ مَا خَلَقَ اللَّهُ فِي أَرْحَامِهِنَّ إِنْ كُنَّ يُؤْمِنَّ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۚ وَبُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِي ذَٰلِكَ إِنْ أَرَادُوا إِصْلَاحًا ۚ وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ ۚ وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ ۗ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ - See more at: http://www.alim.org/library/quran/ayah/compare/2/228/waiting-period-after-divorce#sthash.BcCu8p57.dpuf
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ ۚ وَلَا يَحِلُّ لَهُنَّ أَنْ يَكْتُمْنَ مَا خَلَقَ اللَّهُ فِي أَرْحَامِهِنَّ إِنْ كُنَّ يُؤْمِنَّ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۚ وَبُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِي ذَٰلِكَ إِنْ أَرَادُوا إِصْلَاحًا ۚ وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ ۚ وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ ۗ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ - See more at: http://www.alim.org/library/quran/ayah/compare/2/228/waiting-period-after-divorce#sthash.BcCu8p57.dpuf
وَٱلْمُطَلَّقَٰتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنفُسِهِنَّ ثَلَٰثَةَ قُرُوٓءٍۢ ۚ وَلَا يَحِلُّ لَهُنَّ أَن يَكْتُمْنَ مَا خَلَقَ ٱللَّهُ فِىٓ أَرْحَامِهِنَّ إِن كُنَّ يُؤْمِنَّ بِٱللَّهِ وَٱلْيَوْمِ ٱلْءَاخِرِ ۚ وَبُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِى ذَٰلِكَ إِنْ أَرَادُوٓا۟ إِصْلَٰحًۭا ۚ وَلَهُنَّ مِثْلُ ٱلَّذِى عَلَيْهِنَّ بِٱلْمَعْرُوفِ ۚ وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌۭ ۗ وَٱللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ

 “Dan wanita-wanita yang dithalaq (hendaknya) mereka menahan diri (menunggu) selama tiga kali quru`(haid)”. 
(QS. Al-Baqarah : 228).

Kesimpulan Pembahasan :

1. Tidak boleh nikah dengan perempuan yang berzina kecuali dengan dua syarat yaitu, bila perempuan tersebut telah bertaubat dari perbuatan nistanya dan telah lepas ‘iddah-nya.

2. Ketentuan perempuan yang berzina dianggap lepas ‘iddah adalah sebagai berikut :
• Kalau ia hamil, maka ‘iddahnya adalah sampai melahirkan.
• Kalau ia belum hamil, maka ‘iddahnya adalah sampai ia telah haid
satu kali semenjak melakukan perzinahan tersebut. Wallahu Ta’ala A’lam.
Lihat pembahasan di atas dalam : Al-Mughny 9/561-565, 11/196-197, Al-Ifshoh 8/81-84, Al-Inshof 8/132-133, Takmilah Al-Majmu’ 17/348-349, Raudhah Ath-Tholibin 8/375, Bidayatul Mujtahid 2/40, Al-Fatawa 32/109-134, Zadul Ma’ad 5/104-105, 154-155, Adwa` Al-Bayan 6/71-84 dan Jami’ Lil Ikhtiyarat Al-Fiqhiyah Lisyaikhil Islam Ibnu Taimiyah 2/582-585, 847-850.

2. Telah jelas dari jawaban di atas bahwa perempuan yang hamil, baik hamil karena pernikahan sah, syubhat atau karena zina, ‘iddahnya adalah sampai melahirkan. Dan para ‘ulama sepakat bahwa akad nikah pada masa ‘iddah adalah akad yang batil lagi tidak sah. Dan kalau keduanya tetap melakukan akad nikah dan melakukan hubungan suami-istri setelah keduanya tahu haramnya melakukan akad pada masa ‘iddah maka keduanya dianggap pezina dan keduanya harus diberi hadd (hukuman) sebagai pezina kalau negara mereka menerapkan hukum Islam, demikian keterangan Imam Ibnu Qudamah dalam Al-Mughny 11/242.

Kalau ada yang bertanya : “Setelah keduanya berpisah, apakah boleh keduanya kembali setelah lepas masa ‘iddah?”.
Jawabannya adalah Ada perbedaan pendapat di kalangan para ‘ulama. Jumhur (kebanyakan) ‘ulama berpendapat : “Perempuan tersebut tidak diharamkan baginya bahkan boleh ia meminangnya setelah lepas ‘iddah-nya.”

Dan mereka diselisihi oleh Imam Malik, beliau berpendapat bahwa perempuan telah menjadi haram baginya untuk selama-lamanya. Dan beliau berdalilkan dengan atsar ‘Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu yang menunjukkan hal tersebut. Dan pendapat Imam Malik ini juga merupakan pendapat dulu dari Imam Syafi’iy tapi belakangan beliau berpendapat bolehnya menikah kembali setelah dipisahkan.

Dan pendapat yang terakhir ini zhohir yang dikuatkan oleh Ibnu Katsir dalam tafsir-nya dan beliau melemahkan atsar ‘Umar yang menjadi dalil bagi Imam Malik bahkan Ibnu Katsir juga membawakan atsar yang serupa dari ‘Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu yang menunjukkan bolehnya. Maka sebagai kesimpulan pendapat yang kuat dalam masalah ini adalah boleh keduanya menikah kembali setelah lepas ‘iddah. Wal ‘Ilmu ‘Indallah. Lihat : Tafsir Ibnu Katsir 1/355 (Darul Fikr).

3. Laki-laki dan perempuan hamil yang melakukan pernikahan dalam keadaan keduanya tahu tentang haramnya menikahi perempuan hamil kemudian mereka berdua tetap melakukan jima’ maka keduanya dianggap berzina dan wajib atas hukum hadd kalau mereka berdua berada di negara yang diterapkan di dalamnya hukum Islam dan juga tidak ada mahar bagi perempuan tersebut.

Adapun kalau keduanya tidak tahu tantang haramnya menikahi perempuan hamil maka ini dianggap nikah syubhat dan harus dipisahkan antara keduanya karena tidak sahnya nikah yang seperti ini sebagaimana yang telah diterangkan.

Adapun mahar, si perempuan hamil ini berhak mendapatkan maharnya kalau memang belum ia ambil atau belum dilunasi.

Hal ini berdasarkan hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda : “Perempuan mana saja yang nikah tanpa izin walinya, maka nikahnya batil, nikahnya batil, nikahnya batil, dan apabila ia telah masuk padanya (perempuan) maka baginya mahar dari dihalalkannya kemaluannya, dan apabila mereka berselisih maka penguasa adalah wali bagi yang tidak mempunyai wali”. (HR. Syafi’iy sebagaimana dalam Munadnya 1/220,275, dan dalam Al-Umm 5/13,166, 7/171,222, ‘Abdurrazzaq dalam Mushonnafnya 6/195, Ibnu Wahb sebagaimana dalam Al-Mudawwah Al-Kubra 4/166, Ahmad 6/47,66,165, Ishaq bin Rahawaih dalam Musnadnya 2/no. 698, Ibnu Abi Syaibah 3/454, 7/284, Al-Humaidy dalam Musnadnya 1/112,

Ath-Thoyalisy dalam Musnadnya no. 1463, Abu Daud no. 2083, At-Tirmidzi no. 1102, Ibnu Majah no. 1879, Ibnu Jarud dalam Al-Muntaqo no. 700, Sa’id bin Manshur dalam sunannya 1/175, Ad-Darimy 2/185, Ath-Thohawy dalam Syarah Ma’any Al-Atsar 3/7, Abu Ya’la dalam Musnadnya no. 4682,4750,4837, Ibnu Hibban sebagaimana dalam Al-Ihsan no. 4074, Al-Hakim 2/182-183, Ad-Daruquthny 3/221, Al-Baihaqy 7/105,124,138, 10/148, Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah 6/88, As-Sahmy dalam Tarikh
Al-Jurjan hal. 315, Ibnul Jauzy dalam At-Tahqiq no. 1654 dan Ibnu ‘Abbil Barr dalam At-Tamhid 19/85-87 dan dishohihkan oleh Al-Albany dalam Al-Irwa` no.1840).

Nikah tanpa wali hukumnya adalah batil tidak sah sebagaimana nikah di masa ‘iddah hukumnya batil tidak sah. Karena itu kandungan hukum dalam hadits mencakup semuanya. Demikian rincian Ibnu Qudamah, Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qayyim.

Adapun orang yang ingin meminang kembali perempuan hamil ini setelah ia melahirkan, maka kembali diwajibkan mahar atasnya berdasarkan keumuman firman Allah Ta’ala :

وَآتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً ۚ فَإِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِنْهُ نَفْسًا فَكُلُوهُ هَنِيئًا مَرِيئًا

 “Berikanlah kepada para perempuan (yang kalian nikahi) mahar mereka dengan penuh kerelaan,”
(QS. An-Nisa` : 4)

Islampos


Rabu, 09 Juli 2014

Pemimpin Harus Kuat Dan Amanah



Sesungguhnya orang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) atau menjadi pemimpin adalah orang yang kuat lagi amanah, dapat dipercaya  (QS al-Qashash/28: 26)

Ayat tersebut mengisyarakat dua syarat utama orang yang layak menjadi pemimpin, yaitu kuat dan amanah. Tentu yang dimaksud dengan kuat bukan semata-mata fisik dan ekonomi, melainkan juga kuat mental spiritual, kuat iman, ilmu, dan amalnya.

Jika multikekuatan ini disinergikan dengan amanah (dapat dipercaya, memiliki integritas tinggi) maka akan melahirkan sosok pemimpin yang mampu membawa perubahan masyarakat ke arah lebih baik, maju, sejahtera, adil, dan bermartabat.

Dalam konteks ini, Rasulullah SAW merupakan figur pemimpin yang mampu menyinergikan kekuatan dan amanah itu. Di antara rahasia kesuksesan beliau dalam memimpin umat adalah lima modal kekuatan berikut.

Pertama, kekuatan Keteladanan akhlak. Sejak kecil Nabi SAW tidak pernah terlibat pelanggaran moral, tidak pernah minum minuman keras, tidak pernah bohong, tidak pernah korupsi, tidak pernah main perempuan, dan aneka akhlak tercela lainnya.

Akhlaknya yang luhur dan terpuji yang dicontohkan kepada keluarga, para sahabat, dan umatnya menjadi kekuatan maha dahsyat, sehingga beliau berhasil menjadi super leader, super manager, dan the greatest teacher.

Apa yang beliau ucapkan beliau laksanakan. Janjinya selalu ditepati. Rakyat beliau cintai, bukan dimanipulasi dan dibodohi. Beliau peduli dan suka berbagi kepada semua. Beliau tidak pernah menyakiti, membohongi dan menyengsarakan umatnya.

Di saat akan menghembuskan nafas terakhir, beliau masih menyatakan, “Ummati… ummati… ummati… ummati… ash-shalah… ash-shalah..” (Wahai umatku, [jangan lupakan] shalat, shalat, dan shalat).

Kedua, kekuatan komunikasi. Nabi SAW memiliki kemampuan berkomunikasi yang luar biasa efektif sehingga bisa memengaruhi kawan maupun lawan. Beliau ahli negosiasi, berorasi, memberi motivasi, dan menginspirasi umat.

Ketiga, kekuatan ilmu.  Rasulullah SAW tentu memiliki ilmu luar biasa, karena guru dan sumber ilmu beliau langsung dari Allah SWT. Dengan ilmu dan petunjuk langsung dari Allah SWT, Nabi SAW menjadi pemimpin yang berhati-hati dalam menerima ide dan kritik.

Orang yang berilmu juga cenderung lebih terbuka dan toleran, mau bekerja sama dengan orang lain. Baginya, segala informasi yang ia dapatkan merupakan data yang dijadikan rujukan pertimbangan.

Rasulullah SAW memimpin umat dengan ilmu dan petunjuk dari Allah sehingga umatnya pun diharuskan berlajar dan mengembangkan ilmu. Keempat, kekuatan mental spiritual. Rasulullah SAW sangat menganjurkan setiap Muslim mendekatkan diri kepada Allah SWT.

Kekuatan mental-spiritual yang tangguh membuat pribadi beliau juga sangat tangguh, tidak mudah mengeluh, tidak gampang curhat masalah pribadinya di hadapan rakyatnya, teguh pendirian, tegas dalam mengambil tindakan, dan tangkas selesaian masalah.

Di malam hari beliau beribadah, di siang hari beliau sering berpuasa. Kekuatan inilah yang menjadikan beliau dan para sahabatnya selalu merasa ada jalan dan solusi dalam berbagai situasi, sesulit apapun.

Kelima, kekuatan fisik. Rasulullah SAW termasuk orang paling sehat. Nyaris tidak pernah sakit, dan memiliki kekuatan fisik yang prima sepanjang hidupnya.

Kelima kekuatan itu idealnya menjadi pemacu semangat kebangkitan moral bangsa ini menuju khaira ummah (umat terbaik) yang berperadaban.

REPUBLIKA.CO.ID

Jumat, 07 Februari 2014

LARANGAN MENJADI PEMINTA-MINTA (PENGEMIS)



Akhir-akhir ini marak sekali pemberitaan tentang pengemis. Pengemis menyebar di mana-mana. Apalagi di wilayah perkotaan. Banyak orang yang tidak memiliki rasa malu untuk mengemis, padahal badan mereka terlihat sangat kuat untuk bekerja.
Ketika seorang pengemis ditanya tentang penghasilan perbulan mereka, maka kebanyakan mereka menjawab bahwa penghasilan mereka melebihi gaji para PNS. Subhanahu wa ta'ala, hanya dengan cara ringkas, menengadahkan tangan di hadapan orang-orang, mereka bisa memiliki penghasilan melebihi orang-orang yang bekerja keras.
Bagaimana sebenarnya Islam memandang hal tersebut? Halalkah berprofesi sebagai pengemis? Apakah mengemis termasuk perbuatan dosa? Insya Allah permasalah ini dijawab pada artikel ini.

Tercelakah mengemis?

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

(( إِنَّ الْمَسْأَلَةَ كَدٌّ يَكُدُّ بِهَا الرَّجُلُ وَجْهَهُ إِلاَّ أَنْ يَسْأَلَ الرَّجُلُ سُلْطَانًا أَوْ فِى أَمْرٍ لاَ بُدَّ مِنْهُ.))

“Sesungguhnya meminta-minta adalah cakaran yang seseorang mencakar sendiri wajahnya, kecuali seseorang yang meminta kepada pemimpin atau pada urusan yang harus untuk meminta.” [1]

(( مَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَسْأَلُ النَّاسَ حَتَّى يَأْتِيَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لَيْسَ فِي وَجْهِهِ مُزْعَةُ لَحْمٍ.))

“Senantiasa seseorang meminta-minta kepada manusia, sampai nanti di hari kiamat wajahnya tidak memiliki daging sedikit pun.”[2]

Kedua hadits ini menerangkan kepada kita bahwa meminta-minta hanya dibenarkan pada sebagian orang saja dan bukan semua orang. Ada orang-orang tertentu yang boleh mengemis. Orang yang tidak berhak mengemis akan dibangkitkan pada hari kiamat dengan tidak memiliki daging di wajahnya. Hal ini menunjukkan orang tersebut benar-benar hina dan tidak memiliki rasa malu.

Hukum harta yang dihasilkan dari mengemis

Mengemis hukum asalnya adalah haram, terkecuali seseorang yang benar-benar terpaksa harus mengemis, seperti: orang yang menanggung hutang untuk orang lain, orang yang ditimpa bencana atau wabah dalam sumber penghasilannya sehingga jatuh miskin dan orang miskin yang dinyatakan miskin oleh tiga tokoh masyarakat di daerahnya.
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pernah berkata kepada Qabishah radhiallahu 'anhu:

(( يَا قَبِيصَةُ! إِنَّ الْمَسْأَلَةَ لاَ تَحِلُّ إِلاَّ لأَحَدِ ثَلاَثَةٍ: رَجُلٍ تَحَمَّلَ حَمَالَةً فَحَلَّتْ لَهُ الْمَسْأَلَةُ حَتَّى يُصِيبَهَا ثُمَّ يُمْسِكُ, وَرَجُلٍ أَصَابَتْهُ جَائِحَةٌ اجْتَاحَتْ مَالَهُ فَحَلَّتْ لَهُ الْمَسْأَلَةُ حَتَّى يُصِيبَ قِوَامًا مِنْ عَيْشٍ -أَوْ قَالَ سِدَادًا مِنْ عَيْشٍ-, وَرَجُلٍ أَصَابَتْهُ فَاقَةٌ حَتَّى يَقُومَ ثَلاَثَةٌ مِنْ ذَوِى الْحِجَا مِنْ قَوْمِهِ لَقَدْ أَصَابَتْ فُلاَنًا فَاقَةٌ فَحَلَّتْ لَهُ الْمَسْأَلَةُ حَتَّى يُصِيبَ قِوَامًا مِنْ عَيْشٍ -أَوْ قَالَ سِدَادًا مِنْ عَيْشٍ-, فَمَا سِوَاهُنَّ مِنَ الْمَسْأَلَةِ يَا قَبِيصَةُ سُحْتًا يَأْكُلُهَا صَاحِبُهَا سُحْتًا.))

“Wahai Qabishah! Sesungguhnya meminta-minta tidak dihalalkan kecuali untuk tiga orang: (1) seseorang yang menanggung hutang untuk orang lain, maka halal baginya meminta sampai dia dapat melunasinya kemudian dia berhenti meminta, (2) seseorang yang tertimpa bencana sehingga hancur hartanya, maka halal baginya meminta sampai dia bisa hidup secukupnya, (3) seorang miskin yang tiga orang yang memiliki akal cerdas dari kaumnya mengatakan bahwa orang tersebut telah tertimpa kemiskinan, maka halal baginya meminta sampai dia bisa hidup secukupnya. Adapun selain ketiga orang ini, wahai Qabishah, maka tidak halal. Orang yang meminta-minta telah memakan harta dengan cara yang haram.”[3]

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam juga bersabda:

(( مَنْ سَأَلَ مِنْ غَيْرِ فَقْرٍ ، فَكَأَنَّمَا يَأْكُلُ الْجَمْرَ.))

“Barang siapa yang meminta bukan karena alasan kemiskinan, maka seolah-olah dia telah memakan bara api.”[4]

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam juga bersabda:

(( مَنْ سَأَلَ النَّاسَ أَمْوَالَهُمْ تَكَثُّرًا فَإِنَّمَا يَسْأَلُ جَمْرًا فَلْيَسْتَقِلَّ أَوْ لِيَسْتَكْثِرْ.))

Barang siapa yang meminta-minta kepada manusia harta-harta mereka untuk memperbanyak harta, maka sesungguhnya dia sedang meminta bara api. Oleh karena itu, dia persedikit (bara api itu) atau dia perbanyak.”[5]

Pada hadits ini diterangkan bahwa orang yang meminta-meminta bukan karena suatu keperluan atau darurat, maka sesungguhnya dia telah melakukan dosa. Apabila dia ingin memperbanyak bara apinya, maka perbanyaklah meminta-minta harta manusia. Jika dia ingin mendapatkan sedikit saja, maka mintalah sedikit saja. Tetapi yang lebih utama adalah orang yang tidak meminta bara api, yaitu orang yang tidak mau meminta-minta kepada manusia.

Apakah meminta-minta termasuk dosa besar?

Seorang yang meminta-minta tanpa ada alasan yang dibenarkan, maka dia telah terjatuh ke dalam dosa besar, sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin.[6]

Dan kita mengetahui bahwa salah satu ciri dosa besar adalah mendapatkan ancaman buruk di akhirat nanti.

Pujian Allah kepada orang miskin yang menahan dirinya untuk meminta-minta

Allah subhanahu wa ta'ala memuji orang yang tidak meminta-minta meskipun mereka adalah orang yang miskin. Allah subhanahu wa ta'ala berfirman:

{ لِلْفُقَرَاءِ الَّذِينَ أُحْصِرُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ لَا يَسْتَطِيعُونَ ضَرْبًا فِي الْأَرْضِ يَحْسَبُهُمُ الْجَاهِلُ أَغْنِيَاءَ مِنَ التَّعَفُّفِ تَعْرِفُهُمْ بِسِيمَاهُمْ لَا يَسْأَلُونَ النَّاسَ إِلْحَافًا وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ خَيْرٍ فَإِنَّ اللَّهَ بِهِ عَلِيمٌ }

“(Berinfaklah) kepada orang-orang fakir yang terikat (untuk jihad) di jalan Allah. Mereka tidak dapat (berusaha) di bumi. Orang yang tidak tahu menyangka mereka adalah orang kaya karena mereka memelihara diri dari minta-minta. Engkau mengenali mereka dengan melihat sifat-sifatnya, mereka tidak meminta kepada orang secara mendesak. Dan apa saja harta yang baik yang kalian nafkahkan (di jalan Allah), maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui.” (QS Al-Baqarah: 273)


Jaminan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk orang yang tidak mau meminta-minta

عَنْ ثَوْبَانَ قَالَ وَكَانَ ثَوْبَانُ مَوْلَى رَسُولِ اللَّهِ –صلى الله عليه وسلم- قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ –صلى الله عليه وسلم- (( مَنْ تَكَفَّلَ لِى أَنْ لاَ يَسْأَلَ النَّاسَ شَيْئًا وَأَتَكَفَّلَ لَهُ بِالْجَنَّةِ؟)). فَقَالَ ثَوْبَانُ: أَنَا. فَكَانَ لاَ يَسْأَلُ أَحَدًا شَيْئًا.

Diriwayatkan dari Tsauban, beliau adalah mantan budak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dia mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Siapa yang dapat menjamin untukku agar dia tidak meminta-minta kepada manusia sedikit pun, maka saya akan menjaminnya untuk masuk ke dalam surga?” (Berkatalah seorang perawi), “Tsauban pun menjawab, ‘Saya.’ Memang dulu dia (Tsauban) tidak pernah meminta apapun kepada seorang pun.”[HR Abu Dawud no. 1643. Syaikh Al-Albani men-shahih-kannya dalam Shahih Al-Jami’ no. 6604.]

Ma’mar berkata, “Telah disampaikan kepadaku bahwa ‘Aisyah radhiallahu ‘anha pernah berkata, ‘Perhatikanlah Tsauban! Sesungguhnya dia tidak pernah meminta sesuatu kepada seorang pun. Dulu pernah terjatuh tongkat dan cambuk (miliknya), beliau tidak pernah minta diambilkan untuknya, melainkan dia turun sendiri dan mengambilnya.”[Tambahan ini diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dalam Syu’abul-Iman no. 3245.]

Contoh yang baik dari Hakim bin Hizam radhiallahu 'anhu

Diriwayatkan dari ‘Urwah bin Az-Zubair dan Sa’id bin Al-Musayyab bahwasanya Hakim bin Hizam radhiallahu 'anhu pernah berkata:

سَأَلْتُ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم فَأَعْطَانِي ثُمَّ سَأَلْتُهُ فَأَعْطَانِي ثُمَّ سَأَلْتُهُ فَأَعْطَانِي

“Saya pernah meminta kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau pun memberiku. Kemudian saya pun meminta lagi kemudian beliau pun memberiku. Kemudian beliau berkata:

يَا حَكِيمُ إِنَّ هَذَا الْمَالَ خَضِرَةٌ حُلْوَةٌ فَمَنْ أَخَذَهُ بِسَخَاوَةِ نَفْسٍ بُورِكَ لَهُ فِيهِ ، وَمَنْ أَخَذَهُ بِإِشْرَافِ نَفْسٍ لَمْ يُبَارَكْ لَهُ فِيهِ كَالَّذِي يَأْكُلُ ، وَلاَ يَشْبَعُ الْيَدُ الْعُلْيَا خَيْرٌ مِنَ الْيَدِ السُّفْلَى قَالَ حَكِيمٌ ، فَقُلْتُ : يَا رَسُولَ اللهِ وَالَّذِي بَعَثَكَ بِالْحَقِّ لاَ أَرْزَأُ أَحَدًا بَعْدَكَ شَيْئًا حَتَّى أُفَارِقَ الدُّنْيَا

“Ya Hakim! Sesungguhnya harta ini adalah hijau[Maksudnya enak dipandang oleh mata.] dan manis[Maksudnya manis dirasakan.]. Barang siapa yang mengambilnya dengan tanpa memaksakan diri, maka akan diberkahi harta tersebut. Barang siapa yang mengambilnya/memintanya dengan memaksakan diri untuk mendapatkannya, maka dia seperti orang yang makan dan tidak pernah kenyang.Tangan yang di atas lebih baik daripada tangan yang di bawah.” Hakim pun berkata, “Ya Rasulullah! Demi yang mengutusmu dengan kebenaran, saya tidak akan meminta kepada seorang pun setelah ini sampai saya meninggal dunia.”

فَكَانَ أَبُو بَكْرٍ ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ، يَدْعُو حَكِيمًا إِلَى الْعَطَاءِ فَيَأْبَى أَنْ يَقْبَلَهُ مِنْهُ ثُمَّ إِنَّ عُمَرَ ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ، دَعَاهُ لِيُعْطِيَهُ فَأَبَى أَنْ يَقْبَلَ مِنْهُ شَيْئًا فَقَالَ عُمَرُ إِنِّي أُشْهِدُكُمْ يَا مَعْشَرَ الْمُسْلِمِينَ عَلَى حَكِيمٍ أَنِّي أَعْرِضُ عَلَيْهِ حَقَّهُ مِنْ هَذَا الْفَيْءِ فَيَأْبَى أَنْ يَأْخُذَهُ فَلَمْ يَرْزَأْ حَكِيمٌ أَحَدًا مِنَ النَّاسِ بَعْدَ رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم حَتَّى تُوُفِّيَ.

Kemudian Abu Bakar radhiallahu 'anhu memanggil Hakim untuk menerima hadiah, beliau pun tidak mau menerimanya. Kemudian ‘Umar radhiallahu 'anhu memanggilnya untuk menerima hadiah, beliau pun tidak mau menerimanya.Umar pun berkata, “Saya bersaksi kepada kalian, wahai kaum muslimin atas Hakim! Sesungguhnya saya telah menyodorkan haknya dari harta fai’ tetapi dia tidak mau menerimanya.”

Hakim tidak pernah meminta kepada seorang pun dari manusia setelah permintaannya kepada Rasulullah itu, sampai beliau wafat.[HR Al-Bukhari no. 1482.]

Ditulis oleh: Ustadz Said Yai Ardiansyah, Lc., M.A. (Beliau adalah  alumni Universitas Islam Madinah, Jurusan Hadits. Dan mengambil Master di MEDIU Malaysia, Jurusan Fiqhussunnah. Beliau juga kepala SDIT Al-Istiqomah Prabumulih)

Daftar Pustaka
  1. Ath-Thabaqat-Al-Kubra. Muhammad bin Sa’ad Al-Bashri. Dar Shadir.
  2. Mir’atul-mafatih Syarh Misykatil-Mashabih . Muhammad ‘Abdussalam Al-Mubarakfuri.
  3. Riyadhush-shalihin. Imam An-Nawawi.
  4. Subulussalam. Muhammad bin Isma’il Al-Amir Ash-Shan’ani. Kairo: Darul-Hadits.
  5. Syarh Riyadhishshalihin. Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin. Darussalam.
  6. Umdatul-Qari Syarh Shahih Al-Bukhari. Badruddin Al-‘Aini Al-Hanafi.
  7. Buku-buku lain yang sebagian besar telah dicantumkan di footnotes.