Akhir-akhir
ini marak sekali pemberitaan tentang pengemis. Pengemis menyebar di
mana-mana. Apalagi di wilayah perkotaan. Banyak orang yang tidak
memiliki rasa malu untuk mengemis, padahal badan mereka terlihat sangat
kuat untuk bekerja.
Ketika
seorang pengemis ditanya tentang penghasilan perbulan mereka, maka
kebanyakan mereka menjawab bahwa penghasilan mereka melebihi gaji para
PNS. Subhanahu wa ta'ala, hanya dengan cara ringkas, menengadahkan
tangan di hadapan orang-orang, mereka bisa memiliki penghasilan melebihi
orang-orang yang bekerja keras.
Bagaimana
sebenarnya Islam memandang hal tersebut? Halalkah berprofesi sebagai
pengemis? Apakah mengemis termasuk perbuatan dosa? Insya Allah
permasalah ini dijawab pada artikel ini.
Tercelakah mengemis?
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
((
إِنَّ الْمَسْأَلَةَ كَدٌّ يَكُدُّ بِهَا الرَّجُلُ وَجْهَهُ إِلاَّ أَنْ
يَسْأَلَ الرَّجُلُ سُلْطَانًا أَوْ فِى أَمْرٍ لاَ بُدَّ مِنْهُ.))
“Sesungguhnya
meminta-minta adalah cakaran yang seseorang mencakar sendiri wajahnya,
kecuali seseorang yang meminta kepada pemimpin atau pada urusan yang
harus untuk meminta.” [1]
(( مَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَسْأَلُ النَّاسَ حَتَّى يَأْتِيَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لَيْسَ فِي وَجْهِهِ مُزْعَةُ لَحْمٍ.))
“Senantiasa seseorang meminta-minta kepada manusia, sampai nanti di hari kiamat wajahnya tidak memiliki daging sedikit pun.”[2]
Kedua
hadits ini menerangkan kepada kita bahwa meminta-minta hanya dibenarkan
pada sebagian orang saja dan bukan semua orang. Ada orang-orang
tertentu yang boleh mengemis. Orang yang tidak berhak mengemis akan
dibangkitkan pada hari kiamat dengan tidak memiliki daging di wajahnya.
Hal ini menunjukkan orang tersebut benar-benar hina dan tidak memiliki
rasa malu.
Hukum harta yang dihasilkan dari mengemis
Mengemis
hukum asalnya adalah haram, terkecuali seseorang yang benar-benar
terpaksa harus mengemis, seperti: orang yang menanggung hutang untuk
orang lain, orang yang ditimpa bencana atau wabah dalam sumber
penghasilannya sehingga jatuh miskin dan orang miskin yang dinyatakan
miskin oleh tiga tokoh masyarakat di daerahnya.
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pernah berkata kepada Qabishah radhiallahu 'anhu:
((
يَا قَبِيصَةُ! إِنَّ الْمَسْأَلَةَ لاَ تَحِلُّ إِلاَّ لأَحَدِ
ثَلاَثَةٍ: رَجُلٍ تَحَمَّلَ حَمَالَةً فَحَلَّتْ لَهُ الْمَسْأَلَةُ
حَتَّى يُصِيبَهَا ثُمَّ يُمْسِكُ, وَرَجُلٍ أَصَابَتْهُ جَائِحَةٌ
اجْتَاحَتْ مَالَهُ فَحَلَّتْ لَهُ الْمَسْأَلَةُ حَتَّى يُصِيبَ قِوَامًا
مِنْ عَيْشٍ -أَوْ قَالَ سِدَادًا مِنْ عَيْشٍ-, وَرَجُلٍ أَصَابَتْهُ
فَاقَةٌ حَتَّى يَقُومَ ثَلاَثَةٌ مِنْ ذَوِى الْحِجَا مِنْ قَوْمِهِ
لَقَدْ أَصَابَتْ فُلاَنًا فَاقَةٌ فَحَلَّتْ لَهُ الْمَسْأَلَةُ حَتَّى
يُصِيبَ قِوَامًا مِنْ عَيْشٍ -أَوْ قَالَ سِدَادًا مِنْ عَيْشٍ-, فَمَا
سِوَاهُنَّ مِنَ الْمَسْأَلَةِ يَا قَبِيصَةُ سُحْتًا يَأْكُلُهَا
صَاحِبُهَا سُحْتًا.))
“Wahai
Qabishah! Sesungguhnya meminta-minta tidak dihalalkan kecuali untuk
tiga orang: (1) seseorang yang menanggung hutang untuk orang lain, maka
halal baginya meminta sampai dia dapat melunasinya kemudian dia berhenti
meminta, (2) seseorang yang tertimpa bencana sehingga hancur hartanya,
maka halal baginya meminta sampai dia bisa hidup secukupnya, (3) seorang
miskin yang tiga orang yang memiliki akal cerdas dari kaumnya
mengatakan bahwa orang tersebut telah tertimpa kemiskinan, maka halal
baginya meminta sampai dia bisa hidup secukupnya. Adapun selain ketiga
orang ini, wahai Qabishah, maka tidak halal. Orang yang meminta-minta
telah memakan harta dengan cara yang haram.”[3]
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam juga bersabda:
(( مَنْ سَأَلَ مِنْ غَيْرِ فَقْرٍ ، فَكَأَنَّمَا يَأْكُلُ الْجَمْرَ.))
“Barang siapa yang meminta bukan karena alasan kemiskinan, maka seolah-olah dia telah memakan bara api.”[4]
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam juga bersabda:
(( مَنْ سَأَلَ النَّاسَ أَمْوَالَهُمْ تَكَثُّرًا فَإِنَّمَا يَسْأَلُ جَمْرًا فَلْيَسْتَقِلَّ أَوْ لِيَسْتَكْثِرْ.))
Barang
siapa yang meminta-minta kepada manusia harta-harta mereka untuk
memperbanyak harta, maka sesungguhnya dia sedang meminta bara api. Oleh
karena itu, dia persedikit (bara api itu) atau dia perbanyak.”[5]
Pada
hadits ini diterangkan bahwa orang yang meminta-meminta bukan karena
suatu keperluan atau darurat, maka sesungguhnya dia telah melakukan
dosa. Apabila dia ingin memperbanyak bara apinya, maka perbanyaklah
meminta-minta harta manusia. Jika dia ingin mendapatkan sedikit saja,
maka mintalah sedikit saja. Tetapi yang lebih utama adalah orang yang
tidak meminta bara api, yaitu orang yang tidak mau meminta-minta kepada
manusia.
Apakah meminta-minta termasuk dosa besar?
Seorang
yang meminta-minta tanpa ada alasan yang dibenarkan, maka dia telah
terjatuh ke dalam dosa besar, sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Muhammad
bin Shalih Al-Utsaimin.[6]
Dan kita mengetahui bahwa salah satu ciri dosa besar adalah mendapatkan ancaman buruk di akhirat nanti.
Pujian Allah kepada orang miskin yang menahan dirinya untuk meminta-minta
Allah subhanahu wa ta'ala memuji orang yang tidak meminta-minta meskipun mereka adalah orang yang miskin. Allah subhanahu wa ta'ala berfirman:
{
لِلْفُقَرَاءِ الَّذِينَ أُحْصِرُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ لَا
يَسْتَطِيعُونَ ضَرْبًا فِي الْأَرْضِ يَحْسَبُهُمُ الْجَاهِلُ أَغْنِيَاءَ
مِنَ التَّعَفُّفِ تَعْرِفُهُمْ بِسِيمَاهُمْ لَا يَسْأَلُونَ النَّاسَ
إِلْحَافًا وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ خَيْرٍ فَإِنَّ اللَّهَ بِهِ عَلِيمٌ }
“(Berinfaklah)
kepada orang-orang fakir yang terikat (untuk jihad) di jalan Allah.
Mereka tidak dapat (berusaha) di bumi. Orang yang tidak tahu menyangka
mereka adalah orang kaya karena mereka memelihara diri dari minta-minta.
Engkau mengenali mereka dengan melihat sifat-sifatnya, mereka tidak
meminta kepada orang secara mendesak. Dan apa saja harta yang baik yang
kalian nafkahkan (di jalan Allah), maka sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui.” (QS Al-Baqarah: 273)
Jaminan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk orang yang tidak mau meminta-minta
عَنْ
ثَوْبَانَ قَالَ وَكَانَ ثَوْبَانُ مَوْلَى رَسُولِ اللَّهِ –صلى الله
عليه وسلم- قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ –صلى الله عليه وسلم- (( مَنْ
تَكَفَّلَ لِى أَنْ لاَ يَسْأَلَ النَّاسَ شَيْئًا وَأَتَكَفَّلَ لَهُ
بِالْجَنَّةِ؟)). فَقَالَ ثَوْبَانُ: أَنَا. فَكَانَ لاَ يَسْأَلُ أَحَدًا
شَيْئًا.
Diriwayatkan
dari Tsauban, beliau adalah mantan budak Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam, dia mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, “Siapa yang dapat menjamin untukku agar dia tidak
meminta-minta kepada manusia sedikit pun, maka saya akan menjaminnya
untuk masuk ke dalam surga?” (Berkatalah seorang perawi), “Tsauban pun
menjawab, ‘Saya.’ Memang dulu dia (Tsauban) tidak pernah meminta apapun
kepada seorang pun.”[HR Abu Dawud no. 1643. Syaikh Al-Albani men-shahih-kannya dalam Shahih Al-Jami’ no. 6604.]
Ma’mar
berkata, “Telah disampaikan kepadaku bahwa ‘Aisyah radhiallahu ‘anha
pernah berkata, ‘Perhatikanlah Tsauban! Sesungguhnya dia tidak pernah
meminta sesuatu kepada seorang pun. Dulu pernah terjatuh tongkat dan
cambuk (miliknya), beliau tidak pernah minta diambilkan untuknya,
melainkan dia turun sendiri dan mengambilnya.”[Tambahan ini diriwayatkan
oleh Al-Baihaqi dalam Syu’abul-Iman no. 3245.]
Contoh yang baik dari Hakim bin Hizam radhiallahu 'anhu
Diriwayatkan dari ‘Urwah bin Az-Zubair dan Sa’id bin Al-Musayyab bahwasanya Hakim bin Hizam radhiallahu 'anhu pernah berkata:
سَأَلْتُ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم فَأَعْطَانِي ثُمَّ سَأَلْتُهُ فَأَعْطَانِي ثُمَّ سَأَلْتُهُ فَأَعْطَانِي
“Saya pernah meminta kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau pun memberiku. Kemudian saya pun meminta lagi kemudian beliau pun memberiku. Kemudian beliau berkata:
يَا
حَكِيمُ إِنَّ هَذَا الْمَالَ خَضِرَةٌ حُلْوَةٌ فَمَنْ أَخَذَهُ
بِسَخَاوَةِ نَفْسٍ بُورِكَ لَهُ فِيهِ ، وَمَنْ أَخَذَهُ بِإِشْرَافِ
نَفْسٍ لَمْ يُبَارَكْ لَهُ فِيهِ كَالَّذِي يَأْكُلُ ، وَلاَ يَشْبَعُ
الْيَدُ الْعُلْيَا خَيْرٌ مِنَ الْيَدِ السُّفْلَى قَالَ حَكِيمٌ ،
فَقُلْتُ : يَا رَسُولَ اللهِ وَالَّذِي بَعَثَكَ بِالْحَقِّ لاَ أَرْزَأُ
أَحَدًا بَعْدَكَ شَيْئًا حَتَّى أُفَارِقَ الدُّنْيَا
“Ya
Hakim! Sesungguhnya harta ini adalah hijau[Maksudnya enak dipandang
oleh mata.] dan manis[Maksudnya manis dirasakan.]. Barang siapa yang
mengambilnya dengan tanpa memaksakan diri, maka akan diberkahi harta
tersebut. Barang siapa yang mengambilnya/memintanya dengan memaksakan
diri untuk mendapatkannya, maka dia seperti orang yang makan dan tidak
pernah kenyang.Tangan yang di atas lebih baik daripada tangan yang di
bawah.” Hakim pun berkata, “Ya Rasulullah! Demi yang mengutusmu dengan
kebenaran, saya tidak akan meminta kepada seorang pun setelah ini sampai
saya meninggal dunia.”
فَكَانَ
أَبُو بَكْرٍ ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ، يَدْعُو حَكِيمًا إِلَى
الْعَطَاءِ فَيَأْبَى أَنْ يَقْبَلَهُ مِنْهُ ثُمَّ إِنَّ عُمَرَ ، رَضِيَ
اللَّهُ عَنْهُ ، دَعَاهُ لِيُعْطِيَهُ فَأَبَى أَنْ يَقْبَلَ مِنْهُ
شَيْئًا فَقَالَ عُمَرُ إِنِّي أُشْهِدُكُمْ يَا مَعْشَرَ الْمُسْلِمِينَ
عَلَى حَكِيمٍ أَنِّي أَعْرِضُ عَلَيْهِ حَقَّهُ مِنْ هَذَا الْفَيْءِ
فَيَأْبَى أَنْ يَأْخُذَهُ فَلَمْ يَرْزَأْ حَكِيمٌ أَحَدًا مِنَ النَّاسِ
بَعْدَ رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم حَتَّى تُوُفِّيَ.
Kemudian Abu Bakar radhiallahu 'anhu
memanggil Hakim untuk menerima hadiah, beliau pun tidak mau
menerimanya. Kemudian ‘Umar radhiallahu 'anhu memanggilnya untuk
menerima hadiah, beliau pun tidak mau menerimanya.Umar pun berkata,
“Saya bersaksi kepada kalian, wahai kaum muslimin atas Hakim!
Sesungguhnya saya telah menyodorkan haknya dari harta fai’ tetapi dia
tidak mau menerimanya.”
Hakim
tidak pernah meminta kepada seorang pun dari manusia setelah
permintaannya kepada Rasulullah itu, sampai beliau wafat.[HR Al-Bukhari
no. 1482.]
Ditulis oleh: Ustadz Said Yai Ardiansyah, Lc., M.A. (Beliau
adalah alumni Universitas Islam Madinah, Jurusan Hadits. Dan mengambil
Master di MEDIU Malaysia, Jurusan Fiqhussunnah. Beliau juga kepala SDIT
Al-Istiqomah Prabumulih)
Daftar Pustaka
- Ath-Thabaqat-Al-Kubra. Muhammad bin Sa’ad Al-Bashri. Dar Shadir.
- Mir’atul-mafatih Syarh Misykatil-Mashabih . Muhammad ‘Abdussalam Al-Mubarakfuri.
- Riyadhush-shalihin. Imam An-Nawawi.
- Subulussalam. Muhammad bin Isma’il Al-Amir Ash-Shan’ani. Kairo: Darul-Hadits.
- Syarh Riyadhishshalihin. Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin. Darussalam.
- Umdatul-Qari Syarh Shahih Al-Bukhari. Badruddin Al-‘Aini Al-Hanafi.
- Buku-buku lain yang sebagian besar telah dicantumkan di footnotes.