رَبِّ اغْفِرْ لِي وَهَبْ لِي مُلْكًا لا يَنْبَغِي لأحَدٍ مِنْ بَعْدِي إِنَّكَ أَنْتَ الْوَهَّابُ


"Ya Rabb-ku, ampunilah aku, dan anugerahkanlah kepadaku kerajaan, yang tidak dimiliki oleh seorangpun juga sesudahku, sesungguhnya Engkaulah Yang Maha pemberi’."

Jumat, 14 Februari 2014

PROSES TERJADINYA HUJAN MENURUT AL-QUR'AN




Proses terbentuknya hujan masih merupakan misteri besar bagi orang-orang dalam waktu yang lama. Baru setelah radar cuaca ditemukan, bisa didapatkan tahap-tahap pembentukan hujan..
Pembentukan hujan berlangsung dalam tiga tahap. Pertama, "bahan baku" hujan naik ke udara, lalu awan terbentuk. Akhirnya, curahan hujan terlihat.

Tahap-tahap ini ditetapkan dengan jelas dalam Al-Qur’an berabad-abad yang lalu, yang memberikan informasi yang tepat mengenai pembentukan hujan,


 اللَّهُ الَّذِي يُرْسِلُ الرِّيَاحَ فَتُثِيرُ سَحَابًا فَيَبْسُطُهُ فِي السَّمَاءِ كَيْفَ يَشَاءُ وَيَجْعَلُهُ كِسَفًا فَتَرَى الْوَدْقَ يَخْرُجُ مِنْ خِلَالِهِ ۖ فَإِذَا أَصَابَ بِهِ مَنْ يَشَاءُ مِنْ عِبَادِهِ إِذَا هُمْ يَسْتَبْشِرُونَ

"Dialah Allah Yang mengirimkan angin, lalu angin itu menggerakkan awan dan Allah membentangkannya di langit menurut yang dikehendakiNya, dan menjadikannya bergumpal-gumpal; lalu kamu lihat air hujan keluar dari celah-celahnya; maka, apabila hujan itu turun mengenai hamba-hambaNya yang dikehendakiNya, tiba-tiba mereka menjadi gembira" 
(QS Ar-Rum: 48)



Kini, mari kita amati tiga tahap yang disebutkan dalam ayat ini.

TAHAP KE-1: "Dialah Allah Yang mengirimkan angin..."
Gelembung-gelembung udara yang jumlahnya tak terhitung yang dibentuk dengan pembuihan di lautan, pecah terus-menerus dan menyebabkan partikel-partikel air tersembur menuju langit. Partikel-partikel ini, yang kaya akan garam, lalu diangkut oleh angin dan bergerak ke atas di atmosfir. Partikel-partikel ini, yang disebut aerosol, membentuk awan dengan mengumpulkan uap air di sekelilingnya, yang naik lagi dari laut, sebagai titik-titik kecil dengan mekanisme yang disebut "perangkap air".

TAHAP KE-2: “...lalu angin itu menggerakkan awan dan Allah membentangkannya di langit menurut yang dikehendaki-Nya, dan menjadikannya bergumpal-gumpal..."
Awan-awan terbentuk dari uap air yang mengembun di sekeliling butir-butir garam atau partikel-partikel debu di udara. Karena air hujan dalam hal ini sangat kecil (dengan diamter antara 0,01 dan 0,02 mm), awan-awan itu bergantungan di udara dan terbentang di langit. Jadi, langit ditutupi dengan awan-awan.

TAHAP KE-3: "...lalu kamu lihat air hujan keluar dari celah-celahnya..."
Partikel-partikel air yang mengelilingi butir-butir garam dan partikel -partikel debu itu mengental dan membentuk air hujan. Jadi, air hujan ini, yang menjadi lebih berat daripada udara, bertolak dari awan dan mulai jatuh ke tanah sebagai hujan.

Semua tahap pembentukan hujan telah diceritakan dalam ayat-ayat Al-Qur’an. Selain itu, tahap-tahap ini dijelaskan dengan urutan yang benar. Sebagaimana fenomena-fenomena alam lain di bumi, lagi-lagi Al-Qur’anlah yang menyediakan penjelasan yang paling benar mengenai fenomena ini dan juga telah mengumumkan fakta-fakta ini kepada orang-orang pada ribuan tahun sebelum ditemukan oleh ilmu pengetahuan.

Dalam sebuah ayat lain, informasi tentang proses pembentukan hujan dijelaskan:



أَلَمْ تَرَ أَنَّ اللَّهَ يُزْجِي سَحَابًا ثُمَّ يُؤَلِّفُ بَيْنَهُ ثُمَّ يَجْعَلُهُ رُكَامًا فَتَرَى الْوَدْقَ يَخْرُجُ مِنْ خِلَالِهِ وَيُنَزِّلُ مِنَ السَّمَاءِ مِنْ جِبَالٍ فِيهَا مِنْ بَرَدٍ فَيُصِيبُ بِهِ مَنْ يَشَاءُ وَيَصْرِفُهُ عَنْ مَنْ يَشَاءُ ۖ يَكَادُ سَنَا بَرْقِهِ يَذْهَبُ بِالْأَبْصَارِ

"Tidaklah kamu melihat bahwa Allah mengarak awan, kemudian mengumpulkan antara (bagian-bagian)nya, kemudian menjadikannya bertindih-tindih, maka kelihatanlah olehmu hujan keluar dari celah-celahnya dan Allah (juga) menurunkan (butiran-butiran) es dari langit, (yaitu) dari (gumpalan- gumpalan awan seperti) gunung-gunung, maka ditimpakan-Nya (butiran-butiran) es itu kepada siapa yang dikehendaki-Nya dan dipalingkan-Nya dari siapa yang dikehendaki-Nya. Kilauan kilat awan itu hampir-hampir menghilangkan penglihatan." 
(QS An-Nur: 43)


Para ilmuwan yang mempelajari jenis-jenis awan mendapatkan temuan yang mengejutkan berkenaan dengan proses pembentukan awan hujan. Terbentuknya awan hujan yang mengambil bentuk tertentu, terjadi melalui sistem dan tahapan tertentu pula. Tahap-tahap pembentukan kumulonimbus, sejenis awan hujan, adalah sebagai berikut:

TAHAP - 1, Pergerakan awan oleh angin: Awan-awan dibawa, dengan kata lain, ditiup oleh angin.

TAHAP - 2, Pembentukan awan yang lebih besar: Kemudian awan-awan kecil (awan kumulus) yang digerakkan angin, saling bergabung dan membentuk awan yang lebih besar.

TAHAP - 3, Pembentukan awan yang bertumpang tindih: Ketika awan-awan kecil saling bertemu dan bergabung membentuk awan yang lebih besar, gerakan udara vertikal ke atas terjadi di dalamnya meningkat. Gerakan udara vertikal ini lebih kuat di bagian tengah dibandingkan di bagian tepinya. Gerakan udara ini menyebabkan gumpalan awan tumbuh membesar secara vertikal, sehingga menyebabkan awan saling bertindih-tindih. Membesarnya awan secara vertikal ini menyebabkan gumpalan besar awan tersebut mencapai wilayah-wilayah atmosfir yang bersuhu lebih dingin, di mana butiran-butiran air dan es mulai terbentuk dan tumbuh semakin membesar. Ketika butiran air dan es ini telah menjadi berat sehingga tak lagi mampu ditopang oleh hembusan angin vertikal, mereka mulai lepas dari awan dan jatuh ke bawah sebagai hujan air, hujan es, dsb. (Anthes, Richard A.; John J. Cahir; Alistair B. Fraser; and Hans A. Panofsky, 1981, The Atmosphere, s. 269; Millers, Albert; and Jack C. Thompson, 1975, Elements of Meteorology, s. 141-142) 

Kita harus ingat bahwa para ahli meteorologi hanya baru-baru ini saja mengetahui proses pembentukan awan hujan ini secara rinci, beserta bentuk dan fungsinya, dengan menggunakan peralatan mutakhir seperti pesawat terbang, satelit, komputer, dsb. Sungguh jelas bahwa Allah telah memberitahu kita suatu informasi yang tak mungkin dapat diketahui 1400 tahun yang lalu.

Sumber :  www.keajaibanalquran.com



PERGERAKAN GUNUNG





Dalam sebuah ayat, kita diberitahu bahwa gunung-gunung tidaklah diam sebagaimana yang tampak, akan tetapi mereka terus-menerus bergerak.


وَتَرَى الْجِبَالَ تَحْسَبُهَا جَامِدَةً وَهِيَ تَمُرُّ مَرَّ السَّحَابِ ۚ صُنْعَ اللَّهِ الَّذِي أَتْقَنَ كُلَّ شَيْءٍ ۚ إِنَّهُ خَبِيرٌ بِمَا تَفْعَلُونَ

Dan kamu lihat gunung-gunung itu, kamu sangka dia tetap di tempatnya, padahal ia berjalan sebagai jalannya awan. (Begitulah) perbuatan Allah yang membuat dengan kokoh tiap-tiap sesuatu; sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. 
(QS An-Naml: 88)

Gerakan gunung-gunung ini disebabkan oleh gerakan kerak bumi tempat mereka berada. Kerak bumi ini seperti mengapung di atas lapisan magma yang lebih rapat. 

Pada awal abad ke-20, untuk pertama kalinya dalam sejarah, seorang ilmuwan Jerman bernama Alfred Wegener mengemukakan bahwa benua-benua pada permukaan bumi menyatu pada masa-masa awal bumi, namun kemudian bergeser ke arah yang berbeda-beda sehingga terpisah ketika mereka bergerak saling menjauhi.

Para ahli geologi memahami kebenaran pernyataan Wegener baru pada tahun 1980, yakni 50 tahun setelah kematiannya. Sebagaimana pernah dikemukakan oleh Wegener dalam sebuah tulisan yang terbit tahun 1915, sekitar 500 juta tahun lalu seluruh tanah daratan yang ada di permukaan bumi awalnya adalah satu kesatuan yang dinamakan Pangaea. Daratan ini terletak di kutub selatan.

Sekitar 180 juta tahun lalu, Pangaea terbelah menjadi dua bagian yang masing-masingnya bergerak ke arah yang berbeda. Salah satu daratan atau benua raksasa ini adalah Gondwana, yang meliputi Afrika, Australia, Antartika dan India. Benua raksasa kedua adalah Laurasia, yang terdiri dari Eropa, Amerika Utara dan Asia, kecuali India. Selama 150 tahun setelah pemisahan ini, Gondwana dan Laurasia terbagi menjadi daratan-daratan yang lebih kecil.

Benua-benua yang terbentuk menyusul terbelahnya Pangaea telah bergerak pada permukaan Bumi secara terus-menerus sejauh beberapa sentimeter per tahun. Peristiwa ini juga menyebabkan perubahan perbandingan luas antara wilayah daratan dan lautan di Bumi.

Pergerakan kerak Bumi ini diketemukan setelah penelitian geologi yang dilakukan di awal abad ke-20. Para ilmuwan menjelaskan peristiwa ini sebagaimana berikut:

Kerak dan bagian terluar dari magma, dengan ketebalan sekitar 100 km, terbagi atas lapisan-lapisan yang disebut lempengan. Terdapat enam lempengan utama, dan beberapa lempengan kecil. Menurut teori yang disebut lempeng tektonik, lempengan-lempengan ini bergerak pada permukaan bumi, membawa benua dan dasar lautan bersamanya. Pergerakan benua telah diukur dan berkecepatan 1 hingga 5 cm per tahun. Lempengan-lempengan tersebut terus-menerus bergerak, dan menghasilkan perubahan pada geografi bumi secara perlahan. Setiap tahun, misalnya, Samudera Atlantic menjadi sedikit lebih lebar. (Carolyn Sheets, Robert Gardner, Samuel F. Howe; General Science, Allyn and Bacon Inc. Newton, Massachusetts, 1985, s. 30)
Ada hal sangat penting yang perlu dikemukakan di sini: dalam ayat tersebut Allah telah menyebut tentang gerakan gunung sebagaimana mengapungnya perjalanan awan. (Kini, Ilmuwan modern juga menggunakan istilah "continental drift" atau "gerakan mengapung dari benua" untuk gerakan ini. (National Geographic Society, Powers of Nature, Washington D.C., 1978, s.12-13)
Tidak dipertanyakan lagi, adalah salah satu kejaiban Al Qur'an bahwa fakta ilmiah ini, yang baru-baru saja ditemukan oleh para ilmuwan, telah dinyatakan dalam Al Qur'an.

Kamis, 13 Februari 2014

FUNGSI GUNUNG MENURUT AL QUR'AN





REPUBLIKA.CO.ID, Para ahli geologi telah lama meneliti fungsi gunung sebagai pondasi penguat permukaan bumi.  Adalah Profesor Emeritus Frank Press dari Washington, Amerika Serikat (AS), salah seorang Geolog yang mengkaji tentang gunung sebagai sebagai pasak bumi.

Penasihat bidang ilmu pengetahuan di era kepemimpinan Presiden AS Jimmy Carter itu sempat menulis buku berjudul "The mountains, like pegs, have deep roots embedded in the ground.” Lewat buku "Gunung, seperti pasak, berakar di dalam tanah" itu, Press mengungkapkan apabila gunung dibelah berbentuk irisan maka akan terlihat akar atau alur bersama lava yang mengikat kuat di dasar tanah.

Ia juga mengungkapkan fungsi gunung yang memainkan peran penting dalam menstabilkan kerak bumi. Hasil penelitian ilmiah itu sebenarnya sudah disebut dalam kitab suci Alquran, sejak 1400 tahun yang lalu. Penemuan Press itu membuktikan bahwa Alquran adalah mukjizat dan firman Allah SWT.

Simaklah Alquran surah Al-Anbiya ayat 31:  


 وَجَعَلْنَا فِي الْأَرْضِ رَوَاسِيَ أَنْ تَمِيدَ بِهِمْ وَجَعَلْنَا فِيهَا فِجَاجًا سُبُلًا لَعَلَّهُمْ يَهْتَدُونَ

“Dan telah Kami jadikan di bumi ini gunung-gunung yang kokoh supaya bumi itu (tidak) goncang bersama mereka…” 


Dalam surah Al-Naba ayat 6-7, Allah SWT berfirman,  


 أَلَمْ نَجْعَلِ الْأَرْضَ مِهَادًا

"Bukankan telah Kami jadikan bumi sebagai hamparan.

 وَالْجِبَالَ أَوْتَادًا

 Dan Kami jadikan gunung-gunung sebagai pasak?"

 
Mengapa gunung diistilahkan sebagai pasak? Menurut Prof Press, sebenarnya, kerak bumi mengapung di atas cairan. Lapisan terluar bumi membentang 5 km dari permukaan. Kedalaman lapisan gunung menghujam sejauh yang 35 km. Dengan demikian, pegunungan adalah semacam pasak yang didorong ke dalam bumi.

"Jadi gunung inilah yang berfungsi sebagai pasak untuk menstabilkan kerak bumi," ungkap  Prof Press.

Hal senada juga diungkapkan Profesor Siaveda,  ahli geologi dari Jepang. Menurut Siaveda, ketika lempengan bumi saling bertumbukkan, makalempengan yang lebih kuat menyelip di bawah lempengan yang satunya. Sementara yang di atas melipat dan membentuk dataran tinggi dan gunung. Inilah yang mengikat kuat di dasar permukaan bumi.

Simak firman Allah dalam surah An-Nahl ayat 15 ini:


وَأَلْقَىٰ فِي الْأَرْضِ رَوَاسِيَ أَنْ تَمِيدَ بِكُمْ وَأَنْهَارًا وَسُبُلًا لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ

"Dan Dia menancapkan gunung gunung di bumi supaya bumi ini tidak berguncang bersama kamu." 



Minggu, 09 Februari 2014

WANITA PERTAMA YANG MASUK SURGA



 


Wanita Sholihah merupakan dambaan setiap pria yang sholeh pula, banyak cerita-cerita para sholihin di jaman Rasulullah, sebelum dan sesudahnya yang bisa kita ambil Ibrohnya agar kita/kaum wanita di jaman ini dapat selamat dari fitnah dunia dan meninggalkan dunia yang fana ini dalam keadaan khusnul khotimah, amin.

Siapakah sebenarnya wanita yang pertama akan masuk surga sebelum Fatimah binti Rasulullah SAW?

Dalam sebuah hadist menceritakan, antara lain kegemaran Rasulullah adalah suka bergurau yang sopan untuk memberi pengajaran. Suatu hari ketika Rasulullah sedang melayani puteri kesayangannya, Fatimah, baginda bersabda, “Wahai anakku! Ketahuilah olehmu bahwa ada seorang perempuan yang akan masuk surga terlebih dahulu dari dirimu.”


Mendengar kata-kata ayahnya, serta merta berubahlah air muka Fatimah. Bertanya dia kepada baginda sambil menangis, “Siapakah perempuan itu wahai ayah? bagaimana keadaannya dan bagaimana pula amal ibadahnya sehingga dia terlebih dahulu masuk surga daripada anakmu? Kabarkanlah di mana dia sekarang, anakmu mau menemui dia.”

Lalu Rasulullah menjelaskan, “Dia adalah seorang wanita yang miskin, tinggal di sebuah kampung kawasan pedalaman dekat Jabal Uhud, kira-kira 3 mil dari Kota Madinah. Nama Perempuan itu ialah Muthi’ah.”

Tanpa membuang waktu, setelah mendapat izin ayahnya, Fatimah pun keluar mencari perempuan yang dikatakan oleh Rasulullah itu.

Setelah bertanya kepada penduduk setempat, banyak yang tidak tahu dan mengenali perempuan bernama Muthi’ah ini. Dia bukan perempuan yang terkenal. Masing-masing mengatakan tidak pernah mendengar dan tidak mengetahui perempuan ini.

Setelah berbagai usaha mencarinya, dengan izin Allah, akhirnya berjumpalah Fatimah dengan rumah perempuan yang dimaksudkan itu. Rumah Muthi’ah berada di kawasan pedalaman, jauh dari pemukiman orang-orang. Mungkin sebab itulah susah mencarinya.

Setelah memberi salam dan beberapa kali mengetuk pintu, ada suara kedengaran menjawab salam dari dalam sedangkan orangnya belum juga muncul. Setelah agak lama Fatimah menunggu, penghuni rumah itu pun mengintip dari jendela, sambil bertanya siapakah yang berada di luar dan ada keperluan apa. Dia tidak mempersilahkan tamunya itu masuk. Mereka hanya berbicara melalui jendela saja.

Fatimah memperkenalkan dirinya: “Saya Fatimah binti Rasulullah, maksud kedatangan saya ke sini karena ingin berjumpa dan berkenalan dengan anda.”

Mendengar tamu yang datang itu ialah putri Rasulullah, maka perempuan itu menjawab: “Terima kasih karena datang ke rumah saya, tetapi saya tidak dapat mengizinkan anda masuk karena suami saya tidak ada di rumah. Nanti saya minta izin dulu apabila dia kembali dari bekerja. Silakan datang besok saja lagi”

Dengan langkah yang amat berat, Fatimah pulang dengan perasaan yang sangat hampa karena tidak dapat berbicara panjang dan mengetahui rahasia amalannya.

Keesokan harinya, Fatimah datang lagi bersama-sama anaknya, Hasan. Segera setelah sampai dia memberi salam dan perempuan itu pun terus membuka pintu karena dia sudah mengetahui tamu yang datang itu ialah Fatimah.

Setelah ia mempersilakan masuk, tiba-tiba dia terlihat ada seorang anak kecil bersama-sama Fatimah lalu dia bertanya: “Fatimah, ini siapa?”
“Anak saya, Hasan,” sahut Fatimah.

Perempuan itu berkata, “Saya bersedih karena saya belum minta izin dari suami saya. Yang diizinkan hanyalah Fatimah seorang. Oleh karena itu saya perlu minta izin dahulu dari suami lagi. Silakan datang besok saja.”

Fatimah jadi serba salah. Akhirnya setelah berfikir panjang lebar, dia pun ambil keputusan untuk kembali.

Keesokan harinya, Fatimah datang pula dengan membawa kedua-dua anaknya yaitu Hasan dan Husein. Setelah memberi salam, mereka segera disambut oleh penghuni rumah itu.

“Fatimah dengan Hasankah?” Tanya perempuan itu minta kepastian.

Jawab Fatimah, “Kami datang bertiga karena anak saya yang satu ini (Husein) mau ikut juga.”
“Fatimah, saya minta maaf lagi karena anak yang satu ini (Husein) saya belum minta izin dari suami saya. Silakan datang esok hari,” tegas perempuan itu.

Mendengarkan kata-kata itu, Fatimah tersipu-sipu menyahut, “Baiklah kalau begitu besok saya datang lagi kemari.”

Dalam perjalanan pulang ke rumahnya, hatinya berkata-kata : “Perempuan ini takut benar akan suaminya, sehingga perkara yang sekecil begini pun dia tidak berani melakukannya. Jika dia benarkan aku masuk, tak mungkinlah suaminya marah. Tak perlulah pandang aku ini siapa, anak siapa dan dua anak ini cucu siapa, pandanglah (hormatilah) aku ini sebagai tamu yang datang dari jauh saja sudahlah,” bisik hatinya, kesal.

Sekembali Siti Fatimah meninggalkan rumahnya, kemudian suaminya pulang, perempuan itu pun memberitahu tentang anak Fatimah yang satu lagi. Suaminya terkejut dan heran, “Mengapa engkau ragu sekali? Bukankah Fatimah itu puteri Rasulullah SAW dan dua anaknya itu adalah cucu baginda? Tahukah engkau istriku keselamatan kita berdua kelak bergantung kepada keridloan Rasulullah. Jangan sekali-kali engkau berbuat seperti itu lagi. Jika mereka datang lagi ke sini dengan membawa apa pun dan siapa pun, terimalah dengan baik, dan hormatilah mereka semua sebagaimana yang pantas bagi derajat mereka.”

“Baiklah, tetapi ampunilah kesalahan saya karena saya mengerti bahawa apa yang saya tahu, keselamatan diri saya juga bergantung pada keridloan suamiku. Oleh karena itu, saya tidak berani membuat masalah yang akan membawa kemarahan atau menyakiti hati suamiku.”

“Terima kasih,” sahut suaminya. “Tapi jangan lagi sampai engkau tidak menerima tamu perempuan melainkan dengan izin aku, karena menghormati tamu perempuan itu wajib pada adat dan agama kita.”

Pada hari berikutnya, Sayyidatuna Fatimah pun datang seperti yang dijanjikan dengan membawa dua orang puteranya itu. Setelah dijemput masuk dan dijamu dengan sedikit buah kurma dan air, mereka pun berkenalan serta memulai perbincangan.

Pertanyaan Fatimah banyak berkisar mengenai rahasia amal ibadah yang menjadi penyebab Muthi’ah menjadi wanita pertama masuk surga menurut ayahnya. Setelah memperkenalkan dirinya, Muthi’ah menjawab semua pertanyaan Fatimah dengan ikhlas.

Katanya, “Tingkah laku saya biasa saja, tidak ada yang istimewa, amal ibadahpun biasa saja, malah Rasulullah lebih mengetahui akan segalanya. Saya hanya menuruti apa yang dianjurkan oleh baginda dalam hal kewajiban saya sebagai isteri. Antaranya:
1. Saya tidak boleh meninggalkan rumah tanpa izin suami jika suami saya keluar bekerja.
2. Saya tidak boleh menerima tamu (terutama lelaki) jika tidak ada izin suami.
3. Saya tidak akan berkeluh-kesah jika suami tidak mempunyai harta.
4. Saya berusaha agar suami saya senang dan cinta kepada saya.
5. Saya tidak cepat-cepat cemburu.
6. Saling mengerti dan menghargai antara kami berdua.

Soal berhias dan berdandan, menurut Mith’iah, dia hanya mengutamakan kecantikannya untuk suami, bukan untuk ditonton dan diperagakan kepada orang lain.
Sebagian riwayat menyatakan, Muth’iah mondar-mandir berjalan ke pintu rumahnya sambil memandang ke jalan seolah-olah sedang menantikan seseorang. Dia seolah-olah tidak begitu mempedulikan Fatimah.

Di tangannya terdapat tongkat dan sebuah wadah berisi air,
Melihat keadaan Muth’iah yang agak aneh, Fatimah merasa gelisah karena dia rasa tidak dipedulikan. Fatimah bertanya: “Mengapa begini?”
Sahut Muth’iah: “Fatimah, maafkan saya karena saya sedang menantikan suami saya pulang.”
“Mengapa ada wadah air itu?” Tanya Sayyidatuna Fatimah. Jawab Muthi’ah jujur: “Kiranya suami saya haus ketika dia pulang dari bekerja, saya akan segera memberikan air ini kepadanya supaya tidak terlambat. Jika terlambat nanti, khawatir dia akan marah kepada saya.”

Fatimah bertanya lagi: “Mengapa dengan rotan ini?” Jawab Muthi’ah, “Jika suami saya marah atau kurang layanan dari saya, mudahlah dia memukul saya dengan rotan ini.”
“Atas kehendak suamimukah kau bawa rotan itu” tanya Fatimah.
“Oh, sama sekali tidak. Suami saya seorang yang penyayang. Ini semata-mata kehendak saya agar jangan sampai menjadi isteri derhaka kepada suami.”

Fatimah termenung, Wajarlah menurut ayahnya, dia terlebih dahulu masuk surga daripada aku. Ternyata benarlah bahawa keselamatan wanita yang telah bersuami itu bergantung kepada ketaatan dan keridloan suami terhadapnya.”

Fatimah minta diri. Dia terus pulang menghadap ayahnya dan menceritakan segala yang terjadi.
“Wahai anakku, itulah rahasianya mengapa Muthi’ah wanita pertama masuk syurga,” kata baginda kepada Fatimah.

Melihat kesedihan puterinya itu, Rasululah tersenyum sambil berkata, “Wahai anakku, janganlah bersusah hati. Perempuan yang engkau jumpa itu (Muthi’ah) ialah perempuan yang akan memimpin dan memegang tali tungganganmu tatkala engkau masuk surga nanti. Jadi dialah yang akan masuk terlebih dahulu daripada engkau anakku.”

Setelah mendengar penjelasan ayahnya itu, barulah nampak Fatimah mulai gembira dan tersenyum.
Begitulah ganjaran yang Allah berikan kepada Muthi’ah. Semoga amalan yang dilakukannya itu sedikit sebanyak akan menjadi panduan dan dorongan kepada wanita-wanita terutama bagi mereka yang sudah berumahtangga.

Sumber :  www.sarkub.com

KEUTAMAAN BERBAKTI KEPADA ORANG TUA




 


"Bila kepada ibumu engkau berbakti, maka Allah yang paling bersyukur Dia membalas amal baktimu dengan pahala yang amat besar sekalipun amal yang kau lakukan minim, sangat sedikit "

 

Kami akan membahas topik bagaimana kita harus berbakti pada orangtua, karena berbakti kepada orangtua merupakan salahsatu sendi agama yang harus senantiasa diperhatikan karena berbakti pada orangtua bisa menjadi penebus dosa dan menambah keberkahan hidup.


                

               
               1. Sebagai Penebus Dosa

 
Imam Tirmidzi dan Ibnu Hibban menyuguhkan sebuah riwayat bersumber dari Abdullah bin Umar: Pada suatu ketika ada seorang lelaki datang menghadap Rasuluilah, seraya berkata: "Ya Rasulallah, aku telah melakukan dosa besar. Adakah taubatku masih bisa diterima?" Rasuluilah balik bertanya:" Adakah ibumu masih hidup?" Dalam riwayat lain diterangkan,bahwa Rasuluilah bertanya: "Adakah kamu masih memiliki kedua orangtua?" Jawabnya: "Tidak, aku sudah tidak memiliki orangtua." Lantas Rasulullah kembali bertanya: "Adakah kamu masih memiliki bibi (saudara perempuan ibu)?" Jawabnya: "Ya, masih." Kemudian Rasuluilah bersabda: "Sebagai tebusannya, berbaktilah kepada bibimu." Dalam pandangan Islam, khalah (bibi) kedudukannya adalah sama dengan ibu
Ibnu Abbas pada suatu ketika bercerita kepada Atha' bin Yasar, bahwa ada seorang lelaki datang menghadap kepadanya. Lelaki itu bertanya: "Ya Ibn Abbas, aku telah melamar seorang wanita jelita. Tetapi dia menolak lamaranku. Pada saat yang lain dia dilamar lelaki lain, dan lamaran itu diterima. Hal tersebut membuat hatiku kalut dan cemburu, sehingga wanita Itu aku bunuh. Ya Ibn Abbas, masihkah terbuka pintu taubat bagiku?" Ibnu Abbas lalu bertanya: "Adakah ibumu masih hidup?" Jawabnya: "Tidak, ibuku sudah meninggal." Selanjutnya Ibnu Abbas berkata: "Bertaubatlah kepada Allah dan bertaqarrublah kepada-Nya dengan semaksimal mungkin." 

Dalam kisah di atas ditegaskan, bahwa kemudian Atha' mengajukan pertanyaan kepada Ibnu Abbas: "Mengapa kamu menanyakan apakah ibunya masih hidup atau sudah meninggal?" Jawab Ibnu Abbas: "Aku belum pernah mengetahui suatu amalan pun yang lebih mendekatkan diri kepada Allah selain daripada berbakti kepada ibu." Keterangan ini juga diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalara kitab Al-Adahul-Mufrad, dan oleh Imam Baihaqi dalam kitab Syu 'abul-lman.
 
Jadi, "berbakti kepada orangtua, pada dasarnya dapat melebur dosa besar." Ini sejalan dengan riwayat yang dinuqil Imam Safarini dalam kitab Syarah Manzhumatil Adab yang bersumber dari Imam Ahmad. Yakni berbakti kepada orangtua dapat melebur dosa-dosa besar. Dan Imam Ahmad menegaskan, bahwa keterangan ini berdasarkan apa yang dituturkan oleh Imam Ibnu Abdil-Bar dari Makkhul.

2. Menambah Keberkahan Hidup
 
Rasulullah telah menghimbau dengan sabdanya: 

"Barangsiapa ingin panjang umur dan beroleh rizki melimpah ruah, maka hendaklah dia berbakti kepada orangtua dan menyambung tali persaudaraan." (HR Imam Ahmad dari Anas bin Malik).
 
Rasulullah telah menegaskan, bahwa barangsiapa berbakti kepada orangtua, maka dia akan memperoleh kebahagiaan panjang umur yang penuh keberkatan.(HR. Imam Abu Ya'la dan Thabrani bersumber dari Mu'adz bin Jabal) 

Imam Ibnu Majah dan Ibnu Hibban menyuguhkan sebuah riwayat bersumber dari Tsauban, bahwa Rasulullah pada suatu ketika pernah menegaskan bahwa seseorang adakalanya mendapat kesempitan ekonomi sebagai akibat dari dosa yang dilakukan. Dan tidak ada yang dapat menolak takdir Allah kecuali doa, serta tidak ada yang dapat menambah keberkatan umur kecuali dengan berbakti kepada orangtua. Jadi, dalam konteks ini Rasulullah menggariskan, bahwa kelapangan rizki serta keberkatan hidup dapat digapai dengan memperbanyak taubat dan meningkatkan birrul-walidain.
Imam Hakim juga mengetengahkan sebuah riwayat yang bersumber dari Abi Hurairah, bahwa Rasulullah telah berpesan, "Berbaktilah kepada kedua orangtuamu, tentu anak-anakmu kelak akan berbakti kepadamu. Barangsiapa dimintai maaf oleh saudaranya hendaklah dia memaafkannya, baik dia berada di pihak yang benar maupun di pihak yang salah. Apabila dia tidak melakukannya, maka kelak tidak akan dapat mendatangi telagaku di sorga." 

Imam Thabrani meriwayatkan sebuah hadis bersumber dari Abdullah bin Umar, bahwa Rasulullah pernah berpesan: "Berbaktilah kepada orangtuamu, niscaya anak-anakmu akan berbakti kepadamu. Peliharalah kehormatan istri orang lain, niscaya istrimu juga akan terpelihara dari perbuatan tercela." 

Jadi, orangtua adalah cermin masa depan anak. Bila dalam rumahtangga terbina hubungan yang harmonis antar anggota keluarga, saling memenuhi hak masing-masing serta saling menghormati, maka sudah barang tentu anak-anak pun pada masa mendatang akan selalu menjunjung tinggi perintah orangtua, memelihara dan menjaganya ketika sudah lanjut usia. Sebab pada awal mulanya orangtua tersebut telah memberikan contoh langsung dalam bentuk perbuatan berbakti kepada orangtua. Artinya, orangtua tersebut telah melakukan birrul walidain di hadapan anak-anak, sehingga mereka tidak merasa berkeberatan mengikuti jejak langkah orangtuanya. Kebiasaan dalam rumahtangga akan dibawa oleh anak-anak dalam mengarungi jenjang rumahtangga baru. Karena itu suasana damai, saling menghormati, dan penuh kasih harus diciptakan setiap saat. Cara yang paling tepat adalah dengan memelihara dan memenuhi hak masing-masing.
Imam Nasai menyuguhkan sebuah riwayat bersumber dari Aisyah, bahwa Rasulullah pernah bercerita: Ketika beliau memasuki sorga, mendengar sebuah qiraah (bacaan Al-Qur'an). Beliau bertanya: "Siapa dia?" Jawabnya: "Dia adalah Haritsah bin Nukman yang selalu berbakti kepada ibunya." Suara merdu alunan kalam Ilahi tersebut sebagai balasan atas kebaikannya dalam berbakti kepada orangtua. Dan memang Haritsah bin Nukman seorang yang paling berbakti kepada orangtua, sehingga memperoleh kedudukan serta derajat tinggi di sorga. 

Pada suatu ketika ada seorang lelaki datang kepada Abi Darda', lalu bercerita. Dalam ceritanya dia berkata: "Ayahku hingga kini masih selalu mengatur diriku, sekalipun aku sudah dinikahkan. Bahkan sekarang memerintahkan kepadaku agar menceraikan istriku." Abi Darda' mendengar pengaduan lelaki tersebut langsung berkata: "Aku bukan termasuk model orang yang akan menyuruh kamu mendurhakai orangtua, dan bukan pula orang yang memerintahkan kepadamu untuk menceraikan istri. Tetapi kalau kamu bersedia mendengarkan, aku akan menyampaikan sesuatu yang pernah aku dengar dari Rasulullah. Beliau pernah bersabda: "Ayah adalah pintu sorga yang paling tengah. Maka bila kamu mau, peliharalah pintu itu. Dan jika tidak, maka tinggalkanlah." Demikian Imam Ibnu Hibban meriwayatkan dalam kitab Shahihnya. 

Imam Baidhawi menjelaskan tentang maksud hadis di atas, bahwa amal perbuatan yang paling tepat untuk dijadikan sarana masuk sorga, serta jalan yang paling tepat untuk meraih derajat yang mulia dan kedudukan yang luhur di dalam sorga, adalah berbakti kepada kedua orangtua, menghormati, menyantuni, dan memelihara serta mengendalikan diri jangan sampai menyinggung apalagi menyakiti perasaan maupun badannya.
Imam Al-Hifni menegaskan, bahwa pengertian yang terkandung dalam hadis tersebut adalah bahwa taat dan berbakti kepada orangtua merupakan penyebab yang mengantar seseorang masuk pintu sorga yang paling utama, dan bersukaria di dalamnya. Jadi, yang dimaksud: Ayah adalah pintu sorga yang paling tengah bukanlah suatu pengertian kongkrit. Tetapi sejalan dengan sebuah riwayat hadis marfu'yang menegaskan: "Pintu sorga yang paling tengah selalu terbuka bagi mereka yang berbakti kepada kedua orangtua. 

Barangsiapa berbakti kepada kedua orangtua, baginya dibukakan pintu sorga. Dan barangsiapa durhaka kepada kedua orangtua, maka pintu sorga tertutup buatnya." Jadi, sorga hanya diberikan kepada seseorang yang berbakti kepada orangtua. Dan pintu neraka terbuka luas bagi mereka yang mendurhakainya. Demikian Ibnu Syahin mengetengahkan sebuah riwayat dalam kitab At-Targhib, dan Imam Dailami dalam kitab Musnadul-Firdaus.
Keberkatan hidup, kebahagiaan lahir batin bagi seseorang sangat tergantung pada bagaimana dia menyikapi terhadap orangtua. Semakin tinggi tingkat ketaatan dan kebaktiannya, maka keberkatan hidup yang semakin luas pun menyertainya.
Semoga kita semua dapat memahami dan mengamalkan teladan dari kisah-kisah sahabat yang semuanya diriwayatkan dalam hadist Nabi SAW, Aamiin Yaa Robbal 'aalamiin


Sumber : http://www.sarkub.com

Sabtu, 08 Februari 2014

ADAB MEMINJAM (HUTANG)



Islam adalah agama yang mulia. Islam telah mengatur seluruh permasalahan di dalam kehidupan bermasyarakat, termasuk di dalamnya adalah permasalahan hutang-piutang.

Islam tidak hanya membolehkan seseorang berhutang kepada orang lain, tetapi Islam juga mengatur adab-adab dan aturan-aturan dalam berhutang.
Hukum asal dari berhutang adalah boleh (jaa-iz). Allah subhaanahu wa ta'aala menyebutkan sebagian adab berhutang di dalam Al-Qur’an. Allah subhaanahu wa ta’aala berfirman:


{ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوهُ }

“Hai orang-orang yang beriman! Apabila kalian ber-mu'aamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kalian menuliskannya.” (QS Al-Baqarah: 282)

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah berhutang. Di akhir hayat beliau, beliau masih memiliki hutang kepada seorang Yahudi, dan hutang beliau dibayarkan dengan baju besi yang digadaikan kepada orang tersebut.
Diriwayatkan dari ‘Aisyah radhiallaahu 'anhaa, bahwasanya dia berkata:


( أَنَّ النَّبِيَّ -صلى الله عليه وسلم- اشْتَرَى طَعَامًا مِنْ يَهُودِيٍّ إِلَى أَجَلٍ فَرَهَنَهُ دِرْعَهُ )

“Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam membeli makanan dari seorang Yahudi dengan tidak tunai, kemudian beliau menggadaikan baju besinya.” (HR Al-Bukhari no. 2200)

Akan tetapi, banyak kaum muslimin yang menganggap remeh hal ini. Mereka merasa nyaman dengan adanya hutang yang “melilit’ dirinya. Bahkan, sebagian dari mereka di dalam hidupnya tidak pernah sedetik pun ingin lepas dari hutang. Sebelum lunas pinjaman yang pertama, maka dia ingin meminjam lagi untuk yang kedua, ketiga dan seterusnya.
Jika hal ini dibiarkan, maka ini akan berlarut-larut dan akan “menular” kepada orang lain di sekitarnya. Terlebih lagi, dengan banyaknya fasilitas untuk berhutang yang disediakan oleh lembaga-lembaga, badan-badan atau perusahaan-perusahaan yang menganut sistem ribawi. Dan parahnya, tidak hanya orang-orang awam yang terlibat dengan hal-hal seperti ini, orang yang sudah lama mengaji, orang berilmu dan orang-orang kaya pun turut berpartisipasi dalam “meramaikannya”. Na’uudzu billaahi min dzaalika.

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam sangat takut berhutang dan sangat takut jika hal tersebut menjadi kebiasaannya. Mengapa demikian?

Diriwayatkan dari ‘Aisyah radhiallaahu 'anhaa, bahwasanya dia mengabarkan, “Dulu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam sering berdoa di shalatnya:


( اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ فِتْنَةِ الْمَسِيحِ الدَّجَّالِ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ فِتْنَةِ الْمَحْيَا وَفِتْنَةِ الْمَمَاتِ, اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْمَأْثَمِ وَالْمَغْرَمِ )

“Ya Allah! Sesungguhnya aku berlindung kepadamu dari azab kubur, dari fitnah Al-Masiih Ad-Dajjaal dan dari fitnah kehidupan dan fitnah kematian. Ya Allah! Sesungguhnya aku berlindung kepadamu dari hal-hal yang menyebabkan dosa dan dari berhutang.“
Berkatalah seseorang kepada beliau:


( مَا أَكْثَرَ مَا تَسْتَعِيذُ مِنَ الْمَغْرَمِ؟ )

“Betapa sering engkau berlindung dari hutang?”

Beliau pun menjawab:


( إِنَّ الرَّجُلَ إِذَا غَرِمَ, حَدَّثَ فَكَذَبَ وَوَعَدَ فَأَخْلَفَ. )

“Sesungguhnya seseorang yang (biasa) berhutang, jika dia berbicara maka dia berdusta, jika dia berjanji maka dia mengingkarinya.” (HR Al-Bukhaari no. 832 dan Muslim no. 1325/589)

Perlu dipahami bahwa berhutang bukanlah suatu perbuatan dosa sebagaimana telah disebutkan. Tetapi, seseorang yang terbiasa berhutang bisa saja mengantarkannya kepada perbuatan-perbuatan yang diharamkan oleh Allah subhaanahu wa ta'aala. Pada hadits di atas disebutkan dua dosa akibat dari kebiasaan berhutang, yaitu: berdusta dan menyelisihi janji. Keduanya adalah dosa besar bukan?

Mungkin kita pernah menemukan orang-orang yang sering berhutang dan dililit oleh hutangnya. Apa yang menjadi kebiasaannya? Bukankan orang tersebut suka berdusta, menipu dan mengingkari janjinya? Allaahumma innaa na’udzu bika min dzaalika.
Mungkin di antara pembaca ada yang mengatakan, “Bukankan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam sendiri berhutang?”

Ya, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam berhutang karena sangat membutuhkan hal tersebut pada saat itu. Coba kita perhatikan dengan seksama hadiits yang telah disebutkan. Bukankan yang dihutangi oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam adalah makanan? Jika benar-benar memiliki kebutuhan, maka hal tersebut bukanlah sesuatu yang tercela.
Tetapi perlu diingat, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah melakukan hal yang mulia ketika beliau berhutang. Apakah hal yang mulia tersebut? Beliau menggadaikan baju besinya sebagai jaminan. Apabila beliau tidak mampu membayarnya, maka baju besi itulah yang menjadi pembayarannya.

Begitulah seharusnya yang kita lakukan ketika berhutang. Kita harus memiliki jaminan dalam berhutang. Jaminan-jaminan tersebut bisa berupa:

1. Harta yang dimiliki

Misalkan seseorang ingin membeli motor, dia memiliki uang di simpanannya sebanyak Rp 15 juta. Uang tersebut tidak berani dia keluarkan, karena menjadi simpanan usahanya yang harus di sisakan di simpanan bisnisnya, untuk berjaga-jaga dalam permodalan atau karena hal-hal lain. Kemudian orang tersebut membeli motor dengan kredit seharga Rp 15 juta kepada seseorang dengan batas waktu yang telah ditentukan.
Hal seperti ini tidak tercela, karena seandainya dia meninggal, maka dia memiliki jaminan harta yang ada di simpanannya.

2. Menggadaikan barang (Ar-Rahn)

Hal ini telah dijelaskan sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam.

3. Mengalihkan hutang kepada piutang yang dimiliki (Al-Hawaalah/Al-Hiwaalah)

Misalkan si A memiliki piutang (orang lain [si B] berhutang kepadanya) sebesar Rp 5 juta, kemudian orang tersebut ingin berhutang kepada si C sebesar Rp 5 juta. Si A mengatakan kepada si C, “Bagaimana menurutmu jika piutangku pada si B menjadi jaminan hutang ini.” Kemudian si C pun menyetujuinya. Maka hal tersebut juga tidak tercela dan pengalihan seperti ini diperbolehkan di dalam Islam. Seandainya si A meninggal, maka hutang tersebut menjadi tanggung jawab si B untuk membayarkannya kepada si C.

4. Mencari penanggung jawab atas hutang yang dimiliki (Al-Kafaalah)

Misalkan seseorang membutuhkan biaya yang sangat besar secara mendadak, seperti: biaya operasi yang diakibatkan oleh kecelakaan. Orang tersebut tidak memiliki uang atau harta sebagai jaminannya. Pihak rumah sakit meminta orang tersebut mencari seorang penanggung jawab (kafil) atas hutangnya tersebut. Seandainya orang tersebut kabur atau meninggal dunia, maka penanggung jawabnyalah yang membayarkan hutangnya kepada rumah sakit. Hal ini diperbolehkan dengan syarat penanggung jawab tersebut mampu untuk membayarkan hutangnya atau mampu mendatangkan orang yang berhutang tersebut apabila dia kabur.
Jika tidak memiliki jaminan-jaminan yang telah disebutkan di atas, sebaiknya jangan membiasakan diri untuk berhutang. Karena orang yang meninggal sedangkan dia memiliki tanggungan hutang, maka dia akan mendapatkan banyak keburukan. Setidaknya penulis sebutkan tiga keburukan pada tulisan ini.

- Keburukan pertama: Tidak dishalati oleh tokoh-tokoh agama dan masyarakat

Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak menshalati jenazah yang memiliki hutang.



( عَنْ سَلَمَةَ بْنِ الأَكْوَعِ -رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ- قَالَ: كُنَّا جُلُوسًا عِنْدَ النَّبِيِّ -صلى الله عليه وسلم- إِذْ أُتِيَ بِجَنَازَةٍ، فَقَالُوا: صَلِّ عَلَيْهَا ، فَقَالَ : (( هَلْ عَلَيْهِ دَيْنٌ ؟ )), قَالُوا: لاَ، قَالَ: (( فَهَلْ تَرَكَ شَيْئًا ؟ )), قَالُوا: لاَ، فَصَلَّى عَلَيْهِ، ثُمَّ أُتِيَ بِجَنَازَةٍ أُخْرَى، فَقَالُوا: يَا رَسُولَ اللهِ، صَلِّ عَلَيْهَا، قَالَ: (( هَلْ عَلَيْهِ دَيْنٌ ؟ )) قِيلَ : نَعَمْ ، قَالَ: (( فَهَلْ تَرَكَ شَيْئًا؟ )) قَالُوا : ثَلاَثَةَ دَنَانِيرَ، فَصَلَّى عَلَيْهَا، ثُمَّ أُتِيَ بِالثَّالِثَةِ، فَقَالُوا: صَلِّ عَلَيْهَا، قَالَ: (( هَلْ تَرَك شَيْئًا؟ )) قَالُوا : لاَ، قَالَ: (( فَهَلْ عَلَيْهِ دَيْنٌ ؟ )) قَالُوا: ثَلاَثَةُ دَنَانِيرَ ، قَالَ: (( صَلُّوا عَلَى صَاحِبِكُمْ ))، قَالَ أَبُو قَتَادَةَ: صَلِّ عَلَيْهِ يَا رَسُولَ اللهِ، وَعَلَيَّ دَيْنُهُ، فَصَلَّى عَلَيْهِ.)

Diriwayatkan dari Salamah bin Al-Akwa’ radhiallaahu 'anhu, dia berkata, “Dulu kami duduk-duduk di sisi Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, kemudian didatangkanlah seorang jenazah. Orang-orang yang membawa jenazah itu pun berkata, ‘Shalatilah dia!’ Beliau pun bertanya, ‘Apakah dia punya hutang?’ Mereka pun menjawab, ‘Tidak.’ Beliau pun bertanya, ‘Apakah dia meninggalkan harta peninggalan?’ Mereka pun menjawab, ‘Tidak.’ Kemudian beliau pun menshalatinya. Kemudian didatangkan lagi jenazah yang lain. Orang-orang yang membawanya pun berkata, ‘Shalatilah dia!’ Beliau pun bertanya, ‘Apakah dia punya hutang?’ Mereka pun menjawab, ‘Ya.’ Beliau pun bertanya, ‘Apakah dia meninggalkan harta peninggalan?’ Mereka pun menjawab, ‘Ada tiga dinar.’ Kemudian beliau pun menshalatinya. Kemudian didatangkanlah jenazah yang ketiga. Orang-orang yang membawanya pun berkata, ‘Shalatilah dia!’ Beliau pun bertanya, ‘Apakah dia meninggalkan harta peninggalan?’ Mereka pun menjawab, ‘Tidak.’Beliau pun bertanya, ‘Apakah dia punya hutang?’ Mereka pun menjawab, ‘Ada tiga dinar.’ Beliau pun berkata, ‘Shalatlah kalian kepada sahabat kalian! Kemudian Abu Qatadah pun berkata, ‘Shalatilah dia! Ya Rasulullah! Hutangnya menjadi tanggung jawabku.’ Kemudian beliau pun menshalatinya.” (HR Al-Bukhaari no. 2289)

Hadits di atas jelas sekali menunjukkan bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak mau menshalati orang yang punya hutang. Hal ini sebagai bentuk pengajaran beliau bahwa membiasakan diri untuk berhutang sedangkan dia tidak memiliki jaminan adalah sesuatu yang buruk. Oleh karena itu, sudah selayaknya orang-orang terpandang, tokoh masyarakat dan agama melakukan hal seperti ini ketika ada orang yang meninggal dan dia memiliki tanggungan hutang.

- Keburukan kedua: Dosa-dosanya tidak akan diampuni sampai diselesaikan permasalahannya dengan orang yang menghutanginya

Diriwayatkan dari Abu Qatadah radhiallaahu 'anhu dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bahwasanya seseorang bertanya kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam:


( أَرَأَيْتَ إِنْ قُتِلْتُ فِى سَبِيلِ اللَّهِ أَتُكَفَّرُ عَنِّى خَطَايَاىَ ؟)

“Bagaimana menurutmu jika aku terbunuh di jalan Allah, apakah dosa-dosaku akan diampuni?”

Beliau pun menjawab:


( نَعَمْ وَأَنْتَ صَابِرٌ مُحْتَسِبٌ مُقْبِلٌ غَيْرُ مُدْبِرٍ إِلاَّ الدَّيْنَ فَإِنَّ جِبْرِيلَ عَلَيْهِ السَّلاَمُ قَالَ لِى ذَلِكَ )

“Ya, dengan syarat engkau sabar, mengharapkan ganjarannya, maju berperang dan tidak melarikan diri, kecuali hutang. Sesungguhnya Jibril ‘alaihissalam baru memberitahuku hal tersebut.” (HR Muslim no. 4880/1885)

Hadits di atas menjelaskan bahwa ibadah apapun, bahkan yang paling afdhal sekalipun yang merupakan hak Allah tidak bisa menggugurkan kewajiban untuk memenuhi hak orang lain.

- Keburukan ketiga: Ditahan untuk tidak masuk surga, meskipun dia memiliki banyak amalan sampai diselesaikan permasalahannya dengan orang yang menghutanginya

Diriwayatkan dari Tsauban, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:


( مَنْ مَاتَ وَهُوَ بَرِىءٌ مِنْ ثَلاَثٍ: الْكِبْرِ, وَالْغُلُولِ, وَالدَّيْنِ دَخَلَ الْجَنَّةَ )

“Barang siapa yang mati sedangkan dia berlepas diri dari tiga hal, yaitu: kesombongan, ghuluul (mencuri harta rampasan perang sebelum dibagikan) dan hutang, maka dia akan masuk surga. (HR At-Tirmidzi no. 1572, Ibnu Majah no. 2412 dan yang lainnya. Syaikh Al-Albani mengatakan, “Shahih” di Shahih Sunan Ibni Majah)

Oleh karena, sebelum mengakhiri tulisan ini, ada beberapa hal yang ingin penulis nasihatkan untuk diri penulis dan pembaca sekalian:

1 Janganlah membiasakan diri untuk berhutang. Terutama berhutang yang tidak memiliki jaminan.

2. Fasilitas untuk berkecimpung di dalam riba sangatlah banyak sekali di zaman ini. Oleh karena itu, janganlah kita biarkan diri kita berkecimpung di dalamnya! Diriwayatkan dari ‘Abdullah bin Mas’ud, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:


( لَعَنَ اللَّهُ آكِلَ الرِّبَا ، وَمُوكِلَهُ ، وَشَاهِدَهُ ، وَكَاتِبَهُ.)

“Allah melaknat pemakan riba, yang memberi makan, saksi dan juru tulisnya.” (HR Ahmad no. 3725. Syaikh Syu’aib mengatakan, “Shahih li ghairih.”)

3. Apabila ingin berhutang, maka niatkanlah dengan hati yang jujur untuk segera melunasi hutang tersebut pada waktu yang telah dijanjikan. Insya Allah, Allah akan membantu pelunasannya.

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:


( مَنْ أَخَذَ أَمْوَالَ النَّاسِ يُرِيدُ أَدَاءَهَا أَدَّى اللَّهُ عَنْهُ ، وَمَنْ أَخَذَ يُرِيدُ إِتْلاَفَهَا أَتْلَفَهُ اللَّهُ.)

“Barang siapa meminjam harta manusia dan dia ingin membayarnya, maka Allah akan membayarkannya. Barang siapa yang meminjamnya dan dia tidak ingin membayarnya, maka Allah akan menghilangkan harta tersebut darinya.” (HR Al-Bukhaari no. 2387)

4. Apabila telah sampai batas waktu yang telah ditentukan, maka segeralah membayar hutang tersebut dan jangan menunda-nundanya, terkecuali pada saat itu kita tidak memiliki harta untuk membayarnya. Orang yang memiliki harta untuk membayar hutangnya, tetapi dia sengaja memperlambat pembayarannya, maka dianggap sebagai suatu kezoliman/dosa.
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam :


( مَطْلُ الْغَنِيِّ ظُلْمٌ )

“Memperlambat pembayaran hutang untuk orang yang mampu membayarnya adalah kezoliman.” (HR Al-Bukhaari no. 2288 dan Muslim no. 4002/1564)

5. Jika benar-benar tidak mampu membayar hutang pada waktu yang telah ditentukan, maka bersegeralah meminta maaf kepada orang yang menghutangi dan minta tenggang waktu untuk membayarnya.

Demikian tulisan yang singkat ini. Mudahan bermanfaat untuk kita semua dan mohon perkenannya untuk menyampaikan kepada yang lain.


( اللَّهُمَّ إِنِّا نَعُوذُ بِكَ مِنَ الْمَأْثَمِ وَالْمَغْرَمِ )

Ditulis oleh: Ustadz Said Yai Ardiansyah, Lc., M.A. (Alumni Universitas Islam Madinah, Hadits. (S-2) Mediu Malaysia, Fiqhussunnah. Kepala SDIT Al-Istiqomah Prabumulih)

Jumat, 07 Februari 2014

LARANGAN MENJADI PEMINTA-MINTA (PENGEMIS)



Akhir-akhir ini marak sekali pemberitaan tentang pengemis. Pengemis menyebar di mana-mana. Apalagi di wilayah perkotaan. Banyak orang yang tidak memiliki rasa malu untuk mengemis, padahal badan mereka terlihat sangat kuat untuk bekerja.
Ketika seorang pengemis ditanya tentang penghasilan perbulan mereka, maka kebanyakan mereka menjawab bahwa penghasilan mereka melebihi gaji para PNS. Subhanahu wa ta'ala, hanya dengan cara ringkas, menengadahkan tangan di hadapan orang-orang, mereka bisa memiliki penghasilan melebihi orang-orang yang bekerja keras.
Bagaimana sebenarnya Islam memandang hal tersebut? Halalkah berprofesi sebagai pengemis? Apakah mengemis termasuk perbuatan dosa? Insya Allah permasalah ini dijawab pada artikel ini.

Tercelakah mengemis?

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

(( إِنَّ الْمَسْأَلَةَ كَدٌّ يَكُدُّ بِهَا الرَّجُلُ وَجْهَهُ إِلاَّ أَنْ يَسْأَلَ الرَّجُلُ سُلْطَانًا أَوْ فِى أَمْرٍ لاَ بُدَّ مِنْهُ.))

“Sesungguhnya meminta-minta adalah cakaran yang seseorang mencakar sendiri wajahnya, kecuali seseorang yang meminta kepada pemimpin atau pada urusan yang harus untuk meminta.” [1]

(( مَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَسْأَلُ النَّاسَ حَتَّى يَأْتِيَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لَيْسَ فِي وَجْهِهِ مُزْعَةُ لَحْمٍ.))

“Senantiasa seseorang meminta-minta kepada manusia, sampai nanti di hari kiamat wajahnya tidak memiliki daging sedikit pun.”[2]

Kedua hadits ini menerangkan kepada kita bahwa meminta-minta hanya dibenarkan pada sebagian orang saja dan bukan semua orang. Ada orang-orang tertentu yang boleh mengemis. Orang yang tidak berhak mengemis akan dibangkitkan pada hari kiamat dengan tidak memiliki daging di wajahnya. Hal ini menunjukkan orang tersebut benar-benar hina dan tidak memiliki rasa malu.

Hukum harta yang dihasilkan dari mengemis

Mengemis hukum asalnya adalah haram, terkecuali seseorang yang benar-benar terpaksa harus mengemis, seperti: orang yang menanggung hutang untuk orang lain, orang yang ditimpa bencana atau wabah dalam sumber penghasilannya sehingga jatuh miskin dan orang miskin yang dinyatakan miskin oleh tiga tokoh masyarakat di daerahnya.
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pernah berkata kepada Qabishah radhiallahu 'anhu:

(( يَا قَبِيصَةُ! إِنَّ الْمَسْأَلَةَ لاَ تَحِلُّ إِلاَّ لأَحَدِ ثَلاَثَةٍ: رَجُلٍ تَحَمَّلَ حَمَالَةً فَحَلَّتْ لَهُ الْمَسْأَلَةُ حَتَّى يُصِيبَهَا ثُمَّ يُمْسِكُ, وَرَجُلٍ أَصَابَتْهُ جَائِحَةٌ اجْتَاحَتْ مَالَهُ فَحَلَّتْ لَهُ الْمَسْأَلَةُ حَتَّى يُصِيبَ قِوَامًا مِنْ عَيْشٍ -أَوْ قَالَ سِدَادًا مِنْ عَيْشٍ-, وَرَجُلٍ أَصَابَتْهُ فَاقَةٌ حَتَّى يَقُومَ ثَلاَثَةٌ مِنْ ذَوِى الْحِجَا مِنْ قَوْمِهِ لَقَدْ أَصَابَتْ فُلاَنًا فَاقَةٌ فَحَلَّتْ لَهُ الْمَسْأَلَةُ حَتَّى يُصِيبَ قِوَامًا مِنْ عَيْشٍ -أَوْ قَالَ سِدَادًا مِنْ عَيْشٍ-, فَمَا سِوَاهُنَّ مِنَ الْمَسْأَلَةِ يَا قَبِيصَةُ سُحْتًا يَأْكُلُهَا صَاحِبُهَا سُحْتًا.))

“Wahai Qabishah! Sesungguhnya meminta-minta tidak dihalalkan kecuali untuk tiga orang: (1) seseorang yang menanggung hutang untuk orang lain, maka halal baginya meminta sampai dia dapat melunasinya kemudian dia berhenti meminta, (2) seseorang yang tertimpa bencana sehingga hancur hartanya, maka halal baginya meminta sampai dia bisa hidup secukupnya, (3) seorang miskin yang tiga orang yang memiliki akal cerdas dari kaumnya mengatakan bahwa orang tersebut telah tertimpa kemiskinan, maka halal baginya meminta sampai dia bisa hidup secukupnya. Adapun selain ketiga orang ini, wahai Qabishah, maka tidak halal. Orang yang meminta-minta telah memakan harta dengan cara yang haram.”[3]

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam juga bersabda:

(( مَنْ سَأَلَ مِنْ غَيْرِ فَقْرٍ ، فَكَأَنَّمَا يَأْكُلُ الْجَمْرَ.))

“Barang siapa yang meminta bukan karena alasan kemiskinan, maka seolah-olah dia telah memakan bara api.”[4]

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam juga bersabda:

(( مَنْ سَأَلَ النَّاسَ أَمْوَالَهُمْ تَكَثُّرًا فَإِنَّمَا يَسْأَلُ جَمْرًا فَلْيَسْتَقِلَّ أَوْ لِيَسْتَكْثِرْ.))

Barang siapa yang meminta-minta kepada manusia harta-harta mereka untuk memperbanyak harta, maka sesungguhnya dia sedang meminta bara api. Oleh karena itu, dia persedikit (bara api itu) atau dia perbanyak.”[5]

Pada hadits ini diterangkan bahwa orang yang meminta-meminta bukan karena suatu keperluan atau darurat, maka sesungguhnya dia telah melakukan dosa. Apabila dia ingin memperbanyak bara apinya, maka perbanyaklah meminta-minta harta manusia. Jika dia ingin mendapatkan sedikit saja, maka mintalah sedikit saja. Tetapi yang lebih utama adalah orang yang tidak meminta bara api, yaitu orang yang tidak mau meminta-minta kepada manusia.

Apakah meminta-minta termasuk dosa besar?

Seorang yang meminta-minta tanpa ada alasan yang dibenarkan, maka dia telah terjatuh ke dalam dosa besar, sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin.[6]

Dan kita mengetahui bahwa salah satu ciri dosa besar adalah mendapatkan ancaman buruk di akhirat nanti.

Pujian Allah kepada orang miskin yang menahan dirinya untuk meminta-minta

Allah subhanahu wa ta'ala memuji orang yang tidak meminta-minta meskipun mereka adalah orang yang miskin. Allah subhanahu wa ta'ala berfirman:

{ لِلْفُقَرَاءِ الَّذِينَ أُحْصِرُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ لَا يَسْتَطِيعُونَ ضَرْبًا فِي الْأَرْضِ يَحْسَبُهُمُ الْجَاهِلُ أَغْنِيَاءَ مِنَ التَّعَفُّفِ تَعْرِفُهُمْ بِسِيمَاهُمْ لَا يَسْأَلُونَ النَّاسَ إِلْحَافًا وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ خَيْرٍ فَإِنَّ اللَّهَ بِهِ عَلِيمٌ }

“(Berinfaklah) kepada orang-orang fakir yang terikat (untuk jihad) di jalan Allah. Mereka tidak dapat (berusaha) di bumi. Orang yang tidak tahu menyangka mereka adalah orang kaya karena mereka memelihara diri dari minta-minta. Engkau mengenali mereka dengan melihat sifat-sifatnya, mereka tidak meminta kepada orang secara mendesak. Dan apa saja harta yang baik yang kalian nafkahkan (di jalan Allah), maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui.” (QS Al-Baqarah: 273)


Jaminan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk orang yang tidak mau meminta-minta

عَنْ ثَوْبَانَ قَالَ وَكَانَ ثَوْبَانُ مَوْلَى رَسُولِ اللَّهِ –صلى الله عليه وسلم- قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ –صلى الله عليه وسلم- (( مَنْ تَكَفَّلَ لِى أَنْ لاَ يَسْأَلَ النَّاسَ شَيْئًا وَأَتَكَفَّلَ لَهُ بِالْجَنَّةِ؟)). فَقَالَ ثَوْبَانُ: أَنَا. فَكَانَ لاَ يَسْأَلُ أَحَدًا شَيْئًا.

Diriwayatkan dari Tsauban, beliau adalah mantan budak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dia mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Siapa yang dapat menjamin untukku agar dia tidak meminta-minta kepada manusia sedikit pun, maka saya akan menjaminnya untuk masuk ke dalam surga?” (Berkatalah seorang perawi), “Tsauban pun menjawab, ‘Saya.’ Memang dulu dia (Tsauban) tidak pernah meminta apapun kepada seorang pun.”[HR Abu Dawud no. 1643. Syaikh Al-Albani men-shahih-kannya dalam Shahih Al-Jami’ no. 6604.]

Ma’mar berkata, “Telah disampaikan kepadaku bahwa ‘Aisyah radhiallahu ‘anha pernah berkata, ‘Perhatikanlah Tsauban! Sesungguhnya dia tidak pernah meminta sesuatu kepada seorang pun. Dulu pernah terjatuh tongkat dan cambuk (miliknya), beliau tidak pernah minta diambilkan untuknya, melainkan dia turun sendiri dan mengambilnya.”[Tambahan ini diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dalam Syu’abul-Iman no. 3245.]

Contoh yang baik dari Hakim bin Hizam radhiallahu 'anhu

Diriwayatkan dari ‘Urwah bin Az-Zubair dan Sa’id bin Al-Musayyab bahwasanya Hakim bin Hizam radhiallahu 'anhu pernah berkata:

سَأَلْتُ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم فَأَعْطَانِي ثُمَّ سَأَلْتُهُ فَأَعْطَانِي ثُمَّ سَأَلْتُهُ فَأَعْطَانِي

“Saya pernah meminta kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau pun memberiku. Kemudian saya pun meminta lagi kemudian beliau pun memberiku. Kemudian beliau berkata:

يَا حَكِيمُ إِنَّ هَذَا الْمَالَ خَضِرَةٌ حُلْوَةٌ فَمَنْ أَخَذَهُ بِسَخَاوَةِ نَفْسٍ بُورِكَ لَهُ فِيهِ ، وَمَنْ أَخَذَهُ بِإِشْرَافِ نَفْسٍ لَمْ يُبَارَكْ لَهُ فِيهِ كَالَّذِي يَأْكُلُ ، وَلاَ يَشْبَعُ الْيَدُ الْعُلْيَا خَيْرٌ مِنَ الْيَدِ السُّفْلَى قَالَ حَكِيمٌ ، فَقُلْتُ : يَا رَسُولَ اللهِ وَالَّذِي بَعَثَكَ بِالْحَقِّ لاَ أَرْزَأُ أَحَدًا بَعْدَكَ شَيْئًا حَتَّى أُفَارِقَ الدُّنْيَا

“Ya Hakim! Sesungguhnya harta ini adalah hijau[Maksudnya enak dipandang oleh mata.] dan manis[Maksudnya manis dirasakan.]. Barang siapa yang mengambilnya dengan tanpa memaksakan diri, maka akan diberkahi harta tersebut. Barang siapa yang mengambilnya/memintanya dengan memaksakan diri untuk mendapatkannya, maka dia seperti orang yang makan dan tidak pernah kenyang.Tangan yang di atas lebih baik daripada tangan yang di bawah.” Hakim pun berkata, “Ya Rasulullah! Demi yang mengutusmu dengan kebenaran, saya tidak akan meminta kepada seorang pun setelah ini sampai saya meninggal dunia.”

فَكَانَ أَبُو بَكْرٍ ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ، يَدْعُو حَكِيمًا إِلَى الْعَطَاءِ فَيَأْبَى أَنْ يَقْبَلَهُ مِنْهُ ثُمَّ إِنَّ عُمَرَ ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ، دَعَاهُ لِيُعْطِيَهُ فَأَبَى أَنْ يَقْبَلَ مِنْهُ شَيْئًا فَقَالَ عُمَرُ إِنِّي أُشْهِدُكُمْ يَا مَعْشَرَ الْمُسْلِمِينَ عَلَى حَكِيمٍ أَنِّي أَعْرِضُ عَلَيْهِ حَقَّهُ مِنْ هَذَا الْفَيْءِ فَيَأْبَى أَنْ يَأْخُذَهُ فَلَمْ يَرْزَأْ حَكِيمٌ أَحَدًا مِنَ النَّاسِ بَعْدَ رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم حَتَّى تُوُفِّيَ.

Kemudian Abu Bakar radhiallahu 'anhu memanggil Hakim untuk menerima hadiah, beliau pun tidak mau menerimanya. Kemudian ‘Umar radhiallahu 'anhu memanggilnya untuk menerima hadiah, beliau pun tidak mau menerimanya.Umar pun berkata, “Saya bersaksi kepada kalian, wahai kaum muslimin atas Hakim! Sesungguhnya saya telah menyodorkan haknya dari harta fai’ tetapi dia tidak mau menerimanya.”

Hakim tidak pernah meminta kepada seorang pun dari manusia setelah permintaannya kepada Rasulullah itu, sampai beliau wafat.[HR Al-Bukhari no. 1482.]

Ditulis oleh: Ustadz Said Yai Ardiansyah, Lc., M.A. (Beliau adalah  alumni Universitas Islam Madinah, Jurusan Hadits. Dan mengambil Master di MEDIU Malaysia, Jurusan Fiqhussunnah. Beliau juga kepala SDIT Al-Istiqomah Prabumulih)

Daftar Pustaka
  1. Ath-Thabaqat-Al-Kubra. Muhammad bin Sa’ad Al-Bashri. Dar Shadir.
  2. Mir’atul-mafatih Syarh Misykatil-Mashabih . Muhammad ‘Abdussalam Al-Mubarakfuri.
  3. Riyadhush-shalihin. Imam An-Nawawi.
  4. Subulussalam. Muhammad bin Isma’il Al-Amir Ash-Shan’ani. Kairo: Darul-Hadits.
  5. Syarh Riyadhishshalihin. Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin. Darussalam.
  6. Umdatul-Qari Syarh Shahih Al-Bukhari. Badruddin Al-‘Aini Al-Hanafi.
  7. Buku-buku lain yang sebagian besar telah dicantumkan di footnotes.