رَبِّ اغْفِرْ لِي وَهَبْ لِي مُلْكًا لا يَنْبَغِي لأحَدٍ مِنْ بَعْدِي إِنَّكَ أَنْتَ الْوَهَّابُ


"Ya Rabb-ku, ampunilah aku, dan anugerahkanlah kepadaku kerajaan, yang tidak dimiliki oleh seorangpun juga sesudahku, sesungguhnya Engkaulah Yang Maha pemberi’."

Minggu, 15 Desember 2013

DAMPAK MAKANAN

Republika.co.id

Suatu ketika Ali bin Abi Thalib dipanggil oleh Nabi
Muhammad SAW dan diberi nasehat berikut. " Wahai
Ali, orang yang mengonsumsi makanan halal, agamanya
akan bersih, hatinya menjadi lembut, dan doanya tidak
ada penghalang (pasti diterima oleh Allah). Barang
siapa yang mengonsumsi makanan syubhat (tidak
jelas), agamanya menjadi samar-samar, dan hatinya
menjadi kelam. Dan barang siapa yang mengonsumsi
makanan haram, maka hatinya akan mati, agamanya
menjadi goyah (tidak kokoh), keyakinannya melemah,
dan ibadahnya semakin berkurang ."
" Wahai Ali, Allah SWT tidak akan menerima shalat
seseorang tanpa sedekah; Allah juga tidak menerima
sedekah yang berasal dari harta haram. Selama tidak
makan harta haram, Mukmin akan senantiasa dapat
meningkatkan keberagamaannya. Siapa yang menjauhi
ulama, maka hatinya akan mati, hatinya juga menjadi
buta dari taat kepada Allah SWT ." (HR. Ahmad).
Wasiat Nabi SAW tersebut sarat dengan pesan dan
pendidikan moral. Pertama, setiap Muslim hendaknya
memperhatikan apa yang dimakannya, baik status
kehalalannya maupun kualitas gizinya.
"Maka hendaklah manusia itu memperhatikan
makanannya. " (QS. 'Abasa/80:24). Kehalalan dan
keharaman makanan yang dikonsumsi berdampak
langsung pada fungsi hati manusia.
Hati menjadi sehat, hidup, dan memantulkan cahaya
Ilahi jika dinutrisi dengan yang halal. Hati menjadi sakit,
kelam, dan mati jika diasupi makanan syubhat dan
haram.
Oleh karena itu, Nabi SAW menempatkan fungsi hati
sangat sentral dalam kehidupan manusia. "Dalam diri
manusia ada sekepal daging. Apabila ia baik, maka
seluruh tampilan kinerjanya pun menjadi baik.
Sebaliknya, jika ia rusak, maka rusaklah seluruh
tampilan perbutannya. Ketahuilah, sekepal daging itu
adalah hati (al-qalbu) " (HR. Muslim).
Kedua, makanan memengaruhi tingkat keberagamaan
Muslim. Jika yang dimakan halal, kesalehannya akan
meningkat. Sebaliknya, jika yang dikonsumsi haram,
maka spiritualitasnya menjadi gersang.
Karena itu, Allah menyuruh kita untuk mengonsumsi
makanan yang halalan thayyiban (boleh dikonsumsi,
bernutrisi dan bergizi baik).
"Makanlah yang halal lagi baik (bergizi) dari rezki yang
telah diberikan Allah kepadamu; dan syukurilah nikmat
Allah, jika kamu hanya beribadah kepada-Nya. " (QS. Al-
Nahl [16]: 114).
Ketiga, makanan yang diperoleh secara halal pada
dasarnya tidak boleh dihabiskan untuk dikonsumsi
sendiri, tetapi sebagiannya harus disedekahkan kepada
orang lain.
Sedekah (kesalehan sosial) menentukan diterima
tidaknya salat (kesalehan personal) Muslim. Ibadah
individual dan ibadah sosial harus berjalan seimbang.
Orang yang mendustakan agama adalah orang yang
hanya mementingkan ibadah individual, sementara ia
melupakan ibadah sosial (QS. Al-Ma'un [107]: 1-7).
Menutrisi hati sendiri melalui shalat dan zikir harus
diimbangi dengan menutrisi hati orang lain dengan
sedekah, infaq, wakaf, dan sebagainya.
Keempat, kemitraan dengan ulama dan ilmuwan itu
dapat menutrisi hati dengan ilmu, sehingga dapat
meningkatkan kualitas keberagamaan Muslim. Karena,
beribadah menjadi berkualitas jika dilandasi oleh ilmu
yang benar, mendalam, dan luas.
Ilmu para ulama dan ilmuwan harus diamalkan dan
disosialisasikan kepada orang lain agar masyarakat
menjadi lebih mendekatkan diri dan bertaqwa kepada
Allah.
Jika Allah menyatakan, "Yang takut kepada Allah
hanyalah para ulama/ilmuwan di kalangan hamba-
hamba-Nya" (QS. Fathir/35: 70), maka berarti
keberagamaan Muslim perlu dinutrisi dengan vitamin
ilmu , ilmu agama maupun ilmu umum secara integratif.
Dengan demikian, pendekatan diri dan ketaatan kepada
Allah, harus dibarengi dengan pendekatan diri kepada
sesama, terutama para ulama.
Dan semua itu mengharuskan kita untuk peduli terhadap
apa yang kita makan. Allah berfirman: "Maka hendaklah
manusia itu memperhatikan makanannya ." (QS.
'Abasa/80: 24).
Pertanyaannya, sudahkah kita semua memperhatikan
halal dan thayyib (sehat, bergizi, dan cocok untuk
kebutuhan tubuh kita) tidaknya makanan dan minuman
yang kita konsumsi sehari-hari?
Kedua kriteria (halal dan thayyib) tersebut menunjukkan
bahwa Islam sangat peduli terhadap isi perut manusia
berikut dampak yang ditimbulkannya.
Bukankah makanan yang minuman itu sumber energi
dan kekuatan fisik dan psikis, sekaligus sumber segala
penyakit jika tidak diperhatikan