رَبِّ اغْفِرْ لِي وَهَبْ لِي مُلْكًا لا يَنْبَغِي لأحَدٍ مِنْ بَعْدِي إِنَّكَ أَنْتَ الْوَهَّابُ


"Ya Rabb-ku, ampunilah aku, dan anugerahkanlah kepadaku kerajaan, yang tidak dimiliki oleh seorangpun juga sesudahku, sesungguhnya Engkaulah Yang Maha pemberi’."

Jumat, 10 Juli 2015

Patuh Kepada Suami



Dalam bingkai rumah tangga, pasangan suami dan istri masing-masing memiliki hak dan kewajiban. Suami sebagai pemimpin, berkewajiban menjaga istri dan anak-anaknya baik dalam urusan agama atau dunianya, menafkahi mereka dengan memenuhi kebutuhan makanan, minuman, pakaian dan tempat tinggalnya.

Tanggung jawab suami yang tidak ringan diatas diimbangi dengan ketaatan seorang istri pada suaminya. Kewajiban seorang istri dalam urusan suaminya setahap setelah kewajiban dalam urusan agamanya. Hak suami diatas hak siapapun setelah hak Allah dan Rasul-Nya, termasuk hak kedua orang tua. Mentaatinya dalam perkara yang baik menjadi tanggungjawab terpenting seorang istri.

Surga atau Neraka Seorang Istri

Ketaatan istri pada suami adalah jaminan surganya. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika seorang wanita melaksanakan shalat lima waktunya, melaksanakan shaum pada bulannya, menjaga kemaluannya, dan mentaati suaminya, maka ia akan masuk surga dari pintu mana saja ia kehendaki.” (HR Ibnu Hibban dalam Shahihnya)
Suami adalah surga atau neraka bagi seorang istri. Keridhoan suami menjadi keridhoan Allah. Istri yang tidak diridhoi suaminya karena tidak taat dikatakan sebagai wanita yang durhaka dan kufur nikmat.
Suatu hari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda bahwa beliau melihat wanita adalah penghuni neraka terbanyak. Seorang wanita pun bertanya kepada beliau mengapa demikian? Rasulullah pun menjawab bahwa diantarantanya karena wanita banyak yang durhaka kepada suaminya. (HR Bukhari Muslim)

Kedudukan Hak Suami

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Kalau aku boleh memerintahkan seseorang untuk sujud kepada orang lain, maka aku akan memerintahkan para istri untuk sujud kepada suaminya, disebabkan karena Allah telah menetapkan hak bagi para suami atas mereka (para istri). (HR Abu Dawud, Tirmidzi, ia berkata, “hadis hasan shahih.” Dinyatakan shahih oleh Syaikh Albani)

Hak suami berada diatas hak siapapun manusia termasuk hak kedua orang tua. Hak suami bahkan harus didahulukan oleh seorang istri daripada ibadah-ibadah yang bersifat sunnah.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak boleh bagi seorang perempuan berpuasa sementara suaminya ada di rumah kecuali dengan izinnya. Dan tidak boleh baginya meminta izin di rumahnya kecuali dengan izinnya.” (HR Bukhari Muslim)

Dalam hak berhubungan suami-istri, jika suami mengajaknya untuk berhubungan, maka istri tidak boleh menolaknya.

“Jika seorang suami memanggil istrinya ke tempat tidur, kemudian si istri tidak mendatanginya, dan suami tidur dalam keadaan marah, maka para malaikat akan melaknatnya sampai pagi.” (HR Bukhari Muslim)

Berbakti Kepada Suami

Diantara kewajiban seorang istri atas suaminya juga adalah, hendaknya seorang istri benar-benar menjaga amanah suami di rumahnya, baik harta suami dan rahasia-rahasianya, begitu juga bersungguhnya-sungguh mengurus urusan-urusan rumah.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Dan wanita adalahpenanggungjawab di rumah suaminya, dan ia akan dimintai pertanggungjawaban.” (HR Bukhari Muslim)

Syaikhul Islam berkata, “Firman Allah, “Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diriketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka).” (QS. An Nisa [4]: 34)

Ayat ini menunjukkan wajibnya seorang istri taat pada suami dalam hal berbakti kepadanya, ketika bepergian bersamanya dan lain-lain. Sebagaimana juga hal ini diterangkan dalam sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. (Lihat Majmu Al Fatawa 32/260-261 via Tanbihat, hal. 94, DR Shaleh Al Fauzan)

Berkhidmat kepada suami dengan melayaninya dalam segala kebutuhan-kebutuhannya adalah diantara tugas seorang istri. Bukan sebaliknya, istri yang malah dilayani oleh suami. Hal ini didukung oleh firman Allah, “Dan laki-laki itu adalah pemimpin bagi wanita.” (QS. An Nisa [4]: 34)
Ibnul Qayyim berdalil dengan ayat diatas, jika suami menjadi pelayan bagi istrinya, dalam memasak, mencuci, mengurus rumah dan lain-lain, maka itu termasuk perbuatan munkar. Karena berarti dengan demikian sang suami tidak lagi menjadi pemimpin. Justru karena tugas-tugas istri dalam melayani suami lah, Allah pun mewajibkan para suami untuk menafkahi istri dengan memberinya makan, pakaian dan tempat tinggal. (Lihat Zaad Al-Ma’aad 5/188-199 via Tanbihat, hal. 95, DR Shaleh Al Fauzan)

Bukan juga sebaliknya, istri yang malah menafkahi suami dengan bekerja di luar rumah untuk kebutuhan rumah tangga.

Tidak Keluar Rumah Kecuali Dengan Izin Suami

Seorang istri juga tidak boleh keluar rumah kecuali dengan izin suami. Karena tempat asal wanita itu di rumah. Sebagaimana firman Allah, “Dan tinggal-lah kalian (para wanita) di rumah-rumah kalian.” (QS. Al Ahzab [33]: 33)

Ibnu Katsir berkata, “Ayat ini menunjukkan bahwa wanita tidak boleh keluar rumah kecuali ada kebutuhan.” (Tafsir Al Quran Al Adzim 6/408). Dengan demikian, wanita tidak boleh keluar rumah melainkan untuk urusan yang penting atau termasuk kebutuhan seperti memasak dan lain-lain. Jika bukan urusan tersebut, maka seorang istri tidak boleh keluar rumah melainkan dengan izin suaminya.
Syaikhul Islam berkata, “Tidak halal bagi seorang wanita keluar rumah tanpa izin suaminya, jika ia keluar rumah tanpa izin suaminya, berarti ia telah berbuat nusyuz (durhaka), bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya, serta layak mendapat hukuman.”

Penutup

Semua ketentuan yang telah Allah tetapkan di atas sama sekali bukan bertujuan membatasi ruang gerak para wanita, merendahkan harkat dan martabatnya, sebagaimana yang didengungkan oleh orang-orang kafir tentang ajaran Islam. Semua itu adalah syariat Allah yang sarat dengan hikmah. Dan hikmah dari melaksanakan dengan tulus semua ketetapan Allah di atas adalah berlangsungnya bahtera rumah tangga yang harmonis dan penuh dengan kenyamanan. Ketaatan pada suami pun dibatasi dalam perkara yang baik saja dan sesuai dengan kemampuan. Mudah-mudahan Allah mengaruniakan kepada kita semua keluarga yang barakah.***Wallahu ‘alam.


Keuangan Keluarga Menurut Islam



Persoalan keuangan rumah tangga sering dianggap remeh sehingga jarang yang merasa perlu untuk mempelajarinya. Kita mengikuti tata cara yang kita lihat dari orang tua, budaya, tanpa berusaha mencari tahu bagaimana Islam mengajarkan. Perselisihan demi perselihan pun kerap terjadi, tetap saja kita lupa untuk melihat bagaimana aturan Islam tentangnya. Kita bertanya kepada Ustadz tentang cara sholat, tetapi bertanya kepada psikolog atau konsultan keuangan sekuler tentang masalah rumah tangga. Walhasil, jawaban yang diberikan tidak berlandaskan Islam.

Beberapa kasus yang sering muncul dalam keuangan rumah tangga antara lain:

1. Istri tidak rela suami menafkahi orang tua/adik-adiknya sedang suami ingin berbalas budi kpd orang tuanya atau merasa bahwa suami harus minta persetujuan istri dalam hal ini sedang suami merasa tidak perlu meminta persetujuan.

2. Istri merasa uang bulanannya tidak cukup namun suami memaksa “cukup tidak cukup harus cukup” sehingga istri terpaksa ikut banting tulang menambah penghasilan keluarga.

3. Suami merasa ikut berhak atas harta waris istri, demikian pula istri merasa ikut berhak atas harta waris suami.

4. Perebutan gono-gini ketika pasangan bercerai.

5. Saling melempar tanggung jawab tentang nafkah anak.

Pembahasan ini akan mencakup tentang kewajiban nafkah dan batas-batasnya agar dapat diketahui bagaimana Islam memberikan aturan yang bermaslahat bagi seluruh umat, bukan hanya bagi istri, suami, atau suami-istri saja.

I. Hak-Hak Istri Terkait Keuangan:

a) Mahar
Allah SWT berfirman: Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya. [An-Nisa’ 4]
Beberapa hukum terkait hal ini adalah:

1. Wajib bagi laki-laki untuk memberikan mahar kepada mempelai wanita. Mahar merupakan hak wanita, bukan hak orang tuanya.
2. Tidak ada batasan besarnya mahar, walaupun disunnahkan untuk memudahkan. Dari Aisyah ra bahwa Rasulullah SAW bersabda, ”Nikah yang paling besar barakahnya itu adalah yang murah maharnya.” (HR Ahmad 6/145)

3. Suami tidak boleh meminta istri menggunakan maharnya untuk keperluan keluarga atau untuk keperluan dia, kecuali istri ikhlas ingin menyedekahkannya untuk suami.

4. Mahar boleh dibayar kontan atau dicicil. Misal: seorang wanita meminta mahar sebuah rumah yang akan dicicil oleh suaminya.

b) Nafkah
Allah SWT berfirman: Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. [An-Nisa’ 34]

Sayyid Sabiq menjelaskan makna nafkah: mencukupi segala kebutuhan istri yang mencakup makanan, tempat tinggal, pelayanan dan obat (Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah Jilid 2, Jakarta: al-I’tishom, 2011, hlm. 340). Besarnya disesuaikan kemampuan suami atau kesepakatan di antara keduanya (hlm. 346-352). Apabila tidak cukup karena suami pelit maka diperbolehkan mengambil secukupnya, sebagaimana disabdakan Rasulullah SAW: “Ambillah sebanyak yang dapat mencukupimu dan anak-anakmu secara baik.” [HR. Ahmad, Bukhari, Muslim, Abu Dawud, dan Nasa’i – Sayyid Sabiq hlm. 347]

Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. [QS. At-Talaq 6]

Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan. [QS. At-Talaq 7]

Kebutuhan istri dan kebutuhan keluarga merupakan tanggung jawab suami sepenuhnya. Para ulama sepakat, tidak boleh membayar zakat kepada istri karena istri merupakan tanggungannya. – hlm. 581
Apabila istri bekerja, maka hasil pekerjaannya merupakan hak istri. Istri boleh membelanjakannya untuk keluarga sebagai sedekah, namun tidak boleh dipaksa. Suami yang mengijinkan istrinya bekerja harus memahami konsekuensi hal ini, yakni tidak lantas mengambil gaji istri untuk dirinya atau kebutuhan rumah tangga. Ini berlaku untuk semua harta yang dimiliki istri, baik dari gaji, waris, ataupun hadiah.
II. Hak-Hak Suami Terkait Keuangan:

Allah SWT berfirman: Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. [An-Nisa’ 34]

Ayat di atas menunjukkan bahwa suamilah yang ditunjuk Allah SWT sebagai pemimpin rumah tangga. Artinya, suami berhak mengelola keuangannya tanpa harus mempertanggungjawabkannya kepada istri. Suami berkewajiban menafkahkan sebagian harta mereka, bukan semuanya.
Di sisi lain, justru istrilah yang wajib meminta ijin untuk menggunakan harta suami yang tidak/belum diberikan kepadanya. Istri boleh bersedekah dengan harta suaminya jika tahu pasti suaminya rela. Jika tidak, hukumnya haram. – Sayyid Sabiq – hlm. 616

Seorang laki-laki tidak hanya memiliki kewajiban untuk menafkahi istrinya, namun juga anak-anaknya dan orang-orang yang saling mewarisi dengan dirinya, apabila keadaan mereka tidak mampu. [Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah Jilid 1, hlm. 625]

Ulama fiqih sepakat, zakat tidak boleh diberikan kepada ayah, kakek, ibu, nenek, anak dan cucu. Alasannya, pembayar zakat wajib memberi nafkah kepada mereka – hlm. 580.
Dalam sebuah hadits Rasulullah SAW bersabda: “Kamu dan hartamu adalah miliki ayahmu.” [hlm. 623]

Dengan demikian, adalah haram hukumnya istri melarang suami menafkahi orang tua atau adik-adiknya, sebab itu merupakan kewajiban suami.

III. Keuangan Pasangan Yang Bercerai:

Dengan pengaturan keuangan seperti dijelaskan di atas, maka ketika terjadi perceraian, suami dan istri tidak akan terlibat perebutan harta. Sudah jelas mana harta suami dan mana harta istri. Mereka berpisah dengan membawa harta masing-masing. Namun, ada beberapa kondisi tambahan yang harus diperhatikan, yang akan mempengaruhi keuangan kedua belah pihak, yaitu:

a) Apabila terjadi khulu’
Khulu’ adalah perceraian yang terjadi atas permintaan istri tanpa ada kesalahan dari pihak suami. Istri wajib menebus dirinya dengan mengembalikan mahar atau sesuai permintaan suami selama tidak melebihi mahar. [Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah Jilid 2, hlm. 480-485]

b) Nafkah selama masa ‘iddah
Dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin. [QS. At-Talaq 6]
Para ulama sepakat bahwa wanita yang menjalani masa iddah, nafkahnya masih menjadi tanggungan suami, kecuali ‘iddah karena khulu’.
Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu… Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (para wanita) ke luar (dari rumah suaminya) kecuali mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang. [QS. At-Talaq 1]
c) Apabila bekas istri menyusui
Masa ‘iddah istri yang sedang hamil adalah hingga melahirkan. Lalu, apa yang terjadi setelah anak lahir? Siapa yang menyusuinya?
“Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama 2 tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara makruf.” [QS. Al-Baqarah 233]

Ayat di atas ini terkait situasi ayah-ibu yang sudah bercerai, bukan untuk suami-istri. Sayyid Quthb dalam tafsirnya (lihat halaman 301-302, Gema Insani, 2000) memberi judul bahasan ini “Masalah Penyusuan Anak Setelah Terjadinya Talak.” Beliau menjelaskan bahwa sebagai timbal balik kepada ibu yang melaksanakan kewajiban menyusui, maka si ayah (walaupun bukan lagi suaminya) berkewajiban untuk mencukupi kebutuhan sang ibu secara patut dan baik. Tujuannya, agar sang ibu bisa memelihara anaknya dengan sebaik-baiknya.

Kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak) mu untukmu maka berikanlah kepada mereka upahnya, dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu) dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya. [QS. At-Talaq 6]

Apabila tidak ditemukan kesepakatan mengenai besaran upah atau suami baru dari si ibu tidak mengijinkannya menyusui anak dari mantan suaminya, maka sang ayah dapat mencari wanita lain untuk menyusui anaknya.

Demikian beberapa catatan penting terkait manajemen keuangan rumah tangga. Semoga bermanfaat.
Catatan:

At Talaq 6: Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. Dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak) mu untukmu maka berikanlah kepada mereka upahnya, dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu) dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya.

Islampos

Menghilangkan Iri dan Dengki




SELAIN amarah yang ada penawarnya, ternyata iri dan dengki juga memiliki obat penawarnya, berikut akan dijelaskan apa saja obatnya:

1. Abu Hamid Al-Ghazali menjabarkan sebagai berikut:
Semua penyakit hati hanya bisa diobati dengan ilmu dan amal. Ilmu yang bermanfaat adalah mengetahui dengan sesungguhnya bahwa iri dan dengki tidak mendatangkan manfaat sedikit pun terhadap si pelakunya, namun membahayakan pelaku baik terhadap dunia maupun agamanya. Dan sebaliknya, justru malah mendatangkan manfaat bagi korbannya baik terhadap dunianya maupun agamanya.

Padahal engkau telah mengetahui semua ini, namun engkau tetap saja tidak mau memerangi hawa nafsumu dan tetap menemani musuhmu, dan akhirnya engkau menjadi pendengki.

Mengapa sifat iri dan dengki ini berbahaya bagi pelaku dalam agamanya? Dikarenakan hal ini berarti dia tidak menyukai ketetapan Allah SWT dan dia tidak menyukai nikmat yang telah ditetapkan-Nya bagi tiap-tiap hamba-Nya. Dia juga mengingkari keadilan Allah yang telah Dia tegakkan di tengah kerajaan-Nya dengan kemahabijaksanaan-Nya. Dia mengingkari dan menganggap rendah semua itu. Perbuatan seperti inilah yang akan menjadikan kejahatan dan mengotori keimanan kita kepada Allah SWT.

Obat yang mampu mengatasi iri dan dengki adalah dengan mengondisikan hati untuk selalu ridha akan semua ketetapan Allah SWT, menerapkan hidup zuhud terhadap dunia, dan mengetahui apa penyebab dari sifat iri dan dengki itu muncul. Apakah kesombongan, sikap jumawa, dan masih banyak penyebab lainnya. Dengan menghilangkan penyebab ini, maka iri dan dengki pun akan hilang dan musnah.
Demikianlah penjabaran Imam Al-Ghazali.

2. Setiap orang harus merenungkan setiap hadits yang membahas mengenai keutamaan menahan marah, tabah, memberi maaf, dan menahan diri.

3. Berkata pada dirinya sendiri dengan perkataan seperti ini, “Kekuasaan Allah terhadap diriku lebih besar daripada kekuasaanku terhadap objek kedengkianku. Seandainya kuperturutkan iri dengki dan amarahku, pastilah aku tidak akan terhindar dari kemurkaan Allah SWT pada Hari Kiamat. Padahal, aku sangat membutuhkan pemaafan dan ampunan di Hari Kiamat nanti.” Dengan berkata seperti ini, menjadi tanda bahwa diri takut terhadap hukuman Allah SWT setiap iri dan dengki hendak menguasainya.

4. Dengan selalu mengingat kekuasaan Allah SWT terhadap diri setiap manusia, menghindari segala perilaku tercela yang dapat menyebabkan permusuhan dan balas dendam, dan menghindari penyebab timbulnya keinginan untuk balas dendam.

5. Selain itu, ia juga harus membayangkan betapa buruk rupanya saat marah yang akan membuatnya terlihat seperti binatang buas yang hendak menerkam mangsanya.

Akhir agar ingin sembuh dan terhindar dari perilaku iri dan dengki ini adalah dengan kembali pada Allah SWT dan senantiasa berpegang teguh pada ajaran Islam. Ketika hatinya telah kuat dengan iman islamnya, niscaya cinta Allah SWT dan cinta Rasulullah SAW menjadikan pribadi mereka sebagai pribadi yang unggul. Sebagai pribadi yang unggul, tidak ada waktu untuk mendengki serta tidak ada ruang untuk kebencian dan kejahatan.


Islampos

Bencana Akibat Dendam



TAK semua orang memiliki perilaku yang baik. Padahal, pada dasarnya mereka memiliki hati yang baik, namun mereka mengingkarinya. Salah satu perilaku tercela yang sering dilakukan oleh kebanyakan orang ialah dendam dan dengki. Mereka tak sadar bahwa perilaku tersebut akan membawanya pada bencana.

Ketahuilah, bahwa dendam dengki mengakibatkan 8 macam bencana, yaitu:
1. Membinasakan amal taat, menunjuk hadis Abu Hurairah RA, Nabi SAW bersabda, “Hindarilah olehmu rasa dengki/ hasud, sebab ia dapat membinasakan segala kebaikan, tidak bedanya seperti api melahap kayu bakar, atau rumput,” yakni mengakibatkan kufur.

2. Menjadi faktor pendorong laku maksiat, sebab di dalamnya tidak sepi dari menggunjing, bohong, mencela dan mencaci maki seperti adat yang berlaku. Dari Dlamrah bin Tsa’labah, ia berkata, “Manusia selalu dalam kebaikan, sepanjang tidak mendendam hasud/ dengki.”

3. Terhalang memperoleh syafaat. Dari Abdullah bin Bisyar, Nabi SAW bersabda, “Bukan umatku, orang yang mendendam dengki, suka adu domba dan berilmu dukun, sebaliknya akupun bukan golongan mereka.”

Kemudian beliau membaca ayat berikut, “Orang-orang yang menyakiti orang-orang mukmin pria atau wanita tanpa salah yang mereka perbuat, maka sesungguhnya mereka telah berbuat bohong dan dosa yang nyata,” (QS. Al-Ahzab: 58).

4. Masuk neraka (Dailami). Dari Ibnu Umar dan Anas bin Malik RA, Nabi SAW bersabda, “Ada 6 macam orang yang dilemparkan ke neraka sebelum diperhitungkan amalnya, akibat 6 perkara, yaitu:
– Para pemimpin/ penguasa, akibat perbuatan aniayanya.
– Orang Arab, akibat fanatik kesukuan/ kebangsaannya, (lebih dari itu orang ‘ajam/ bangsa selain Arab, yang terlalu membanggakan kesukuan/ kebangsaannya).
– Para penjajah, akibat angkara murka/ kesombongannya.
– Para pengusaha/ pedagang, akibat khianatnya.
– Para penduduk desa, akibat kebodohannya.
– Para ulama, akibat dendam dengkinya.”
5. Berbuat suatu pekerjaan yang mengakibatkan orang celaka, maka logislah, Allah memerintahkan supaya manusia mohon perlindungan kepada-Nya dari kejahatan orang yang hasud ketika ia melampiaskan dendam dengkinya, sebagaimana kita disuruh berlindung kepada-Nya dari kejahatan syetan terkutuk.

Allah SWT berfirman, “Katakanlah, ‘Aku berlindung kepada Tuhan, Penguasa Shubuh, dari kejahatan yang Dia ciptakan, … dan dari kejahatan orang hasud ketika melampiaskan dendam dengkinya,” (QS. Al-Falaq 1, 2 dan 5).

Nabi SAW bersabda, “Mohonlah pertolongan, supaya kebutuhan terpenuhi semua secara diam-diam, sebab setiap orang yang diberi kenikmatan, pasti ada orang yang dendam dengki kepadanya.”

6. Ditimpa kesukaran yang tiada guna, bahkan mengakibatkan ia menanggung dosa dan maksiat. Ibnus-Samak menegaskan, “Aku belum pernah melihat orang dhalim serupa dengan orang yang menderita/ teraniaya akibat dendam dengkinya, yakni menderita kesukaran penghidupan, pikiran kalut dan sedih selamanya.”

7. Buta mata hatinya, hingga sulit mempelajari pengertian hukum/ syariat agama Allah SWT. Sufyan memperingatkan, “Janganlah Anda menjadi manusia pendendam dengki, maka Anda menjadi mudah emosi/ pendek pengertian (sempit pikirannya).

8. Menjadi terhalang berbuat kebaikan dan terjerumus dalam jurang kehinaan, hingga sulit mencapai sukses tujuan, malahan menolong musuhnya. Oleh karena itu, dikatakan, “Pendendam dengki tidak mungkin menjadi tuan (maksudnya tidak bakal sukses).” []


Islampos

Kemana Ruh Pergi saat Kita Tidur ?




BANYAK orang mengatakan bahwa tidur itu adalah kematian sementara manusia. Jika dikatakan mati sementara, lantas kemanakah perginya ruh manusia saat tidur?

Menurut ilmiah penelitian ini belum pernah dilakukan, jikalau dilakukan pasti tidak akan masuk logika karena ruh tersebut merupakan jiwa yang berada di dalam masing-masing manusia yang masih hidup, ruh sendiri tidak berbentuk dan manusia sendiripun tak bisa melihatnya. Simak ulasan berikut.
Dalam surah Az-Zumar ayat 42 Allah berfirman :
“Allah memegang jiwa (orang) ketika matinya dan (memegang) jiwa (orang) yang belum mati di waktu tidurnya; maka Dia tahanlah jiwa (orang) yang telah Dia tetapkan kematiannya dan Dia melepaskan jiwa yang lain sampai waktu yang ditentukan. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang berpikir.” 

Dari ayat tersebut dapat disimpulkan bahwa Allah memegang jiwa-jiwa manusia ketika sedang tidur. Dalam ayat lain, yakni surah Al-An’am ayat 60-61 disebutkan:
“Dan Dialah yang menidurkan kamu di malam hari dan Dia mengetahui apa yang kamu kerjakan pada siang hari, kemudian Dia membangunkan kamu pada siang hari untuk disempurnakan umur (mu) yang telah ditentukan, kemudian kepada Allah-lah kamu kembali, lalu Dia memberitahukan kepadamu apa yang dahulu kamu kerjakan. Dan Dialah yang mempunyai kekuasaan tertinggi di atas semua hamba-Nya, dan diutus-Nya kepadamu malaikat-malaikat penjaga, sehingga apabila datang kematian kepada salah seorang di antara kamu, ia diwafatkan oleh malaikat-malaikat Kami, dan malaikat-malaikat Kami itu tidak melalaikan kewajibannya.”
Di dalam 2 ayat diatas, Allah menyebutkan kata wafat 2 kali, yakni pada kata “yatawaffakum” yang diartikan sebagai kata ‘menidurkan’ pada ayat diatas, juga pada kata “tawaffathu” yang berarti “diwafatkan”. Hal ini adalah tentang 2 macam wafat, yakni wafat sementara dan wafat selamanya. Hal ini dijelaskan dalam ayat Az-Zumar ayat 42, “maka Dia tahanlah jiwa (orang) yang telah Dia tetapkan kematiannya dan Dia melepaskan jiwa yang lain sampai waktu yang ditentukan.” Karena itulah, ketika kita tidur, menurut sunnah dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
“Apabila salah seorang di antara kalian bangun dari tempat tidurnya, kemudian kembali lagi, hendaklah ia mengibas-ngibaskan kainnya tiga kali (sebelum tibur pada tempat tidurnya). Sesungguhnya ia tidak mengetahui apa yang terjadi saat ia meninggalkannya. Dan apabila berbaring, hendaklah ia membaca : ‘Dengan menyebut nama-Mu ya Allah, Rabb-ku, aku meletakkan lambungku (tidur), dan dengan-Mu pula aku mengangkatnya (bangun). Apabila Engkau menahan diriku (mati), sayangilah aku. Namun bila Engkau melepaskannya (hidup), peliharalah ia sebagaimana Engkau telah pelihara dengannya hamba-hamba-Mu yang shalih”.

Tulisan disarikan dari terjemahan Ibn Katsir Rahimahullah Jadi apabila kita hendak tidur berwudhu’ lah dan bacalah do’a agar terhindar dari segala macam bahaya dan penyakit. []


Islampos

Jangan Remehkan Ucapan Anda



Mengajak manusia ke jalan Allah ta’aala merupakan aktifitas yang sangat mulia. Allah ta’aala menyebutnya sebagai ”ucapan yang paling baik”. Namun tidak banyak muslim yang mau dan sanggup melakukannya.

Pada umumnya seorang muslim dihalangi oleh seribu satu alasan untuk tidak melakukannya. Ada alasan yang sangat umum yaitu ”nanti si non-muslim tersinggung”. Itulah sebabnya Allah ta’aala membekali kita dengan firmanNya: ”…dan berdebatlah (beradu argumenlah) dengan mereka dengan cara yang baik.”(QS AnNahl ayat 125) Artinya, Allah ta’aala Maha Tahu bahwa sangat mungkin ajakan kita tersebut mendatangkan penolakan dari obyek da’wah. Tapi itu bukan alasan untuk tidak berda’wah..!

Seorang muslim tatkala menyampaikan da’wah Islam harulah memiliki optimisme dan harapan hanya kepada Allah subhaanahu wa ta’aala. Ia harus selalu mengingat bahwa kewajibannya hanyalah menyampaikan. Adapun soal obyek da’wahnya mau menerima atau tidak, maka ini bukan urusan si muslim. Soal seseorang memperoleh hidayah atau tetap sesat sepenuhnya terserah Allah subhaanahu wa ta’aala.

إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ
” Sesungguhnya Rabbmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.”
(QS AnNahl ayat 125)

Hal lain yang juga harus selalu diingat oleh seorang muslim yang mengajak orang lain agar ikut jalan Allah ta’aala ialah: ”Jangan remehkan ucapan Anda.” Siapa tahu, justru melalui lisan Anda seseorang memperoleh hidayah. Anda tidak akan pernah tahu apakah ucapan Anda mendatangkan taufiq dan hidayah Allah ta’aala sebelum Anda mencobanya..!

Ada seorang kawan saya yang sewaktu lulus SMA pergi untuk kuliah ke luar negeri. Saat ia pertama kali tiba di London kemampuan berbahasa Inggrisnya masih belum lancar. Waktu itu sedang bulan Ramadhan. Hari-hari pertama tiba di Inggris ia ikut sebuah bus Tour Wisata keliling kota London. Saat datang waktu makan siang bus itu berhenti di sebuah restoran dan semua turis turun untuk makan siang. Termasuk kawan saya orang Indonesia muslim tersebut.

Semua penumpang bus wisata makan di restoran tersebut kecuali kawan saya karena ia sedang puasa. Maka ketika melihat ia tidak makan si Guide (penunjuk jalan) seorang berkebangsaan Inggris mendekatinya dan bertanya: ”Why aren’t you eating?” (Mengapa kamu tidak ikut makan?).
Dengan bahasa Inggris yang terbatas iapun menjawab: ”I am Muslim. This is Ramadhan. I am fasting.” (Saya seorang muslim. Ini bulan Ramadhan. Saya sedang puasa)

Tiba-tiba dengan nada mengejek si penunjuk jalan itupun berkata: ”Oh, rupanya Anda datang dari sebuah negera muslim. Negara yang miskin sehingga kamu tidak sanggup makan…”

Lalu kawan kitapun menjadi marah dan tersinggung. Tapi bagaimana caranya mengungkapkan kemarahan dalam suatu bahasa yang belum dikuasai? Akhirnya ia hanya bisa berkata: ”Wait, one year… I will explain to you the beauty of Islam…” (tunggulah satu tahun, nanti aku jelaskan padamu indahnya ajaran Islam). Maksudnya ia ingin diberi kesempatan belajar bahasa Inggris dahulu selama setahun, baru nanti ia akan jelaskan secara panjang lebar apa itu sebenarnya ajaran Islam nan indah ini.

Sesudah satu tahun kawan saya inipun memenuhi janjinya. Ia datangi si penunjuk jalan untuk menjelaskan Islam kepadanya. Namun apa yang terjadi? Begitu mereka berjumpa satu sama lain, tiba-tiba si guide orang Inggris ini menyapa kawan kita orang Indonesia ini dengan ucapan: ”Assalaamu’alaikum, brother…!”
Maka kawan saya ini terkejut dan bertanya: ”Anda sudah masuk Islam?”
”Iya benar, saya sudah masuk Islam, ” kata si orang Inggris.
”Waduh, saya baru saja mau menjelaskan kepada Anda apa itu Islam, ” kata kawan saya.
”Anda terlambat, saudaraku…” kata si Inggris.

Maka si orang Indonesiapun bertanya: ”Bagaimana ceritanya Anda sampai memeluk Islam?”
”Saya masuk Islam sejak Anda mengatakan ’I will explain to you the beauty of Islam’… Maka sayapun bertanya-tanya apa memang di dalam Islam ada keindahan? Saya selama ini hanya tahunya Islam itu identik dengan terorisme dan segala yang hitam dan jelek.. Maka karena saya penasaran sayapun belajar Islam. Dan alhamdulillah, saya mendapat hidayah dari Allah ta’aala…”
Subhanallah...! Maka, saudaraku, bersegeralah. Ajaklah teman kerja Anda, tetangga Anda atau barangkali saudara Anda yang non-muslim ke dalam rahmat Allah ta’aala… Jangan remehkan ucapan Anda. Siapa tahu lewat lisan Anda Allah ta’aala akan limpahkan hidayah iman-Islam kepada seseorang…..


Eramuslim