رَبِّ اغْفِرْ لِي وَهَبْ لِي مُلْكًا لا يَنْبَغِي لأحَدٍ مِنْ بَعْدِي إِنَّكَ أَنْتَ الْوَهَّابُ


"Ya Rabb-ku, ampunilah aku, dan anugerahkanlah kepadaku kerajaan, yang tidak dimiliki oleh seorangpun juga sesudahku, sesungguhnya Engkaulah Yang Maha pemberi’."

Jumat, 10 Oktober 2014

Bersyukur




فَتَبَسَّمَ ضَاحِكًا مِنْ قَوْلِهَا وَقَالَ رَبِّ أَوْزِعْنِي أَنْ أَشْكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِي أَنْعَمْتَ عَلَيَّ وَعَلَى وَالِدَيَّ وَأَنْ أَعْمَلَ صَالِحًا تَرْضَاهُ وَأَدْخِلْنِي بِرَحْمَتِكَ فِي عِبَادِكَ الصَّالِحِينَ

Maka dia tersenyum dengan tertawa Karena (mendengar) perkataan semut itu. dan dia berdoa, “Ya Tuhanku berilah Aku ilham untuk tetap mensyukuri nikmat mu yang Telah Engkau anugerahkan kepadaku dan kepada dua orang ibu bapakku dan untuk mengerjakan amal saleh yang Engkau ridhai; dan masukkanlah Aku dengan rahmat-Mu ke dalam golongan hamba-hamba-Mu yang saleh”. 
(An Naml:19)

NABI Sulaiman As adalah seorang Nabi yang diberi berbagai kelebihan oleh Allah SWT. Salah satu kelebihannya adalah mampu mengerti bahasa binatang dan jin.

Ayat 17 dan 18 dari Surat An Naml menceritakan “Dan dihimpunkan untuk Sulaiman tentaranya dari jin, manusia dan burung lalu mereka itu diatur dengan tertib (dalam barisan), Hingga apabila mereka sampai di lembah semut berkatalah seekor semut: Hai semut-semut, masuklah ke dalam sarang-sarangmu, agar kamu tidak diinjak oleh Sulaiman dan tentaranya, sedangkan mereka tidak menyadari”; yang kemudian membuat nabi Sulaiman tersenyum dan mengucapkan do’a diatas.

Dalam ayat 19 surat An-Naml, Nabi Sulaiman berdoa agar senantiasa diberi ilham untuk bersyukur. Seorang Nabi yang sudah pasti masuk surga pun meminta agar tetap digolongkan orang-orang yang bersyukur. Lalu kenapa Allah memerintahkan kita untuk memohon secara khusus untuk dikaruniai kemampuan untuk bersyukur?

Karena menjadi orang yang pandai bersyukur itu “sulit”, coba kita renungkan kembali betapa sulitnya kita bersyukur.

Ketika kita akan pergi kekantor, insyaAllah kita hampir setiap hari baca basmalah, bahkan ditambah dengan Bismillahiladzi layaduruu ma’asmihi sai’un fil arhi walaa fisammi wahuhuwa sami’ul’alim, tapi coba ingat-ingat berapa kali kita mengucap hamdalah ketika kita sudah kembali sampai rumah, hampir tidak pernah? Kita menganggap kalau sudah sampai ya sudah, tanpa merenungi siapa yang telah mengantar dan menyelamatkan kita hingga kita tiba dirumah, juga merupakan bukti betapa sulitnya kita bersyukur.

Ketika kita diserang flu, hingga kita mengap-mengap susah nafas, kemudian Allah menyembuhkan kita dari penyakit itu, kita pun kerap pula untuk bersyukur atas nikmat sehat yang dikaruniakan Allah kepada kita, bersyukur, memang sulit bagi sebagian orang.

Ketika kita bisa shalat berjama’ah di masjid, kita kerap menganggap bahwa itu adalah bukti “kehebatan” kita dibanding orang yang tidak pergi ke masjid, tanpa pernah berpikir bahwa Allah-lah yang telah memberikan kekuatan kepada kita untuk mengalahkan rasa malas sehingga bisa beranjak memenuhi panggilan shalat berjamaah. Kita juga kerap lupa untuk bersyukur untuk hal itu.
Apa lagi?

Pernahkah kita bersyukur bahwa udara yang kita hirup untuk bernafas itu gratis, tanpa dipungut biaya apapun? Alih-alih bersyukur atas nikmat itu, kita malah justru lebih sering mengotori udara kita dengan kepulan asap rokok dan polusi kendaraan.

Pernahkah kita bersyukur dengan air yang tersedia untuk minum dan mandi? Hampir tidak pernah, padahal kalau setiap hari harus membeli lima dirijen air seperti ketika kemarau, berapa keping rupiah yang akan kita habiskan untuk memenuhi kebutuhan minum dan mandi kita.

Pernahkah kita berpikir bahwa kemampuan mengerjapkan mata atau memejamkan mata itu sebuah nikmat yang harus disyukuri? Bayangkan berapa juta harus dihabiskan untuk mengobati penyakit tidak bisa tidur?


 وَإِنْ تَعُدُّوا نِعْمَةَ اللَّهِ لا تُحْصُوهَا إِنَّ اللَّهَ لَغَفُورٌ رَحِيمٌ

Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tak dapat menentukan jumlahnya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. 
(An Nahl:18)

Demikian banyak nikmat Allah sehingga kita tidak akan mampu menghitung apalagi untuk membalasnya, dan Allah tidak meminta kita untuk membayar semua karunia-Nya kecuali dengan mengabdi dan bersyukur kepada-Nya.

Syukur, sekali lagi adalah sesuatu yang sulit, sehingga dengan ayat pembuka diatas, Allah menuntun kita untuk memohon kepada-Nya kemampuan untuk bersyukur.
Lalu apakah syukur itu untuk Allah? Tidak, sama sekali tidak!!

Allah tidak akan rugi sedikitpun seandainya semua manusia tidak bersyukur kepada-Nya, sebaliknya, tidak akan menambah apapun bagi Allah jika seluruh mahluk bersyukur kepada-Nya, lalu?

 وَلَقَدْ آتَيْنَا لُقْمَانَ الْحِكْمَةَ أَنِ اشْكُرْ لِلَّهِ وَمَنْ يَشْكُرْ فَإِنَّمَا يَشْكُرُ لِنَفْسِهِ وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ حَمِيدٌ

Dan Sesungguhnya Telah kami berikan hikmat kepada Luqman, yaitu: “Bersyukurlah kepada Allah. dan barangsiapa yang bersyukur (kepada Allah), Maka Sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri; dan barangsiapa yang tidak bersyukur, Maka Sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji”.  
(QS. Luqman:12)

Ternyata, syukur itu untuk kita sendiri, bukan untuk Allah! Jadi kenapa kita “pelit” untuk bersyukur?
Bukankah Allah berfirman,

 وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِنْ شَكَرْتُمْ لأزِيدَنَّكُمْ وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ

“Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan, “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), Maka Sesungguhnya azab-Ku sangat pedih”.
(QS. Ibrahim:7)

Allah akan menambah nikmat-Nya kalau kita bersyukur atas nikmat-Nya. Maka jika meminta, hendaknya dahulukan dengan rasa syukur. Karena tanpa kita minta pun Allah telah memberi beribu nikmat bagi kita.


Islampos

Berbuat Baik Kepada Orang Tua Yang Sudah Meninggal






Birrul walidain atau terjemahan tepatnya berbuat baik kepada orangtua merupakan satu bentuk ketaatan yang besar nilainya. Allah memerintahkan berbuat baik kepada orangtua langsung dalam kitab-Nya, disandingkan dengan perintah bertauhid kepada-Nya. Ini menunjukkan sangat wajibnya berbuat baik kepada keduanya.

وَقَضَى رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا

“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan beribadah selain kepada-Nya dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. ”
(QS. Al-Isra’: 23)

واعبدوا الله وَلاَ تُشْرِكُواْ بِهِ شَيْئاً وبالوالدين إِحْسَاناً

“Beribadahlah kepada Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun. Dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua.”
(QS. Al-Nisa’: 36)

Bahkan terhadap orangtua yang musyrik dan mengajak kepada kesyirikan, Islam tidak membolehkan anak berbuat kurang ajar. Islam tetap memerintahkan berbuat baik kepada keduanya tanpa menuruti ajakan mereka tersebut.

وَإِن جَاهَدَاكَ على أَن تُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلاَ تُطِعْهُمَا وَصَاحِبْهُمَا فِي الدنيا مَعْرُوفاً

“Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik.”
(QS. Luqman: 15)

وَوَصَّيْنَا الإنسان بِوَالِدَيْهِ حُسْناً وَإِن جَاهَدَاكَ لِتُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلاَ تُطِعْهُمَآ

“Dan Kami wajibkan manusia (berbuat) kebaikan kepada dua orang ibu-bapaknya. Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya.”
(QS. Al-Ankabut: 8)

Yang demikian itu karena orangtua menjadi sebab hadirnya seorang manusia di dunia ini. Keduanya telah merawat, menjaga, dan membesarkannya. Ibu begadang bermalam-malam untuk menjaga dan merawatnya saat ia bayi. Semua urusannya dikerjakan oleh ibunya, menyusui, memandikan, menyiapkan baju, menyiapkan makanan dan menyuapi sampai menceboki, dan lainnya.

Bapak banting tulang, peras keringat untuk mencari nafkah guna mencukupi kebutuhan hidupnya. Mengumpulkan duit untuk membelikan makan, baju, mainan, dan biaya sekolah anak-anaknya. Besarnya jasa tersebut, sehingga Allah menposisikan taat kepada orangtua setelah beriman kepada-Nya.

Saat kedua orangtua masih hidup, birrul walidain bisa berupa mentaati perintah keduanya, memuliakan dan menunjukkan rasa sayang kepada keduanya, berbicara yang sopan, diam saat kedua berbicara, tidak membantah petuahnya, mengobatkan saat sakit, melindungi mereka saat terancam, dan memberikan bantuan baik fisik maupun harta saat keduanya membutuhkan.

Sesungguhnya birrul walidain bukan saat meduanya masih hidup, tapi juga berlanjut saat keduanya sudah tiada. Apa saja bentuk berbuat baik kepada orangtua pasca keduanya tiada?

Dari Abu Usaid Malik bin Rabi'ah As-Sa'idiy, ia berkata : Pada suatu waktu kami duduk di samping Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam, tiba-tiba datanglah seorang laki-laki dari Bani Salamah, lalu bertanya,


يَا رَسُولَ اللَّهِ هَلْ بَقِيَ مِنْ بِرِّ أَبَوَيَّ شَيْءٌ أَبَرُّهُمَا بِهِ بَعْدَ مَوْتِهِمَا؟ قَالَ نَعَمْ الصَّلَاةُ عَلَيْهِمَا وَالِاسْتِغْفَارُ لَهُمَا وَإِنْفَاذُ عَهْدِهِمَا مِنْ بَعْدِهِمَا وَصِلَةُ الرَّحِمِ الَّتِي لَا تُوصَلُ إِلَّا بِهِمَا وَإِكْرَامُ صَدِيقِهِمَا

"Wahai Rasulullah, apakah masih ada kesempatan untuk aku berbuat baik kepada kedua orangtuaku setelah mereka meninggal?” Beliau menjawab, “Ya. Mendoakan dan memintakan ampunan untuk keduanya, melaksanakan janji keduanya sesudah meninggal, menyambung jalinan silaturrahim mereka dan memuliakan teman mereka.”
(HR. Abu Dawud, Ibnu Majah, dan Ahmad)

Lima perkara yang hendaknya dilakukan anak untuk kedua orang tuanya yang sudah meninggal dunia, yaitu:

1. Mendoakan kebaikan untuk keduanya, termasuk di dalamnya melaksanakan shalat jenazah keduany. Intinya memohon kepada Allah agar Allah merahmati keduanya. Dan ini bentuk amal baik kepada orang tua saat mereka masih hidup maupun sudah meninggal. Jika Allah merahmati berarti Allah melimpahkan semua bentuk kebaikan kepada keduanya dan menghindarkan berbagai keburukan dari keduanya.

2. Istighfar untuk keduanya: memohonkan kepada Allah agar mengampuni dosa-dosa keduanya. Ini merupakan kebaikan paling utama sesudah mereka meninggal.

3. Menunaikan janji keduanya setelah meninggal berarti melaksanakan wasiat keduanya. Maka bagi anak, baik laki-laki atau perempuan untuk melaksanakan wasiat keduanya jika sesuai syariat.

4. Memuliakan teman-teman keduanya; termasuk kawan karibnya, rekan kerjanya, kerabatnya keduanya. Seorang anak-anak menghormati dan memuliakan mereka, di antaranya dengan berkata sopan dan baik kepada mereka, menjenguk saat mereka sakit, membantuk saat kesusahan, member hadiah, dan semisalnya.

5. Menyambung silaturahim (hubungan kekerabatan) keduanya, yaitu berbuat baik kepada paman dan bibi dari jalur ayah maupun ibu, kerabat-kerabat mereka. Berbuat baik kepada mereka dan menyambung kekerabatan mereka termasuk memuliakan orang tua.

Dari bahasan ini dapat kita simpulkan bahwa anak muslim wajib berusaha memberikan kebaikan kepada orang tua dan menghilangkan bahaya dari keduanya, saat mereka masih hidup maupun sudah meninggal dunia. Karena mereka memiliki banyak jasa terhadap anak-anaknya saat si anak masih kecil, dirawat, disayang, dididik dan dibesarkan. Kewajban anak adalah membalas kebaikan mereka dengan kebaikan, pengorbanan dengan pengorbanan, khususnya terhadap ibu.



Pengorbanan




Dikisahkan para malaikat menyoroti kekayaan yang dimiliki Nabi Ibrahim. Kita mengenal nabi yang kaya hanya Nabi Sulaiman. Tapi, ternyata Nabi Ibrahim juga kaya. Apalagi, sejak Nabi Ibrahim mendapatkan sumur zamzam. Ternaknya maju. Konon, saat itu Nabi Ibrahim memiliki 12 ribuan domba dan unta.

Saat itu, Allah membela Nabi Ibrahim bahwa hati beliau bersih. Iman beliau kuat. Hidupnya untuk Allah. Saat Nabi Ibrahim ditanya, "Punya siapa harta yang engkau miliki?" Dijawab oleh Nabi Ibrahim, "Punya Allah, sedang dititipkan kepadaku. Jika Allah hendak mengambilnya, bahkan anakku sekalipun punya Allah. Jika Allah menghendaki, anakku pun tak apa-apa,  kuserahkan."

Begitu kurang lebih epik yang dikisahkan guru saya di pesantren. Kisah yang saya ingat. Dan, ujian pun datang tidak jauh-jauh. Nabi Ibrahim diuji perkataannya beliau sendiri. Dan, kelak, Allah membuka penglihatan malaikat akan imannya Nabi Ibrahim, bahkan keluarganya, yakni imannya Siti Hajar dan Ismail.

Saat isyarat mimpi untuk menyembelih Nabi Ismail datang, tanpa ragu Nabi Ibrahim dan keluarganya membuktikan imannya.

Nabi Ismail yang saat itu berusia tujuh tahun (menurut riwayat lain 13 tahun) berkata kepada ayahnya agar mengikat kaki dan tangannya. Agar ayahnya tidak mendapatinya berontak. Ia meminta ayahnya agar menghadapkan wajahnya ke tanah agar ayahnya tidak melihatnya, lalu jatuh ibanya. Ia meminta jangan melihat dulu anak-anak sebayanya agar tidak jatuh sedihnya.

Dimulailah penyembelihan itu. Tapi, pisau itu tumpul. Kali kedua, Nabi Ismail malah meminta agar ayahnya menghadapkan wajahnya ke langit. Agar bisa melihat wajah ayahnya dan melaksanakan perintah Allah dengan gembira. Bukan dengan ketakutan. Dan, Nabi Ismail meminta ayahnya melepas ikatan kaki dan tangannya agar bisa menunjukkan ketenangan.

Kali ini pun pisau itu tumpul. Nabi Ibrahim mencoba menggoreskannya ke batu. Batu itu terbelah. Bertanyalah Nabi Ibrahim, "Wahai pisau, mengapa engkau kupakai untuk menyembelih anakku engkau tidak sanggup? Padahal, untuk membelah batu engkau sanggup?"

Batu menjawab, "Aku diperintah Allah agar tidak memotong leher Ismail. Bagaimana mungkin aku bermaksiat? Melawan perintah-Nya?"

Malaikat menyaksikan kesungguhan hati ayah dan anak ini. Bahkan, kesungguhan dan keteguhan hati Siti Hajar. Bagaimana ketika silih berganti setan menggoda agar mereka membatalkan niat ini. Peristiwa ketika setan dilempar batu dijadikan manasik haji. Jumratul uulaa, jumratul wustha, dan jumratul 'aqabah.

Akhirnya, Allah pun mencukupi ujian ini. Dan, menggantinya dengan kambing gibas. Nabi Ibrahim, Nabi Ismail, dan Siti Hajar berhasil melewati ujian pengorbanan ini. Dan, tertinggallah kita. Bagaimana pengorbanan kita? Kita memotong waktu kerja untuk shalat saja sering tidak dalam pemotongan (pengorbanan terbaik). Selalu mendahulukan pekerjaan dan menomorduakan shalat. Sebagian kita malah tidak sanggup memotong sama sekali kegiatan dan aktivitas keseharian kita untuk shalat dan menghadap Allah.

Sanggupkah kita memotong tidur malam kita? Untuk shalat malam? Memotong harta kita untuk zakat dan sedekah? Dalam bentuknya yang terbaik. Bukan yang asal-asalan, bukan jangan sampai tidak zakat dan sedekah.

Sanggupkah kita memotong nafsu syahwat kita? Ketika datang? Jika sanggup, perbuatan kita pun akan dilihat Allah dan para malaikat-Nya.


Republika

Alas Tidur Rasulullah




لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا

Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.”
(QS al-Ahzab [33] : 21)

Suri teladan yang baik dari beliau itu menyangkut segala segi kehidupan. Maka, tak ada sesuatu pun dari kehidupan beliau yang luput dari pantauan sahabat-sahabatnya. Mulai dari hal-hal kecil hingga hal-hal besar.

Boleh jadi, kesederhanaan beliau ditinjau dari segi pakaian, perabotan rumah tangga, dan lainnya lebih sederhana dari sahabat-sahabatnya. Ambil contoh, menyangkut alas tidur yang biasa beliau gunakan sehari-hari.

Alas tidur beliau sangat sederhana. Alas tidur beliau berdasarkan catatan yang valid terbuat dari kulit yang diisi sabut. Berdasarkan catatan lainnya, Umar bin Khattab RA pernah masuk ke kamar pribadi Rasulullah. Di sana, dia mendapati beliau tengah tidur di atas tikar terbuat dari pelepah kurma. Sehingga, terlihat meninggalkan bekas di lambungnya.

Pada waktu lain beliau tidur beralaskan mantel kasar atau kulit yang digelar. Ada juga keterangan bahwa beliau tidur di atas “ranjang” terbuat dari rakitan pelepah kurma atau lainnya yang diikat dengan tali. Sehingga, terlihat meninggalkan bekas di lambungnya.

Alas tidur beliau yang sangat sederhana itu tentu saja mengundang rasa takjub siapa pun yang melihatnya. Bahkan, Umar sampai meneteskan air matanya saat melihat bekas tikar di lambung beliau. Lalu dia berkata, “Engkau adalah Rasulullah. Sedangkan kisra dan kaisar tidur di atas ranjang terbuat dari emas.”

Ketika Adi bin Hatim datang di Madinah sebagai seorang Muslim, Rasulullah memintanya datang ke rumah beliau. Maka untuk menghormatinya, beliau memberikan bantal miliknya kepada Adi. Padahal, tidak ada lagi yang lain di rumah itu selain bantal tersebut.

Ketika seorang wanita Anshar suatu ketika masuk ke rumah Rasulullah untuk menemui Aisyah, dia pun geleng-geleng kepala saat mengetahui kondisi alas tidur beliau. Karena itu, tanpa diminta dia mengirimkan selembar alas tidur terbuat dari wol. Begitu beliau melihatnya, Rasulullah memerintahkan Aisyah untuk mengembalikannya kepada wanita itu.

Ketika Hafshah ditanya tentang alas tidur Rasulullah, dia menjawab, “Kain wol kasar yang kami lipat dua. Suatu malam, tebersit di benakku untuk melipatnya menjadi empat. Ternyata paginya beliau bertanya, ‘Apa yang kau jadikan alas tidurku tadi malam?’

Aku jawab, ‘Itu adalah alas tidurmu, hanya saja tadi malam aku lipat menjadi empat. Aku pikir itu akan lebih nyaman untukmu.’ Sekonyong-konyong beliau bersabda, ‘Kembalikan lagi ke keadaan semula (dilipat menjadi dua). Ketahuilah, kenyamanannya telah menghambatku (mendirikan) shalat tadi malam.” (HR Tirmidzi).



Republika