رَبِّ اغْفِرْ لِي وَهَبْ لِي مُلْكًا لا يَنْبَغِي لأحَدٍ مِنْ بَعْدِي إِنَّكَ أَنْتَ الْوَهَّابُ


"Ya Rabb-ku, ampunilah aku, dan anugerahkanlah kepadaku kerajaan, yang tidak dimiliki oleh seorangpun juga sesudahku, sesungguhnya Engkaulah Yang Maha pemberi’."

Rabu, 09 Juli 2014

Cara Rasulullah Menghadapi Pemimpin Kaum Kafir



Tahun 630 masehi merupakan tahun mencekam bagi kaum musyrikin Quraisy di Makkah. Perjanjian Hudaibiyah yang mereka rusak dengan sendirinya mengakhiri kesepakatan genjatan senjata dengan kaum Muslimin di Madinah.

Kini sepuluh ribu pasukan dari Madinah telah siap menyerbu Makkah.

Abu Sufyan, pemimpin tertinggi musyrikin Quraisy, adalah orang yang paling diresahkan dengan kondisi ini. Ia sadar kekuatan umat Islam berubah luar biasa dahsyat dibanding 10 tahun lalu. Rencana memperbaiki pelanggaran berat atas perjanjian itu pernah ia upayakan, tapi gagal.

Benar bahwa semua orang kafir Quraisy dilanda ketakutan. Tapi Abu Sufyan pastilah orang yang paling terpukul. Di kalangan masyarakat kota suci, dia adalah bangsawan terhormat. Wibawanya menjulang tinggi. Sehari-hari ia dielu-elukan sebagai tokoh yang gagah berani. Nah, di depan kekalahan peristiwa fathul makkah (pembebasan Kota Makkah) serentetan nama besarnya musnah. Sekarang Abu Sufyan tak hanya takut melainkan wajah mulianya juga serasa diinjak-injak.

Rupanya Rasulullah peka dengan suasana batin Abu Sufyan. Pidato Rasulullah di hadapan penduduk Makkah menyebut nama dedengkot pasukan musuh tersebut. “Barangsiapa masuk ke dalam Masjidil Haram, dia akan dilindungi. Barangsiapa masuk ke dalam rumah Abu Sufyan, dia akan dilindungi,” tegasnya.

Alangkah bahagianya Abu Sufyan mendengar pengumuman ini. Tak tanggung-tanggung, Rasulullah seolah menyejajarkan rumahnya dengan Masjidil Haram. Mungkin karena sebab inilah Abu Sufyan tak lagi canggung memeluk Islam.

Sejak saat itu satu-persatu keluarga Abu Sufyan pun mengikuti jejaknya menjadi muallaf. Bahkan anaknya, Muawiyah bin Abu Sufyan, beberapa saat kemudian diangkat oleh Nabi sebagai salah seorang pencatat wahyu. Tak ketinggalan, masyarakat Quraisy yang dulu di bawah kekuasaan Abu Sufyan pun beramai-ramai menyatakan keislamannya.

Para sejarawan mencatat, fathul makkah merupakan peristiwa monumental yang muncul dalam sejarah umat Islam tentang etika peperangan. Kekuatan politik yang mapan sama sekali tak menggerakkan hati Nabi untuk menjadikannya sebagai momen pelampiasan dendam. Hasilnya, pertumpahan darah tak terjadi dan kejayaan umat Islam pun semakin gemilang.

Nu.co.id

Nabi Sulaiman, Semut, dan Rezeki Cacing Buta



Pada suatu hari Nabi Sulaiman a.s. duduk di pinggir danau. Sejurus kemudian, ia melihat seekor semut membawa sebiji gandum. Nabi Sulaiman a.s. terus memperhatikan semut itu, yang tengah menuju ke tepi danau.

Tiba-tiba ada seekor katak yang keluar dari dalam air seraya membuka mulutnya. Entah bagaimana prosesnya, semut itu kemudian masuk ke dalam mulut katak. Kemudian, katak itu pun menyelam ke dasar danau dalam waktu yang cukup lama.

Sementara Nabi Sulaiman a.s. memikirkan peristiwa barusan, katak tersebut keluar dari dalam air dan membuka mulutnya. Lalu semut itu keluar, sementara sebiji gandum yang dibawanya sudah tidak ada lagi bersamanya.

Nabi Sulaiman a.s. memanggil semut itu dan menanyakan kepadanya tentang apa yang dilakukan barusan, ”Wahai semut, apa yang kamu lakukan selama berada di mulut katak?”

”Wahai Nabiyullah, sesungguhnya di dalam danau ini terdapat sebuah batu yang cekung berongga, dan di dalam cekungan batu itu terdapat seekor cacing yang buta,” jawab semut.

“Cacing tersebut tidak kuasa keluar dari cekungan batu itu untuk mencari penghidupannya. Dan sesungguhnya Allah telah mempercayakan kepadaku urusan rezekinya,” lanjut semut.

”Oleh karena itu, aku membawakan rezekinya, dan Allah swt. telah menguasakan kepadaku sehingga katak ini membawaku kepadanya. Maka air ini tidaklah membahayakan bagiku. Sesampai di batu itu, katak ini meletakkan mulutnya di rongga batu itu, lalu aku pun dapat masuk ke dalamnya,”

“Kemudian setelah aku menyampaikan rezeki kepada cacing itu, aku keluar dari rongga batu kembali ke mulut katak ini. Lalu katak ini mengembalikan aku di tepi danau.”

Nabi Sulaiman a.s. kemudian bertanya, ”Apakah kamu mendengar suara tasbih cacing itu?”

”Ya, cacing itu mengucapkan: Yâ man lâ yansani fî jaufi hâdzihi bi rizqika, lâ tansâ ‘ibâdakal mu’minîna bi rahmatik (Wahai Dzat Yang tidak melupakan aku di dalam danau yang dalam ini dengan rezeki-Mu, janganlah Engkau melupakan hamba-hamba-Mu yang beriman dengan rahmat-Mu)."

Demikianlah, Allah mengatur rezeki segenap makhluknya, termasuk manusia. Sebagaimana pesan al-Qur’an dalam surat Hûd ayat 6: Wa mâ min dâbbatin fil ardli illâ ‘alaLlahi rizquhâ (Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allahlah yang memberi rezekinya)

Nu.or.id

Pengorbana Ali Bin Abi Thalib


Dikisahkan bahwasanya di antara kebiasaan Hasan bin Ali bin Abi Thalib di Madinah adalah membuka lebar pintu rumahnya layaknya dapur umum. Seperti dapur umum, pagi, siang, malam rumah itu menghidangkan makanan untuk semua orang yang berdatangan.
 
Di zaman itu di Madinah belum ada tempat penginapan atau hotel. Tiap hari, Hasan menyembelih onta kecil untuk dihidangkan ke para peziarah Madinah atau orang-orang miskin pada umumnya.


Suatu hari, ada orang Arab Badui (dusun) yang datang dan makan dirumahnya. Sehabis makan, ia tidak langsung pulang, melainkan duduk dan membungkus beberapa makanan ke dalam tas. Melihat keanehan itu, Hasan datang menyapa.

“Kenapa kau mesti membungkusnya? Lebih baik kau datang makan tiap pagi, siang dan malam di sini. Biar makananmu lebih segar,” kata Hasan.

“Oh, ini bukan untukku pribadi. Tapi untuk orang tua yang kutemui di pinggir kota tadi. Orang itu duduk di pinggir kebun kurma dengan wajah lesuh dan memakan roti keras.

Dia hanya membahasahi roti itu dengan sedikit air bergaram dan memakannya. Aku membungkus makanan ini untuknya, biar dia senang.,” jawab orang Badui.

Mendengar itu, Hasan kemudian menangis tersedu-sedu. Badui itu heran dan bertanya, “Kenapa Tuan menangis? Bukankah tak ada yang salah jika aku kasihan dengan lelaki miskin yang di pinggiran kota itu?”
Dijawab oleh Hasan, sembari tersedu, “Ketahuilah, saudaraku. Lelaki miskin yang kau jumpai itu, yang makan roti keras dengan sedikit air bergaram itu, dia adalah ayahku: Ali bin Abi Thalib. Kerja kerasnya di ladang kurma itulah yang membuatku bisa menjamu semua orang setiap hari di rumah ini.” (Ajie Najmuddin)

Pemimpin Harus Kuat Dan Amanah



Sesungguhnya orang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) atau menjadi pemimpin adalah orang yang kuat lagi amanah, dapat dipercaya  (QS al-Qashash/28: 26)

Ayat tersebut mengisyarakat dua syarat utama orang yang layak menjadi pemimpin, yaitu kuat dan amanah. Tentu yang dimaksud dengan kuat bukan semata-mata fisik dan ekonomi, melainkan juga kuat mental spiritual, kuat iman, ilmu, dan amalnya.

Jika multikekuatan ini disinergikan dengan amanah (dapat dipercaya, memiliki integritas tinggi) maka akan melahirkan sosok pemimpin yang mampu membawa perubahan masyarakat ke arah lebih baik, maju, sejahtera, adil, dan bermartabat.

Dalam konteks ini, Rasulullah SAW merupakan figur pemimpin yang mampu menyinergikan kekuatan dan amanah itu. Di antara rahasia kesuksesan beliau dalam memimpin umat adalah lima modal kekuatan berikut.

Pertama, kekuatan Keteladanan akhlak. Sejak kecil Nabi SAW tidak pernah terlibat pelanggaran moral, tidak pernah minum minuman keras, tidak pernah bohong, tidak pernah korupsi, tidak pernah main perempuan, dan aneka akhlak tercela lainnya.

Akhlaknya yang luhur dan terpuji yang dicontohkan kepada keluarga, para sahabat, dan umatnya menjadi kekuatan maha dahsyat, sehingga beliau berhasil menjadi super leader, super manager, dan the greatest teacher.

Apa yang beliau ucapkan beliau laksanakan. Janjinya selalu ditepati. Rakyat beliau cintai, bukan dimanipulasi dan dibodohi. Beliau peduli dan suka berbagi kepada semua. Beliau tidak pernah menyakiti, membohongi dan menyengsarakan umatnya.

Di saat akan menghembuskan nafas terakhir, beliau masih menyatakan, “Ummati… ummati… ummati… ummati… ash-shalah… ash-shalah..” (Wahai umatku, [jangan lupakan] shalat, shalat, dan shalat).

Kedua, kekuatan komunikasi. Nabi SAW memiliki kemampuan berkomunikasi yang luar biasa efektif sehingga bisa memengaruhi kawan maupun lawan. Beliau ahli negosiasi, berorasi, memberi motivasi, dan menginspirasi umat.

Ketiga, kekuatan ilmu.  Rasulullah SAW tentu memiliki ilmu luar biasa, karena guru dan sumber ilmu beliau langsung dari Allah SWT. Dengan ilmu dan petunjuk langsung dari Allah SWT, Nabi SAW menjadi pemimpin yang berhati-hati dalam menerima ide dan kritik.

Orang yang berilmu juga cenderung lebih terbuka dan toleran, mau bekerja sama dengan orang lain. Baginya, segala informasi yang ia dapatkan merupakan data yang dijadikan rujukan pertimbangan.

Rasulullah SAW memimpin umat dengan ilmu dan petunjuk dari Allah sehingga umatnya pun diharuskan berlajar dan mengembangkan ilmu. Keempat, kekuatan mental spiritual. Rasulullah SAW sangat menganjurkan setiap Muslim mendekatkan diri kepada Allah SWT.

Kekuatan mental-spiritual yang tangguh membuat pribadi beliau juga sangat tangguh, tidak mudah mengeluh, tidak gampang curhat masalah pribadinya di hadapan rakyatnya, teguh pendirian, tegas dalam mengambil tindakan, dan tangkas selesaian masalah.

Di malam hari beliau beribadah, di siang hari beliau sering berpuasa. Kekuatan inilah yang menjadikan beliau dan para sahabatnya selalu merasa ada jalan dan solusi dalam berbagai situasi, sesulit apapun.

Kelima, kekuatan fisik. Rasulullah SAW termasuk orang paling sehat. Nyaris tidak pernah sakit, dan memiliki kekuatan fisik yang prima sepanjang hidupnya.

Kelima kekuatan itu idealnya menjadi pemacu semangat kebangkitan moral bangsa ini menuju khaira ummah (umat terbaik) yang berperadaban.

REPUBLIKA.CO.ID

Takabur


Seorang budak belian yang mempunyai kedudukan terhormat dalam rentang peradaban manusia adalah Lukman al-Hakim. Dia bukan malaikat bukan pula Nabi.

Namun, namanya terekam dalam Alquran, bahkan menjadi nama sebuah surah. Sampai-sampai Nabi pun menegaskan, ada tiga orang berkulit hitam yang akan menjadi pemimpin penghuni surga.

Salah satunya adalah Lukman al-Hakim. Banyak tamsil berisi pelajaran dari Lukman. Di antaranya pesan agar jangan takabur. Ucapan Lukman kepada anaknya, “Dan janganlah berjalan di muka bumi dengan congkak. Allah tidak menyukai orang yang sombong dan membanggakan diri.” (Lukman: 18).

Takabur sering didefinisikan dengan rasa kagum terhadap diri, sikap suka membangga-banggakan, membesar-besarkan, dan membusungkan dada.

Lantaran kagum pada potensi dirinya, akibatnya membuahkan sikap arogan, pongah, sombong, dan angkuh terhadap orang lain. Hanya dialah pemilik superioritas dan tak ada seorang pun yang bisa menandinginya.

Ar-Razi berujar, “Seseorang yang menyombongkan kudanya tidak mau menukarnya dengan kuda lain yang lebih kencang larinya sebab dia berpandangan tak ada kuda lain yang mungkin berlari lebih cepat dari kuda miliknya.”

Mutakabbir (orang yang takabur) percaya dialah satu-satunya pemilik kebenaran, karenanya tak ada kebenaran lain di luar dirinya.

Take and give tak masuk dalam kamus kehidupan orang-orang takabur. Dia bebal terhadap inovasi, saran, dan kritik orang lain. Nabi bersabda, “Sesungguhnya takabur adalah mencampakkan kebenaran dan meremehkan manusia.’’ (HR Ath-Thabrani).

Takabur tidak hanya berbahaya terhadap orang lain tetapi juga terhadap dirinya sendiri. Dia hanya tahu kelemahan orang lain, sedang boroknya sendiri tak ia sadari. Dia menutup mata rapat-rapat akan kemajuan orang lain.

Maka petaka bagi sebuah bangsa yang pemimpinnya dihinggapi penyakit takabur karena tak akan ada alih ilmu pengetahuan dan teknologi, sehingga ia terus berkubang dalam status quo-nya dan tersisih dari percaturan dunia internasional.

Karena si takabur berkeinginan memperoleh puja-puji tetapi sesungguhnya ia menuju ambang degradasi. Posisinya justru makin terpuruk.

Sufyan ats-Tsauri berucap, “Sesungguhnya kemaksiatan yang tumbuh dari nafsu mempunyai harapan untuk memperoleh ampunan namun setiap kemaksiatan yang lahir karena takabur, tak ada ampun baginya. Karena kemaksiatan iblis itu berawal dari takabur (dia menduga dirinya lebih baik dari Adam), sedang dosa Adam berawal dari nafsu (keinginana untuk mengecap buah pohon terlarang).

Contoh paling gamblang dari sosok takabur adalah Firaun yang karam ditelan lautan. Dia tak hanya sombong dan mengingkari ayat-ayat Tuhan tetapi juga begitu berani mengaku dirinya sebagai Tuhan.

Karena itu, belajarlah dari bumi, yang meski berjibun makhuk mengeruk pelbagai karunia darinya namun ia tetap berada di bawah.

Jalaludin Rumi, sufi besar Persia abad ke-13 berucap, “Sebuah pohon yang sarat buah-buahan, cabang-cabangnya merunduk ke bumi. Tetapi kemudian pohon itu mengangkat kepalanya ke langit, dapatkah kita berharap memetik dan menikmati buahnya?’’

 REPUBLIKA.CO.ID

Pemimpin Berkarakter



Pada suatu waktu, Abu Ubaidah bin Jarrah menemani Khalifah Umar bin Khattab dalam sebuah perjalanan ke Syam (Suriah). Mereka bersepakat untuk bergantian dalam menaiki dan menuntun kuda yang mereka gunakan.

Menjelang masuk Kota Syam, tiba giliran Umar yang harus menuntun. Merasa tidak enak dan khawatir penduduk Syam melihatnya, Abu Ubaidah mengusulkan agar ia yang menuntun dan Khalifah Umar tetap di kendaraan.

Tetapi, Umar menolak. Ia berkata, ’’Kami adalah kaum yang dimuliakan Allah SWT dengan Islam. Aku tak peduli apa kata mereka.’’ Sungguh menarik yang dikatakan Umar dalam kisah di atas. Kalau mau, sebagai khalifah ia bisa menikmati berbagai fasilitas negara.

Misalnya, kendaraan, ajudan, pengawalan, dan lain-lain. Namun, ia menolak semua itu. Ia tetap sederhana, jujur, adil, berani, dan merakyat. Inilah karakter yang diperlukan seorang pemimpin. Karakter adalah kekuatan.

Kehebatan manusia tersembunyi di balik karakternya. Dan karakter menunjuk pada tiga makna. Pertama, keutamaan universal yang dipandang baik oleh semua manusia di sepanjang sejarah dan semua kebudayaan.

Contohnya adalah ilmu, kearifan, keberanian, kejujuran, dan keadilan. Kedua, puncak kualitas moral yang berarti bertindak benar meski ada tekanan kuat berbuat sebaliknya. Ketiga, karakter menunjuk pada kesejatian diri.

Karakter menunjuk pada sikap dan laku perbuatan yang dilakukan seseorang pada saat tak ada seorangpun mengetahui. Karakter merupakan apa yang sejatinya mengenai diri kita. Di sinilah karakter dibedakan dengan pencitraan.

Citra adalah anggapan orang tentang diri kita yang belum tentu diri yang sebenarnya. Hal yang diperlukan pemimpin, tentu bukan citra melaikan karakter. Dalam karakter ada kesejatian sedangkan dalam citra ada kamuflase kemunafikan.

Karakter menunjuk sesuatu pada yang genuine. Sementara, citra merujuk pada sesuatu yang bersifat artificial. Sengaja dibuat untuk membangun imaji yang positif. Pemimpin yang berkarakter seperti tampak pada diri Khalifah Umar.

Dia tampil genuine dan otentik. Ia tidak menyandarkan kemuliaan dan kehormatan diri pada sesuatu di luar dirinya seperti pangkat pakaian, kekayaan, dan hal-hal yang bersifat aksesoris duniawi. Ia cukup percaya diri.

Untuk melapangkan jalan kepemimpinannya ia tak perlu mencela dan menjelek-jelekkan pihak lain. Pemimpin yang berkarakter adalah pemimpin optimistik. Berangkat daru integritas dan dedikasinya untuk kemajuan bangsa, ia tak pernah ragu bertindak.

Ia pun tak memedulikan olol-olok musuh atau orang yang tidak menyukainya. ‘’Mereka adalag orang-orang yang berjihad di jalan Allah dan yang tidak takut pada cekaab orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehandaki-Nya dan Allah maha luas (pemberian-Nya) dan maha mengetahui.’’ (QS Al Maidah: 54).

Maka, belajar dari kepemimpinan Umar, satu hal mutlak yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin adalah karakter. Perlu diketahui karakter merupakan takdir keberhasilan pemimpin. Wallahu a’alam. 


REPUBLIKA.CO.ID

Amanah Kepemimpinan



Salah satu akhlak mulia ialah memelihara amanah dalam hidup keseharian kita. Dalam tataran politik, misalnya, amanah itu berarti kedudukan atau jabatan yang diperoleh dengan melibatkan dukungan orang banyak.

Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya Allah menyuruh kalian menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya, dan bila kalian menetapkan hukum di antara manusia supaya kalian menetapkannya dengan adil.” (QS An-Nisa [4]: 58).

Ayat di atas menjelaskan, amanah – khususnya di dunia politik praktis – harus diberikan kepada orang yang berhak, yakni seseorang yang mampu berbuat adil dalam menetapkan hukum.

Namun, kebanyakan kita menganggap jabatan sebagai sebuah prestasi sendiri yang diraih dengan susah payah. Hal ini memang benar tapi lebih tepatnya jabatan adalah sebuah amanah yang harus dilaksanakan untuk menebarkan keadilan.

Rasulullah SAW bersabda, “Tidaklah ada seseorang hamba yang Allah beri kepercayaan untuk memimpin, kemudian pada saat matinya dia berada dalam (keadaan) melakukan penipuan terhadap rakyatnya kecuali akan diharamkan atasnya untuk masuk surga.” (HR Bukhari-Muslim).

Oleh karena itu, Islam mengingatkan pengemban amanah harus orang yang cakap, ahli, dan bisa dipertanggungjawabkan kejujurannya. Sebab, bila amanah itu dipegang orang yang tidak tepat akan membawa kehancuran bagi kehidupan kolektif.

Dalam sejarah Islam, banyak tokoh yang menangis ketika ia diberi jabatan. Karena, ia sadar dalam jabatan itu terkandung beban yang harus dipertanggung-jawabkan nanti di hadapan Allah.

Saat Umar bin Abdul Aziz diberitahu tentang kesepakatan kaum Muslimin mengangkatnya sebagai pemimpin, ia malah menangis. Ia menyadari, amanah itu sangat berat di akhirat kelak.

Tangisan Umar, pada saat itu menjadi titik awal untuk selalu mengemban amanah sehingga roda pemerintahannya dapat menyejahterakan rakyat. Meskipun amanah itu berat di akhirat, kita tidak seharusnya menghindari amanah rakyat.

Ketika kita menyadari amanah akan dipegang orang tidak berkemampuan, dan menurut analisa kita lebih mampu untuk mengemban amanah, tidak mengapa bila menawarkan diri, seperti yang  dilakukan Nabi Yusuf.

Dia menawarkan diri menjadi bendahara di Mesir dan menyatakan sanggup menata anggaran belanja negara untuk menghadapai tujuh tahun musim subur dan musim peceklik selama tujuh tahun pula.

Setelah menjadi bendahara, terbukti ia mampu menghindarkan penduduk di Mesir dari kelaparan. Allah mengancam keras orang yang menyia-nyiakan amanah. Ancaman bukan hanya ditunjukan pada individu yang memegang amanah itu. Tetapi ancaman juga berupa kehancuran komunitas yang berada di bawah kepemimpinannya.

Allah SWT berfirman, “Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (supaya menaati Allah) tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu, maka sudah sepantasnya berlaku terhadapnya perkataan (ketentuan Kami), kemudian Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya." (QS Al-Isra’ [17]: 16).

Karena itu, orang yang mengkhianati amanah, seperti disabdakan Nabi SAW, termasuk orang munafik yang diancam siksa api neraka. Seorang pemimpin yang tak mampu memegang amanah masuk golongan manusia yang dibenci Allah SWT.

Sabdanya, “Ada empat golongan yang paling Allah benci. Peniaga yang banyak bersumpah, orang fakir yang sombong, orang tua yang berzina, dan seorang pemimpin (penguasa) yang zalim.” (HR An-Nasai). Wallahua'lam.

Republika.co.id


Berjuang Dengan Ikhlas



Seperti diketahui, Khalid bin Walid adalah jenderal yang memimpin pasukan Islam melawan tentara Romawi di Yarmuk, Suriah. Dalam sejarah, perang ini dikenal dengan nama Perang Yarmuk.

Perang masih berkecamuk saat datang surat perintah dari Khalifah Umar bin Khattab untuk memberhentikan Khalid bin Walid sebagai pemimpin perang dan menunjuk Abu Ubaidah bin Jarrah sebagai penggantinya.

Setelah perang usai, dengan kemenangan di pihak Islam, Abu Ubaidah menyerahkan surat pemberhentian itu kepada Khalid.
“Kenapa baru sekarang diserahkan,” tanya Khalid. Abu Ubaidah menjawab, “Bukan kerajaan dunia yang kami mau, dan bukan untuk dunia kami berbuat.” (Rijal haula al-Rasul, 262).

Khalid bin Walid dikenal sebagai jenderal perang yang sangat masyhur dan tak terkalahkan. Ia selalu memperoleh kemenangan dalam 100 kali pertempuran yang diikuti baik sebelum maupun setelah ia memeluk Islam.

Ia pantas menerima gelar Pedang Allah (Sayfullah). Dalam Perang Yarmuk, ia membabat begitu banyak musuh, hingga pedangnya sembilan kali patah. Dikatakan, pedang Khalid boleh patah, tetapi pedang Allah (Khalid) tidak boleh patah.      

Meskipun dipecat saat di puncak kariennya sebagai militer, Khalid tidak sakit hati, tidak pula galau. Ia tidak berhenti, dan tetap berjuang. Kepada teman-temannya, ia menyatakan bekerja dan berjuang bukan untuk Umar, tetapi untuk Allah.

Ia berjuang secara tulus dan ikhlas. Kini bendera kepemimpinan berada di tangan Abu Ubaidah, sahabatnya. Seperti Khalid, sahabat Nabi yang satu ini, Abu Ubaidah adalah pejuang sejati.

Saat itu, ia tak buru-buru menyerahkan surat penunjukan dirinya sebagai panglima perang kepada Khalid. Alasannya satu dan sama, ia berperang bukan untuk mencari kemuliaan sendiri, melainkan untuk Islam dan kaum Muslimin.

Melebihi kedua orang jenderal di atas, Umar dikenal sebagai khalifah yang arif dan bijaksana. Seperti diketahui, ia sangat jujur, pemberani, bersikap tegas dan  adil, sehingga gelar al-Faruq yakni pemisah yang hak dan batil dilekatkan kepadanya.

Banyak orang bertanya, mengapa Khalifah Umar memberhentikan Jenderal Khalid? Padahal Khalid  brilian dan berprestasi. Khalifah Umar, tentu memiliki alasan-alasannya sendiri. Paling tidak, tiga pelajaran yang ingin beliau tunjukkan.

Pertama, mengingatkan kepada Khalid dan juga kepada setiap Muslim, pangkat dan jabatan bukanlah tujuan. Ia hanyalah amanat perjuangan dan pengabdian. Kedua, meski selalu meraih kemenangan,  jangan sampai Khalid dipuji berlebihan.

Jangan sampai pula kekuatan dan kemenangan Islam bergantung hanya pada Khalid seorang. Ketiga, menunjukkan kepada dunia, Islam memiliki SDM yang kaya dan kuat, dan kaderisasi kepemimpinan yang dilakukan Umar berjalan baik.

Dalam pandangan Umar, perjuangan Islam adalah sarana untuk mencetak para pemimpin. Dalam kondisi demikian, tidak ada masalah, bendera kepemimpinan dipindahkan dari Khalid ke Abu Ubaidah atau kepada sahabat yang lain.
Sebagai tentara Allah, para sahabat tidak pernah ragu berjuang, sebagai panglima atau prajurit biasa. Wallahu a`lam!

REPUBLIKA.CO.ID

Pelihara Malu



Kebanyakan manusia pada hari ini tidak memiliki malu. Sifat malu ibarat barang langka di tengah-tengah masyarakat.
Sedikit sekali ada yang malu berbuat buruk, malu menggunjing, malu tidak amanah, malu karena malas, dan malu suka bohong.

Kenyataan yang lebih parah, banyak orang membuka aibnya sendiri. Entah itu masa lalunya atau hubungan buruknya dengan istri atau mantan kekasihnya di depan publik. Betapa entengnya mereka menyebut pernah berbuat ini dan itu.

Mereka umbar kekurangan orang lain tanpa sensor. Bahkan, isi dapur rumah sendiri dibongkar habis di hadapan media. Seperti itulah lakon para selebritas akhir-akhir ini.

Al-Imam an-Nawawi berkata, “Para ulama mengatakan malu hakikatnya adalah akhlak yang mengantar seseorang untuk meninggalkan kejelekan dan menghalanginya mengurangi hak-hak orang lain.’’

Sifat malu adalah pembawaan dalam diri seorang yang mendorongnya untuk mengetahui perbuatan buruk, meninggalkan prilaku yang tidak pantas dan kurang layak, serta mencegah diri dari kelalaian memenuhi hak dan kewajiban.

Orang kuat keimanannya kuat pula rasa malu dalam hatinya. Sebaliknya, orang yang lemah keimanannya sedikit rasa malunya.
Maka jika telah hilang sama sekali rasa malu dalam diri seorang manusia, dikhawatirkan hilang pula rasa malunya.

Rasulullah SAW sangat pemalu. Ini digambarkan Abu Sa’id Al-Khudri, “Rasulullah lebih pemalu daripada gadis dalam pingitannya. Bila beliau tidak menyukai sesuatu, kami bisa mengetahuinya pada wajah beliau.” (HR Al-Bukhari dan Muslim).

Dalam riwayat lain, beliau menegaskan, “Malu itu kebaikan seluruhnya.” (HR al-Bukhari dan Muslim). Muncul pertanyaan, mengapa malu itu semuanya baik? bukankah kita mendapati ada orang yang malu berbuat baik atau meninggalkan maksiat?

Jawabannya, jika rasa malu pada seseorang menghalanginya melakukan kebaikan atau mendorongnya berbuat kemaksiatan pada hakikatnya itu bukanlah malu. Itu merupakan sikap lemah yang melekat pada diri seseorang.

Ibnu Rajab Al-Hambali ketika menjelaskan hadis di atas, mengatakan, malu yang dipuji dalam ucapan Rasulullah SAW adalah akhlak yang bisa mendorong seseorang melakukan kebaikan dan meninggalkan kejelekan.

Sedangkan rasa lemah yang menyebabkan seseorang mengurangi hak Allah ataupun hak hamba-Nya bukan termasuk malu. Tetapi ini adalah kelemahan, ketidakmampuan, dan kehinaan.

Hendaklah kita memelihara sifat malu yang diajarkan oleh Islam. Malu pada tempatnya. Sebab, sifat malu itulah perhiasan hidup manusia di dunia ini. Tanpanya, manusia tidak berbeda dengan hewan.

 REPUBLIKA.CO.ID,

Sahur Ala Rasulullah SAW



REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ustaz Yusuf Mansur

Baginda Rasulullah SAW merupakan panutan bagi kita. Setiap kalamnya, perbuatannya, dan gerak-geriknya patut kita contoh. Sehingga, mudah-mudahan menjadi keberkahan bagi kita yang mengikutinya.






Bersahur adalah anjuran Rasulullah SAW, seperti diriwayatkan bahwa Rasul bersabda, “Bersahurlah kalian karena sesungguhnya di dalam sahur itu terdapat keberkahan.” (HR Bukhari Muslim).

Hadis tersebut menunjukkan, seorang yang berpuasa diperintahkan untuk bersahur karena di dalamnya terdapat kebaikan yang banyak serta keberkahan yang agung, baik di dunia maupun di akhirat.

Anjuran ini dipertegas dalam hadis-hadis yang lain, di antaranya adalah Sabda Rasulullah, “Pembeda antara puasa kita dan puasa ahlul kitab adalah makanan sahur.”
Lalu, adakah menu sahur yang dianjurkan Rasulullah? Ya, di antara menu yang dianjurkan saat bersahur adalah memakan buah kurma.

Hal ini sesuai dengan hadis Rasulullah, “Sahurnya orang Mukmin adalah buah kurma.” (HR Abu Daud). Namun, untuk mendapatkan keberkahan sahur seperti dalam hadis di atas, tidaklah harus dengan menu khusus.

Keberkahan sahur dapat diraih dengan menu apa pun yang halal walaupun hanya dengan seteguk air. Hal ini sesuai dengan sabda Nabi SAW, “Makanan sahur merupakan makanan yang berkah maka janganlah kalian meninggalkannya walaupun hanya seteguk air, sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bershalawat kepada orang-orang yang bersahur.” (HR Ahmad).

Selain menu sahur, ada juga waktu sahur yang dianjurkan Rasulullah saw. Jika saat berbuka puasa kita disunahkan mempercepat berbuka, maka saat bersahur kita disunahkan untuk mengakhirkannya.

Adakah ukuran waktu khusus yang dilakukan Rasulullah saat bersahur? Ya, sesuai dengan hadis yang diriwayatkan al-Imam al-Bukhori, sahabat Nabi yang bernama Zaid bin Tsabit pernah bersahur bersama Rasulullah dan melaksanakan shalat Subuh.

Setelah itu, lalu Zaid ditanya, “Berapa lama jarak antara usai sahur dan shalat Subuh?” Sayidina Zaid menjawab, “Seukuran membaca 50 ayat dari Alquran.” Kalau diukur dengan bacaan Alquran yang sedang, kurang lebih 15 menit sebelum Subuh.

Hadis-hadis di atas mengajarkan kepada kita bersahur ala Rasulullah. Semoga kita dapat mengikuti sunah-sunah beliau sehingga kita termasuk orang yang mendapatkan kehormatan di surga bersama beliau. Amin.

Akhlak Mulia, Antara Tabiat dan Kebiasaan



REPUBLIKA.CO.ID, Para ulama berbeda pendapat mengenai dasar-dasar akhlak mulia. Ada ulama yang mengatakan bahwa akhlak mulia adalah tabiat alamai seseorang yang tidak bisa dibuat-buat karena merupakan karunia dari Allah.

Namun, ada pula ulama yang beranggapan, akhlak mulia adalah watak yang terbentuk, sehingga dapat diraih dengan cara giat berlatih dan membiasakan diri secara intens.

Mahmud al-Mishri dalam karyanya Ensiklopedia Akhlak Muhammad SAW berpendapat, tabiat dan kebiasaan sesungguhnya saling mendukung. Menurutnya, ini adalah opini yang paling mendekati kebenaran.

Sebagian akhlak mulia, kata dia, bisa saja disebut sebagai tabiat alami yang dianugerahkan Allah kepada seseorang. Pada kasus ini, seseorang mungkin tidak perlu lagi berlatih atau membiasakan diri untuk ‘menjadi baik’. 

“Karena itu, orang yang tidak dikaruniai kelabihan ini dituntut untuk melawan hawa nafsunya dan melatih diri untuk berakhlak mulia,” tulis al-Mishri.

Pada dasarnya, lanjut al-Mishri, jiwa manusia itu mudah sekali menyerap dan menerima akhlak mulia. Hal ini seperti yang diungkapkan Abu Dzu’aib Al Hudzli dalam syairnya, “Nafsu manusia selalu berkeinginan jika dituruti, dan akan berhenti jika ditahan.”

Salah satu bukti bahwa akhlak merupakan tabiat sekaligus hasil latihan dan pembiasaan adalah sabda Rasulullah SAW kepada Asyaj Abdul Qais: “Sungguh, kamu memiliki dua sifat yang dicintai Allah, yaitu murah hati dan sabar,” kata nabi kepada sahabatnya itu.

Asyaj pun lantas bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah kedua sifat itu sudah menjadi tabiatku sejak aku diciptakan, atau apakah Allah yang membentukku seperti itu (dalam proses yang aku jalani)?”

Rasul menjawab, “Allah-lah yang membentuk watakmu sedemikian rupa.”

Asyaj lalu berkata lagi, “Segala puji bagi Allah yang telah membentukku dengan dua akhlak yang dicintai Allah dan Rasul-Nya itu.” (HR Abu Dawud, Ahmad, dan Muslim dengan sanad sahih).

Syekh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin berpendapat, hadis di atas menunjukkan bahwa sebagian akhlak merupakan tabiat dan sebagian lainnya adalah hasil latihan dan pembiasaan diri. Akhlak karena tabiat menurutnya lebih baik kualitasnya daripada akhlak yang diperoleh dari hasil latihan.

“Bila akhlak mulia telah menjadi tabiat seseorang, maka itu akan menjadi pembawaan dan perangai baginya, sehingga pelaksanaannya tidak lagi memerlukan latihan yang melelahkan. Ini adalah kelebihan yang Allah karuniakan kepada orang-orang yang dikehendakinya, ” kata Utsaimin.

Di sisi lain, kata dia, orang yang telah berusaha membentuk  dan melatih diri untuk berakhlak  mulia tentu saja mendapat tempat tersendiri di sisi Allah SWT.

“Allah tidak akan menyia-nyiakan amalnya karena upaya dan kerja kerasnya. Pada poin ini, dia dapat dikatakan lebih utama daripada orang yang dikaruniai tabiat akhlak mulia. Akan tetapi, dia tetap tidak lebih sempurna dalam hal penciptaan,” katanya.

“Jika ada seorang hamba yang dikaruniai dua bentuk akhlak mulia sekaligus (tabiat alami dan hasil latihan), maka sungguh ia sosok yang paling sempurna,” ujar al-Utsaimin lagi.