رَبِّ اغْفِرْ لِي وَهَبْ لِي مُلْكًا لا يَنْبَغِي لأحَدٍ مِنْ بَعْدِي إِنَّكَ أَنْتَ الْوَهَّابُ


"Ya Rabb-ku, ampunilah aku, dan anugerahkanlah kepadaku kerajaan, yang tidak dimiliki oleh seorangpun juga sesudahku, sesungguhnya Engkaulah Yang Maha pemberi’."

Minggu, 15 Desember 2013

DAMPAK MAKANAN

Republika.co.id

Suatu ketika Ali bin Abi Thalib dipanggil oleh Nabi
Muhammad SAW dan diberi nasehat berikut. " Wahai
Ali, orang yang mengonsumsi makanan halal, agamanya
akan bersih, hatinya menjadi lembut, dan doanya tidak
ada penghalang (pasti diterima oleh Allah). Barang
siapa yang mengonsumsi makanan syubhat (tidak
jelas), agamanya menjadi samar-samar, dan hatinya
menjadi kelam. Dan barang siapa yang mengonsumsi
makanan haram, maka hatinya akan mati, agamanya
menjadi goyah (tidak kokoh), keyakinannya melemah,
dan ibadahnya semakin berkurang ."
" Wahai Ali, Allah SWT tidak akan menerima shalat
seseorang tanpa sedekah; Allah juga tidak menerima
sedekah yang berasal dari harta haram. Selama tidak
makan harta haram, Mukmin akan senantiasa dapat
meningkatkan keberagamaannya. Siapa yang menjauhi
ulama, maka hatinya akan mati, hatinya juga menjadi
buta dari taat kepada Allah SWT ." (HR. Ahmad).
Wasiat Nabi SAW tersebut sarat dengan pesan dan
pendidikan moral. Pertama, setiap Muslim hendaknya
memperhatikan apa yang dimakannya, baik status
kehalalannya maupun kualitas gizinya.
"Maka hendaklah manusia itu memperhatikan
makanannya. " (QS. 'Abasa/80:24). Kehalalan dan
keharaman makanan yang dikonsumsi berdampak
langsung pada fungsi hati manusia.
Hati menjadi sehat, hidup, dan memantulkan cahaya
Ilahi jika dinutrisi dengan yang halal. Hati menjadi sakit,
kelam, dan mati jika diasupi makanan syubhat dan
haram.
Oleh karena itu, Nabi SAW menempatkan fungsi hati
sangat sentral dalam kehidupan manusia. "Dalam diri
manusia ada sekepal daging. Apabila ia baik, maka
seluruh tampilan kinerjanya pun menjadi baik.
Sebaliknya, jika ia rusak, maka rusaklah seluruh
tampilan perbutannya. Ketahuilah, sekepal daging itu
adalah hati (al-qalbu) " (HR. Muslim).
Kedua, makanan memengaruhi tingkat keberagamaan
Muslim. Jika yang dimakan halal, kesalehannya akan
meningkat. Sebaliknya, jika yang dikonsumsi haram,
maka spiritualitasnya menjadi gersang.
Karena itu, Allah menyuruh kita untuk mengonsumsi
makanan yang halalan thayyiban (boleh dikonsumsi,
bernutrisi dan bergizi baik).
"Makanlah yang halal lagi baik (bergizi) dari rezki yang
telah diberikan Allah kepadamu; dan syukurilah nikmat
Allah, jika kamu hanya beribadah kepada-Nya. " (QS. Al-
Nahl [16]: 114).
Ketiga, makanan yang diperoleh secara halal pada
dasarnya tidak boleh dihabiskan untuk dikonsumsi
sendiri, tetapi sebagiannya harus disedekahkan kepada
orang lain.
Sedekah (kesalehan sosial) menentukan diterima
tidaknya salat (kesalehan personal) Muslim. Ibadah
individual dan ibadah sosial harus berjalan seimbang.
Orang yang mendustakan agama adalah orang yang
hanya mementingkan ibadah individual, sementara ia
melupakan ibadah sosial (QS. Al-Ma'un [107]: 1-7).
Menutrisi hati sendiri melalui shalat dan zikir harus
diimbangi dengan menutrisi hati orang lain dengan
sedekah, infaq, wakaf, dan sebagainya.
Keempat, kemitraan dengan ulama dan ilmuwan itu
dapat menutrisi hati dengan ilmu, sehingga dapat
meningkatkan kualitas keberagamaan Muslim. Karena,
beribadah menjadi berkualitas jika dilandasi oleh ilmu
yang benar, mendalam, dan luas.
Ilmu para ulama dan ilmuwan harus diamalkan dan
disosialisasikan kepada orang lain agar masyarakat
menjadi lebih mendekatkan diri dan bertaqwa kepada
Allah.
Jika Allah menyatakan, "Yang takut kepada Allah
hanyalah para ulama/ilmuwan di kalangan hamba-
hamba-Nya" (QS. Fathir/35: 70), maka berarti
keberagamaan Muslim perlu dinutrisi dengan vitamin
ilmu , ilmu agama maupun ilmu umum secara integratif.
Dengan demikian, pendekatan diri dan ketaatan kepada
Allah, harus dibarengi dengan pendekatan diri kepada
sesama, terutama para ulama.
Dan semua itu mengharuskan kita untuk peduli terhadap
apa yang kita makan. Allah berfirman: "Maka hendaklah
manusia itu memperhatikan makanannya ." (QS.
'Abasa/80: 24).
Pertanyaannya, sudahkah kita semua memperhatikan
halal dan thayyib (sehat, bergizi, dan cocok untuk
kebutuhan tubuh kita) tidaknya makanan dan minuman
yang kita konsumsi sehari-hari?
Kedua kriteria (halal dan thayyib) tersebut menunjukkan
bahwa Islam sangat peduli terhadap isi perut manusia
berikut dampak yang ditimbulkannya.
Bukankah makanan yang minuman itu sumber energi
dan kekuatan fisik dan psikis, sekaligus sumber segala
penyakit jika tidak diperhatikan

Sabtu, 02 November 2013

Kisah Thariq bin Ziyad Penakluk Andalusia

Andalusia adalah negeri kaum Muslimin yang pernah ditaklukan oleh panglima perang Thariq bin Ziyad. Thariq berasal dari suku Barbar, Afrika yang kemudian memeluk Islam. Entah mungkin untuk mendiskreditkan perjuangan Thariq bin Ziyad, kata-kata Barbar kemudian jika disematkan kemudian berkonotasi negatif, yang berarti tidak beradab, kejam atau kasar.

Negeri Andalusia yang pernah dikuasai kaum Muslimin dan sempat mencapai kegemilangan di bidang ilmu pengetahuan di bawah pemerintahan Islam kini telah dikuasai Nasrani. Oleh sebab itu, Syaikh Abdullah Azzam -rahimahullah- menyinggungnya dalam kitab “An-Nihayah wal Khulashah”:

“Bahkan jihad itu telah menjadi fardlu 'ain bukan saja sejak Rusia memasuki Afghanistan, akan tetapi jihad telah menjadi fardlu 'ain semenjak jatuhnya Andalusia ke tangan orang-orang Nasrani, dan hukumnya belum berubah sampai hari ini.

Dengan demikian jihad telah menjadi fardlu 'ain sejak tahun (1492 M), tatkala Ghornathoh (Granada) jatuh ke tangan orang-orang kafir --- ke tangan orang-orang Nasrani --- sampai hari ini. Dan jihad akan tetap fardlu 'ain sampai kita mengembalikan seluruh wilayah yang dahulu merupakan wilayah Islam, ke tangan kaum muslimin.”

Semoga kisah kegemilangan Thariq bin Ziyad yang dikutip dari kitab “Shuwarun min Hayatil Fatihin” bukan sekedar nostalgia semata, namun bisa menginspirasi dan memotivasi kaum Muslimin untuk berjihad meraih kembali kejayaan Islam.

Thariq bin Ziyad

Sang Penakluk Andalusia

Thariq dilahirkan pada tahun 50 H (670 M), di tengah suku keluarga Berber (Barbar, red.) dari kabilah Nafazah, di Afrika Utara.

Thariq berperawakan tinggi, berkening lebar, dan berkulit putih kemerahan. Dia masuk Islam di tangan seorang komandan muslim bernama Musa bin Nusair, orang yang dikagumi karena kegagahan, kebijaksanaan dan keberanianya.[1]

Jalan Ke Andalusia

Misi ekspansi pasukan Islam ke luar Jazirah Arab bermula di masa Khulafaur Rasyidin, dengan tujuan menyebarluaskan Islam ke seluruh wilayah yang memungkinkan untuk di jangkau pasukan Islam. Maka tercapailah penaklukan atas Syam (Syiria, Palestina, dan sekitarnya), Irak dan Iran (Persia).

Pasukan muslimin juga berangkat menaklukan Mesir di bawah pimpinan panglima ‘Amru ibnul-‘Ash. Mesir saat itu berada di bawah kekuasaan penjajah Romawi (Bizantium). Setelah masuk ke Mesir, mereka menuju ke arah Burqah, lalu sampailah pasukan Islam ke Tripoli (sekarang ibu kota negara Libya-red.) untuk mengepungnya dan mendudukinya.

Pada masa kekhilafahan Usman bin Afaan, pasukan Islam mulai membuka ekspansi ke kawasan Maghribi (Maroko dan sekitarnya), di bawah komandan Abdullah bin Sa’ad bin Abi Sarh. Di dalam pasukan terdapat putra-putra sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alahi wa Sallam.[2]

Tekad dan semangat mereka semakin kuat setelah berperang melawan pasukan Romawi yang dipimpin Jurjir. Ekspansi itu berlanjut cepat hingga memasuki kota Carthago di pantai Utara Afrika, sebelah utara kota Tunis sekarang. Pasukan Islam di wilayah Ifriqiya ini di pimpin oleh komandan Uqbah bin Nafi’. Ia memiliki wawasan yang luas tentang situasi daerah itu. Selanjutnya ia membangun kota Qairawan (Kairaouan) di Tunisia, untuk mengukuhkan keberadaan Islam di bumi Afrika.

Selanjutnya Uqbah bin Nafi’ dan pasukannya bergerak kearah barat dan selatan dan sampai ke Tangier (Arab: Tanja), sekarang Maroko. Dalam perjalanan pulang ke Qairawan ia dihadang gerombolan suku Berber. Uqbah bin Nafi’ terbunuh bersama tiga ratus tentaranya. Ia dimakamkan di suatu tempat yang sekarang dinamai Sidi Uqbah (Tahuda) di Aljazair sekarang.

Kaum muslim menuntut balas atas kematian Uqbah, dan mereka berhasil membunuh Kasilah, komandan perang Berber. Namun, tindakan balas-membalas itu tidak berkepanjangan, sebab orang Berber sudah merasa puas dengan terbunuhnya Zuhair bin Qais yang membunuh Kasilah. Zuhair gugur di Qadisiyyah (Irak).

Dan pada akhirnya pasukan muslimin berhasil menaklukkan wilayah Ifriqiya di bawah komando Hasan bin an-Nu’man al-Ghassani yang berhasil menceraiberaikan pasukan Berber. Ia juga memorakporandakan pasukan Romawi, dan menang dalam perang melawan pasukan Al-Kahin (Sang Dukun) sesudah menaklukkan Bazrat.

Setelah itu datanglah Musa bin Nushair sebagai pemegang komando utama pasukan muslimin di Afrika. Ia meraih berbagai kemenangan sampai jauh ke barat di tepi samudera, dan kembali ke Qairawan sesudah terbina keamanan dan ketertiban.

Saat itulah seorang komandan Berber bersama pasukannya masuk Islam. Ia sebelumnya dikenal sebagai komandan penjaga di Tangier. Ia adalah Thariq bin Ziyad.

Jalan ke daratan Spanyol terbuka luas setelah Julian, pangeran Spanyol di Ceuta (Sabatah) meminta bantuan Musa bin Nusair untuk menyerang dan menjatuhkan Raja Roderick dari bangsa Visigoth yang berkuasa di Spanyol dari ibu kotanya di Toledo. Julian marah karena Raja Kristen Roderick memperkosa adik perempuannya yang ia titipkan ke Raja untuk bisa memperoleh pendidikan tinggi. Thariq dan Julian pun berkawan dekat.

Menaklukkan Andalusia (Spanyol)

Musa bin Nushair merasa perlu menguji Count (Pangeran) Julian dengan mengirim 500 tentara di bawah komando Tharif ke wilayah yang sampai kini dinamai Tarifa, di ujung paling selatan Spanyol. Orang Arab menamakannya Jazira Tharif (Terifa). Itu terjadi pada tahun91 H.[3]   Tharif membawa misi utama pengintaian kekuatan Kerajaan Bangsa Visigoth, serta penjajakan bagi sebuah operasi militer besar.

Gubernur Musa semakin yakin akan kejujuran Pangeran Julian, setelah Pangeran Ceuta itu juga menyiapkan kapal-kapal yang akan digunakan untuk menyerang Spanyol. Dan setetlah mendapat izin dari Khalifah Al-Walid bin Abdul Malik di Damaskus, Musa pun memutuskan menyerang Spanyol. Apalagi saat itu Raja Roderick di Toledo sedang menghadapi pemberontakan di bagian utara kerajaannya. Untuk melaksanakan misi besarkannya itu, Musa memilih seorang Berber, Thariq bin Ziyad, sebagai Komandan.

Panglima perang Thariq bin Ziyad bersama 7000 tentara, yang mayoritas berasal dari suku Berber, menyeberang ke Spanyol di tahun 711 M. ia mendarat dekat gunung batu besar yang kelak dinamai dengan namanya, Jabal (gunung) Thariq, Orang Eropa menyebutnya Gilbraltar.

Setelah berhasil menyeberang ke daratan Spanyol, tiba-tiba Thariq mengambil langkah yang hingga sampai kini membuat tercengang para ahli sejarah. Ia membakar perahu-perahu yang digunakan untuk mengangut pasukannya itu. Lalu ia berdiri di hadapan para tentaranya seraya berpidato dengan lantang berwibawa, dan tegas.

Dalam pidatonya yang penuh semangat, panglima Thariq berkata;

“Di mana jalan pulang? Laut berada di belakang kalian. Musuh di hadapan kalian. Sungguh kalian tidak memiliki apa-apa kecuali sikap benar dan sabar. Musuh-musuh kalian sudah siaga di depan dengan persenjataan mereka. Kekuatan mereka besar sekali. Sementara kalian tidak memiliki bekal lain kecuali pedang, dan tidak ada makanan bagi kalian kecuali yang dapat kalian rampas dari tangan musuh-musuh kalian. Sekiranya perang ini berkepanjangan, dan kalian tidak segera dapat mengatasinya, akan sirnalah kekuatan kalian. Akan lenyap rasa gentar mereka terhadap kalian. Oleh karena itu, singkirkanlah sifat hina dari diri kalian dengan sifat terhormat. Kalian harus rela mati. Sungguh saya peringatkan kalian akan situasi yang saya pun berusaha menanggulanginya. Ketahuilah, sekiranya kalian bersabar untuk sedikit menderita, niscaya kalian akan dapat bersenang-senang dalam waktu yang lama. Oleh karena itu, janganlah kalian merasa kecewa terhadapku, sebab nasib kalian tidak lebih buruk daripada nasibku…”

Selanjutnya ia berteriak kencang: “Perang atau mati!” Pidato yang menggugah itu merasuk ke dalam sanubari seluruh anggota pasukannya.

Dan pada 19 Juli 711 M, pasukan Thariq yang saat itu berjumlah 12000 personil setelah ada tambahan pasukan dari Ifriqiya, berhadapan dengan Raja Roderick dan pasukannya di mulut sungai (Rio) Barbate. Peperangan di bulan Ramadhan itu berlangsung sengit selama delapan hari. Pasukan Roderick pada awalnya sempat unggul, namun kelemahan di sayap kiri dan kanan pasukan mereka berhasil dimanfaatkan oleh pasukan Islam. Dan pasukan Roderick pun terdesak, hingga akhirnya dipukul mundur. Pasukan Islam berhasil meraih kemenangan gemilang. Roderick sendiri menghilang, dan di duga ia tenggelam di Sungai Barbate. Kuda dan sepatunya ditemukan di tepi sungai.

Gubernur Musa bin Nusair lalu mengirim surat kepada Khalifah Al-Walid, melukiskan jalannya peperangan Rio Barbate. “Penaklukan ini berbeda dari penklukan-penaklukan lain. Peristiwa seperti kiamat,” tulisnya.

Kemenangan telak dalam pertempuran di Sungai Barbate itu membentang jalan bagi masuknya Thariq bin Ziyad menuju kota Sevilla yang dijaga oleh benteng-benteng kuat. Tapi sebelum merebut Sevilla, Thariq lebih dulu menaklukkan daerah-daerah lain yang lebih lemah. Sebagian ditaklukkan dengan cara damai, tapi sebagian terpaksa dengan kekerasan karena warga setempat melawan. Mereka bersikap ramah terhadap penduduk yang tidak melawan.

Pasukan Thariq yang sudah lebih besar karena ada tambahan pasukan baru, kini mengarah ke Toledo, ibukota Visigoth (Gotik Barat). Di jalan ke Toledo itu mereka menyapu kota Ecija dimana sempat terjadi perdamaian dan menerima kekuasaan Muslim atas wilayah itu.

Dengan cepat Thariq berusaha menaklukkan sebagian besar tanah Spanyol, yang oleh orang Arab dinamakan Al-Andalus (Andalusia) itu. Ia lalu membagi-bagi pasukannya ke dalam beberapa kelompok. Satu pasukan berhasil merebut Arkidona tanpa perlawanan, dan pasukan lainnya juga dengan mudah merebut kota Elvira dekat Granada. Ia lalu menaklukkan Cordoba dan sebagian wilayah Malaga. Kemudian diteruskan dengan mengepung Granada yang berhasil ditaklukkan dengan jalan kekerasan.

Thariq lalu menuju ibukota Toledo. Di dalam perjalanan dia menyerang kota Murcia dan menghancurkan kerajaannya sampai lumat. Ketika pasukan Islam di Toledo ternyata para pemimpin Gotik telah meninggalkan wilayah itu. Thariq memasukinya dengan mudah. Ketika itu pasukannya didukung pula oleh ksatria-ksatria Kristen lokal yang tak suka kekuasaan Bangsa Gotik Barat di negaranya.

Thariq terus mengejar para pejabat Gotik ke gunung, hingga mendapatkan harta rampasan yang sangat banyak. Harta dan para tawanan dibawa ke Toledo. Di sana para tawanan dipekerjakan untuk membangun kembali kota itu, antara lain dengan membangun 365 tiang terbuat dari batu Zabarjud.

Musa bin Nusair lalu mengirim surat kepada Thariq bin Ziyad, dan memerintahkannya untuk menghentikan gerakan, dan tetap berada di tempat surat itu tiba. Tapi, Thariq malah mengumpulkan para pejabatnya, merundingkan strategi perang.  Semuanya berpendapat melaksanakan perintah Musa akan mempersulit strategi perang mereka. Sebab, sudah terbuka untuk merekrut pasukan asal Toledo dan meraih momentum untuk menyerang lawan yang belum menyadari situasi.

Karena itu Thariq melanjutkan penaklukan seraya merekrut milisi dari warga Toledo yang sudah kalah. Thariq mengabarkan keputusannya ini kepada Musa bin Nushair disertai alasan-lasannya.

Ketika pesan Thariq sampai, Musa langsung berangkat ke Spanyol  pada bulan Juni 712 M dengan membawa 18.000 tentara, kebanyakan orang Arab. Dan seperti yang pernah disepakati dengan Thariq, pasukan Musa bin Nushair segera menuju Sevilla, kota terkuat Spanyol saat itu. Sebelum ke Sevilla pasukan Musa menaklukkan Medina Sidon dan Carmona. Musa mengepung ketat kota Sevilla dan akhirnya berhasil menghancurkan kota pusat kebudayaan Spanyol itu.  Namun kota itu ditinggalkan Musa dalam keadaan kobaran api dan ia melanjutkan perjalanan  ke arah Toledo.

Warga Sevilla tetap tak rela terhadap pendudukan oleh pasukan Muslim di sana. Setelah panglima Musa bin Nushair meninggalkan kota itu, milisi Sevilla kembali beraksi mengobarkan pemberontakan. Mereka dapat membunuh tentara Muslim. Mendengar berita itu, Musa segera mengirim anaknya Abdul Aziz, untuk kembali ke Sevilla. Ia sendiri terus menuju Toledo.

Mendengar kabar akan datangnya panglima utamanya, Musa bin Nushair, Thariq segera keluar ke perbatasan Toledo untuk menyambut Musa. Namun Musa sangat marah kepadanya. Thariq dianggap telah mengabaikan perintahnya untuk menghentikan sementara penaklukkan sampai ia datang ke Spanyol. Begitu marahnya Musa sampai ia memasukkan jendralnya itu ke dalam penjara layaknya seorang penjahat.

Di depan sidang dewan pertahanan, Musa menyatakan memecat Thariq bin Ziyad, dengan tujuan memperbaiki segala sesuatu yang telah dilakukan Thariq. Sekalipun Thariq berupaya menjelaskan bahwa keputusannya itu dilakukan demi kemaslahatan kaum Muslimin dan sudah dimusyawarahkan dengan para penasehat, Musa tetap teguh pada pendiriannya. Ia mengganti Thariq dengan Mughits bin Al-Harits, tapi Mughits menolaknya. Ia segan menjadi komandan di atas Thariq sang pemeberani.

Mughits bahkan bertekad membela Thariq bin Ziyad. Diam-diam dia mengirim kabar kepada Khalifah Al-Walid bin Abdul Malik tentang situasi yang berkembang.  Al-Walid sangat marah mendengarnya. Ia lalu menyurati Musa dan memerintahkan agar kedudukan Thariq dipulihkan sebagai komandan pasukan. Dan Musa menaati perintah pemimpinnya di Damaskus itu.

Kemudian kedua panglima itu bergerak terus ke utara, hingga berhasil menaklukkan Castilla, Aragon dan Catalonia (Barcelona). Keduanya bahkan sampai ke pegunungan Pyrennes yang menjadi batas antara Spanyol dan Perancis. Sekiranya tidak ada perintah dari Damaskus untuk menghentikan penaklukan, niscaya gerakan mereka berdua tak tertahankan untuk menguasai seluruh benua Eropa.

Perjalanan hidup panglima Thariq bin Ziyad, sang penakluk Spanyol yang agung telah menjadi bagian dari sejarah patriotisme Islam melalui penaklukan Andalusia

Ka'bah sebagai kiblat Shalat umat Islam

Mungkin selama ini kita selalu bertanya setiap kali kita melakukan ibadah sekaligus rukun Islam nomor dua yaitu shalat kita selalu menghadap kiblat, atau dalam hal ini Ka’bah. Nah mengapakah sebenarnya harus menghadap Ka’bah?

Hal ini sebenarnya merupakan sejarah yang paling tua di dunia. Bahkan jauh sebelum manusia diciptakan di bumi, Allah swt telah mengutus para malaikat turun ke bumi dan membangun rumah pertama tempat ibadah manusia. Ini sudah dituturukan dalam Al-Quran: Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk manusia, ialah Baitullah yang di Bakkah (Mekkah) yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi semua manusia . (QS. Ali Imran : 96).

Konon di zaman Nabi Nuh as, ka’bah ini pernah tenggelam dan runtuh bangunannya hingga datang masa Nabi Ibrahim as bersama anak dan istrinya ke lembah gersang tanpa air yang ternyata disitulah pondasi Ka’bah dan bangunannya pernah berdiri. Lalu Allah swt memerintahkan keduanya untuk mendirikan kembali ka’bah di atas bekas pondasinya dahulu. Dan dijadikan Ka’bah itu sebagai tempat ibadah bapak tiga agama dunia. Dan ketika Kami menjadikan rumah itu (ka’bah) tempat berkumpul bagi manusia dan tempat yang aman. Dan jadikanlah sebahagian maqam Ibrahim tempat shalat. Dan telah Kami perintahkan kepada Ibrahim dan Ismail: “Bersihkanlah rumah-Ku untuk orang-orang yang thawaf, yang i’tikaf, yang ruku’ dan yang sujud”. (QS. ). Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh, (QS. Al-Hajj : 27).

Di masa Nabi Muhammad, awalnya perintah shalat itu ke baitul Maqdis di Palestina. Namun Rasulullah saw berusaha untuk tetap shalat menghadap ke Ka’bah. Caranya adalah dengan mengambil posisi di sebelah selatan Ka’bah. Dengan mengahadap ke utara, maka selain menghadap Baitul Maqdis di Palestina, beliau juga tetap menghadap Ka’bah.

Namun ketika beliau dan para shahabat hijrah ke Madinah, maka menghadap ke dua tempat yang berlawanan arah menjadi mustahil. Dan Rasulullah saw sering menengadahkan wajahnya ke langit berharap turunnya wahyu untuk menghadapkan shalat ke Ka’bah. Hingga turunlah ayat berikut :

Sungguh Kami melihat mukamu menengadah ke langit , maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan dimana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya. Dan sesungguhnya orang-orang yang diberi Al Kitab memang mengetahui, bahwa berpaling ke Masjidil Haram itu adalah benar dari Tuhannya; dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan. (QS. Al-Baqarah : 144).

Jadi di dalam urusan menghadap Ka’bah, umat Islam punya latar belakang sejarah yang panjang.  Ka’bah merupakan bangunan yang pertama kali didirikan di atas bumi untuk dijadikan tempat ibadah manusia pertama. Dan Allah swt telah menetapkan bahwa shalatnya seorang muslim harus menghadap ke Ka’bah sebagai bagian dari aturan baku dalam shalat.

Eramuslim.com

Jumat, 01 November 2013

Masuknya Islam ke negara Cina

Islam adalah agama universal, yang bisa diterima oleh semua golongan; suku, bangsa, dan adat istiadat. Karena itu, Islam cepat diterima masyarakat karena prinsip toleran (tasamuh), moderat (tawasuth), berkeadilan, dan seimbang (tawazun).

Hal ini pun terjadi pula pada masyarakat Cina. Negeri dengan penduduknya kini lebih dari satu miliar ini, menerima Islam dengan sambutan hangat.

Sejarah mencatat, Islam masuk ke Cina pada masa Dinasti Tang (618-905 M), yang dibawa oleh salah seorang panglima Muslim, Sa’ad bin Abi Waqqash RA, di masa Khalifah Utsman bin Affan RA.

Menurut Chen Yuen, dalam A Brief Study of the Introduction of Islam to China, masuknya Islam ke Cina sekitar tahun 30 H atau sekitar 651 M. Ketika itu, Cina diperintah oleh Kaisar Yong Hui (ada pula yang menyebut nama Yung Wei).

Data masuknya Islam ke Cina ini dipertegas lagi oleh Ibrahim Tien Ying Ma dalam Muslims in China (Perkembangan Islam di Tiongkok). Buku ini secara lengkap mengupas sejarah perkembangan Islam di Cina sejak awal masuk hingga tahun 1980-an.

Sebelumnya, banyak hikayat yang berkembang mengenai masuknya Islam ke Negeri Tirai Bambu ini. Namun, semua hikayat itu menceritakan adanya tokoh utama di balik penyebaran agama Islam di Cina.

Versi pertama menyebutkan, ajaran Islam pertama kali tiba di Cina dibawa sahabat Rasulullah SAW yang hijrah ke Habasyah Abyssinia (Ethiopia). Sahabat Nabi hijrah ke Ethiopia untuk menghindari kemarahan dan amuk massa kaum Quraisy jahiliyah. Mereka antara lain Ruqayyah, anak perempuan Nabi; Utsman bin Affan, suami Ruqayyah; Sa'ad bin Abi Waqqash dan sejumlah sahabat lainnya.

Para sahabat yang hijrah ke Ethiopia itu mendapat perlindungan dari Raja Atsmaha Negus di Kota Axum. Banyak sahabat yang memilih menetap dan tak kembali ke tanah Arab. Konon, mereka inilah yang kemudian berlayar dan tiba di daratan Cina pada saat Dinasti Sui berkuasa (581-618 M).

Sumber lainnya menyebutkan, ajaran Islam pertama kali tiba di Cina ketika Sa’ad bin Abi Waqqash dan tiga sahabatnya berlayar ke Cina dari Ethiopia pada 616 M. Setelah sampai di Cina, Sa’ad kembali ke Arab dan 21 tahun kemudian kembali lagi ke Guangzhou membawa Kitab Suci Alquran.

Politikus Anti Islam di Swiss sekarang aktif di Masjid

Sebelum menjadi Muslim, politisi Swiss, Daniel Strech merupakan pihak yang paling getol menolak keberadaan menara masjid di Swiss. Penolakan itu yang mengantarkannya ke puncak karirnya sebagai politisi.

Namun, hidayah datang kepadanya. Ia pun memutuskan menjadi Muslim pada tahun 2006, dan publik mengetahuinya tiga tahun kemudian. Kini, ia intens mendalami Islam, membaca Alquran dan menuaikan shalat lima waktu.

Ia tak lagi memikirkan karir politiknya, dengan mengundurkan diri dari keanggotaan Partai Rakyat Swiss. Ia lebih memilih aktif di masjid.

"Islam menawarkan saya jawaban logis atas pertanyaan hidup yang penting.Pada akhirnya, saya tidak pernah menemukan dalam agama Kristen, " kata Streich seperti dikutip Arabnews.com, Rabu (23/10).

Lepas dari partai sebelumnya, Streich kini berpartisipasi dalam membangun Partai Demokrat Konservatif. Partai ini dipilihnya lantaran menawarkan kebijakan toleransi antar umat beragama. Iapun mulai aktif berkampanye soal Islam dan Muslim.

Yang menarik, ketika tokoh anti-menara masjid tak lagi bersuara lantang, jumlah pendukung keberadaan menara masjid mencapai 42.5 persen. Memang masih kalah dengan persentase yang menolaknya, yakni 57.5 persen. Namun, perlu dicatat, populasi Muslim hanya 6 persen. Artinya bila dikalkulasikan dari jumlah pendukung tentu suara Muslim tidak seberapa.

Para analis menyatakan larangan menara dan ritual Islam telah mendorong warga Swiss memeluk ISlam. Tercatat, berdasarkan data Uni Organisasi dan Komunitas ISlam (UIOC)mencatat ada 3-5 ribu warga Swiss yang memeluk Islam.

Kisah Raja yang ditolak

Suatu hari, Amirul Mukminin Abdul Malik bin Marwan tiba-tiba terbangun dari tidur siangnya dan tergesa. Ia segera memanggil penjaga, “Wahai Maisarah.

Penjaga sultan yang tegap dan gagah pun segera datang, “Ada apa Amirul mukminin?” tanyanya.

“Pergilah ke Masjid Nabawi dan undanglah kemari salah seorang ulama di sana untuk memberikan peringatan di istana,” pinta Ibn Marwan.

Maisarah pun segera ke masjid. Namun di sana hanya ada seorang syekh yang usianya telah sepuh. Namun auranya penuh wibawa dan karismatik. Orang-orang menghormatinya karena ilmunya yang tinggi.

Melihatnya, Maisarah pun mendekat majelis sang syekh. Ia menunjukkan jarinya memberikan tanda kepada syekh. Namun Syekh tak menghiraukannya. Karena tak dipedulikan, Maisarah akhirnya menghampiri sang syekh. “Tidakkah Anda melihat saya menunjuk kepada Anda?” ujarnya.

Sang syekh pun menjawab, “Anda menunjuk saya?”

Maisarah berkata, “Ya”

Syekh pun kembali bertanya, “Apa keperluan Anda?”

Maisarah menjawab, “Amirul mukminin memintaku untuk pergi ke Masjid Nabawi dan membawa seorang ulama untuk mengajarkan hadis untuknya.”

Syekh itu menjawab ringan, “Bukan saya orang yang beliau maksud.”

“Tapi amirul mukminin menginginkan seorang ulama untuk berbincang dengannya,” kata Maisarah.

Namun syekh hanya menjawab, “Barangsiapa yang menghendaki sesuatu, maka seharusnya dialah yang datang. Masjid ini memiliki ruangan yang luas. Jika beliau iingin, datanglah. Selain itu, hadts lebih layak untuk didatangi, namun beliau enggan mendatanginya,” kata syekh.

Maisarah pun kembali ke istana tanpa membawa seorang ulama. Ia menemui amirull mukminin dan mengisahkan pertemuannya dengan seorang syaikh sepuh tadi. Mendengar kisah Maisarah, Ibn Marwan pun menebak, “Pasti dia adalah Syekh Sa’id bin Musayyab,” tebakan sutan benar. Amirul mukminin pun meninggalkan tempatnya dan kembali ke kamar.

Ketika sang sultan telah masuk, anak-anaknya pun saling membicarakan kisah Maisarah yang mereka pun mendengarnya. Putra bungsu sultan pun geram. “Siapakah orang yang berani menentang Amirul Mukminin dan menolaknya. Padahal dunia tunduk padanya, raja-raja Romawi pun gentar karena wibawanya?” ujar si bungsu heran.

Kakaknya pun menimpali, “Dia adalah syekh yang putrinya pernah dipinang oleh ayah untuk saudara kita, Al Walid. Namun syekh menolak pinangan itu,” ujarnya.

Si bungsu makin terheran-heran. “Benarkah itu? Dia menolak menikahkan putrinya dengan putra mahkota?” ujarnya.

Nmaun sang kakak tak tahu bagaimana peristiwa penolakan itu terjadi. Lalu seorang pengasuh putra sultan pun berkata bahwa ia mengetahui kisah itu. “Sekiranya diizinkan, saya akan menceritakan seluruh kisah itu,” ujarnya. Ia pun kemudian mengisahkannya kepada kedua putra sultan.

“Gadis putri sang syekh telah menikah dengan seorang pemuda di kampung saya bernama Abu Wada’ah. Kebetulan dia adalah tetangga dekat saya.  Pernikahannya menjadi suatu kisah yang sangat romantis seperti yang diceritakan Abu Wada’ah sendiri kepada saya,” ujar sang pengasuh.

Abu Wa’dah merupakan salah seorang murid Syekh Sa’id bin Musayyab. Ia tak pernah absen di setiap majelis beliau. Hingga suatu hari, ia tak menghadiri majelis selama beberapa hari. Tak ada kabar datang darinya.

Lalu ketika Abu Wa’dah telah mendatangi majelis, ia segera mendapat sapaan dari syekh. “Kemana saja kau wahai Abu Wada’ah?” tanya syaikh.

“Saya sibuk mengurus jenazah istri saya yang meninggal,” jawabnya.

Syekh pun berkata, “Jika kau memberi kabar, pastilah aku akan takziyah dan membantu kesulitamu,” kata syaikh.

Abu Wada’ah pun merasa berterima kasih atas kebaikan syaikh. Saat majelis telah usai, syaikh kembali menyapanya. Ia meminta Abu Wada’ah duduk sejenak untuk berbincang.

“Apa kau tak berfikir untuk menikah lagi?” tanya syaikh.

Mendengarnya tentu Abu Wada’ah terkejut. ‘Semoga Allah merahmati Anda wahai syaikh. Siapa yang mau menikahkan putrinya dengan saya sementara saya ini hanyalah pemuda yatim dan hidup dalam kondisi fakir. Aku hanya memiliki harta dua atau tiga dirham,” ujarnya.

Namun jawaban syaikh sangat mengejutkan, “Aku akan menikahkanmu dengan putriku,” ujarnya.

Abu Wada’ah tentu saja heran bukan kepalang. Ia sangat kaget mendengarnya. “Anda wahai syaikh? Anda berkenan menikahkan putri anda denga saya sementara anda tahu betul kondisi saya?” tanyanya tak percaya.

Namun syekh menjawab santai, “Ya benar. Jika ada seorang datang dan saya menyukai agama dan akhlaknya, maka saya akan menikahkan putri saya dengannya. Dan kau adalah orangyang saya sukai agama dan akhlaknya,’ jawab syekh.

Putri syekh pun kemudian menikah dengan Abu Wada’ah. Dalam membangun rumah tangga, syaikh selalu siap membantu rumah tangga putri dan murid kesayangannya.

Mendengar kisah Abu Wada’ah itu, para putra sultan pun terkejut. “Orang itu sungguh mengherankan,” ujar si bungsu, tak habis pikir dengan sikap syekh Sa’id.

Namun si pengasuh yang bercerita menimpali, “Apa yang mengherankan wahai tuan? Syekh memang manusia yang menjadikan dunia hanya sebagai kendaraan dan perbekalan untuk akhirat. Demi Allah, bukan karena beliau tak suka putra Amirul Mukminin. Hanya saja, syekh memandang A Walid tak sebandign dengan putrinya. Syekh hanya khawatir putrinya akan tergoda dengan fitnah dunia,” ujarnya.

Si pengasuh pun melanjutan kisahnya, bahwa syekh pernah ditanya mengapa menolak pinangan amirul mukminin dan justru memilih menikahkan putri dengan seorang awam yang miskin.

Dengan mantap syekh menjawab, “Putriku adalah amanat di leherku, maka kupilihkan apa yang sesuai untuk kebaikan dan keselamatan dirinya. Bagaimana pendapat kalian jika ia pindah ke istana Bani Umayyah lalu bergelimang harta? Bagaimana keteguhan agamanya nanti?” jawab Syekh.

Republika.co.id

Hakikat Ikhlas



Sahabatku, hakekat ikhlas hanya Allah yang tahu, "Sirry min asroory" rahasia diantara rahasia-rahasia-Ku (Hadis Qudsi). Diantara tanda-tandanya adalah :

1.  Istiqomah, terus menerus beramal ibadah karena Allah, ada ataupun tidak adaorang, dipuji atau dihina
   
2.  Tidak GR (Ge Er) karena pujian, tidak sakit hati karena hinaan
   
3.  Pantang berkeluh kesah karena semuanya diputuskan Allah dengan rahmat, ilmu dan kebijakan-Nya sehingga tampak muka yang selalu senyum ceria
   
4.  Baik sangka dengan selalu memuji Allah atas segala hal yang terjadi
  
5.  "Qonaah" puas bukan hanya dengan nikmat-nikmat Allah tetapi atas segala keputusan Allah
   
6.  "Attawadu'" rendah hati
   
7.  "Assyahiyyu" belas kasih dengan kedermawan
   
8.  Semangatnya hanya pada yang halal
   
9.  Orientasi hidupnya akhirat
   
10. Memaafkan dengan mendoakan yang menyakitinya
   
11. Kalaupun dipuji ia balas dengan doa, "Ya Allah ampuni hamba dari apa yang dia tidak ketahui, jangan Kau hukum hamba karena pujiannya dan jadikan pujiannya lebih baik dari apa yang ia duga"
   
12. Sibuknya asyik muhasabah diri, tidak tertarik mencari aib orang lain
   
13. Hobbynya berbuat baik
   
14. Wiridnya, istigfar, sholawat, "Rhodhitu billaahi Robba wa bilislaami diina wa bi Muhammadin Nabiyya wa Rasuulah
   
15. Tenggelam dalam kelezatan taat
   
16. Cinta dengan sunnah Rasulullah
   
17. Kuat tawakkalnya
   
18. Rindunya pada Allah membuat ia mudah menangis
SubhanAllah. "Allahumma ya Allah, jadikanlah kami hamba-hamba yang Kau ikhlaskan, berilah rizki teragung dengan sifat ikhlas di hati, pikiran, lisan dan amal hamba, sucikan diri hamba dari sombong, riya, ujub dan semua penyakit hati...aamiin".


Republika

Doa agar tetap taat kepada Allah SWT

Karena tidak ada kebahagiaan selain hidup dalam taat (QS Yunus 62-63). Sahabat Rasulullah, Muadz bin Jabal bertanya, "Ya Rasulullah, doa apa yang harus kubaca yang membuat hatiku selalu dalam keimanan dan  ketaatan kepada Allah?"

Rasulullah mengajarkan doa itu,
"Robby ainny alaa dzikrika wa syukrika wa husni ibaadatika",
"Ya Robbku, tolong hamba agar selalu ingat pada-Mu, selalu bersyukur atas nikmat-Mu, dan selalu beribadah terbaik pada-Mu... Aamiin".
Imam Ghozali menyebutnya hamba yang selalu berzikir, bersyukur, dan beribadah khusuk, "halaawaturruuhiyyah" hamba itu tenggelam dalam kelezatan spiritual yang sangat membahagiakannya, itulah kekayaan sejati yang dicari para pencari kesenangan, dan sungguh ia berada pada puncak rahmat Allah.

Hafalkan doa ini, baca dalam setiap doa, setiap selesai shalat fardu dan di pengujung malam.

Republika.co.id

Kamis, 31 Oktober 2013

Kisah Ja'far bin Abu Thalib si "Burung Surga"

Ja'far bin Abu Thalib bin Abdul Muthalib bin Hasyim masuk Islam sejak awal dan sempat mengikuti hijrah ke Habasyah. Ia malah sempat mendakwahkan Islam di daerah itu.

Dalam Perang Muktah, ia diserahi tugas menjadi pemegang bendera Islam. Setelah tangan kanannya terpotong dia memegang bendera dengan tangan kiri. Namun tangan kirinya juga terpotong, sehingga dia memegang bendera itu dengan dadanya. Akhirnya, ia mati syahid dengan tubuh penuh luka dan sayatan pedang.

Di kalangan Bani Abdi Manaf ada lima orang yang sangat mirip dengan Rasulullah SAW, sehingga seringkali orang salah menerka. Mereka itu adalah Abu Sufyan bin Harits bin Abdul Muthallib, sepupu sekaligus saudara sesusuan beliau. Qutsam Ibnul Abbas bin Abdul Muthallib, sepupu Nabi. Saib bin Ubaid bin Abdi Yazin bin Hasyim. Ja’far bin Abu Thalib, saudara Ali bin Abu Thalib. Dan Hasan bin Ali bin Abu Thalib, cucu Rasulullah SAW. Dan Ja'far bin Abu Thalib adalah orang yang paling mirip dengan Nabi SAW di antara mereka berlima.

Ja’far dan istrinya, Asma’ bin Umais, bergabung dalam barisan kaum Muslimin sejak dari awal. Keduanya menyatakan Islam di hadapan Abu Bakar Ash-Shiddiq sebelum Rasulullah SAW masuk ke rumah Al-Arqam.

Pasangan suami istri Bani Hasyim yang muda belia ini tidak luput pula dari penyiksaan kaum kafir Quraisy, sebagaimana yang diderita kaum Muslimin yang pertama-tama masuk Islam. Namun mereka bersabar menerima segala cobaan yang menimpa.

Namun yang merisaukan mereka berdua adalah kaum Quraisy membatasi geraknya untuk menegakkan syiar Islam dan melarangnya untuk merasakan kelezatan ibadah. Maka Ja’far bin Abu Thalib beserta istrinya memohon izin kepada Rasulullah untuk hijrah ke Habasyah bersama-sama dengan para sahabat lainnya. Rasulullah SAW pun mengizinkan.

Ja'far pun menjadi pemimpin kaum Muslimin yang berangkat ke Habasyah. Mereka merasa lega, bahwa Raja Habasyah (Najasyi) adalah orang yang adil dan saleh. Di Habasyah, kaum Muslimin dapat menikmati kemanisan agama yang mereka anut, bebas dari rasa cemas dan ketakutan yang mengganggu dan yang menyebabkan mereka hijrah.

Ja’far bin Abu Thalib beserta istri tinggal dengan aman dan tenang dalam perlindungan Najasyi yang ramah tamah itu selama sepuluh tahun.

Pada tahun ke-7 Hijriyah, kedua suami istri itu meninggalkan Habasyah dan hijrah ke Yatsrib (Madinah). Kebetulan Rasulullah SAW baru saja pulang dari Khaibar. Beliau sangat gembira bertemu dengan Ja’far sehingga karena kegembiraannya beliau berkata, "Aku tidak tahu mana yang menyebabkan aku gembira, apakah karena kemenangan di Khaibar atau karena kedatangan Ja’far?"

Begitu pula kaum Muslimin umumnya, terlebih fakir miskin, mereka juga bergembira dengan kedatangan Ja’far. Ia adalah sosok yang sangat penyantun dan banyak membela golongan dhuafa, sehingga digelari Abil Masakin (bapak orang-orang miskin).

Abu Hurairah bercerita tentang Ja’far, "Orang yang paling baik kepada kami (golongan orang-orang miskin) ialah Ja’far bin Abu Thalib. Dia sering mengajak kami makan di rumahnya, lalu kami makan apa yang ada. Bila makanannya sudah habis, diberikannya kepada kami pancinya, lalu kami habiskan sampai dengan kerak-keraknya."

Belum begitu lama Ja’far tinggal di Madinah, pada awal tahun ke-8 Hijriyah, Rasululalh SAW menyiapkan pasukan tentara untuk memerangi tentara Romawi di Muktah. Beliau mengangkat Zaid bin Haritsah menjadi komandan pasukan.

Rasulullah berpesan, "Jika Zaid tewas atau cidera, komandan digantikan Ja’far bin Abi Thalib. Seandainya Ja’far tewas atau cidera pula, dia digantikan Abdullah bin Rawahah. Dan apabila Abdullah bin Rawahah cidera atau gugur pula, hendaklah kaum muslmin memilih pemimpin/komandan di antara mereka."

Setelah pasukan sampai di Muktah, yaitu sebuah kota dekat Syam dalam wilayah Yordania, mereka mendapati tentara Romawi telah siap menyambut dengan kekuatan 100.000 pasukan inti yang terlatih, berpengalaman, dan membawa persenjataan lengkap. Pasukan mereka juga terdiri dari 100.000 milisi Nasrani Arab dari kabilah-kabilah Lakham, Judzam, Qudha’ah, dan lain-lain. Sementara, tentara kaum Muslimin yang dipimpin Zaid bin Haritsah hanya berkekuatan 3.000 tentara.

Begitu kedua pasukan yang tidak seimbang itu berhadap-hadapanan, pertempuran segera berkobar dengan hebatnya. Zaid bin Haritsah gugur sebagai syahid ketika dia dan tentaranya sedang maju menyerbu ke tengah-tengah musuh.

Melihat Zaid jatuh, Ja’far segera melompat dari punggung kudanya, kemudian secepat kilat disambarnya bendera komando Rasulullah dari tangan Zaid, lalu diacungkan tinggi-tinggi sebagai tanda pimpinan kini beralih kepadanya. Dia maju ke tengah-tengah barisan musuh sambil mengibaskan pedang kiri dan kanan memukul rubuh setiap musuh yang mendekat kepadanya. Akhirnya musuh dapat mengepung dan mengeroyoknya.

Ja’far berputar-putar mengayunkan pedang di tengah-tengah musuh yang mengepungnya. Dia mengamuk menyerang musuh ke kanan dan kiri dengan hebat. Suatu ketika tangan kanannya terkena sabetan musuh sehingga buntung. Maka dipegangnya bendera komando dengan tangan kirinya.

Tangan kirinya putus pula terkena sabetan pedang musuh. Dia tidak gentar dan putus asa. Dipeluknya bendera komando ke dadanya dengan kedua lengan yang masih utuh. Namun tidak berapa lama kemudian, kedua lengannya tinggal sepertiga saja dibuntung musuh. Ja'far pun syahid menyusul Zaid.

Secepat kilat Abdullah bin Rawahah merebut bendera komando dari komando Ja’far bin Abu Thalib. Pimpinan kini berada di tangan Abdullah bin Rawahah, sehingga akhirnya dia gugur pula sebagai syahid, menyusul kedua sahabatnya yang telah syahid lebih dahulu.

Rasulullah SAW sangat sedih mendapat berita ketiga panglimanya gugur di medan tempur. Beliau pergi ke rumah Ja’far, didapatinya Asma’, istri Ja’far, sedang bersiap-siap menunggu kedatangan suaminya. Dia mengaduk adonan roti, merawat anak-anak, memandikan dan memakaikan baju mereka yang bersih.

Asma’ bercerita, "Ketika Rasulullah mengunjungi kami, terlihat wajah beliau diselubungi kabut sedih. Hatiku cemas, tetapi aku tidak berani menanyakan apa yang terjadi, karena aku takut mendengar berita buruk. Beliau memberi salam dan menanyakan anak-anak kami. Beliau menanyakan mana anak-anak Ja’far, suruh mereka ke sini.”

Asma' kemudian memanggil mereka semua dan disuruhnya menemui Rasulullah SAW. Anak-anak Ja'far berlompatan kegirangan mengetahui kedatangan beliau. Mereka berebutan untuk bersalaman kepada Rasulullah. Beliau menengkurapkan mukanya kepada anak-anak sambil menciumi mereka penuh haru. Air mata beliau mengalir membasahi pipi mereka.

Asma' bertanya, "Ya Rasulullah, demi Allah, mengapa anda menangis? Apa yang terjadi dengan Ja’far dan kedua sahabatnya?"

Beliau menjawab, "Ya, mereka telah syahid hari ini."

Mendengar jawaban beliau, maka reduplah senyum kegirangan di wajah anak-anak, apalagi setelah mendengar ibu mereka menangis tersedu-sedu. Mereka diam terpaku di tempat masing-masing, seolah-olah seekor burung sedang bertengger di kepala mereka.

Rasulullah berdoa sambil menyeka air matanya, "Ya Allah, gantilah Ja’far bagi anak-anaknya... Ya Allah, gantilah Ja’far bagi istrinya."

Kemudian beliau bersabda, "Aku melihat, sungguh Ja’far berada di surga. Dia mempunyai dua sayap berlumuran darah dan bertanda di kakinya."

Kisah Khalid bin Walid si "Pedang Allah"

Khalid bin Walid adalah seorang panglima perang yang termasyhur dan ditakuti di medan tempur. Ia mendapat julukan "Pedang Allah yang Terhunus". Dia adalah salah satu dari panglima-panglima perang penting yang tidak terkalahkan sepanjang karirnya.

Khalid termasuk di antara keluarga Nabi yang sangat dekat. Maimunah, bibi Khalid, adalah istri Nabi. Dengan Umar sendiri pun Khalid ada hubungan keluarga, yakni saudara sepupunya. Suatu hari pada masa kanak-kanaknya kedua saudara sepupu ini main adu gulat. Khalid dapat mematahkan kaki Umar. Untunglah dengan melalui suatu perawatan kaki Umar dapat diluruskan kembali dengan baik.

Awalnya Khalid bin Walid adalah panglima perang kaum kafir Quraisy yang terkenal dengan pasukan kavalerinya. Pada saat Perang Uhud, Khalid yang melihat celah kelemahan pasukan Muslimin yang menjadi lemah setelah bernafsu mengambil rampasan perang dan turun dari Bukit Uhud, langsung menghajar pasukan Muslim pada saat itu. Namun justru setelah perang itulah Khalid masuk Islam.

Ayah Khalid, Walid bin Mughirah dari Bani Makhzum adalah salah seorang pemimpin yang paling berkuasa di antara orang-orang Quraisy. Dia orang yang kaya raya. Dia menghormati Ka’bah dengan perasaan yang sangat mendalam. Sekali dua tahun dialah yang menyediakan kain penutup Ka’bah. Pada masa ibadah haji dia memberi makan dengan cuma-cuma bagi semua orang yang datang berkumpul di Mina.

Suku Bani Makhzum mempunyai tugas-tugas penting. Jika terjadi peperangan, merekalah yang mengurus gudang senjata dan tenaga tempur. Suku inilah yang mengumpulkan kuda dan senjata bagi prajurit-prajurit. Tidak ada cabang suku Quraisy lain yang lebih dibanggakan seperti Bani Makhzum. Ketika diadakan kepungan maut terhadap orang-orang Islam di lembah Abu Thalib, orang-orang Bani Makhzumlah yang pertama kali mengangkat suaranya menentang pengepungan itu.

Ketika Khalid bin Walid masuk Islam, Rasulullah sangat bahagia, karena Khalid mempunyai kemampuan berperang yang dapat membela panji-panji Islam dan meninggikan kalimatullah dengan perjuangan jihad. Dalam banyak kesempatan Khalid diangkat menjadi panglima perang dan menunjukkan hasil kemenangan atas segala upaya jihadnya.

Pada masa pemerintahan Abu Bakar, Khalid bin Walid ditunjuk menjadi panglima pasukan Islam sebanyak 46.000, menghadapi tentara Byzantium dengan jumlah pasukan 240.000. Dia sama sekali tidak gentar menghadapinya, dia hanya khawatir tidak bisa mengendalikan hatinya karena pengangkatannya dalam peperangan yang dikenal dengan Perang Yarmuk itu.

Dalam Perang Yarmuk jumlah pasukan Islam tidak seimbang dengan pihak musuh yang berlipat-lipat. Ditambah lagi, pasukan Islam yang dipimpin Khalid tanpa persenjataan yang lengkap, tidak terlatih dan rendah mutunya. Ini berbeda dengan angkatan perang Romawi yang bersenjata lengkap dan baik, terlatih dan jumlahnya lebih banyak. Bukan Khalid namanya jika tidak mempunyai strategi perang, dia membagi pasukan Islam menjadi 40 kontingen dari 46.000 pasukan Islam untuk memberi kesan seolah-olah pasukan Islam terkesan lebih besar dari musuh.

Strategi Khalid ternyata sangat ampuh. Saat itu, taktik yang digunakan oleh Romawi terutama di Arab utara dan selatan ialah dengan membagi tentaranya menjadi lima bagian; depan, belakang, kanan, kiri dan tengah. Heraklius telah mengikat tentaranya dengan besi antara satu sama lain. Ini dilakukan agar mereka jangan sampai lari dari peperangan.

Kegigihan Khalid bin Walid dalam memimpin pasukannya membuahkan hasil yang membuat hampir semua orang tercengang. Pasukan Islam yang jumlahnya jauh lebih sedikit itu berhasil memukul mundur tentara Romawi dan menaklukkan wilayah itu.

Perang yang dipimpin Khalid lainnya adalah perang Riddah (perang melawan orang-orang murtad). Perang Riddah ini terjadi karena suku-suku bangsa Arab tidak mau tunduk lagi kepada pemerintahan Abu Bakar di Madinah. Mereka menganggap bahwa perjanjian yang dibuat dengan Rasulullah, dengan sendirinya batal setelah Rasulullah wafat.

Oleb sebab itu, mereka menentang Abu Bakar. Karena sikap keras kepala dan penentangan mereka yang dapat membahayakan agama dan pemerintahan. Maka Abu Bakar mengutus Khalid bin Walid untuk menjadi jenderal pasukan perang Islam untuk melawan kaum murtad tersebut, hasilnya kemenangan ada di pihak Khalid.

Masih pada pemerintahan Abu Bakar, Khalid bin Walid dikirim ke Irak dan dapat menguasai Al-Hirah pada 634 M. kemudian Khalid bin Walid diperintahkan oleh Abu Bakar meninggalkan Irak untuk membantu pasukan yang dipimpin Usamah bin Zaid.

Ada kisah yang menarik dari Khalid bin Walid. Dia memang sempurna di bidangnya; ahli siasat perang, mahir segala senjata, piawai dalam berkuda, dan karismatik di tengah prajuritnya. Dia juga tidak sombong dan lapang dada walaupun dia berada dalam puncak popularitas.

Hal ini ditunjukkannya saat Khalifah Umar bin Khathab mencopot sementara waktu kepemimpinan Khalid bin Walid tanpa ada kesalahan apa pun. Menariknya, ia menuntaskan perang dengan begitu sempurna. Setelah sukses, kepemimpinan pun ia serahkan kepada penggantinya, Abu Ubaidah bin Jarrah.

Khalid tidak mempunyai obsesi dengan ketokohannya. Dia tidak menjadikan popularitas sebagai tujuan. Itu dianggapnya sebagai sebuah perjuangan dan semata-mata mengharapkan ridha Sang Maha Pencipta. Itulah yang ia katakan menanggapi pergantiannya, "Saya berjuang untuk kejayaan Islam. Bukan karena Umar!"

Jadi, di mana pun posisinya, selama masih bisa ikut berperang, stamina Khalid tetap prima. Itulah nilai ikhlas yang ingin dipegang seorang sahabat Rasulullah seperti Khalid bin Walid.

Khalid bin Walid pun akhirnya dipanggil oleh Sang Khaliq. Umar bin Khathab menangis. Bukan karena menyesal telah mengganti Khalid. Tapi ia sedih karena tidak sempat mengembalikan jabatan Khalid sebelum akhirnya "Si Pedang Allah" menempati posisi khusus di sisi Allah SWT

Jumat, 11 Oktober 2013

MESJID PERTAMA YANG DIBANGUN NABI MUHAMMAD S.A.W.

Saat berkunjung ke Madinah, ada satu masjid yang sering disinggahi jamaah haji. Keistimewaannya adalah, masjid tersebut dibangun oleh Nabi Muhammad dan merupakan masjid tertua yang ada di dunia. Ini dia Masjid Quba!

Madinah punya banyak bangunan bersejarah yang pernah ditempati atau dibangun oleh Nabi Muhammad. Para jamaah haji yang datang ke sana pun melakukan napak tilas, sekaligus beribadah di tempat-tempat tersebut. Satu tempat yang rasanya wajib dikunjungi saat menapakan kaki di Madinah adalah Masjid Quba.

Dari situs Kementerian Agama, Jumat (11/10/2013) Masjid Quba dibangun oleh Nabi Muhammad kala dirinya sedang hijrah dari Makkah ke Madinah. Jadi, kala itu Nabi Muhammad sempat singgah ke wilayah Quba yang letaknya tak jauh dari Madinah. Nabi Muhammad menetap selama empat hari di sana.

Dalam sejarahnya, peletakan batu pertama Masjiq Quba dilakukan oleh Nabi Muhammad. Setelah itu, Nabi Muhammad mengajak umatnya untuk ikut membangun Masjid Quba.

Bahkan, Nabi Muhammad pun terjun langsung dalam pembangunan masjid ini. Dirinya rela berpanas-panasan mengangkut batu dan pasir. Setelah selesai, Nabi Muhammad dan umatnya kala itu langsung menunaikan salat dua rakaat.

Masjid Quba pun begitu dicintai oleh umat Muslim di seluruh dunia. Betapa tidak, Masjid Quba dibangun langsung oleh tenaga dan keringat Nabi Muhammad. Bahkan, Nabi Muhammad selalu singgah di Masjid Quba ketika dirinya hendak ke Madinah. Umat muslim pun percaya, salat sebanyak 2 rakaat di Masjid Quba pahalanya sama dengan 1 kali Umrah.

Menengok dari situs resmi pemerintahan Kota Madinah, Masjid Quba kini mampu menampung hingga 20 ribu jamaah. Masjid Quba punya bentuk persegi panjang. Luas masjidnya sekitar 5.860 meter persegi dan memiliki dua lantai. Masjid Quba juga punya perpustakaan dan ruang belajar mengajar.

Masjid Quba pun mengalami banyak renovasi dan perubahan. Terakhir di tahun 2012 lalu, Masjid Quba kembali dipugar dan diperbesar. Pemerintah setempat menggelontorkan hingga 100 juta Riyal (Rp 2,6 miliar). Masjid Quba pun disebut-sebut sebagai masjid tertua yang ada di dunia.

Dari luar Masjid Quba berwarna putih dan memiliki empat menara yang tinggi. Pepohonan kurma mengelilingi masjid dan terdapat air mancur di bagian depan masjidnya sehingga memberikan kesan sejuk.

Masjid Quba adalah bangunan bersejarah yang tak ternilai harganya bagi umat Muslim. Suatu masjid yang sudah seribu tahun lebih, tapi masih kokoh berdiri hingga sekarang.

Detik.com

Kamis, 10 Oktober 2013

KISAH SYEIKH ABDUL QADIR JAILANI MENGHIDUPKAN ORANG YANG TELAH MATI

Suatu hari Syaikh Abdul Qadir Al Jaelani berjalan-jalan dan dalam perjalanan itu berjumpa dengan dua orang, satu orang muslim dan yang satu orang nasrani. Mereka berdebat hebat sampai Al jaelani mendekat ingin tahu apa yang terjadi. Kemudian seorang Muslim menjelaskan perihal apa yang sedang mereka perdebatkan kepada Al Jaelani. Si muslim mejelaskan bahwa Al Isuwi nama dari orang nasrani tersebut mengatakan bahwa Nabi Isa lebih utama dari Nabi Muhammad. Kemudian Al Jaelani menjelaskan duduk permasalahan yang sebenarnya bahwa nabi terakhir dan penutup bagi para nabi adalah Muhammad SAW. Namun orang nasrani tersebut selalu membantah dan tak mau menerima penjelasan dari AL Jaelani.

Akhirnya Al Jaelani meminta bukti dari orang nasrani tersebut. Al Isuwi menjawab bahwa nabinya mampu menghidupkan orang yang sudah mati. Al Jaelani menjawab, "Aku bukanlah seorang Nabi, namun aku adalah pengikut Nabi Muhammad SAW, jika nanti dengan izin Allah aku bisa menghidupkan orang mati sebagaimana Isa Nabimu,,, Apakah kamu mau beriman kepada Allah dan mau mengakui Bahwa Nabi penutup adalah Muhammad SAW?"

Kemudian Al Jaelani meminta kepada orang nasrani supaya menujukan kuburan yang mana yang ingin dihidupkan lagi hingga sampailah mereka pada kuburan yang dituju. Sebelum dihidupkan, Al Jaelani menjelaskan dulu perihal orang yang telah mati tersebut dulunya semasih hidup didunia.

Al Jaelani berkata" dahulu orang ini adalah seorang penyanyi,,, Bagaimana kalau ahli kubur ini saya bangunkan dan saya suruh dia bernyanyi..?"
"Silahkan saja,,," dengan nada tak percaya dan bingung bahwa Al Jaelani mampu menghidupkan orang tersebut.

Sesaat kemudian Al Jaelani melangkah kedepan kuburan lalu dia berkata seperti apa yang diucapkan Nabi Isa ketika menghidupkan orang yang sudah mati. ''Bangunlah Dengan Izin Allah"

Serta merta kuburan itupun bergerak dan membelah seketika, dan munculah orang yang sudah mati tersebut dan Al Jaelani menyuruhnya bernyanyi.

Dengan rasa tak percaya dan takjub dengan kejadian tersebut kedua orang tersebut saling bertatapan keheranan. Namun kejadian itu adalah kejadian yang nyata yang dilihat dengan kedua mata mereka sendiri. Dan akhirnya AL Isuwi mau mengakui Nabi Muhammad SAW sebagai Nabinya dan diapun masuk Islam dihadapan AL Jaelani.

SYEIKH ABDUL QADIR JAILANI : ANTARA AKIDAH DAN KARAMAHNYA

Sikap terbaik dalam masalah Syeikh Abd Qodier adalah sikap ketiga. Seimbang dalam menilai Syeikh Abdul Qadir Jailani. Tidak ekstrim kanan, dan tidak ekstrim kiri

Oleh: Luqman Hakim

SIAPA tak kenal Syeikh Abdul Qadir Jailani? Di Indonesia, nama ini bukanlah nama yang asing. Hampir semua muslim Indonesia mengenalnya. Bahkan tidak hanya di Indonesia, ia dikenal baik di seluruh belahan dunia muslim. Namun sayang, tidak sedikit orang yang telah salah kaprah dalam menilai sosoknya. Dalam bahasa lain, mereka mengkultuskannya di atas manusia pada umumnya, hingga nyaris mensejajarkannya dengan nabi, bahkan lebih tinggi dari beliau (Nabi).

Sebagai contoh, dalam karya Dr. Sa’id bin Musfir Al-Qahthani, As-Syeikh Abdul Al-Jailani wa Arauhu Al-I’tiqadiyah wa Ash-Shufiyah, diceritakan bahwa guru penulis (Al-Qahthani) pernah masuk ke kota Baghdad, Iraq. Ia masuk sekolah Al-Qadariyah. Di dinding qubahnya ditulis sebagian bait-bait syair dengan bahasa Persi. Adapun terjemahannya adalah:

Penguasa dua dunia
Syeikh Abdul Qadir Jailani

Pemimpin keturunan anak Adam
Syeikh Abdul Qadir Jailani
Matahari, bulan,
Arsy, Kursi dan Pena
Berada di bawah Syeikh Abdul Qadir Jailani

Lantas, siapa Abdul Qadir Jailani sebenarnya? Bagaimana pemahamannya dalam masalah akidah? Lantas, bagaimana dengan berbagai karamah yang dinisbatkan kepadanya sehingga ia dikultuskan?

Dipuji Ibnu Taimiyah

Ia adalah Abdul Qadir bin Abu Shalih Musa Janki Dausat bin Abu Abdullah bin Yahya Az-Zahid bin muhammad bin Dawud bin Musa bin Abdullah bin Musa Al-Jun bin Abdullah Al-Mahadh. Adapun nama “Jailani” yang disematkan di akhir namanya karena ia berasal dari negeri Jailan, yaitu negeri yang terpencil di belakang Thabrastan, yang dikenal dengan Kail atau Kailan.

Blahir pada tahun 471 Hijriah, di mana pada zaman tersebut juga lahir ulama-ulama besar seperti Imam Al-Jauzi, Syeikh Abdullah bin Ahmad bin Qadamah, Syeikh Abu Umar bin Shalah, Syeikh Al-Mundziri, dan Syeikh Abu Samah. Maka tidak mengherankan jika Abdul Qadir Jailani kecil tumeliau buh menjadi ulama besar di zamannya dan memiliki pengaruh yang luas.

Bukti bahwa ia ulama besar adalah banyaknya ulama yang memberikan pujian kepadanya, kitab-kitabnya yang masih dipelajari sampai sekarang, serta banyaknya murid-muridnya yang menjadi ulama.

Sebagai contoh, di antara ulama yang memberikan pujian kepadanya adalah Ibnu Taimiyah.

Dalam Fatawa Ibnu Taimiyah, beliau berkata, “Syeikh Abdul Qadir Jailani dan semisalnya merupakan Syeikh terbesar di masa mereka dalam hal berpegang kepada syariat, menyuruh kepada yang baik, mencegah dari yang mungkar, mendahulukannya daripada rasa dan takdir, serta termasuk Syeikh terbesar untuk meninggalkan dorongan hawa nafsu”.

Akidah Ahlus Sunnah

Sebagaimana diterangkan di atas, bahwa tidak sedikit orang yang mengkultuskannya hingga nyaris mensejajarkan bahkan lebih tinggi dari nabi. Maka dari itu, penting kiranya kita mengenal manhajnya dalam menjelaskan dan menyelesaikan permasalahan yang dihadapinya, khusunya masalah akidah.

Dari buku-buku yang dikarangnya, dapat diketahui bahwa ketika Syeikh Abdul Qadir Jailani berbicara tentang akidah, maka dia tidak pernah keluar dari madlul (apa yang ditunjukkan) oleh Al-Quran dan hadits nabi. Hal ini ditunjukkan oleh perkatannya ketika menetapkan nama-nama dan sifat Allah Subhanahu Wata’ala. “Kami tidak keluar dari Al-Kitab dan As-Sunnah, kami baca ayat dan hadits, dan kami beriman kepada keduanya. Kami serahkan kepada Allah tentang bagaimana sifat itu kepada ilmu Allah”. Ia juga berkata, “Kami berlindung kepada Allah Subhanahu Wata’ala dari mengatakan tentang-Nya dan tentang sifat-sifat-Nya dengan perkataan yang tidak diberitakan Allah Subhanahu Wata’ala atau Rasul-Nya kepada kita” (Al-Ghinyah Lithalib al-haq Azza wa Jalla, hal. 56). Dari sini dapat kita pahami bahwa metode yang ditempuhnya adalah metode yang ditempuh adalah manhaj Ahlus Sunnah wal Jama’ah.

Pun, ketika menjelaskan tentang keimanan, tauhid, kenabian, hari akhir, dan bid’ah misalnya; ia tidak berbeda dengan akidah Ahlus Sunnah wal jama’ah.

Dalam hal keimanan, misalnya, Syeikh Abdul Qadir Jailani sepakat dengan ahussunnah wal jama’ah yang memberi makna iman sebagai perkataan dan perbuatan, yaitu perkataan dengan lisan dan perbuatan dengan hati dan anggota badan. Ia berkata, “Kami yakin bahwa iman adalah pernyataan dengan lisan, pengetahuan dengan hati dan perbuatan dengan anggota badan” (Al-Ghinyah, I, 62). Begitu pula dengan hal-hal lain seperti berkurang dan bertambahnya iman, Islam dan iman itu berbeda, serta tidak kafirnya orang yang melakukan dosa besar, melainkan fasik.

Terkait yang disebut terakhir, Syeikh Abdul Qadir Jailani berkata,”Kami yakin bahwa orang yang oleh Allah Subhanahu Wata’ala dimasukkan ke dalam neraka karena dosa besarnya, tidak abadi di dalamnya, tetapi dia akan dikeluarkan darinya karena baginya neraka hanya seperti penjara di dunia, yang dijalaninya berdasarkan dosa dan kesalahannya. Ia juga berkata, “Walaupun mempunyai banyak dosa, baik dosa besar ataupun kecil, ia tidak kafir karenanya” (Al-Ghinayah, I, 65). Tentu hal ini jauh berbeda dengan kelompok selain Ahlus Sunnah seperti Khawarij, Mu’tazilah, dan Murji’ah.

Maka tidak mengherankan jika Syeikh Rabi' bin Hadi Al Madkhali menegaskan bahwa akidah Syeikh Abdul Qadir Jailani selaras dengan akidah Ahlus Sunnah dan penentang kelompok-kelompok yang menyimpang. Ia berkata dalam kitabnya, Al Haddul Fashil, hal.136, “Aku telah mempelajari akidah Syeikh Abdul Qadir Al Jailani di dalam kitabnya, Al-Ghunyah. Ia menetapkan nama-nama dan sifat-sifat Allah dan akidah-akidah lainnya di atas manhaj Salaf. Ia juga membantah kelompok-kelompok Syi'ah, Rafidhah, Jahmiyyah, Jabariyyah, Salimiyah, dan kelompok lainnya dengan manhaj Salaf."

Selain itu, sebagaimana ulamaahussunnah lainnya, Syeikh Abdul Qadir jailani adalah ulama yang sangat tegas dalam masalah tauhid dan mewanti-wanti para muridnya agar bertauhid dan tidak berbuat syirik. Ia berkata, “Bertauhidlah dan janganlah berbuat syirik” (Futuh Al-Ghaib, hal. 10). Ia juga berkata, “Berbuat ikhlaslah, janganlah kalian berbuat syirik, esakanlah Allah subhaanahu wata’alaa, dan janganlah menyelinap dari pintu-Nya. Mintalah kepada-Nya dan jangan meminta kepada selain-Nya. Mintalah pertolongan kepada-Nya dan jangan meminta kepada selain-Nya. Bertawakkallah kepada-Nya dan janganlah bertawakkal kepada selain-Nya”. (Al-Fath Ar-Rabbani). Ketika menyikapi kasus Al-Hallaj pun, dia sangat tegas. Ia berkata, “Barangsiapa yang berkeyakinan seperti keyakinan Al-Hallaj dengan perkataan-perkataan yang karenanya Al-Hallaj dibunuh (dieksekusi), maka dia adalah kafir murtad menurut kesepakatan kaum Muslimin. Orang-orang Islam mengeksekusinya karena dia berkeyakinan tentang hulul, wihdatul wujud, perkataan-perkatan yang zindik dan keyakinan-keyakinan yang kafir lainnya”.

Tentang Karamahnya

Syeikh Abdul Qadir Jailani dikenal memiliki banyak keutamaan dan karamah. Hal itu bisa diketahui dari kitab-kitab yang membahas profilnya. Beberapa ulama seperti Imam Adz-Dzahabi, Ibnu Rajab, Ibnu Ma’ad, dan lain-lain mengakui hal itu. Imam Adz-Dzahabi, misalnya, berkata dalam Siyar A’laam An-Nubala’, “Ia (Abdul Qadir Jailani) memiliki banyak karamah yang jelas”. Ibnu Rajab juga berkata, Ia adalah guru di masanya, teladan orang-orang yang ma’rifat, pemimpin para Syeikh, pemilik maqam dam karamah” (Ibnu Rajab, Zail Thabaqaat Al-Hanabilah, I, 290).

Akan tetapi, tidak sedikit orang-orang yang menceritakan kejadian aneh yang dinisbatkan kepada Syeikh Abdul Qadir Jailani, padahal ditolak syariat dan diingkari akal. Orang yang paling banyak mengumpulkan kejadian-kejadian aneh yang dialami Syeikh Abdul Qadir Jailani adalah Ali bin Yusuf Asy-Syathnufi dalam bukunya Bahjatu Al-Asraar wa Ma’dinu Al-Anwar fi Ba’di Manaqib Al-Quthb Ar-Rabbani Abdul Qadir jailani.

Para ulama telah mengingkari tulisan Asy-Syathnufi ini. Salah satunya adalah Ibnu Rajab. Ia berkata, “Cukuplah seorang itu berdusta, jika dia menceritakan yang dia dengar. Aku telah melihat sebagian kitab ini, tetapi hatiku tidak tentram untuk berpegang dengannya, sehingga aku tidak meriwayatkan apa yang ada di dalamnya. Kecuali kisah-kisah yang telah masyhur dan terkenal dari selain kitab ini. Karena kitab ini banyak berisi riwayat dari orang-orang yang tidak dikenal. Di dalamnya juga terdapat perkataan aneh, perilaku aneh, anggapan sesat dan perkataan batil yang tidak pantas untuk dinisbatkan kepada seseorang sekaliber Syeikh Abdul Jailani Rahimahullah.” (Ibnu Rajab, Zail Thabaqaat Al-Hanabilah, I, 290).

Untuk menguatkan pembahasan ini, penting kiranya kita memperhatikan salah satu cerita di kitab Asy-Syathfuni tersebut. Diceritakan, Syeikh Abdul Qadir Jailani berkumpul dengan para guru sufi. Tiba-tiba ia berkata, “Telapak kakiku ini berada di atas leher setiap waliyullah”. Lalu berdirilah Syeikh Ali Al-Haitsi naik di atas kursi. Tiba-tiba telapak kaki Syeikh Abdul Qadir Jailani naik dan diletakkan di atas lehernya. Orang-orang yang hadir pun semuanya menjulurkan leher mereka.

Ungkapan Syeikh Abdul Qadir Jailani di atas bermakna ia meninggikan diri-sendiri, serta merendahkan dan menginakan orang lain. Padahal, ia dikenal tawadhu’ dan tidak sombong. Hal ini dikuatkan oleh perkataannya ketika ditanya, “darimana dia”, ia menjawab, “Seorang ahli fikih dari Jailan”. Dan di antara ajaran Syeikh Jailani adalah perkatannya, “Jangan meminta kemuliaan dan kebesaran untuk diri-sendiri”, seraya menyebut firman Allah, “Negeri akhirat itu, kami jadikan untuk orang-orang yang tidak ingin menyombongkan diri dan berbuat kerusakan di (muka) bumi. Dan kesudahan (yang baik) itu adalah bagi orang-orang yang bertakwa,” (Al-Qashas: 83)

Jadi, Syeikh Abdul Qadir Jailani memang memiliki banyak keutamaan dan karamah. Hanya saja, para murid dan pengikutnya banyak yang melebih-lebihkan dengan cara meriwayatkan cerita-cerita tentangnya. Kedudukannya sama dengan ulama lainnya yang juga memiliki keutamaan dan karamah dari Allah, tidak lebih.

Seimbang dalam Menilai

Ketika menilai sosok Syeikh Abdul Qadir Jailani, terutama mengenai karamah yang dinisbatkan kepadanya, terdapat 3 kelompok.

Kelompok pertama, mereka yang mencela Syeikh Abdul Qadir Jailani dan menyifatinya dengan Dajjal. Mungkin yang menyebabkan mereka bersikap demikian karena adanya karamah dusta dan riwayat yang tidak benar yang dinisbatkan kepada Syeikh Abdul Qadir Jailani. Di antara mereka adalah Ali bin Muhammad Al-Qirmani.

Kelompok kedua, mereka yang fanatik kepada Syeikh Abdul Qadir Jailani dan menerima segala sesuatu yang diceritakan tentangnya atau yang dinisbatkan kepadanya, walaupun ditolak syariat dan diingkari akal. Di antara mereka adalah Ali bin Yusuf Asy-Syathnufi

Kelompok ketiga, mereka yang mengambil sikap tengah-tengah, di satu sisi menerima karamah Syeikh Abdul Qadir Jailani yang benar dan dinukil dengan penukilan yang kuat, yang tidak bertentangan dengan syariat, dan sisi lain juga menolak yang tidak memenuhi kriteria itu. Di antara mereka adalah Imam Adz-Dzahabi .

Sikap terbaik dalam hal ini adalah sikap kelompok ketiga. Mereka seimbang dalam menilai Syeikh Abdul Qadir Jailani. Tidak ekstrim kanan, dan tidak ekstrim kiri. Sikap tawazzun (seimbang) seperti ini adalah sikap yang dimiliki oleh Ahlus Sunnah wal jama’ah ketika menilai sesuatu. Wallahua’lam bis shawab.*

Rabu, 09 Oktober 2013

Kisah Jabal Nur "Gunung Bercahaya" di Mekkah

Para jamaah haji di Makkah, Arab Saudi, biasanya menyempatkan datang ke Jabal Nur. Nur berarti cahaya, sebab di sinilah Nabi Muhammad pertama kali mendapat wahyu dari Allah. Beginilah rupa dan kisah Jabal Nur!

Dari sekian banyak tempat-tempat bersejarah di Makkah, rasanya belum lengkap jika belum mengunjungi Jabal Nur. Gunung ini menjadi titik awal Muhammad diangkat menjadi nabi terakhir. Jabal Nur berada di kawasan Hejaz atau atau sekitar 7 km dari Masjidil Haram.

Dilongok dari situs Islamic Landmarks, Kamis (10/10/2013), kata 'Nur' pada nama gunungnya memiliki arti cahaya. Bukan cahaya dalam arti kata sesungguhnya, cahaya yang dimaksud punya arti sebagai tempat pertama kali Nabi Muhammad menerima wahyu dari Allah.

Dalam sejarah, saat itu Nabi Muhammad sedang berada di dalam Gua Hira, salah satu gua di Jabal Nur. Ini adalah gua kecil dengan panjang 3,5 meter dan lebar 1,5 meter, serta letaknya berada 4 meter dari atas bagian puncak gunungnya.

Rupanya, Nabi Muhammad sudah sejak lama suka datang ke Gua Hira untuk menyendiri. Nabi Muhammad sering menenangkan pikiran di sana, hingga suatu hari wahyu tersebut turun melalui malaikat Jibril. Setelah wahyu pertama turun, lalu Nabi Muhammad melalui serangkaian proses panjang menjadi nabi dan rasul hingga Isra dan Miraj.

Tak heran, umat Muslim menyebut gunung tersebut dengan sebutan Jabal Nur atau gunung yang bercahaya. Turunnya wahyu dari Allah ke Nabi Muhammad, adalah titik awal cahaya Islam yang terus menerus benderang hingga kini.

Oleh sebab itu, Jabal Nur tak pernah sepi dari kedatangan para jamaah haji tiap tahunnya. Tak hanya saat haji, Jabal Nur hampir dipenuhi para umat Muslim tiap harinya.

Untuk menempuh Gua Hira, diperlukan fisik dan stamina yang kuat. Anda bakal mendaki dari dasar gunung sekitar 1 jam untuk tiba di Gua Hira. Dari sana, hanya butuh beberapa menit saja untuk tiba di Puncak Jabal Nur yang punya ketinggian sekitar 642 mdpl.

Bebatuan yang terjal akan ditemui sepanjang jalan. Tak hanya itu, kemiringan medan jalannya pun bisa mencapai 60 derajat. Berhati-hatilah di setiap langkah kaki Anda.

Selain itu, Anda juga harus sabar mengantre untuk masuk ke dalam Gua Hira. Gua Hira hanya mampu menampung empat orang saja. Keadaan di dalamnya cukup gelap, sebab hanya sedikit cahaya matahari yang masuk ke sana.

Berjalan ke atas Puncak Jabal Nur, ada pemandangan cantik menanti Anda. Dari sanalah, Anda bisa melihat Kota Makkah yang cantik dari ketinggian. Bahkan, dari sana pun Anda bisa melihat Masjidil Haram dengan jelas tanpa ada gangguan gedung-gedung tinggi. Sangat cantik!

Baik saat musim haji atau musim-musim biasa, Jabal Nur selalu dipadati traveler muslim. Mereka melakukan napak tilas Nabi Muhammad sekaligus berziarah di sana. Di Gua Hira atau di atas puncak gunung kebanyakan umat muslim berdzikir dan berdoa, merindukan Rasullulah.

Detik.com

Masjid di Makkah Ini Jadi Saksi Para Jin Masuk Islam

Makkah - Makkah tak hanya punya Masjidil Haram saja. Tanah Suci tersebut juga punya banyak masjid bersejarah yang selalu dikunjungi jamaah haji. Seperti, Masjid Al Jin yang jadi saksi para jin masuk Islam di depan Nabi Muhammad.

Makkah, Arab Saudi punya beberapa masjid dan bangunan bersejarah dengan aneka kisah yang berbeda. Di Masjid Al Jin, para jamaah haji dapat mengetahui kisah lengkap para jin yang tunduk kepada Nabi Muhammad dan menyatakan keislamannya, seperti yang dilongok dari situs Ministry of Hajj Kingdom of Saudi Arabia, Rabu (9/10/2013).

detikTravel pun sempat berkunjung ke Masjid Al-Jin beberapa waktu lalu. Lokasinya berada di kawasan Ghazza, distrik Mala atau sekitar 1 kilometer dari Masjidil Haram.

Nama jin pada masjidnya memang mengundang para traveler muslim yang melancong ke Makkah, baik untuk haji atau umroh. Nama jin berasal dari kisah para jin yang masuk Islam saat mendengar lantunan ayat Al Quran dari mulut Nabi Muhammad.

Kisahnya, pada waktu itu Rasulullah sedang melafazkan ayat Al Quran. Kemudian para jin yang kebetulan lewat tertarik mencari tahu asal muasal lantunan tersebut. Mereka lalu mendapati Nabi Muhammad yang sedang mengaji.

Karena tersentuh oleh lantunan lembut ayat Al Quran, lantas para jin pun berdialog dengan Nabi Muhammad. Setelah itu, para jin lantas menyatakan diri masuk Islam.

Masjid Al Jin tampak seperti masjid-masjid pada umumnya. Luasnya 10 x 20 meter, mempunyai dua lantai, satu basement, dan juga kubah. Masjid ini terlihat kokoh, tidak kalah dengan gedung-gedung di sekitarnya. Masjid ini juga dikenal dengan nama Masjid Bai'at .

Anda bakal merasakan udara yang sejuk ketika memasuki Masjid Al Jin, mungkin karena bangunannya yang tinggi dan terdapat pendingin ruangan. Warna abu-abu terlihat mendominasi bangunan masjidnya. Jika menengok ke atas, peziarah bisa melihat kubah masjid yang dihias dengan tulisan kaligrafi Surat Al Jin ayat 1-9.

Meski tidak masuk dalam rukun haji, para jamaah haji biasanya menyempatkan diri untuk datang ke Masjid Al Jin. Mereka bisa mendengar cerita dan sejarah lebih lengkap tentang masijdnya, sekaligus beribadah secara khusyuk di sana.

Detik.com

Kamis, 03 Oktober 2013

5 Keutamaan Shalat Subuh

5 Keutamaan Shalat Subuh

1. Shalat Subuh adalah Faktor Dilapangkannya Rezeki

“…..Hai Fathimah, bangun dan saksikanlah rezeki Rabbmu, karena Allah membagi-bagikanrezeki para hamba antara shalat Subuh dan terbitnya matahari.” (H.R. Baihaqi)

2. Shalat Subuh Menjaga Diri Seorang Muslim

“Barangsiapa melaksanakan shalat Subuh, maka ia berada dalam jaminan Allah, maka jangan sampai Allah menarik kembali jaminan-Nya kepada kalian dengan sebab apapun…” (H.R.
Muslim)

3. Shalat Subuh adalah Tolak Ukur Keimanan

“Diriwayatkan dari ‘Abdullah bin Mas’ud, ia berkata, “Kami melaksanakan shalat Subuh berjamaah bersama Nabi dan tidak ada yang ikut serta selain orang yang sudah jelas kemunafikannya.” (H.R. Muslim)

4. Shalat Subuh adalah Penyelamat dari Neraka

“Tidak akan masuk neraka, orang yang melaksanakan shalat sebelum matahari terbit dan sebelum tenggelamnya.” (H.R. Muslim)

5. Shalat Subuh Lebih Baik daripada Dunia dan Seisinya

“Dua rakaat shalat Subuh, lebih baik daripada dunia dan seisinya.” (H.R. Muslim)

Inilah sebagian sisi yang menggambarkan betapa utama dan nikmatnya shalat Subuh dan bertasbih di waktu Subuh.

SUBHANALLAH...

10 SURAT AL-QUR'AN YANG DAPAT MENGHALANGI DARI UJIAN BESAR ALLAH SWT



10 SURAT AL-QUR'AN YANG DAPAT MENGHALANGI DARI UJIAN BESAR ALLAH SWT

1. Surah Al-Fatihah dapat memadamkan kemurkaan Allah SWT,

2. Surah Yasin dapat menghilangkan rasa dahaga atau kehausan pada hari Kiamat,

3. Surah Dukhan dapat membantukita ketika menghadapi ujian AllahSWT pada hari kiamat,

4. Surah Al-Waqiah dapat melindungi kita dari kesusahan atau fakir,

5. Surah Al-Mulk dapat meringankan azab di alam kubur,

6. Surah Al-Kauthar dapat merelaikan segala perbalahan,

7. Surah Al-Kafirun dapat menghalangi kita menjadi kafir ketika menghadapi kematian,

8. Surah Al-Ikhlas dapat melindungi kita menjadi golongan munafiq,

9. Surah Al-Falq dapat menghapuskan perasaan hasad dengki,

10. Surah An-Nas dapat melindungi kita dari penyakit was-was.

(Ust Yusuf Mansur)

Minggu, 23 Juni 2013

ALLAH MENGUTUS MALAIKAT UNTUK MENGUJI ORANG LEPRA, BUTA, DAN BOTAK

REPUBLIKA.CO.ID,

hadits Bukhari dan Muslim
meriwayatkan dalam Shahih-nya dari Abu Hurairah ra
bahwa dia mendengar Rasulullah bersabda,
"Sesungguhnya ada tiga orang dari Bani Israil, yaitu:
penderita lepra, orang berkepala botak, dan orang buta.
Allah mengirim malaikat untuk menguji tiga orang yang
cacat tersebut. Pertama Malaikat datang pada
penderita lepra.
"Apakah sesuatu yang paling kamu inginkan?" Tanya
Malaikat.
Si lepra menjawab, "Rupa yang elok, kulit yang indah,
dan apa yang telah menjijikkan orang-orang ini hilang
dari tubuhku."
Malaikat mengusap penderita lepra dan hilanglah
penyakit yang dideritanya.
Malaikat pun bertanya lagi kepadanya, "Lalu kekayaan
apa yang paling kamu senangi?' Ia menjawab, 'Unta
atau sapi." Maka diberilah ia seekor unta yang bunting.
Malaikat kemudian mendatangi orang berkepala botak
dan bertanya kepadanya, "Apakah yang paling kamu
inginkan?"
Si botak menjawab, "Rambut yang indah dan hilang dari
kepalaku apa yang telah menjijikkan orang-orang."
Maka diusaplah kepalanya, dan ketika itu hilanglah
penyakitnya serta diberilah ia rambut yang indah.
Malaikat pun bertanya lagi kepadanya, "Kekayaan apa
yang paling kamu senangi?"
"Sapi atau unta," jawab si botak. Maka diberilah ia
seekor sapi bunting.
Malaikat kemudian mendatangi si buta dan bertanya
kepadanya, "Apakah yang paling kamu inginkan?"
Si buta menjawab, "Semoga Allah berkenan
mengembalikan penglihatanku sehingga aku dapat
melihat orang-orang." Maka diusaplah wajahnya, dan
ketika itu dikembalikan oleh Allah penglihatannya.
Malaikat pun bertanya lagi kepadanya, "Lalu, kekayaan
apa yang paling kamu senangi?" Jawabnya, "Kambing."
Maka diberilah seekor kambing bunting.
Waktu telah berlalu. Ketiga orang itu telah maju. Ternak
mereka telah berkembang biak. Hingga datanglah
Malaikat itu menyerupai penderita lepra.
"Aku seorang miskin, telah terputus segala jalan bagiku
(untuk mencari rezeki) dalam perjalananku, sehingga
aku tidak akan dapat meneruskan perjalananku hari ini
kecuali dengan pertolongan Allah, kemudian dengan
pertolongan Anda. Demi Allah yang telah memberi anda
rupa yang elok, kulit yang indah, dan kekayaan ini, aku
meminta kepada anda seekor unta saja untuk bekal
melanjutkan perjalananku."
Namun jawaban si lepra begitu mengejutkan, "Hak-
hakku (tanggunganku) banyak."
Malaikat yang menyerupai orang penderita lepra itu pun
berkata kepadanya, "Sepertinya aku mengenal Anda.
Bukankah Anda ini yang dulu menderita lepra, orang-
orang jijik kepada Anda, lagi pula anda orang melarat,
lalu Allah memberi Anda kekayaan?"
Dia malah menjawab, "Sungguh, harta kekayaan ini
hanyalah aku warisi turun-temurun dari nenek
moyangku yang mulia lagi terhormat." Maka Malaikat
itu berkata kepadanya, 'Jika Anda berkata dusta,
niscaya Allah mengembalikan Anda kepada keadaan
Anda semula."
Malaikat kemudian mendatangi orang yang sebelumnya
botak dan berkata sebagaimana ia katakan pada orang
yang pernah menderita lepra. Namun ia ditolaknya
sebagaimana telah ditolak oleh orang pertama itu.
Maka si malaikat berdoa dengan doa yang sama
sebagaimana orang pertama.
Terakhir, si Malaikat mendatangi orang yang
sebelumnya pernah buta. "Aku seorang miskin,
kehabisan bekal dalam perjalanan dan telah terputus
segala jalan bagiku (untuk mencari rizki) dalam
perjalananku ini, sehingga aku tidak akan dapat lagi
meneruskan perjalananku hari ini kecuali dengan
pertolongan Allah, kemudian dengan pertolongan Anda.
Demi Allah yang telah mengembalikan penglihatan Anda,
aku meminta seekor kambing saja untuk bekal
melanjutkan perjalananku."
Orang itu menjawab, "Sungguh, aku dahulu buta, lalu
Allah mengembalikan penglihatanku. Maka, ambillah
apa yang Anda sukai dan tinggalkan apa yang Anda
sukai. Demi Allah, sekarang ini aku tidak akan
mempersulit Anda dengan memintamu mengembalikan
sesuatu yang telah Anda ambil karena Allah."
Malaikat yang menyerupai orang buta itupun berkata,
"Peganglah kekayaan Anda, karena sesungguhnya kalian
ini hanyalah diuji oleh Allah. Allah telah ridha kepada
Anda, dan murka kepada kedua teman Anda."
Kisah orang-orang kufur ini diambil dari Hadistyang
diriwayatkan oleh Bukhari dalam Kitab "Ahaditsil
Anbiya", bab hadis tentang orang berpenyakit lepra,
orang buta dan orang botak di Bani Israil (6/500 no.
3464). Bukhari menyebutkannya secara ringkas sebagai
penguat dalam Kitab "Iman wan Nudzur", (11/540), no.
6653.
Dari kisah di atas tersebut, pernahkah kita mengalami
hal mirip dengan kejadian di atas?. Pernahkah kita
merenung sejenak apakah mereka yang meminta
pertolongan kita itu benar-benar manusia ataukah
malaikat yang sedang menguji kita, ataukah orang-
orang yang menolong kita itu benar-benar manusia
ataukah malaikat-malaikat yang dikirim oleh Allah
untuk menolong kita.
Coba kita ingat-ingat sejenak mereka yang menolong
kita, apa benar mereka itu tetangga kita, saudara kita,
teman sejawat yang kita kenal, para pejabat yang
ditugaskan, pedagang yang sedang lewat, nenek yang
berwajah ramah ataukah mereka jelmaan dari para
malaikat-malaikat Allah?
Begitu pula orang-orang yang pernah kita tolong,
benarkah mereka itu manusia?. Wallahu 'alam, kita
tidak pernah mengetahuinya secara pasti. Tapi jika kita
simak Surat Al Anfaal, 8 : 9. "(Ingatlah) ketika kamu
memohon pertolongan kepada Tuhanmu, lalu
diperkenankan-NYA bagimu : "sesungguhnya Aku akan
mendatangkan bala bantuan kepada kamu dengan
seribu malaikat yang datang berturut-turut."
Allah SWT akan menolong kita dengan mengirimkan
pertolongan 1.000 malaikat yang akan datang kepada
kita. dan kita pun mengetahui bahwa malaikat dapat
berubah bentuk menjadi entah siapa, juga dalam bentuk
entah apa. Namun hati-hati sahabat, ingatkah juga kita
kepada orang-orang yang kita pernah menolak
memberikan pertolongan kepadanya?
Benarkah mereka hanya pengemis biasa, anak-anak
yatim dhuafa, tetangga yang sedang berkesusahan, atau
boleh jadi mereka adalah jelmaan malaikat yang sedang
Allah utus untuk menguji kita semua.
Wallahu A'lam bish shawwaab .
Tidaklah lebih baik dari yang menulis ataupun yang
membaca, karena yang lebih baik di sisi Allah SWT
adalah yang mengamalkannya.

Kamis, 23 Mei 2013

KISAH SYEKH ABDUL QADIR AL-JAILANI

Syekh Abdul Qadir al-Jailani

Beliau adalah tuan kita, teladan dari semua wali terbaik, papan arah menuju arah yang benar, beliau adalah poros ketuhanan (Qutub Rabbani), nama lengkap beliau adalah Abu Shalih Sayyidi 'Abdul Qadir bin Musa bin 'Abbdullah bin Yahya az-Zahid bin Muhammad bin Dawud bin Musa al-Jun bin 'Abdullah al-Mahdhi bin al-Hasan al-Musatanna bin al-Hasan bin Ali bin Abi Thalib. Beliau yang terkenal dengan nama 'Abdul Qadir al-Jailani. Beliau lahir pada tahun 470 H, dan wafat pada tahun 561 H. dimakamkan di Baghdad.
Ibu beliau adalah Ummul Khair (dalam bahasa arab berarti ibu kebaikan), ia pernah berkisah: "Ketika aku melahirkan 'Abdul Qadir al-Jailani, dia tidak mau menyusu ke puntingku selama siang hari bulan Ramadhan. Bulan baru Ramadhan suatu kali tertutup awan sehingga orang-orang datang kepadaku dan bertanya tentang 'Abdul Qadir al-Jailani, maka aku katakan kepada mereka, bahwa 'dia tidak menyusu pada puntiingku hari ini.' Hal itu kemudian menjadi isyarat yang jelas bahwa hari itu adalah awal Ramadhan."
Kabar tersebut lalu menyebar luas, bahwa seorang bocah ('Abdul Qadir al-Jailani) lahir dengan membawa berbagai kemuliaan (keajaiban), dan bahwa ia adalah bayi yang tidak mau menyusu di siang hari Ramadhan. Dan dikabarkan pula, bahwa sang Ibunda mengandungnya ketika berusia 16th. Dikatakan bahwa, tidak mungkin ada gadis 16th bisa hamil kecuali dia perempuan Quraisy, dan tidak ada gadis 16th yang bisa punya anak kecuali dia pasti orang Arab.
Ketika 'Abdul Qadir al-Jailani lahir, sang bayi disambut oleh tangan-tangan keanugerahan yang agung, dan sang bayi diliputi oleh cahaya petunjuk di belakangnya maupun di depannya.
Ketika 'Abdul Qadir al-Jailani berusia 5th, sang ibu mengirimkannya ke sebuah madrasah lokal di Jilan. Beliau menuntut ilmu di madrasah tersebut hingga berumur 10th. Selama belajar di madrasah tersebut, beberapa peristiwa menakjubkan terjadi. Setiap kali 'Abdul Qadir al-Jailani akan memasuki madrasah, beliau melihat sosok-sosok bercahaya  yang berjalan di depanya sambil berkata, "Beri jalan untuk Wali Allah!" Dan ketika beliau pernah ditanya kapan beliau mengetahui bahwa dirinya menerima walayah (pangkat kewalian), beliau menjawab, "Ketika aku berusia sepuluh tahun, kulihat para malaikat berjalan mengiringiku dalam perjalanan menuju madrasah, dan mereka selalu berkata, "Beri jalan untuk Wali Allah." Kejadian itu terus menerus berulang sampai aku paham bahwa aku dianugerahi walayah."


Berpisah dengan Sang Bunda

Adalah Syekh Muhammad bin Qa'id al-Awani yang berkata, bahwa al-Jailani muda meminta izin kepada sang Bunda untuk pergi ke Baghdad menimba ilmu, beliau berkata "Bunda, berilah aku kesempatan untuk menuju Allah Swt. Izinkan aku pergi ke Baghdad, di mana aku akan berusaha memperoleh ilmu pengetahuan dan di sana aku akan bertemu dengan orang-orang shalih." Sang Bunda menangis mendengar beliau akan pergi, kemudian masuk ke dalam kamar dan mengambil uang sebanyak delapan puluh dinar. Uang itu adalah warisan dari ayahanda beliau. Kemudian sang Bunda memasukkan uang tersebut ke dalam saku beliau empat puluh dinar, dan sisanya dimasukkan ke saku baju mantel beliau. Sang Bunda meminta beliau berjanji untuk selalu berlaku jujur dalam keadaan apapun. Ketika sang Bunda mengantar beliau sampai di depan pintu rumah, sang Bunda mengucapkan selamat tinggal dan berkata, "Anakku, pergilah, karena aku telah melepaskan engkau demi mencari Allah. Aku tahu, mungkin aku tidak akan bertemu lagi dengan wajahmu hingga hari kebangkitan kelak." Maka pergilah beliau menuju Baghdad.
Sejarah hidup beliau terus berlanjut sampai akhirnya beliau menetap di Baghdad, dan waktu itu umur beliau 18th. Pada masa itu, khalifah yang berkuasa di Baghdad adalah al-Mustazhir. Ketika beliau akan memasuki kota Baghdad, beliau dihadang oleh al-Khidir sembari berkata kepadanya, "Aku tidak akan pernah mengizinkan kamu masuk ke kota Baghdad sampai tujuh tahun ke depan." Beliau akhirnya tinggal di pinggiran sungai tigris selama tujuh tahun dengan hanya memakan dedaunan dari jenis yang boleh dimakan sampai suatu kali leher beliau berubah warna menjadi hijau.
Pada suatu malam beliau mendengar suara yang mengatakan, "Wahai 'Abdul Qadir al-Jailani, sekarang masuklah ke Baghdad." Setelah mendengar suara itu, beliau segera memasuki Baghdad. Malam itu cuaca sangat dingin dan hujan, maka 'Abdul Qadir al-Jailani mendekati zawiyah (pondokan sufi) Syekh Hammad bin Muslim ad-Dabbas. Akan tetapi, Syekh Hammad berkata kepada muridnya, "Kuncilah pintu zawiyah, tetapi buatlah cahaya lampu tetap menyinari ke arah luar zawiyah."
'Abdul Qadir al-Jailani hanya duduk di samping pintu, lalu Allah subhanahu wa ta'ala menurunkan kantuk kepadanya hingga beliau tertidur. Saat terbangun, beliau dalam keadaan hadats besar (mimpi basah), maka dengan segera beliau mandi besar. Kemudian Allah ta'ala menurunkan kantuk lagi kepada beliau, dan beliau pun tertidur lagi. Saat bangun, beliau hadats besar lagi, lalu beliau segera mandi besar lagi. Demikian itu terjadi berulang-ulang hingga 17 kali. Akhirnya, ketika fajar menyingsing, pintu zawiyah terbuka dan 'Abdul Qadir al-Jailani melangkah masuk.
Syekh Hammad ad-Dabbas segera melangkah maju menyambut beliau, lalu memeluk erat beliau, dan memberi beliau rangkulan yang hangat. Airmata menetes di pipi Syekh al-Dabbas sembari ia berkata, "Oh anakku, 'Abdul Qadir al-Jailani, hari ini adalah tanggungjawab kami di sini (zawiyah ini), jika nanti kamu telah memegangnya, maka bimbinglah si tua yang rambutnya telah memutih ini."
Para Guru Syekh 'Abdul Qadir al-Jailani
'Abdul Qadir al-Jailani memperoleh latihan spiritual di Baghdad dari dua sufi terbesar di zaman itu,  Syekh Sayyid Abu al-Khair Hammad bin Muslim ad-Dabbas dan Syekh Qadhi Abu Sa'id Mubarak al-Makhzumi. Meskipun beliau memperoleh banyak berkah dari kedua guru tersebut, namun beliau belum memberi baiat alias menduduki posisi mursyid.
Kemudian beliau menjadi murid Syekh Qadhi Abu Sa'id Mubarak al-Makhzumi sekaligus bergabung dalam halaqah dan tarekatnya. Syekh Qadhi Abu Sa'id al-Makhzumi menunjukkan rasa cintanya yang sangat besar terhadap murid istimewanya ini, dan memberkahinya dengan mutu-manikam spiritualis dan tasawuf. Suatu kali 'Abdul Qadir al-Jailani dan para murid yang lain sedang duduk bersama dengan Syekh, kemudian Syekh meminta 'Abdul Qadir al-Jailani untuk pergi mengambil sesuatu. Setelah ia pergi, Syekh al-Makhzumi  berkata kepada murid-muridnya yang lain, "Suatu hari nanti, kaki pemuda itu akan menginjak tengkuk semua Auliya' (para wali Allah)."
Setelah beberapa waktu tinggal di Baghdad, 'Abdul Qadir al-Jailani mengikuti pendidikan di Jami'ah Nizhamiyah yang tersohor sebagai pusat pendidikan dan ilmu keruhanian di dunia Islam. 'Abdul Qadir al-Jailani menuntut ilmu dengan penuh keikhlasan dan kesungguhan. Di antara guru-guru beliau yang memberikan ilmu Qira'at, Tafsir, Hadits, Fiqih, Syari'at, dan Tarekat adalah: Abul Wafa' 'Ali bin 'Aqil, Abu Zakaria Yahya bin 'Ali at-Tabrizi, Abu Sa'id bin 'Abdul Karim, Abul Ana'im Muhammad bin 'Ali bin Muhammad, Abu Sa'id bin Mubarak al-Makhzumi, dan Abul Khair Hammad bin Muslim ad-Dabbas.
Dalam bidang adab salah satu guru beliau yang merupakan seorang 'Alim besar pada masa itu ialah al-'Allamah Zakariya at-Tabrizi. Dan dalam bidang Fiqih dan ushul Fiqih guru-guru beliau adalah: Syekh Abul Wafa' bin 'Aqil al-Hanbali, Abul Hasan Muhammad bin Qadhi Abul Ula, Syekh Abul Khatab Mahfuzh al-Hanbali, dan Qadhi Abu Sa'id al-Mubarak bin Ali al-Makhzumi al-Hanbali. Dalam bidang Hadits, beliau menerima ilmu dari para ulama sebagai berikut: Sayyid Abul Barakat Thalhah al-Aquli, Abul Ana'im Muhammad bin 'Ali bin Maimun al-Farsi, Abu 'Uthman Isma'il bin Muhammad al-Ishbihani, Abu Ghalib Muhammad bin Hasan al-Baqillani, Abu Muhammad Ja'far bin Ahmad bin al-Husaini, Sayyid Muhammad Mukhtar al-Hasyimi, Sayyid abu Manshur 'Abdur Rahman al-Qaz'az, dan Abul Qasim 'Ali bin Ahmad Ban'an al-Karghi. Setelah menempuh pendidikan dengan tekun, 'Abdul Qadir al-Jailani lulus dari Jami'ah Nizhamiyah. Pada masa itu tidak ada satupun 'Alim di muka bumi yang lebih faqih dan saleh dibandingkan dengan 'Abdul Qadir al-Jailani.
Belajar kepada al-Khidir
Abu as-Sa'ud al-Huraimi mengisahkan, aku suatu kali mendengar tuan kami Syekh 'Abdul Qadir al-Jailani berkata: "Aku tinggal di kawasan padang gersang Irak selama 25th, sebagai pengembara terasing. Aku tidak tau apa dan siapa saja makhluk yang mengikutiku, dan mereka juga tidak ingin tau aku. Yang selalu mengunjungiku adalah manusia-manusia dari alam gaib (rijal al-Ghaib), sebangsa jin. Aku biasa mengajari mereka tentang jalan menuju Allah Swt. (tarekat)."
Aku juga dipertemukan dengan al-Khidhir a.s. ketika aku memasuki kota Irak untuk kali pertamanya, meskipun waktu itu aku tidak tau siapa dia sebenarnya, dan dia pernah berkata kepadaku bahwa aku tidak boleh menentangnya. Ketika kami mencapai sebuah kawasan, dia berkata kepadaku, "Duduklah dan tinggallah di sini," maka aku duduk dan tinggal di tempat itu sebagaimana dia memerintahkanku. Selama kurun waktu tiga tahun penuh, dia akan datang kepadaku setiap tahunnya, dan dia berkata kepadaku, "Tetaplah tinggal di situ sampai aku kembali." Segala pesona dunia serta daya tariknya selalu datang kepadaku dalam berbagai bentuk dan tipu muslihat. Setan-setan juga mendatangiku dalam berbagai wujud serta mengoda dengan keahliannya. Tidak sedikit dari setan-setan itu yang terlibat perkelahian denganku, tetapi Allah subhanahu wa ta'ala selalu menguatkanku dalam menghadapi mereka.
Aku tinggal selama waktu yang lama di kawasan-kawasan gersang kota-kota Irak. Aku memaksa jiwa rendahku untuk melakukan tugas-tugas berat melalui metode disiplin spiritual. Kemudian aku menghabiskan waktu selama satu tahun dengan hanya makan dari sisa-sisa sampah tanpa minum air sedikitpun, kemudian selama satu tahun berikutnya sambil minum air. Kemudian selama satu tahun penuh dengan hanya minum air, tetapi tanpa menyantap apapun, dan di tahun berikutnya aku  tidak minum, tidak juga makan, dan tidak tidur sama sekali. Aku juga bermukim selama beberapa tahun di kawasan gersang nan tandus di sebuah daerah pinggiran kuno kota Baghdad, di mana satu-satunya sumber makananku adalah dedaunan lontar. Pada setiap awal tahun, seseorang akan datang kepadaku dengan mengenakan jubah yang terbuat dari wol.
Aku sudah memasuki seribu lebih kondisi wujud yang berbeda-beda, dengan tujuan untuk membebaskan diri dari dunia milik kalian ini, dan keadaan yang menimpaku itu hanya dapat dipandang sebagai bentuk ketololan, kegilaan, dan ketidakwarasan. Aku biasa berjalan tanpa alas kaki, melewati onak duri, kerikil tajam, dan tempat-tempat berbahaya sejenisnya. Tidak pernah sekalipun jiwa rendahku menang atas diriku, tidak juga ada satupun kemilau dunia yang mampu mengodaku".
Ujian dari al-Khidir
Beliau, al-Khidhir, datang kepadaku untuk memberikan suatu ujian, sebagaimana ia telah menguji para wali-wali Allah yang lain sebelumku. Dia menyingkap kepadaku rahasia dari wujudnya dengan cara menampakkan wawasan menuju materi-materi yang aku dapatkan bersamanya, kemudian aku berkata kepadanya, "Wahai Khidhir, jika benar engkau pernah berkata pada Musa a.s. (kamu tidak akan pernah dapat bersabar bersamaku), maka sekarang aku akan katakan kepadamu, "Wahai Khidhir, bahwa kamu tidak akan pernah bersabar bersamaku, kamu seorang Israili, sementara aku adalah seorang Muhammadi, inilah kita, kamu dan aku, dan ini adalah bola polonya, celanaku masih terikat kuat dan pedangku belum disarungkan."
Anugerah Jubah Sufi
Beliau juga berkata, "Selama sebelas tahun aku membetahkan diriku tinggal direruntuhan benteng yang saat ini disebut menara Persia. Tempat itu menjadi pemukiman panjangku. Di tempat itu aku membuat perjanjian dengan Allah Swt. bahwa aku tidak akan pernah makan sampai akhirnya ada yang menyediakan makanan buatku, dan aku tidak akan pernah minum sampai ada yang memberiku sarana untuk memuaskan dahagaku. Kemudian aku tinggal di situ selama empat puluh hari tanpa makan dan minum. Pada hari keempat puluh, datang seorang laki-laki membawa sepotong roti dan beberapa makanan, dia meletakannya di depanku dan segera beranjak pergi meninggalkanku sendiri. Nafsuku kemudian cepat-cepat memaksakan keinginan untuk menyambar makanan tersebut, maka aku katakana, "Demi Allah, makanan ini tidak sejalan dengan perjanjian yang aku ikrarkan kepada Allah," kemudian di dalam batinku aku mendengar suara yang keras dan berteriak, "Lapar!" tapi aku tetap menolak untuk menurutinya.
Kebetulan pada saat itu Syekh Abu Sa'id al-Makarimi melintas di depanku dan mendengar suara teriakan itu, lalu ia mendekatiku dan bertanya kepadaku, "Apa arti teriakan tadi, wahai 'Abdul Qadir al-Jailani?" Aku menjawab, "Tadi itu hanyalah bisikan jiwa rendahku, seperti halnya ruh, ia akan reda dengan sendirinya." Kemudian ia berkata kepadaku, "Datanglah ke gerbang Al-Azaj." Lalu ia pergi meninggalkanku, dan aku berkata kepada diriku sendiri, "Aku tidak akan pernah meninggalkan tempat ini, kecuali Tuhan sendiri yang memerintahkanku."
Kemudian al-Khidhir a.s. datang kepadaku dan berkata, "Bangunlah dan pergilah ke Abu Sa'id al-Makarimi." Maka akupun bergegas pergi, dan di sana aku menjumpainya sedang berdiri di depan rumahnya tengah menanti kedatanganku. "Wahai 'Abdul Qadir al-Jailani," katanya kepadaku, "Apakah belum cukup bagiku ketika aku katakana, "Datanglah kepadaku," kemudian ia menganugerahkan jubah sufi dengan tangannya sendiri, dan semenjak saat itu, aku dengan tekun membaktikan diriku kepadanya, dan menjadi muridnya yang rajin. Semoga Allah meridhoinya.
Melayang saat Berdakwah
Al-Khatab, pembantu Syekh 'Abdul Qadir al-Jailani, berkata: suatu hari ketika Syekh sedang memberikan ceramah, beliau tiba-tiba naik beberapa langkah ke angkasa dan beliau berkata, "Wahai Israil, berhentilah dan dengarkan kata-kata Sang Muhammad!" Kemudian beliau kembali ke tempat duduknya semula. Ketika beliau diminta untuk menjelaskan kejadian tersebut, beliau menjawab, "Abu al-Abbas al-Khidhir berada di atas sana. Tadi ia sedang melintasi majelis kita ini, maka aku memintanya berhenti dan berkata kepadanya apa saja yang aku dakwahkan kepada kalian semua."
Diludahi Nabi Saw. Tujuh Kali, Ali Enam Kali
           Ini diriwayatkan oleh Syekh Abu Muhammad al-Juba'I, bahwasannya beliau Syekh Abdul Qadir al-Jailani berkata, "Aku suatu kali berjumpa dengan Rasulullah Saw. dalam penampakan ruhani sebelum waktu zuhur, dan beliau Saw. berkata kepadaku, "Wahai anakku terkasih, kenapa engkau tidak berbicara (berdakwah) kepada manusia?" Maka aku menjawab, "Wahai bapakku terkasih, aku adalah seorang 'Ajam (bukan orang Arab), lalu bagaimana aku bisa berkata-kata dengan fasih di tengah-tengah orang Baghdad yang jelas mereka pandai berbahasa Arab." Kemudian beliau Saw. Berkata, "Sekarang, bukalah mulutmu!" Maka aku membuka mulutku lebar-lebar, dan beliau meludahiku sebanyak tujuh kali. Kemudian beliau Saw. berkata kepadaku, "Kamu harus berdakwah kepada manusia sekarang, ajaklah mereka menuju jalan Allah dengan hikmah dan nasihat yang baik." Aku kemudian menunaikan shalat zuhur, dan kemudian aku duduk setelah itu hendak berceramah, namun aku masih kehilangan kata-kataku. Kemudian aku melihat penampakan Sayidina 'Ali kwh., dan beliau berkata, "Bukalah mulutmu!" Aku lalu membuka mulutku, dan beliau meludahiku sebanyak enam kali, lalu aku bertanya kepada beliau, "Kenapa engkau tidak meludahiku sebanyak tujuh kali seperti halnya Rasulullah Saw. Melakukannya?" Beliau menjawab, "Sebagai adab penghormatanku kepada Rasulullah." Setelah mengucapkan kata-kata itu, beliau pergi.

Menghilang ke Balik Matahari

           Pengasuh Syekh 'Abdul Qadir al-Jailani menceritakan, bahwa sewaktu beliau masih kecil seringkali ketika dia menggendong sang Syekh, mendadak beliau sudah tidak ada lagi di tangannya. Dia mengatakan, bahwa kemudian dia melihat Syekh 'Abdul Qadir al-Jailani terbang ke langit dan bersembunyi di balik cahaya matahari.
Ketika Syekh 'Abdul Qadir al-Jailani sudah dewasa, sang pengasuhnya mengunjunginya dan bertanya, apakah beliau masih sering melakukan hal yang dulu sewaktu kecil beliau lakukan. Kemudian Syekh 'Abdul Qadir al-Jailani menjawab, "Itu dulu ketika aku masih kecil, dan pada waktu itu aku masih lemah, maka aku bersembunyi di balik matahari, namun kini daya dan kekuatanku telah sedemikian besar, sehingga bila 1000 matahari dating, pasti mereka semua akan bersembunyi di balik diriku."
Bertarung Melawan Setan, Iblis, dan Hawa Nafsu
Kisah ini diriwayatkan oleh Syekh 'Utsman as-Sirafani, baliau berkata, Aku suatu kali mendengar tuan kita, Syekh 'Abdul Qadir al-Jailani berkata:
"Aku pernah bermukim sendirian di sebuah kawasan gersang. Setiap hari dan setiap malam setan-setan sering datang kepadaku berbaris-baris dalam wujud manusia jadi-jadian yang membawa berbagai macam senjata serta memikul berbagai benda yang berbunyi sangat keras. Mereka terlibat perkelahian denganku dan melempariku dengan bola api. Saat menghadapi keadaan seperti itu, aku mendapati di dalam hatiku suatu rasa tentram yang sulit terucapkan dengan kata-kata, aku mendengar suara dalam hatiku yang berkata, "Berdirilah dan serang mereka wahai 'Abdul Qadir al-Jailani, karena Kami selalu siap menambah kekuatanmu, dan Kami akan datang dengan pasukan yang tidak mungkin terkalahkan oleh mereka." Dan saat aku melemparkan satu serangan kepada para setan itu, mereka sontak berlari tunggang langgang  dan pergi menghilang.
Setelah itu, ada sesosok setan datang dari tengah-tengah para setan yang berlari menjauh dariku. Setan itu menghampiriku dan berkata kepadaku, "Pergilah dari sini atau aku akan melakukan begini dan begitu kepadamu." Dia memperingatkanku akan akibat apa saja jika aku tidak pergi dari wilayah itu, maka kemudian aku menamparnya dengan tanganku dan diapun melarikan diri dariku, lalu aku berucap, "Tidak ada daya dan kekuatan kecuali bersama Allah yang Maha Tinggi lagi Maha Agung." Setan itu diterkam oleh api dan aku melihatnya terbakar hangus.
Pada waktu yang lain, aku didatangi oleh sosok yang penampilanya benar-benar menakutkan, dan bau badannya sangat menjijikkan, baunya sangat bacin dan memuakkan, dia berkata kepadaku, "Aku adalah iblis. Aku datang kepadamu dengan maksud untuk menjadi budakmu, karena kamu telah berhasil menggagalkan segala upayaku dan mengalahkan pengikutku." Aku berkata kepadanya, "Pergilah! karena aku tidak percaya sama sekali kepadamu." Tapi pada saat itu sebuah tangan turun dari sisi iblis dan memukul tengkorak kepalanya dengan kekuatan yang sangat besar hingga membuat iblis itu terjungkal keras melesat ke dalam tanah, dan dia pun menghilang entah ke mana.
Iblis itu datang kembali kepadaku untuk kedua kalinya dengan membawa anak panah api di tangannya dan hendak menyerangku, tetapi dengan cepat seseorang yang memakai jubah penutup kepala lari menuju diriku dengan menaiki kuda berwarna kelabu dan dengan tangkas melemparkan pedang kepadaku. Melihat itu, iblis secepat kilat langsung lari terbirit-birit dari hadapanku.
Dan ketika aku bertemu dengannya lagi untuk yang ketiga kalinya, iblis itu sedang duduk dengan jarak yang agak jauh dariku, berlinangan air mata, sekujur tubuhnya dipenuhi oleh debu, dan ia berkata, "Aku sungguh telah putus asa menghadapi orang sepertimu, wahai 'Abdul Qadir al-Jailani." Aku lalu berkata kepadanya, "Enyahlah kau dari sini, sang terkutuk! karena aku tidak akan pernah berhenti membentengi diriku sendiri (dengan perlindungan Allah) untuk melawanmu. Dan dia berkata, "Apa yang telah kau ucapkan itu lebih menyakitkan bagiku ketimbang jepitan besi neraka."
Menembus Jarak
Diriwayatkan dari Syekh Umar, beliau berkata: aku suatu kali mendengar tuan kami Syekh 'Abdul Qadir al-Jailani bercerita:
keadaan ruhani (ahwal) pernah datang kepadaku tanpa terduga sama sekali. Pada awal masa-masa aku melakukan pengembaraan dan berada di padang tandus di wilayah Baghdad, aku berlari melewati jarak kira-kira satu jam perjalanan, dan aku benar-benar tidak sadar bahwa aku sedang berlari, saat aku kembali dalam kesadaranku yang normal, aku mendapati diriku sampai di kawasan Syastar, di mana jarak tersebut dengan Baghdad kira-kira sekitar dua belas hari perjalanan. Ketika sampai di sana, aku berdiri dan melihat-lihat sekeliling, lalu seorang wanita datang kepadaku sambil berkata, "Apakah yang kamu alami itu membuatmu terkejut dan heran, padahal kamu tidak lain adalah 'Abdul Qadir al-Jailani?!"
Melihat al-Lauh al-Mahfudz
Tertulis dalam riwayat, bahwa Syekh Abul Hafash menyatakan, "Syekh 'Abdul Qadir al-Jailani biasa melayang di udara dan berkata 'Matahari tidak pernah terbit tanpa mengucapkan salam kepadaku. Demi kemuliaan dan murka Allah, aku melihat semua manusia yang baik maupun yang jahat, mataku tertuju pada al-Lauh al-Mahfudz. Berkali-kali aku menyelam ke samudera ilmu dan kebijaksanaan yang dianugrahkan oleh Allah, dan akulah kebaikan murni Allah kepada manusia dan utusan khusus kakekku, Rasulullah Saw., dan akulah khalifah beliau di bumi."
Kuasa atas Raja Jin
Syekh Abu Futub Muhammad bin Abul 'Ash Yusuf bin Isma'il bin Ahmad 'Ali Qarsyi at-Tamimi al-Bakari al-Baghdadi meriwayatkan, bahwa suatu ketika Syekh Abu Sa'id 'Abdullah bin Ahmad bin Muhammad al-Baghdadi al-Azja'i datang kepada Syekh 'Abdul Qadir al-Jailani dan mengatakan bahwa putrinya yang berusia 16th, Fatimah yang sangat cantik, kemarin naik ke tingkat rumah, tapi tiba-tiba dia lenyap dari sana. Ketika Syekh 'Abdul Qadir al-Jailani mendengar hal ini, beliau menghiburnya dan mengatakan kepadanya agar tidak perlu khawatir.
Sang Wali Agung kemudian memerintahkan dia untuk pergi ke sebuah hutan pada malam hari. Syekh 'Abdul Qadir al-Jailani menyatakan bahwa di dalam hutan dia akan melihat banyak gundukan pasir. Dia harus duduk di gundukan pasir keenam yang dilewatinya, dan harus membuat sebuah gambar lingkaran di sekeliling dirinya sambil berkata, "Bismillah," dan kemudian berkata, "Abdul Qadir."
Syekh 'Abdul Qadir al-Jailani berkata, "Menjelang sepertiga malam terakhir kau akan melihat pasukan jin berlalu. Mereka tampak sangat mengerikan dan ganas, tetapi engkau tak perlu takut, engkau harus tetap duduk dan menunggu. Tepat pada saat cahaya matahari pertama tampak, raja jin yang paling berkuasa akan lewat, dan dia akan menghampirimu lalu menanyakan permasalahanmu. Jelaskanlah permasalahanmu kepadanya, dan katakan bahwa aku yang mengutusmu. Beritahukan kepada raja jin itu tentang putrimu yang hilang."
Syekh Muhammad al-Baghdadi berkata, "Aku mengerjakan apa yang Syekh 'Abdul Qadir al-Jailani perintahkan. Aku duduk di gundukan pasir tersebut dan menunggu. Setelah beberapa waktu, aku melihat pasukan jin dalam rupa-rupa yang mengerikan melintas. Mereka sangat marah kepadaku karena aku duduk di tengah-tengah jalannya, namun mereka tetap berlalu tanpa mengucap sepatah katapun, karena mereka tidak berani memasuki lingkaran tersebut. Pada waktu fajar, sang raja jin melintas, lalu menanyakan permasalahanku. Ketika aku mengatakan bahwa yang mengutusku adalah Syekh 'Abdul Qadir al-Jailani, maka dia segera turun dari kudanya dan berdiri dengan penuh hormat mendengarkan perkataanku, lalu dia mengutus para jin untuk mencari jin yang telah menculik putriku. Akhirnya, putrikupun kembali, dan jin yang telah menculik putriku itu dihukum oleh sang raja jin."
Pengakuan 360 Wali
'Abdullah al-Jubbai suatu kali berkata: "Syekh 'Abdul Qadir al-Jailani memiliki seorang murid bernama 'Umar al-Hawali, dia meninggalkan Baghdad dan tinggal di tempat lain selama beberapa tahun. Ketika ia akhirnya kembali ke Baghdad, maka aku berkata kepadanya, "Sekian lama ini kamu berada di mana?" Dia menjawab, "Aku mengembara menyinggahi kota-kota di Suriah, Mesir, Persia, dan aku bertemu dengan tiga ratus enam puluh Syekh, yang kesemuanya adalah para wali Allah. Tidak ada seorangpun dari mereka yang tidak berkata, "Syekh 'Abdul Qadir al-Jailani adalah Syekh kami, dan merupakan pembimbing teladan kami menuju Allah Swt."
Syekh Hammad ad-Dabbas konon berkata, "Ketika Syekh 'Abdul Qadir al-Jailani yang pada waktu itu masih remaja, disebut dalam majelisnya "Aku melihat dua tanda di kepalanya, yang terpasang tegak di antara kebinatangan terendah dan kedaulatan tertinggi. Dan aku telah mendengar tentara kerajaannya memangil-mangilnya dengan suara yang keras lagi jelas pada cakrawala tertinggi. Semoga Allah meridhoinya."
Syekh Hammad ad-Dabbas kemudian berkata, "Kamu adalah penghulu para 'Arifin di zamanmu nanti. Panjimu tertancap kuat untuk dibentangkan, baik dari kawasan timur sampai kawasan barat. Pundak orang-orang di zamanmu akan tunduk di bawah kendalimu, dan kamu akan diangkat pada suatu tingkatan spiritual yang mengungguli semua orang yang sebaya denganmu."
Pernyataan "Kakiku Berada di Tengkuk Para Wali"
Diriwayatkan oleh al-Hafidz Abu al-Izz 'Abd al-Mugtis bin Harb al-Baghdadi beserta banyak lagi lainya, "Kami menghadiri majelis Syekh 'Abdul Qadir al-Jailani. Di ruang tamu beliau banyak sekali para Syekh dan wali yang mengikuti majelis beliau waktu itu. Ada sekitar kurang lebihnya empat puluh tujuh para Syekh, dan masih banyak lagi yang berada dalam majelisnya. Ketika Syekh 'Abdul Qadir al-Jailani berbicara, tampak sekali hati beliau dalam keadaan kesadaran penuh, yakni ketika beliau menyatakan, "Kakiku Berada di Atas Tengkuk Para Wali Allah." Syekh 'Ali bin al-Haiti melangkahkan kakinya saat itu juga, lalu naik beberapa langkah ke mimbar Sang Syekh, di mana kemudian dia memegang kaki Sang Syekh dan meletakkannya di atas tengkuknya sembari memposisikan kepalanya di bawah keliman jubah Syekh. Semua yang hadir di situpun membungkuk seperti yang dilakukan oleh Syekh al-Haiti. Dan tidak ada satupun seorang wali Allah di muka bumi ini yang pada saat itu tidak menundukkan tengkuknya sebagai pengakuan tulus terhadap Syekh 'Abdul Qadir al-Jailani, serta sebagai penghormatan kedudukan ruhani beliau yang khusus. Ada 300 auliya' Allah dan 700 rijaul ghaib yang hadir di majelis itu. Bahkan kumpulan para jin berkumpul pada saat itu. Para jin shalih tersebut keluar dari segala penjuru cakrawala demi menghormati pernyataan beliau tersebut. Mereka mengucapkan selamat kepada Syekh 'Abdul Qadir al-Jailani dan menunjukkan laku taubat melalui tangan beliau.
Syekh al-Makarimi menyatakan, "Pada hari itu, seluruh Wali Allah tahu, bahwa panji kesultanan wali telah tertancapkan di sisi Syekh 'Abdul Qadir al-Jailani. Semua wali dari timur hingga barat serentak membungkukkan badan mematuhi pernyataan beliau ini."
Sayyid Syekh Khalifatul Akbar berkisah, "Aku bermimpi bertemu dengan Rasul Saw. tercinta, dan aku bertanya kepada beliau tentang pernyataan Syekh 'Abdul Qadir al-Jailani tersebut. Rasul Saw. Menjawab, "'Abdul Qadir al-Jailani telah mengatakan hal yang sebenarnya, karena dia sang Quthb, dan dia kuberikan tempat di bawah sayapku dan dalam perlindunganku."