رَبِّ اغْفِرْ لِي وَهَبْ لِي مُلْكًا لا يَنْبَغِي لأحَدٍ مِنْ بَعْدِي إِنَّكَ أَنْتَ الْوَهَّابُ


"Ya Rabb-ku, ampunilah aku, dan anugerahkanlah kepadaku kerajaan, yang tidak dimiliki oleh seorangpun juga sesudahku, sesungguhnya Engkaulah Yang Maha pemberi’."

Selasa, 23 Desember 2014

Kisah : Sultan Menjadi Orang Buangan




 Alkisah, seorang Sultan Mesir mengumpulkan orang-orang terpelajar, dan segera saja seperti biasanya, timbullah perdebatan. Pokok persoalannya adalah Mi'raj Nabi Muhammad. Dikatakan, dalam peristiwa tersebut, Nabi dibawa dari tempat tidurnya ke langit tinggi. Selama itu ia melihat surga dan neraka, berbincang dengan Tuhan sembilan puluh ribu kali, mengalami pelbagai pengalaman dain --dan dikembalikan ke kamarnya sementara tempat tidurnya masih hangat.

Periuk air yang jatuh dan tertumpah isinya karena pengangkatan ke langit itu belum kosong ketika Nabi pulang.Beberapa orang yang hadir berpendapat bahwa hal itu mungkin saja terjadi mengingat ukuran waktu di bumi dan di langit tentu saja berbeda. Namun, Sultan menganggapnya tidak masuk akal.Para bijak mengatakan bahwa segala sesuatu adalah mungkin dengan kekuasaan Tuhan. Penjelasan ini pun tak memuaskan Baginda.Kabar perdebatan ini akhirnya sampai kepada Sufi Syeh Shahabuddin, yang segera saja datang ke istana. Sultan menunjukkan rasa hormat terhadap guru itu, yang berkata, "Saya bermaksud membuktikan sesuatu tanpa menunda lagi: Ketahuilah bahwa kedua tafsiran itu keliru, dan ada hal-hal yang bisa ditunjukkan, yang kiranya menjelaskan peristiwa itu tanpa perlu berspekulasi secara gegabah atau menggunakan penalaran sembarangan dan tak bermutu."

Di ruang pertemuan itu terdapat empat jendela. Syeh itu minta agar yang satu dibuka. Sultan melihat keluar melalui jendela itu. Di gunung yang berada di kejauhan tampak olehnya bala tentara beribu-ribu bergerak menyerbu istana. Sultan sangat ketakutan dibuatnya.
"Lupakan saja, itu tidak sungguhan," kata Syeh itu.
Ia menutup jendela dan membukanya kembali. Kali ini laskar penyerbu itu sudah lenyap.
Ketika dibukanya jendela yang lain, kota di luar istana tampak terbakar api. Sultan berteriak panik."Jangan cemas Sultan, tak terjadi apa-apa," kata Syeh. Ketika ia menutup dan kembali membuka jendela itu, tak ada Iagi api yang tampak.

Dari jendeIa ketiga terlihat banjir bandang menuju istana. Dan, banjir itu pun seakan hanya mimpi.Lalu, jendela keempat dibuka, dan, alih-alih gurun pasir, yang terlihat justru sebuah taman surga. Ketika jendela ditutup dan dibuka lagi, pemandangan itu sudah menguap.Kemudian, Syeh itu minta dibawakan seember air. Dimintanya pula agar Sultan memasukkan kepalanya ke dalam air sesaat raja.Setelah melakukan permintaan itu, secara gaib Sultan menemukan dirinya berada di sebuah pantai terpencil, di tempat yang sama sekali asing baginya. Sultan murka betul akan muslihat Syeh itu.Tak lama kemudian, ia bertemu dengan beberapa penebang kayu yang menanyakan siapa dirinya. Karena sulit menjelaskan dirinya yang sebenamya, ia mengatakan bahwa kapalnya kecelakaan dan membuatnya terdampar di pantai itu.Mereka memberinya pakaian, dan ia pun berjalan masuk ke sebuah kota.

 Di sana ada seorang pandai besi yang melihatnya berkelana tanpa tujuan, menanyakan siapa dirinya. "Saya seorang saudagar yang terdampar," jawab Sultan, "saya pun tak punya apa-apa lagi selain beberapa potong pakaian dari penebang kayu yang baik hati."Orang itu kemudian menjelaskan tentang kebiasaan kota tersebut. Semua pendatang baru boleh meminang gadis pertama yang dilihatnya keluar dari rumah-mandi, dan pinangannya itu wajib diterima.

Sultan itu pun pergi ke tempat mandi umum dan dilihatnya seorang wanita cantik keluar dari tempat itu. Ia bertanya apakah wanita itu sudah bersuami, dan ternyata sudah, maka ia bertanya kepada wanita berikutnya, yang buruk rupa. Dan yang berikut. Lalu, wanita keempat yang sungguh jelita dan rupawan. Gadis itu belum menikah, namun ia menolak Sultan sebab tubuh dan pakaiannya yang tak karuan.Tiba-tiba ada seorang lelaki berdiri di hadapan Sultan dan berkata, "Aku disuruh untuk menjemput seorang yang kusut di sini. Mohon ikut aku."Sultan pun mengikuti utusan itu, dan ia dibawa ke sebuah rumah yang sangat indah; ia pun duduk di salah satu ruang megah di rumah itu berjam-jam lamanya.

Akhirnya, empat gadis molek berpakaian mulia masuk, menyertai gadis kelima, yang lebih memikat hati. Sultan mengenali gadis itu sebagal gadis terakhir yang ditemuinya di rumah-mandi itu.Gadis itu mengucapkan selamat datang dan menjelaskan bahwa ia telah bergegas pulang untuk menyambut Sultan, dan bahwa penolakannya tadi bukan sungguhan, karena semua wanita di jalan akan mengatakan hal serupa bila dipinang.Kemudian, menyusullah jamuan makan yang lezat.
Kepada Sultan, dikenakan jubah yang sangat mewah, dan musik yang merdu pun dimainkan.

Sultan tinggal selama tujuh tahun bersama istrinya itu sampai harta warisan istrinya itu habis. Lalu, wanita itu menuntut agar Sultan kini mencari nafkah untuk istrinya dan ketujuh anak mereka.
Teringat akan teman pertamanya di kota itu, Sultan pun menemui pandai besi itu untuk meminta nasihat. Temannya itu menyuruhnya bekerja sebagai kuli di pasar sebab Sultan tak punya barang untuk ditukar uang atau kemampuan apa pun untuk bekerja.
Dalam sehari, dengan mengangkat beban yang sangat berat, Sultan memperoleh upah hanya sepersepuluh dari kebutuhan hidup keluarganya.

Hari berikutnya, Sultan berjalan ke pantai, disinggahinya tempat di mana tujuh tahun silam dirinya pertama kali muncul di tempat itu. Ia memutuskan untuk bersembahyang, dan terlebih dahulu membasuh diri dengan air wudhu. Pada saat itulah mendadak ia sudah kembali berada di istananya, dengan ember air, Syeh itu, dan para pejabat.
"Tujuh tahun dalam pengasingan, kau orang jahat!" raung Sultan. "Tujuh tahun, berkeluarga, dan harus jadi kuli! Tidakkah kau gentar pada Tuhan, Yang Mahakuasa, atas perbuatanmu ini?"

"Tetapi kejadian itu hanya sesaat," kata guru Sufi itu, "yakni selama Sultan memasukkan kepala ke dalam ember berisi air."

Para pejabat istana mengiyakan perkara ini.Sultan tidak bisa mempercayai sepatah kata pun. Segera diperintahkannya untuk memenggal kepala itu. Mengetahui sebelumnya bahwa perintah Sultan itu akan turun, Syeh pun merapal ilmu gaib (Ilm el-Ghaibat: Ilmu Menghilangkan Tubuh) yang dikuasainya. Ajian sakti itu membuatnya sekejap hilang dan muncul di Damaskus, yang berhari-hari jaraknya dari istana itu.

Dari Damaskus, Syeh menulis sepucuk surat untuk Sultan, yang berbunyi:
"Tujuh tahun lewat bagi Tuan, seperti yang Tuan telah alami sendiri, sekalipun hanya sebentar saja Tuan merendam kepala dalam air. Hal tersebut terjadi dengan menggunakan muslihat tertentu, yang tiada lain dimaksudkan untuk menjelaskan apa yang bisa terjadi. Bukankah dalam kisah itu tempat tidur Nabi masih hangat dan periuk air belum lagi kosong?

Yang penting bukanlah sesuatu itu telah terjadi atau tidak. Segalanya mungkin terjadi. Sesungguhnya yang penting adalah makna peristiwa itu. Pada kasus Sultan, tak ada makna sama sekali. Pada kasus Nabi, ada makna dalam peristiwa."

Sumber

Malaikat yang Sayapnya Patah



 Diriwayatkan pada suatu hari, Malaikat Jibril mendatangi Rasulullah S.A.W dan berkata,
"Ya Rasulullah, aku telah melihat seorang malaikat di langit sedang berada di atas singgasananya. Di sekitarnya terdapat 70 ribu malaikat berbaris melayaninya. Pada setiap hembusan nafasnya, Allah SWT menciptakan darinya seorang malaikat."
"Dari sekarang ini, aku melihat malaikat itu berada di Gunung Qaaf dengan sayapnya yang patah sedang menangis tersedu, "Lanjut Malaikat Jibril.
Ketika dia melihatku, dia berkata,
"Apakah engkau mau menolongku?"
Aku berkata, "Apa salahmu?"

Dia berkata,
"Ketika sedang berada di atas singgasana pada makam Mi'raj, lewatlah padaku Muhammad, Kekasih Allah SWT. Lalu aku tidak berdiri untuk menyambutnya sehingga Allah SWT menghukumku dengan ini (sayapnya patah) serta menempatkanku di sini seperti yang kau lihat."
Maaikat Jibril berkata,
"Seraya aku merendah diri di hadapan Allah SWT, aku memberinya pertolongan."
Maka Allah SWT berfirman,
"Wahai Jibril, katakanlah agar dia membaca shalawat atas KekasihKu, Muhammad S.A.W."

Malaikat Jibril berkata lagi,
"Kemudian malaikat itu membaca shalawat kepadamu dan Allah SWT mengampuninya serta menumbuhkan kembali kedua sayapnya, lalu menempatkannya lagi di atas singgasananya."

Sungguh betapa mulianya Nabi Muhammad S.A.W, hingga malaikat saja yang tidak menghormat, sayapnya dipatahkan oleh Allah SWT.


Sumber

Syariat, Tarekat, Hakikat dan Makrifat itu SATU




Saya seringkali dapat pertanyaan lewat email tentang hubungan antara syariat dan hakikat. Pada kesempatan ini saya ingin sedikit membahas hubungan yang sangat erat antara keduanya. Syariat bisa diibaratkan sebagai jasmani/badan tempat ruh berada sementara hakikat ibarat ruh yang menggerakkan badan, keduanya sangat berhubungan erat dan tidak bisa dipisahkan. Badan memerlukan ruh untuk hidup sementara ruh memerlukan badan agar memiliki wadah.

Saidi Syekh Muhammad Hasyim Al-Khalidi guru Mursyid dari Ayahanda Prof. Dr. Saidi Syekh Kadirun Yahya MA. M.Sc mengibaratkan syariat laksana baju sedangkan hakikat ibarat badan. Dalam beberapa pantun yang Beliau ciptakan tersirat pesan-pesan tentang pentingnya merawat tubuh sebagai perhatian utama sedangkan merawat baju juga tidak boleh dilupakan.

Imam Malik mengatakan bahwa seorang mukmin sejati adalah orang yang mengamalkan syariat dan hakikat secara bersamaan tanpa meninggalkan salah satunya. Ada adagium cukup terkenal,Hakikat tanpa syariat adalah kepalsuan, sedang syariat tanpa hakikat adalah sia-sia.” Imam Malik berkata, “Barangsiapa bersyariat tanpa berhakikat, niscaya ia akan menjadi fasik. Sedang yang berhakikat tanpa bersyariat, niscaya ia akan menjadi zindik.Barangsiapa menghimpun keduanya [syariat dan hakikat], ia benar-benar telah berhakikat.”
Syariat adalah hukum-hukum atau aturan-aturan dari Allah yang disampaikan oleh Nabi untuk dijadikan pedoman kepada manusia, baik aturan ibadah maupun yang lainnya. Apa yang tertulis dalam Al-Qur’an hanya berupa pokok ajaran dan bersifat universal, karenanya Nabi yang merupakan orang paling dekat dengan Allah dan paling memahami Al-Qur’an menjelaskan aturan pokok tersebut lewat ucapan dan tindakan Beliau, para sahabat menjadikan sebagai pedoman kedua yang dikenal sebagai hadist. Ucapan Nabi bernilai tinggi dan masih sarat dengan simbol-simbol yang memerlukan keahlian untuk menafsirkannya. 

Para sahabat sebagai orang-orang pilihan yang dekat dengan nabi merupakan orang yang paling memahami nabi, mereka paling mengerti akan ucapan Nabi karena memang hidup sezaman dengan nabi. Penafsiran dari para sahabat itulah kemudian diterjemahkan dalam bentuk hukum-hukum oleh generasi selanjutnya. Para ulama sebagai pewaris ilmu Nabi melakukan ijtihad, menggali sumber utama hukum Islam kemudian menterjemahkan sesuai dengan perkembangan zaman saat itu, maka lahirlah cabang-cabang ilmu yang digunakan sampai generasi sekarang. Sumber hukum Islam itu kemudian dikenal memiliki 4 pilar yaitu : Al-Qur’an, Hadist, Ijmak dan Qiyas, itulah yang kita kenal dengan syariat Islam.

Untuk melaksanakan Syariat Islam terutama bidang ibadah harus dengan metode yang tepat sesuai dengan apa yang diperintahkan Allah dan apa yang dilakukan Rasulullah SAW sehingga hasilnya akan sama. Sebagai contoh sederhana, Allah memerintahkan kita untuk shalat, kemudian Nabi melaksanakannya, para sahabat mengikuti. Nabi mengatakan, “Shalatlah kalian seperti aku shalat”. Tata cara shalat Nabi yang disaksikan oleh sahabat dan juga dilaksanakan oleh sahabat kemudian dijadikan aturan oleh Ulama, maka kita kenal sebagai rukun shalat yang 13 perkara. Kalau hanya sekedar shalat maka aturan 13 itu bisa menjadi pedoman untuk seluruh ummat Islam agar shalatnya standar sesuai dengan shalat Nabi. Akan tetapi, dalam rukun shalat tidak diajarkan cara supaya khusyuk dan supaya bisa mencapai tahap makrifat dimana hamba bisa memandang wajah Allah SWT. 

Ketika memulai shalat dengan “Wajjahtu waj-hiya lillaa-dzii fatharas-samaawaati wal-ardho haniifam-muslimaw- wamaa ana minal-musy-rikiin..” Kuhadapkan wajahku kepada wajah-Nya Zat yang menciptakan langit dan bumi, dengan keadaan lurus dan berserah diri, dan tidaklah aku termasuk orang-orang yang musyrik. Seharusnya seorang hamba sudah menemukan chanel atau gelombang kepada Tuhan, menemukan wajahnya yang Maha Agung, sehingga kita tidak termasuk orang musyrik menyekutukan Tuhan. Kita dengan mudah menuduh musyrik kepada orang lain, tanpa sadar kita hanya mengenal nama Tuhan saja sementara yang hadir dalam shalat wajah-wajah lain selain Dia. Kalau wajah-Nya sudah ditemukan di awal shalat maka ketika sampai kepada bacaan Al-Fatihah, disana benar-benar terjadi dialog yang sangat akrab antara hamba dengan Tuhannya.

Syariat tidak mengajarkan hal-hal seperti itu karena syariat hanya berupa hukum atau aturan. Untuk bisa melaksanakan syariat dengan benar, ruh ibadah itu hidup, diperlukan metodologi pelaksanaan teknisnya yang dikenal dengan Tariqatullah jalan kepada Allah yang kemudian disebut dengan Tarekat. Jadi Tarekat itu pada awalnya bukan perkumpulan orang-orang mengamalkan zikir. Nama Tarekat diambil dari sebuah istilah di zaman Nabi yaitu Tariqatussiriah yang bermakna Jalan Rahasia atau Amalan Rahasia untuk mencapai kesempurnaan ibadah. Munculnya perkumpulan Tarekat dikemudian hari adalah untuk menyesuaikan dengan perkembangan zaman agar orang-orang dalam ibadah lebih teratur, tertib dan terorganisir seperti nasehat Syaidina Ali bin Abi Thalib kw, “Kejahatan yang terorganisir akan bisa mengalahkan kebaikan yang tidak terorganisir”.

Kalau ajaran-ajaran agama yang kita kenal dengan syariat itu tidak dilaksanakan dengan metode yang benar (Thariqatullah) maka ibadah akan menjadi kosong hanya sekedar memenuhi kewajiban agama saja. Shalat hanya mengikuti rukun-rukun dengan gerak kosong belaka, badan bergerak mengikuti gerakan shalat namun hati berkelana kemana-mana. Sepanjang shalat akan muncul berjuta khayalan karena ruh masih di alam dunia belum sampai ke alam Rabbani.

Ibadah haji yang merupakan puncak ibadah, diundang oleh Maha Raja Dunia Akhirat, seharusnya disana berjumpa dengan yang mengundang yaitu Pemilik Ka’bah, pemilik dunia akhirat, Tuhan seru sekalian alam, tapi yang terjadi yang dijumpai disana hanya berupa dinding dinding batu yang ditutupi kain hitam. Pada saat wukuf di arafah itu adalah proses menunggu, menunggu Dia yang dirindui oleh sekalian hamba untuk hadir dalam kekosongan jiwa manusia, namun yang ditunggu tak pernah muncul.

Disini sebenarnya letak kesilapan kaum muslim diseluruh dunia, terlalu disibukkan aturan syariat dan lupa akan ilmu untuk melaksanakan syariat itu dengan benar yaitu Tarekat. Ketika ilmu tarekat dilupakan bahkan sebagian orang bodoh menganggap ilmu warisan nabi ini sebagai bid’ah maka pelaksanaan ibadah menjadi kacau balau. Badan seolah-olah khusuk beribadah sementara hatinya lalai, menari-nari di alam duniawi dan yang didapat dari shalat itu bukan pahala tapi ancaman Neraka Wail. Harus di ingat bawah “Lalai” yang di maksud disana bukan sekedar tidak tepat waktu tapi hati sepanjang ibadah tidak mengingat Allah. Bagaimana mungkin dalam shalat bisa mengingat Allah kalau diluar shalat tidak di latih ber-Dzikir (mengingat) Allah? dan bagaimana mungkin seorang bisa berdzikir kalau jiwanya belum disucikan? Urutan latihannya sesuai dengan perintah Allah dalam surat Al ‘Ala, “Beruntunglah orang yang telah disucikan jiwanya/ruhnya, kemudian dia berdzikir menyebut nama Tuhan dan kemudian menegakkan shalat”.

Kesimpulan dari tulisan singkat ini bahwa sebenarnya tidak ada pemisahan antara ke empat ilmu yaitu Syariat, Tarekat, Hakikat dan Makrifat, ke empatnya adalah SATU. Iman dan Islam bisa dijelaskan dengan ilmu syariat sedangkan maqam Ihsan hanya bisa ditempuh lewat ilmu Tarekat. Ketika kita telah mencapai tahap Makrifat maka dari sana kita bisa memandang dengan jelas bahwa ke empat ilmu tersebut tidak terpisah tapi SATU.

Tulisan ini saya tulis dalam perjalanan ziarah ke Maqam Guru saya tercinta, teringat pesan-pesan Beliau akan pentingnya ilmu Tarekat sebagai penyempurnaan Syariat agar mencapai Hakikat dan Makrifat. Mudah-mudahan tulisan ini bisa menjadi renungan dan memberikan manfaat untuk kita semua. Amin!


KISAH IMAM AL-GHAZALI YANG BERGURU KEPADA TUKANG SOL SEPATU




 Imam Ghazali seorang Ulama besar dalam sejarah Islam, hujjatul islam yang banyak hafal hadist  Nabi SAW. Beliau dikenal pula sebagai ahli dalam filsafat dan tasawuf  yang banyak mengarang kitab-kitab. 
Suatu ketika Imam Al Ghazali menjadi imam disebuah masjid . Tetapi saudaranya yang bernama Ahmad tidak mau berjamaah bersama Imam Al Ghazali lalu berkata kepadanya ibunya :
 "Wahai ibu, perintahkan saudaraku Ahmad agar shalat mengikutiku, supaya orang-orang tidak menuduhku selalu bersikap jelek terhadapnya".
Ibu Al Ghazali lalu memerintahkan puteranya Ahmad agar shalat makmum kepada saudaranya Al Ghazali. Ahmad pun melaksanakan perintah sang ibu, shalat bermakmum kepada Al Ghazali.Namun ditengah-tengah shalat, Ahmad melihat darah membasah perut Imam. Tentu saja Ahmad memisahkan diri.
Seusai shalat Imam Al Ghazali bertanya kepada Ahmad, saudaranya itu : " Mengapa engkau memisahkan diri (muffaragah) dalam shalat yang saya imami ? " .  Saudaranya menjawab : "Aku memisahkan diri, karena aku melihat perutmu berlumuran darah ".

Mendengar jawaban saudaranya itu, Imam Ali Ghazali mengakui, hal itu mungkin karena dia ketika shalat hatinya sedang mengangan-angan masalah fiqih yang berhubungan haid seorang wanita yang mutahayyirah.

Al Ghazali lalu bertanya kepada saudara : "Dari manakah engkau belajar ilmu pengetahuan seperti itu ?" Saudaranya menjawab, "Aku belajar Ilmu kepada Syekh Al Utaqy AL-Khurazy yaitu seorang tukang jahit sandal-sandal bekas (tukang sol sepatu) . " Al Ghazali lalu pergi kepadanya.

Setelah berjumpa, Ia berkata kepada Syekh Al khurazy : " Saya ingin belajar kepada Tuan ". Syekh itu berkata : Mungkin saja engkau tidak kuat menuruti perintah-perintahku ".
Al Ghazali menjawab : "Insya Allah, saya kuat ".
Syekh Al Khurazy berkata : "Bersihkanlah  lantai ini ".
Al Ghazali kemudian hendak dengan sapu. Tetapi Syekh itu berkata : "Sapulah (bersihkanlah) dengan tanganmu ". Al Ghazali menyapunya lantai dengan tangannya, kemudian dia melihat kotoran yang banyak dan bermaksud menghindari kotoran itu.

Namun Syekh berkata : " bersihkan pula kotoran itu dengan tanganmu ".
Al Ghazali lalu bersiap membesihkan dengan menyisingkan pakaiannya. Melihat keadaan yang demikian itu Syekh berkata : "Nah bersìhkan kotoran itu dengan pakaian seperti itu" .
Al Ghazali menuruti perintah Syekh Al Khurazy dengan  ridha dan tulus.
Namun ketika Al Ghazali hendak akan mulai melaksanakan perintah Syekh tersebut, Syekh langsung mencegahnya dan memerintahkan agar pulang.

Al Ghazali pulang dan setibanya di rumah beliau merasakan mendapat ilmu pengetahuan luar biasa. Dan Allah telah memberikan Ilmu Laduni atau ilmu Kasyaf yang diperoleh dari tasawuf atau kebersihan qalbu kepadanya.







Sumber