رَبِّ اغْفِرْ لِي وَهَبْ لِي مُلْكًا لا يَنْبَغِي لأحَدٍ مِنْ بَعْدِي إِنَّكَ أَنْتَ الْوَهَّابُ


"Ya Rabb-ku, ampunilah aku, dan anugerahkanlah kepadaku kerajaan, yang tidak dimiliki oleh seorangpun juga sesudahku, sesungguhnya Engkaulah Yang Maha pemberi’."

Kamis, 31 Oktober 2013

Kisah Ja'far bin Abu Thalib si "Burung Surga"

Ja'far bin Abu Thalib bin Abdul Muthalib bin Hasyim masuk Islam sejak awal dan sempat mengikuti hijrah ke Habasyah. Ia malah sempat mendakwahkan Islam di daerah itu.

Dalam Perang Muktah, ia diserahi tugas menjadi pemegang bendera Islam. Setelah tangan kanannya terpotong dia memegang bendera dengan tangan kiri. Namun tangan kirinya juga terpotong, sehingga dia memegang bendera itu dengan dadanya. Akhirnya, ia mati syahid dengan tubuh penuh luka dan sayatan pedang.

Di kalangan Bani Abdi Manaf ada lima orang yang sangat mirip dengan Rasulullah SAW, sehingga seringkali orang salah menerka. Mereka itu adalah Abu Sufyan bin Harits bin Abdul Muthallib, sepupu sekaligus saudara sesusuan beliau. Qutsam Ibnul Abbas bin Abdul Muthallib, sepupu Nabi. Saib bin Ubaid bin Abdi Yazin bin Hasyim. Ja’far bin Abu Thalib, saudara Ali bin Abu Thalib. Dan Hasan bin Ali bin Abu Thalib, cucu Rasulullah SAW. Dan Ja'far bin Abu Thalib adalah orang yang paling mirip dengan Nabi SAW di antara mereka berlima.

Ja’far dan istrinya, Asma’ bin Umais, bergabung dalam barisan kaum Muslimin sejak dari awal. Keduanya menyatakan Islam di hadapan Abu Bakar Ash-Shiddiq sebelum Rasulullah SAW masuk ke rumah Al-Arqam.

Pasangan suami istri Bani Hasyim yang muda belia ini tidak luput pula dari penyiksaan kaum kafir Quraisy, sebagaimana yang diderita kaum Muslimin yang pertama-tama masuk Islam. Namun mereka bersabar menerima segala cobaan yang menimpa.

Namun yang merisaukan mereka berdua adalah kaum Quraisy membatasi geraknya untuk menegakkan syiar Islam dan melarangnya untuk merasakan kelezatan ibadah. Maka Ja’far bin Abu Thalib beserta istrinya memohon izin kepada Rasulullah untuk hijrah ke Habasyah bersama-sama dengan para sahabat lainnya. Rasulullah SAW pun mengizinkan.

Ja'far pun menjadi pemimpin kaum Muslimin yang berangkat ke Habasyah. Mereka merasa lega, bahwa Raja Habasyah (Najasyi) adalah orang yang adil dan saleh. Di Habasyah, kaum Muslimin dapat menikmati kemanisan agama yang mereka anut, bebas dari rasa cemas dan ketakutan yang mengganggu dan yang menyebabkan mereka hijrah.

Ja’far bin Abu Thalib beserta istri tinggal dengan aman dan tenang dalam perlindungan Najasyi yang ramah tamah itu selama sepuluh tahun.

Pada tahun ke-7 Hijriyah, kedua suami istri itu meninggalkan Habasyah dan hijrah ke Yatsrib (Madinah). Kebetulan Rasulullah SAW baru saja pulang dari Khaibar. Beliau sangat gembira bertemu dengan Ja’far sehingga karena kegembiraannya beliau berkata, "Aku tidak tahu mana yang menyebabkan aku gembira, apakah karena kemenangan di Khaibar atau karena kedatangan Ja’far?"

Begitu pula kaum Muslimin umumnya, terlebih fakir miskin, mereka juga bergembira dengan kedatangan Ja’far. Ia adalah sosok yang sangat penyantun dan banyak membela golongan dhuafa, sehingga digelari Abil Masakin (bapak orang-orang miskin).

Abu Hurairah bercerita tentang Ja’far, "Orang yang paling baik kepada kami (golongan orang-orang miskin) ialah Ja’far bin Abu Thalib. Dia sering mengajak kami makan di rumahnya, lalu kami makan apa yang ada. Bila makanannya sudah habis, diberikannya kepada kami pancinya, lalu kami habiskan sampai dengan kerak-keraknya."

Belum begitu lama Ja’far tinggal di Madinah, pada awal tahun ke-8 Hijriyah, Rasululalh SAW menyiapkan pasukan tentara untuk memerangi tentara Romawi di Muktah. Beliau mengangkat Zaid bin Haritsah menjadi komandan pasukan.

Rasulullah berpesan, "Jika Zaid tewas atau cidera, komandan digantikan Ja’far bin Abi Thalib. Seandainya Ja’far tewas atau cidera pula, dia digantikan Abdullah bin Rawahah. Dan apabila Abdullah bin Rawahah cidera atau gugur pula, hendaklah kaum muslmin memilih pemimpin/komandan di antara mereka."

Setelah pasukan sampai di Muktah, yaitu sebuah kota dekat Syam dalam wilayah Yordania, mereka mendapati tentara Romawi telah siap menyambut dengan kekuatan 100.000 pasukan inti yang terlatih, berpengalaman, dan membawa persenjataan lengkap. Pasukan mereka juga terdiri dari 100.000 milisi Nasrani Arab dari kabilah-kabilah Lakham, Judzam, Qudha’ah, dan lain-lain. Sementara, tentara kaum Muslimin yang dipimpin Zaid bin Haritsah hanya berkekuatan 3.000 tentara.

Begitu kedua pasukan yang tidak seimbang itu berhadap-hadapanan, pertempuran segera berkobar dengan hebatnya. Zaid bin Haritsah gugur sebagai syahid ketika dia dan tentaranya sedang maju menyerbu ke tengah-tengah musuh.

Melihat Zaid jatuh, Ja’far segera melompat dari punggung kudanya, kemudian secepat kilat disambarnya bendera komando Rasulullah dari tangan Zaid, lalu diacungkan tinggi-tinggi sebagai tanda pimpinan kini beralih kepadanya. Dia maju ke tengah-tengah barisan musuh sambil mengibaskan pedang kiri dan kanan memukul rubuh setiap musuh yang mendekat kepadanya. Akhirnya musuh dapat mengepung dan mengeroyoknya.

Ja’far berputar-putar mengayunkan pedang di tengah-tengah musuh yang mengepungnya. Dia mengamuk menyerang musuh ke kanan dan kiri dengan hebat. Suatu ketika tangan kanannya terkena sabetan musuh sehingga buntung. Maka dipegangnya bendera komando dengan tangan kirinya.

Tangan kirinya putus pula terkena sabetan pedang musuh. Dia tidak gentar dan putus asa. Dipeluknya bendera komando ke dadanya dengan kedua lengan yang masih utuh. Namun tidak berapa lama kemudian, kedua lengannya tinggal sepertiga saja dibuntung musuh. Ja'far pun syahid menyusul Zaid.

Secepat kilat Abdullah bin Rawahah merebut bendera komando dari komando Ja’far bin Abu Thalib. Pimpinan kini berada di tangan Abdullah bin Rawahah, sehingga akhirnya dia gugur pula sebagai syahid, menyusul kedua sahabatnya yang telah syahid lebih dahulu.

Rasulullah SAW sangat sedih mendapat berita ketiga panglimanya gugur di medan tempur. Beliau pergi ke rumah Ja’far, didapatinya Asma’, istri Ja’far, sedang bersiap-siap menunggu kedatangan suaminya. Dia mengaduk adonan roti, merawat anak-anak, memandikan dan memakaikan baju mereka yang bersih.

Asma’ bercerita, "Ketika Rasulullah mengunjungi kami, terlihat wajah beliau diselubungi kabut sedih. Hatiku cemas, tetapi aku tidak berani menanyakan apa yang terjadi, karena aku takut mendengar berita buruk. Beliau memberi salam dan menanyakan anak-anak kami. Beliau menanyakan mana anak-anak Ja’far, suruh mereka ke sini.”

Asma' kemudian memanggil mereka semua dan disuruhnya menemui Rasulullah SAW. Anak-anak Ja'far berlompatan kegirangan mengetahui kedatangan beliau. Mereka berebutan untuk bersalaman kepada Rasulullah. Beliau menengkurapkan mukanya kepada anak-anak sambil menciumi mereka penuh haru. Air mata beliau mengalir membasahi pipi mereka.

Asma' bertanya, "Ya Rasulullah, demi Allah, mengapa anda menangis? Apa yang terjadi dengan Ja’far dan kedua sahabatnya?"

Beliau menjawab, "Ya, mereka telah syahid hari ini."

Mendengar jawaban beliau, maka reduplah senyum kegirangan di wajah anak-anak, apalagi setelah mendengar ibu mereka menangis tersedu-sedu. Mereka diam terpaku di tempat masing-masing, seolah-olah seekor burung sedang bertengger di kepala mereka.

Rasulullah berdoa sambil menyeka air matanya, "Ya Allah, gantilah Ja’far bagi anak-anaknya... Ya Allah, gantilah Ja’far bagi istrinya."

Kemudian beliau bersabda, "Aku melihat, sungguh Ja’far berada di surga. Dia mempunyai dua sayap berlumuran darah dan bertanda di kakinya."

Kisah Khalid bin Walid si "Pedang Allah"

Khalid bin Walid adalah seorang panglima perang yang termasyhur dan ditakuti di medan tempur. Ia mendapat julukan "Pedang Allah yang Terhunus". Dia adalah salah satu dari panglima-panglima perang penting yang tidak terkalahkan sepanjang karirnya.

Khalid termasuk di antara keluarga Nabi yang sangat dekat. Maimunah, bibi Khalid, adalah istri Nabi. Dengan Umar sendiri pun Khalid ada hubungan keluarga, yakni saudara sepupunya. Suatu hari pada masa kanak-kanaknya kedua saudara sepupu ini main adu gulat. Khalid dapat mematahkan kaki Umar. Untunglah dengan melalui suatu perawatan kaki Umar dapat diluruskan kembali dengan baik.

Awalnya Khalid bin Walid adalah panglima perang kaum kafir Quraisy yang terkenal dengan pasukan kavalerinya. Pada saat Perang Uhud, Khalid yang melihat celah kelemahan pasukan Muslimin yang menjadi lemah setelah bernafsu mengambil rampasan perang dan turun dari Bukit Uhud, langsung menghajar pasukan Muslim pada saat itu. Namun justru setelah perang itulah Khalid masuk Islam.

Ayah Khalid, Walid bin Mughirah dari Bani Makhzum adalah salah seorang pemimpin yang paling berkuasa di antara orang-orang Quraisy. Dia orang yang kaya raya. Dia menghormati Ka’bah dengan perasaan yang sangat mendalam. Sekali dua tahun dialah yang menyediakan kain penutup Ka’bah. Pada masa ibadah haji dia memberi makan dengan cuma-cuma bagi semua orang yang datang berkumpul di Mina.

Suku Bani Makhzum mempunyai tugas-tugas penting. Jika terjadi peperangan, merekalah yang mengurus gudang senjata dan tenaga tempur. Suku inilah yang mengumpulkan kuda dan senjata bagi prajurit-prajurit. Tidak ada cabang suku Quraisy lain yang lebih dibanggakan seperti Bani Makhzum. Ketika diadakan kepungan maut terhadap orang-orang Islam di lembah Abu Thalib, orang-orang Bani Makhzumlah yang pertama kali mengangkat suaranya menentang pengepungan itu.

Ketika Khalid bin Walid masuk Islam, Rasulullah sangat bahagia, karena Khalid mempunyai kemampuan berperang yang dapat membela panji-panji Islam dan meninggikan kalimatullah dengan perjuangan jihad. Dalam banyak kesempatan Khalid diangkat menjadi panglima perang dan menunjukkan hasil kemenangan atas segala upaya jihadnya.

Pada masa pemerintahan Abu Bakar, Khalid bin Walid ditunjuk menjadi panglima pasukan Islam sebanyak 46.000, menghadapi tentara Byzantium dengan jumlah pasukan 240.000. Dia sama sekali tidak gentar menghadapinya, dia hanya khawatir tidak bisa mengendalikan hatinya karena pengangkatannya dalam peperangan yang dikenal dengan Perang Yarmuk itu.

Dalam Perang Yarmuk jumlah pasukan Islam tidak seimbang dengan pihak musuh yang berlipat-lipat. Ditambah lagi, pasukan Islam yang dipimpin Khalid tanpa persenjataan yang lengkap, tidak terlatih dan rendah mutunya. Ini berbeda dengan angkatan perang Romawi yang bersenjata lengkap dan baik, terlatih dan jumlahnya lebih banyak. Bukan Khalid namanya jika tidak mempunyai strategi perang, dia membagi pasukan Islam menjadi 40 kontingen dari 46.000 pasukan Islam untuk memberi kesan seolah-olah pasukan Islam terkesan lebih besar dari musuh.

Strategi Khalid ternyata sangat ampuh. Saat itu, taktik yang digunakan oleh Romawi terutama di Arab utara dan selatan ialah dengan membagi tentaranya menjadi lima bagian; depan, belakang, kanan, kiri dan tengah. Heraklius telah mengikat tentaranya dengan besi antara satu sama lain. Ini dilakukan agar mereka jangan sampai lari dari peperangan.

Kegigihan Khalid bin Walid dalam memimpin pasukannya membuahkan hasil yang membuat hampir semua orang tercengang. Pasukan Islam yang jumlahnya jauh lebih sedikit itu berhasil memukul mundur tentara Romawi dan menaklukkan wilayah itu.

Perang yang dipimpin Khalid lainnya adalah perang Riddah (perang melawan orang-orang murtad). Perang Riddah ini terjadi karena suku-suku bangsa Arab tidak mau tunduk lagi kepada pemerintahan Abu Bakar di Madinah. Mereka menganggap bahwa perjanjian yang dibuat dengan Rasulullah, dengan sendirinya batal setelah Rasulullah wafat.

Oleb sebab itu, mereka menentang Abu Bakar. Karena sikap keras kepala dan penentangan mereka yang dapat membahayakan agama dan pemerintahan. Maka Abu Bakar mengutus Khalid bin Walid untuk menjadi jenderal pasukan perang Islam untuk melawan kaum murtad tersebut, hasilnya kemenangan ada di pihak Khalid.

Masih pada pemerintahan Abu Bakar, Khalid bin Walid dikirim ke Irak dan dapat menguasai Al-Hirah pada 634 M. kemudian Khalid bin Walid diperintahkan oleh Abu Bakar meninggalkan Irak untuk membantu pasukan yang dipimpin Usamah bin Zaid.

Ada kisah yang menarik dari Khalid bin Walid. Dia memang sempurna di bidangnya; ahli siasat perang, mahir segala senjata, piawai dalam berkuda, dan karismatik di tengah prajuritnya. Dia juga tidak sombong dan lapang dada walaupun dia berada dalam puncak popularitas.

Hal ini ditunjukkannya saat Khalifah Umar bin Khathab mencopot sementara waktu kepemimpinan Khalid bin Walid tanpa ada kesalahan apa pun. Menariknya, ia menuntaskan perang dengan begitu sempurna. Setelah sukses, kepemimpinan pun ia serahkan kepada penggantinya, Abu Ubaidah bin Jarrah.

Khalid tidak mempunyai obsesi dengan ketokohannya. Dia tidak menjadikan popularitas sebagai tujuan. Itu dianggapnya sebagai sebuah perjuangan dan semata-mata mengharapkan ridha Sang Maha Pencipta. Itulah yang ia katakan menanggapi pergantiannya, "Saya berjuang untuk kejayaan Islam. Bukan karena Umar!"

Jadi, di mana pun posisinya, selama masih bisa ikut berperang, stamina Khalid tetap prima. Itulah nilai ikhlas yang ingin dipegang seorang sahabat Rasulullah seperti Khalid bin Walid.

Khalid bin Walid pun akhirnya dipanggil oleh Sang Khaliq. Umar bin Khathab menangis. Bukan karena menyesal telah mengganti Khalid. Tapi ia sedih karena tidak sempat mengembalikan jabatan Khalid sebelum akhirnya "Si Pedang Allah" menempati posisi khusus di sisi Allah SWT

Jumat, 11 Oktober 2013

MESJID PERTAMA YANG DIBANGUN NABI MUHAMMAD S.A.W.

Saat berkunjung ke Madinah, ada satu masjid yang sering disinggahi jamaah haji. Keistimewaannya adalah, masjid tersebut dibangun oleh Nabi Muhammad dan merupakan masjid tertua yang ada di dunia. Ini dia Masjid Quba!

Madinah punya banyak bangunan bersejarah yang pernah ditempati atau dibangun oleh Nabi Muhammad. Para jamaah haji yang datang ke sana pun melakukan napak tilas, sekaligus beribadah di tempat-tempat tersebut. Satu tempat yang rasanya wajib dikunjungi saat menapakan kaki di Madinah adalah Masjid Quba.

Dari situs Kementerian Agama, Jumat (11/10/2013) Masjid Quba dibangun oleh Nabi Muhammad kala dirinya sedang hijrah dari Makkah ke Madinah. Jadi, kala itu Nabi Muhammad sempat singgah ke wilayah Quba yang letaknya tak jauh dari Madinah. Nabi Muhammad menetap selama empat hari di sana.

Dalam sejarahnya, peletakan batu pertama Masjiq Quba dilakukan oleh Nabi Muhammad. Setelah itu, Nabi Muhammad mengajak umatnya untuk ikut membangun Masjid Quba.

Bahkan, Nabi Muhammad pun terjun langsung dalam pembangunan masjid ini. Dirinya rela berpanas-panasan mengangkut batu dan pasir. Setelah selesai, Nabi Muhammad dan umatnya kala itu langsung menunaikan salat dua rakaat.

Masjid Quba pun begitu dicintai oleh umat Muslim di seluruh dunia. Betapa tidak, Masjid Quba dibangun langsung oleh tenaga dan keringat Nabi Muhammad. Bahkan, Nabi Muhammad selalu singgah di Masjid Quba ketika dirinya hendak ke Madinah. Umat muslim pun percaya, salat sebanyak 2 rakaat di Masjid Quba pahalanya sama dengan 1 kali Umrah.

Menengok dari situs resmi pemerintahan Kota Madinah, Masjid Quba kini mampu menampung hingga 20 ribu jamaah. Masjid Quba punya bentuk persegi panjang. Luas masjidnya sekitar 5.860 meter persegi dan memiliki dua lantai. Masjid Quba juga punya perpustakaan dan ruang belajar mengajar.

Masjid Quba pun mengalami banyak renovasi dan perubahan. Terakhir di tahun 2012 lalu, Masjid Quba kembali dipugar dan diperbesar. Pemerintah setempat menggelontorkan hingga 100 juta Riyal (Rp 2,6 miliar). Masjid Quba pun disebut-sebut sebagai masjid tertua yang ada di dunia.

Dari luar Masjid Quba berwarna putih dan memiliki empat menara yang tinggi. Pepohonan kurma mengelilingi masjid dan terdapat air mancur di bagian depan masjidnya sehingga memberikan kesan sejuk.

Masjid Quba adalah bangunan bersejarah yang tak ternilai harganya bagi umat Muslim. Suatu masjid yang sudah seribu tahun lebih, tapi masih kokoh berdiri hingga sekarang.

Detik.com

Kamis, 10 Oktober 2013

KISAH SYEIKH ABDUL QADIR JAILANI MENGHIDUPKAN ORANG YANG TELAH MATI

Suatu hari Syaikh Abdul Qadir Al Jaelani berjalan-jalan dan dalam perjalanan itu berjumpa dengan dua orang, satu orang muslim dan yang satu orang nasrani. Mereka berdebat hebat sampai Al jaelani mendekat ingin tahu apa yang terjadi. Kemudian seorang Muslim menjelaskan perihal apa yang sedang mereka perdebatkan kepada Al Jaelani. Si muslim mejelaskan bahwa Al Isuwi nama dari orang nasrani tersebut mengatakan bahwa Nabi Isa lebih utama dari Nabi Muhammad. Kemudian Al Jaelani menjelaskan duduk permasalahan yang sebenarnya bahwa nabi terakhir dan penutup bagi para nabi adalah Muhammad SAW. Namun orang nasrani tersebut selalu membantah dan tak mau menerima penjelasan dari AL Jaelani.

Akhirnya Al Jaelani meminta bukti dari orang nasrani tersebut. Al Isuwi menjawab bahwa nabinya mampu menghidupkan orang yang sudah mati. Al Jaelani menjawab, "Aku bukanlah seorang Nabi, namun aku adalah pengikut Nabi Muhammad SAW, jika nanti dengan izin Allah aku bisa menghidupkan orang mati sebagaimana Isa Nabimu,,, Apakah kamu mau beriman kepada Allah dan mau mengakui Bahwa Nabi penutup adalah Muhammad SAW?"

Kemudian Al Jaelani meminta kepada orang nasrani supaya menujukan kuburan yang mana yang ingin dihidupkan lagi hingga sampailah mereka pada kuburan yang dituju. Sebelum dihidupkan, Al Jaelani menjelaskan dulu perihal orang yang telah mati tersebut dulunya semasih hidup didunia.

Al Jaelani berkata" dahulu orang ini adalah seorang penyanyi,,, Bagaimana kalau ahli kubur ini saya bangunkan dan saya suruh dia bernyanyi..?"
"Silahkan saja,,," dengan nada tak percaya dan bingung bahwa Al Jaelani mampu menghidupkan orang tersebut.

Sesaat kemudian Al Jaelani melangkah kedepan kuburan lalu dia berkata seperti apa yang diucapkan Nabi Isa ketika menghidupkan orang yang sudah mati. ''Bangunlah Dengan Izin Allah"

Serta merta kuburan itupun bergerak dan membelah seketika, dan munculah orang yang sudah mati tersebut dan Al Jaelani menyuruhnya bernyanyi.

Dengan rasa tak percaya dan takjub dengan kejadian tersebut kedua orang tersebut saling bertatapan keheranan. Namun kejadian itu adalah kejadian yang nyata yang dilihat dengan kedua mata mereka sendiri. Dan akhirnya AL Isuwi mau mengakui Nabi Muhammad SAW sebagai Nabinya dan diapun masuk Islam dihadapan AL Jaelani.

SYEIKH ABDUL QADIR JAILANI : ANTARA AKIDAH DAN KARAMAHNYA

Sikap terbaik dalam masalah Syeikh Abd Qodier adalah sikap ketiga. Seimbang dalam menilai Syeikh Abdul Qadir Jailani. Tidak ekstrim kanan, dan tidak ekstrim kiri

Oleh: Luqman Hakim

SIAPA tak kenal Syeikh Abdul Qadir Jailani? Di Indonesia, nama ini bukanlah nama yang asing. Hampir semua muslim Indonesia mengenalnya. Bahkan tidak hanya di Indonesia, ia dikenal baik di seluruh belahan dunia muslim. Namun sayang, tidak sedikit orang yang telah salah kaprah dalam menilai sosoknya. Dalam bahasa lain, mereka mengkultuskannya di atas manusia pada umumnya, hingga nyaris mensejajarkannya dengan nabi, bahkan lebih tinggi dari beliau (Nabi).

Sebagai contoh, dalam karya Dr. Sa’id bin Musfir Al-Qahthani, As-Syeikh Abdul Al-Jailani wa Arauhu Al-I’tiqadiyah wa Ash-Shufiyah, diceritakan bahwa guru penulis (Al-Qahthani) pernah masuk ke kota Baghdad, Iraq. Ia masuk sekolah Al-Qadariyah. Di dinding qubahnya ditulis sebagian bait-bait syair dengan bahasa Persi. Adapun terjemahannya adalah:

Penguasa dua dunia
Syeikh Abdul Qadir Jailani

Pemimpin keturunan anak Adam
Syeikh Abdul Qadir Jailani
Matahari, bulan,
Arsy, Kursi dan Pena
Berada di bawah Syeikh Abdul Qadir Jailani

Lantas, siapa Abdul Qadir Jailani sebenarnya? Bagaimana pemahamannya dalam masalah akidah? Lantas, bagaimana dengan berbagai karamah yang dinisbatkan kepadanya sehingga ia dikultuskan?

Dipuji Ibnu Taimiyah

Ia adalah Abdul Qadir bin Abu Shalih Musa Janki Dausat bin Abu Abdullah bin Yahya Az-Zahid bin muhammad bin Dawud bin Musa bin Abdullah bin Musa Al-Jun bin Abdullah Al-Mahadh. Adapun nama “Jailani” yang disematkan di akhir namanya karena ia berasal dari negeri Jailan, yaitu negeri yang terpencil di belakang Thabrastan, yang dikenal dengan Kail atau Kailan.

Blahir pada tahun 471 Hijriah, di mana pada zaman tersebut juga lahir ulama-ulama besar seperti Imam Al-Jauzi, Syeikh Abdullah bin Ahmad bin Qadamah, Syeikh Abu Umar bin Shalah, Syeikh Al-Mundziri, dan Syeikh Abu Samah. Maka tidak mengherankan jika Abdul Qadir Jailani kecil tumeliau buh menjadi ulama besar di zamannya dan memiliki pengaruh yang luas.

Bukti bahwa ia ulama besar adalah banyaknya ulama yang memberikan pujian kepadanya, kitab-kitabnya yang masih dipelajari sampai sekarang, serta banyaknya murid-muridnya yang menjadi ulama.

Sebagai contoh, di antara ulama yang memberikan pujian kepadanya adalah Ibnu Taimiyah.

Dalam Fatawa Ibnu Taimiyah, beliau berkata, “Syeikh Abdul Qadir Jailani dan semisalnya merupakan Syeikh terbesar di masa mereka dalam hal berpegang kepada syariat, menyuruh kepada yang baik, mencegah dari yang mungkar, mendahulukannya daripada rasa dan takdir, serta termasuk Syeikh terbesar untuk meninggalkan dorongan hawa nafsu”.

Akidah Ahlus Sunnah

Sebagaimana diterangkan di atas, bahwa tidak sedikit orang yang mengkultuskannya hingga nyaris mensejajarkan bahkan lebih tinggi dari nabi. Maka dari itu, penting kiranya kita mengenal manhajnya dalam menjelaskan dan menyelesaikan permasalahan yang dihadapinya, khusunya masalah akidah.

Dari buku-buku yang dikarangnya, dapat diketahui bahwa ketika Syeikh Abdul Qadir Jailani berbicara tentang akidah, maka dia tidak pernah keluar dari madlul (apa yang ditunjukkan) oleh Al-Quran dan hadits nabi. Hal ini ditunjukkan oleh perkatannya ketika menetapkan nama-nama dan sifat Allah Subhanahu Wata’ala. “Kami tidak keluar dari Al-Kitab dan As-Sunnah, kami baca ayat dan hadits, dan kami beriman kepada keduanya. Kami serahkan kepada Allah tentang bagaimana sifat itu kepada ilmu Allah”. Ia juga berkata, “Kami berlindung kepada Allah Subhanahu Wata’ala dari mengatakan tentang-Nya dan tentang sifat-sifat-Nya dengan perkataan yang tidak diberitakan Allah Subhanahu Wata’ala atau Rasul-Nya kepada kita” (Al-Ghinyah Lithalib al-haq Azza wa Jalla, hal. 56). Dari sini dapat kita pahami bahwa metode yang ditempuhnya adalah metode yang ditempuh adalah manhaj Ahlus Sunnah wal Jama’ah.

Pun, ketika menjelaskan tentang keimanan, tauhid, kenabian, hari akhir, dan bid’ah misalnya; ia tidak berbeda dengan akidah Ahlus Sunnah wal jama’ah.

Dalam hal keimanan, misalnya, Syeikh Abdul Qadir Jailani sepakat dengan ahussunnah wal jama’ah yang memberi makna iman sebagai perkataan dan perbuatan, yaitu perkataan dengan lisan dan perbuatan dengan hati dan anggota badan. Ia berkata, “Kami yakin bahwa iman adalah pernyataan dengan lisan, pengetahuan dengan hati dan perbuatan dengan anggota badan” (Al-Ghinyah, I, 62). Begitu pula dengan hal-hal lain seperti berkurang dan bertambahnya iman, Islam dan iman itu berbeda, serta tidak kafirnya orang yang melakukan dosa besar, melainkan fasik.

Terkait yang disebut terakhir, Syeikh Abdul Qadir Jailani berkata,”Kami yakin bahwa orang yang oleh Allah Subhanahu Wata’ala dimasukkan ke dalam neraka karena dosa besarnya, tidak abadi di dalamnya, tetapi dia akan dikeluarkan darinya karena baginya neraka hanya seperti penjara di dunia, yang dijalaninya berdasarkan dosa dan kesalahannya. Ia juga berkata, “Walaupun mempunyai banyak dosa, baik dosa besar ataupun kecil, ia tidak kafir karenanya” (Al-Ghinayah, I, 65). Tentu hal ini jauh berbeda dengan kelompok selain Ahlus Sunnah seperti Khawarij, Mu’tazilah, dan Murji’ah.

Maka tidak mengherankan jika Syeikh Rabi' bin Hadi Al Madkhali menegaskan bahwa akidah Syeikh Abdul Qadir Jailani selaras dengan akidah Ahlus Sunnah dan penentang kelompok-kelompok yang menyimpang. Ia berkata dalam kitabnya, Al Haddul Fashil, hal.136, “Aku telah mempelajari akidah Syeikh Abdul Qadir Al Jailani di dalam kitabnya, Al-Ghunyah. Ia menetapkan nama-nama dan sifat-sifat Allah dan akidah-akidah lainnya di atas manhaj Salaf. Ia juga membantah kelompok-kelompok Syi'ah, Rafidhah, Jahmiyyah, Jabariyyah, Salimiyah, dan kelompok lainnya dengan manhaj Salaf."

Selain itu, sebagaimana ulamaahussunnah lainnya, Syeikh Abdul Qadir jailani adalah ulama yang sangat tegas dalam masalah tauhid dan mewanti-wanti para muridnya agar bertauhid dan tidak berbuat syirik. Ia berkata, “Bertauhidlah dan janganlah berbuat syirik” (Futuh Al-Ghaib, hal. 10). Ia juga berkata, “Berbuat ikhlaslah, janganlah kalian berbuat syirik, esakanlah Allah subhaanahu wata’alaa, dan janganlah menyelinap dari pintu-Nya. Mintalah kepada-Nya dan jangan meminta kepada selain-Nya. Mintalah pertolongan kepada-Nya dan jangan meminta kepada selain-Nya. Bertawakkallah kepada-Nya dan janganlah bertawakkal kepada selain-Nya”. (Al-Fath Ar-Rabbani). Ketika menyikapi kasus Al-Hallaj pun, dia sangat tegas. Ia berkata, “Barangsiapa yang berkeyakinan seperti keyakinan Al-Hallaj dengan perkataan-perkataan yang karenanya Al-Hallaj dibunuh (dieksekusi), maka dia adalah kafir murtad menurut kesepakatan kaum Muslimin. Orang-orang Islam mengeksekusinya karena dia berkeyakinan tentang hulul, wihdatul wujud, perkataan-perkatan yang zindik dan keyakinan-keyakinan yang kafir lainnya”.

Tentang Karamahnya

Syeikh Abdul Qadir Jailani dikenal memiliki banyak keutamaan dan karamah. Hal itu bisa diketahui dari kitab-kitab yang membahas profilnya. Beberapa ulama seperti Imam Adz-Dzahabi, Ibnu Rajab, Ibnu Ma’ad, dan lain-lain mengakui hal itu. Imam Adz-Dzahabi, misalnya, berkata dalam Siyar A’laam An-Nubala’, “Ia (Abdul Qadir Jailani) memiliki banyak karamah yang jelas”. Ibnu Rajab juga berkata, Ia adalah guru di masanya, teladan orang-orang yang ma’rifat, pemimpin para Syeikh, pemilik maqam dam karamah” (Ibnu Rajab, Zail Thabaqaat Al-Hanabilah, I, 290).

Akan tetapi, tidak sedikit orang-orang yang menceritakan kejadian aneh yang dinisbatkan kepada Syeikh Abdul Qadir Jailani, padahal ditolak syariat dan diingkari akal. Orang yang paling banyak mengumpulkan kejadian-kejadian aneh yang dialami Syeikh Abdul Qadir Jailani adalah Ali bin Yusuf Asy-Syathnufi dalam bukunya Bahjatu Al-Asraar wa Ma’dinu Al-Anwar fi Ba’di Manaqib Al-Quthb Ar-Rabbani Abdul Qadir jailani.

Para ulama telah mengingkari tulisan Asy-Syathnufi ini. Salah satunya adalah Ibnu Rajab. Ia berkata, “Cukuplah seorang itu berdusta, jika dia menceritakan yang dia dengar. Aku telah melihat sebagian kitab ini, tetapi hatiku tidak tentram untuk berpegang dengannya, sehingga aku tidak meriwayatkan apa yang ada di dalamnya. Kecuali kisah-kisah yang telah masyhur dan terkenal dari selain kitab ini. Karena kitab ini banyak berisi riwayat dari orang-orang yang tidak dikenal. Di dalamnya juga terdapat perkataan aneh, perilaku aneh, anggapan sesat dan perkataan batil yang tidak pantas untuk dinisbatkan kepada seseorang sekaliber Syeikh Abdul Jailani Rahimahullah.” (Ibnu Rajab, Zail Thabaqaat Al-Hanabilah, I, 290).

Untuk menguatkan pembahasan ini, penting kiranya kita memperhatikan salah satu cerita di kitab Asy-Syathfuni tersebut. Diceritakan, Syeikh Abdul Qadir Jailani berkumpul dengan para guru sufi. Tiba-tiba ia berkata, “Telapak kakiku ini berada di atas leher setiap waliyullah”. Lalu berdirilah Syeikh Ali Al-Haitsi naik di atas kursi. Tiba-tiba telapak kaki Syeikh Abdul Qadir Jailani naik dan diletakkan di atas lehernya. Orang-orang yang hadir pun semuanya menjulurkan leher mereka.

Ungkapan Syeikh Abdul Qadir Jailani di atas bermakna ia meninggikan diri-sendiri, serta merendahkan dan menginakan orang lain. Padahal, ia dikenal tawadhu’ dan tidak sombong. Hal ini dikuatkan oleh perkataannya ketika ditanya, “darimana dia”, ia menjawab, “Seorang ahli fikih dari Jailan”. Dan di antara ajaran Syeikh Jailani adalah perkatannya, “Jangan meminta kemuliaan dan kebesaran untuk diri-sendiri”, seraya menyebut firman Allah, “Negeri akhirat itu, kami jadikan untuk orang-orang yang tidak ingin menyombongkan diri dan berbuat kerusakan di (muka) bumi. Dan kesudahan (yang baik) itu adalah bagi orang-orang yang bertakwa,” (Al-Qashas: 83)

Jadi, Syeikh Abdul Qadir Jailani memang memiliki banyak keutamaan dan karamah. Hanya saja, para murid dan pengikutnya banyak yang melebih-lebihkan dengan cara meriwayatkan cerita-cerita tentangnya. Kedudukannya sama dengan ulama lainnya yang juga memiliki keutamaan dan karamah dari Allah, tidak lebih.

Seimbang dalam Menilai

Ketika menilai sosok Syeikh Abdul Qadir Jailani, terutama mengenai karamah yang dinisbatkan kepadanya, terdapat 3 kelompok.

Kelompok pertama, mereka yang mencela Syeikh Abdul Qadir Jailani dan menyifatinya dengan Dajjal. Mungkin yang menyebabkan mereka bersikap demikian karena adanya karamah dusta dan riwayat yang tidak benar yang dinisbatkan kepada Syeikh Abdul Qadir Jailani. Di antara mereka adalah Ali bin Muhammad Al-Qirmani.

Kelompok kedua, mereka yang fanatik kepada Syeikh Abdul Qadir Jailani dan menerima segala sesuatu yang diceritakan tentangnya atau yang dinisbatkan kepadanya, walaupun ditolak syariat dan diingkari akal. Di antara mereka adalah Ali bin Yusuf Asy-Syathnufi

Kelompok ketiga, mereka yang mengambil sikap tengah-tengah, di satu sisi menerima karamah Syeikh Abdul Qadir Jailani yang benar dan dinukil dengan penukilan yang kuat, yang tidak bertentangan dengan syariat, dan sisi lain juga menolak yang tidak memenuhi kriteria itu. Di antara mereka adalah Imam Adz-Dzahabi .

Sikap terbaik dalam hal ini adalah sikap kelompok ketiga. Mereka seimbang dalam menilai Syeikh Abdul Qadir Jailani. Tidak ekstrim kanan, dan tidak ekstrim kiri. Sikap tawazzun (seimbang) seperti ini adalah sikap yang dimiliki oleh Ahlus Sunnah wal jama’ah ketika menilai sesuatu. Wallahua’lam bis shawab.*

Rabu, 09 Oktober 2013

Kisah Jabal Nur "Gunung Bercahaya" di Mekkah

Para jamaah haji di Makkah, Arab Saudi, biasanya menyempatkan datang ke Jabal Nur. Nur berarti cahaya, sebab di sinilah Nabi Muhammad pertama kali mendapat wahyu dari Allah. Beginilah rupa dan kisah Jabal Nur!

Dari sekian banyak tempat-tempat bersejarah di Makkah, rasanya belum lengkap jika belum mengunjungi Jabal Nur. Gunung ini menjadi titik awal Muhammad diangkat menjadi nabi terakhir. Jabal Nur berada di kawasan Hejaz atau atau sekitar 7 km dari Masjidil Haram.

Dilongok dari situs Islamic Landmarks, Kamis (10/10/2013), kata 'Nur' pada nama gunungnya memiliki arti cahaya. Bukan cahaya dalam arti kata sesungguhnya, cahaya yang dimaksud punya arti sebagai tempat pertama kali Nabi Muhammad menerima wahyu dari Allah.

Dalam sejarah, saat itu Nabi Muhammad sedang berada di dalam Gua Hira, salah satu gua di Jabal Nur. Ini adalah gua kecil dengan panjang 3,5 meter dan lebar 1,5 meter, serta letaknya berada 4 meter dari atas bagian puncak gunungnya.

Rupanya, Nabi Muhammad sudah sejak lama suka datang ke Gua Hira untuk menyendiri. Nabi Muhammad sering menenangkan pikiran di sana, hingga suatu hari wahyu tersebut turun melalui malaikat Jibril. Setelah wahyu pertama turun, lalu Nabi Muhammad melalui serangkaian proses panjang menjadi nabi dan rasul hingga Isra dan Miraj.

Tak heran, umat Muslim menyebut gunung tersebut dengan sebutan Jabal Nur atau gunung yang bercahaya. Turunnya wahyu dari Allah ke Nabi Muhammad, adalah titik awal cahaya Islam yang terus menerus benderang hingga kini.

Oleh sebab itu, Jabal Nur tak pernah sepi dari kedatangan para jamaah haji tiap tahunnya. Tak hanya saat haji, Jabal Nur hampir dipenuhi para umat Muslim tiap harinya.

Untuk menempuh Gua Hira, diperlukan fisik dan stamina yang kuat. Anda bakal mendaki dari dasar gunung sekitar 1 jam untuk tiba di Gua Hira. Dari sana, hanya butuh beberapa menit saja untuk tiba di Puncak Jabal Nur yang punya ketinggian sekitar 642 mdpl.

Bebatuan yang terjal akan ditemui sepanjang jalan. Tak hanya itu, kemiringan medan jalannya pun bisa mencapai 60 derajat. Berhati-hatilah di setiap langkah kaki Anda.

Selain itu, Anda juga harus sabar mengantre untuk masuk ke dalam Gua Hira. Gua Hira hanya mampu menampung empat orang saja. Keadaan di dalamnya cukup gelap, sebab hanya sedikit cahaya matahari yang masuk ke sana.

Berjalan ke atas Puncak Jabal Nur, ada pemandangan cantik menanti Anda. Dari sanalah, Anda bisa melihat Kota Makkah yang cantik dari ketinggian. Bahkan, dari sana pun Anda bisa melihat Masjidil Haram dengan jelas tanpa ada gangguan gedung-gedung tinggi. Sangat cantik!

Baik saat musim haji atau musim-musim biasa, Jabal Nur selalu dipadati traveler muslim. Mereka melakukan napak tilas Nabi Muhammad sekaligus berziarah di sana. Di Gua Hira atau di atas puncak gunung kebanyakan umat muslim berdzikir dan berdoa, merindukan Rasullulah.

Detik.com

Masjid di Makkah Ini Jadi Saksi Para Jin Masuk Islam

Makkah - Makkah tak hanya punya Masjidil Haram saja. Tanah Suci tersebut juga punya banyak masjid bersejarah yang selalu dikunjungi jamaah haji. Seperti, Masjid Al Jin yang jadi saksi para jin masuk Islam di depan Nabi Muhammad.

Makkah, Arab Saudi punya beberapa masjid dan bangunan bersejarah dengan aneka kisah yang berbeda. Di Masjid Al Jin, para jamaah haji dapat mengetahui kisah lengkap para jin yang tunduk kepada Nabi Muhammad dan menyatakan keislamannya, seperti yang dilongok dari situs Ministry of Hajj Kingdom of Saudi Arabia, Rabu (9/10/2013).

detikTravel pun sempat berkunjung ke Masjid Al-Jin beberapa waktu lalu. Lokasinya berada di kawasan Ghazza, distrik Mala atau sekitar 1 kilometer dari Masjidil Haram.

Nama jin pada masjidnya memang mengundang para traveler muslim yang melancong ke Makkah, baik untuk haji atau umroh. Nama jin berasal dari kisah para jin yang masuk Islam saat mendengar lantunan ayat Al Quran dari mulut Nabi Muhammad.

Kisahnya, pada waktu itu Rasulullah sedang melafazkan ayat Al Quran. Kemudian para jin yang kebetulan lewat tertarik mencari tahu asal muasal lantunan tersebut. Mereka lalu mendapati Nabi Muhammad yang sedang mengaji.

Karena tersentuh oleh lantunan lembut ayat Al Quran, lantas para jin pun berdialog dengan Nabi Muhammad. Setelah itu, para jin lantas menyatakan diri masuk Islam.

Masjid Al Jin tampak seperti masjid-masjid pada umumnya. Luasnya 10 x 20 meter, mempunyai dua lantai, satu basement, dan juga kubah. Masjid ini terlihat kokoh, tidak kalah dengan gedung-gedung di sekitarnya. Masjid ini juga dikenal dengan nama Masjid Bai'at .

Anda bakal merasakan udara yang sejuk ketika memasuki Masjid Al Jin, mungkin karena bangunannya yang tinggi dan terdapat pendingin ruangan. Warna abu-abu terlihat mendominasi bangunan masjidnya. Jika menengok ke atas, peziarah bisa melihat kubah masjid yang dihias dengan tulisan kaligrafi Surat Al Jin ayat 1-9.

Meski tidak masuk dalam rukun haji, para jamaah haji biasanya menyempatkan diri untuk datang ke Masjid Al Jin. Mereka bisa mendengar cerita dan sejarah lebih lengkap tentang masijdnya, sekaligus beribadah secara khusyuk di sana.

Detik.com

Kamis, 03 Oktober 2013

5 Keutamaan Shalat Subuh

5 Keutamaan Shalat Subuh

1. Shalat Subuh adalah Faktor Dilapangkannya Rezeki

“…..Hai Fathimah, bangun dan saksikanlah rezeki Rabbmu, karena Allah membagi-bagikanrezeki para hamba antara shalat Subuh dan terbitnya matahari.” (H.R. Baihaqi)

2. Shalat Subuh Menjaga Diri Seorang Muslim

“Barangsiapa melaksanakan shalat Subuh, maka ia berada dalam jaminan Allah, maka jangan sampai Allah menarik kembali jaminan-Nya kepada kalian dengan sebab apapun…” (H.R.
Muslim)

3. Shalat Subuh adalah Tolak Ukur Keimanan

“Diriwayatkan dari ‘Abdullah bin Mas’ud, ia berkata, “Kami melaksanakan shalat Subuh berjamaah bersama Nabi dan tidak ada yang ikut serta selain orang yang sudah jelas kemunafikannya.” (H.R. Muslim)

4. Shalat Subuh adalah Penyelamat dari Neraka

“Tidak akan masuk neraka, orang yang melaksanakan shalat sebelum matahari terbit dan sebelum tenggelamnya.” (H.R. Muslim)

5. Shalat Subuh Lebih Baik daripada Dunia dan Seisinya

“Dua rakaat shalat Subuh, lebih baik daripada dunia dan seisinya.” (H.R. Muslim)

Inilah sebagian sisi yang menggambarkan betapa utama dan nikmatnya shalat Subuh dan bertasbih di waktu Subuh.

SUBHANALLAH...

10 SURAT AL-QUR'AN YANG DAPAT MENGHALANGI DARI UJIAN BESAR ALLAH SWT



10 SURAT AL-QUR'AN YANG DAPAT MENGHALANGI DARI UJIAN BESAR ALLAH SWT

1. Surah Al-Fatihah dapat memadamkan kemurkaan Allah SWT,

2. Surah Yasin dapat menghilangkan rasa dahaga atau kehausan pada hari Kiamat,

3. Surah Dukhan dapat membantukita ketika menghadapi ujian AllahSWT pada hari kiamat,

4. Surah Al-Waqiah dapat melindungi kita dari kesusahan atau fakir,

5. Surah Al-Mulk dapat meringankan azab di alam kubur,

6. Surah Al-Kauthar dapat merelaikan segala perbalahan,

7. Surah Al-Kafirun dapat menghalangi kita menjadi kafir ketika menghadapi kematian,

8. Surah Al-Ikhlas dapat melindungi kita menjadi golongan munafiq,

9. Surah Al-Falq dapat menghapuskan perasaan hasad dengki,

10. Surah An-Nas dapat melindungi kita dari penyakit was-was.

(Ust Yusuf Mansur)