رَبِّ اغْفِرْ لِي وَهَبْ لِي مُلْكًا لا يَنْبَغِي لأحَدٍ مِنْ بَعْدِي إِنَّكَ أَنْتَ الْوَهَّابُ


"Ya Rabb-ku, ampunilah aku, dan anugerahkanlah kepadaku kerajaan, yang tidak dimiliki oleh seorangpun juga sesudahku, sesungguhnya Engkaulah Yang Maha pemberi’."

Jumat, 17 Juni 2016

Keutamaan Khusyu Dalam Shalat.

Allah Ta’ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ

Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dengan sebenar-benar taqwa kepadaNya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam. [Ali Imran/3 : 102].

إِنَّ الصَّلَاةَ تَنْهَىٰ عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ ۗ وَلَذِكْرُ اللَّهِ أَكْبَرُ ۗ وَاللَّهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُونَ

Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadah-ibadah yang lain). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan. [al Ankabut/29 : 45]

Pembicaraan tentang shalat membutuhkan pengingatan dan pengulangan, tidak boleh ada kebosanan untuk mendengarkannya. Karena shalat merupakan kewajiban yang paling besar pengaruhnya, paling agung penjelasan dan kebaikannyan dan yang paling berbahaya apabila ditinggalkan. Shalat merupakan tiang agama dan kunci surga Allah. Barangsiapa yang menjaga shalat, berarti dia telah berpegang dengan syariat Islam dan mengambil pondasinya. Barangsiapa yang melalaikan shalat, berarti dia telah melalaikan agamanya dari pondasinya.

Shalat juga merupakan obat yang bisa menyembuhkan penyakit-penyakit hati, kejelekan jiwa dan penyakit-penyakitnya; bagaikan cahaya yang menghilangkan pekatnya dosa-dosa dan kemaksiatan. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan permisalan dalam sabdanya :

أَرَأَيْتُمْ لَوْ أَنَّ نَهْرًا بِبَابِ أَحَدِكُمْ يَغْتَسِلُ مِنْهُ كُلَّ يَوْمٍ خَمْسَ مَرَّاتٍ هَلْ يَبْقَى مِنْ دَرَنِهِ شَيْءٌ قَالُوا لَا يَبْقَى مِنْ دَرَنِهِ شَيْءٌ قَالَ فَذَلِكَ مَثَلُ الصَّلَوَاتِ الْخَمْسِ يَمْحُو اللَّهُ بِهِنَّ الْخَطَايَا

“Apa pendapat kalian, seandainya ada sungai di depan pintu salah seorang dari kalian, dia mandi disungai itu lima kali sehari; apakah ada kotoran/daki yang tersisa?” Mereka menjawab,”Tidak akan ada kotoran yang tersisa sedikitpun.” Nabi berkata,”Demikianlah perumpamaan shalat lima waktu. Allah menghapuskan kesalahan-kesalahan dengan sebab shalat.” [HR Muslim]

Hal ini juga dikuatkan oleh hadits tentang keutamaan wudhu, bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

فَإِنْ هُوَ قَامَ فَصَلَّى فَحَمِدَ اللَّهَ وَأَثْنَى عَلَيْهِ وَمَجَّدَهُ بِالَّذِي هُوَ لَهُ أَهْلٌ وَفَرَّغَ قَلْبَهُ لِلَّهِ إِلَّا انْصَرَفَ مِنْ خَطِيئَتِهِ كَهَيْئَتِهِ يَوْمَ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ

Apabila dia berdiri untuk mengerjakan shalat, kemudian memuji dan mengagungkan Allah dengan pujian yang pantas bagi Allah, dia mengkhusyu’kan hatinya untuk Allah, kecuali dia berpisah dengan kesalahannya sebagaimana keadaannya pada hari dilahirkan oleh ibunya. [HR Muslim].

Seperti inilah buah dari ibadah, dan sedemikian besar hasil dari pelaksanaan ibadah shalat ini, sehingga pantas untuk diperhatian dan ditegakkan. Mari kita jadikan shalat sebagai penghias hidup kita dan bisikan hati kita.

Allahu Akbar; Hayya ‘alash shalat; Hayya ‘alal falah (mari kita kerjakan shalat, mari menuju kebahagiaan), panggilan yang bergema di segenap penjuru, adzan yang menembus telinga untuk membangunkan jasad yang bercahaya dengan keimanan dan hati yang khusyu’.

قَدْ أَفْلَحَ الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ هُمْ فِي صَلَاتِهِمْ خَاشِعُونَ

Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman (yaitu) orang-orang yang khusyu’ dalam shalatnya. [al Mukmin/23 : 1-2].

Dengan khusyu’, seseorang yang shalat dapat menyatukan antara kebersihan lahiriyah dan kebersihan batiniyah, ketika dia berkata dalam ruku`nya :

خَشَع لَكَ َ سَمْعِي وَبَصَرِي وَمُخِّي وَعَظْمِي وَعَصَبِي

Khusyu’ kepadaMu pendengaranku, penglihatanku, otakku, tulangku dan otot-ototku. [HR Muslim].

Sedangkan dalam riwayat Ahmad :

وَمَا اسْتَقَلَّتْ بِهِ قَدَمِي

Dan ketika terangkatnya kedua kakiku untuk Allah.

Dengan kekhusyu’an, akan diampuni dosa-dosa dan dihapus kesalahan-kesalahan, dan ditulislah shalat di timbangan kebaikan, sebagaimana disebutkan dalam Shahih Muslim, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَا مِنِ امْرِئٍ مُسْلِمٍ تَحْضُرُهُ صَلَاةٌ مَكْتُوبَةٌ فَيُحْسِنُ وُضُوءَهَا وَخُشُوعَهَا وَرُكُوعَهَا إِلَّا كَانَتْ كَفَّارَةً لِمَا قَبْلَهَا مِنَ الذُّنُوبِ مَا لَمْ يُؤْتِ كَبِيرَةً وَذَلِكَ الدَّهْرَ كُلَّهُ

Tidaklah seorang muslim mendapati shalat wajib, kemudian dia menyempurnakan wudhu`, khusyu’ dan ruku’nya, kecuali akan menjadi penghapus bagi dosa-dosanya yang telah lalu, selama tidak melakukan dosa besar; dan ini untuk sepanjang masa. [HR Muslim]

Shalat, apabila dihiasi dengan khusyu’ dalam perkataan, dan gerakannya dihiasi dengan kerendahan, ketulusan, pengagungan, kecintaan dan ketenangan, sungguh, ia akan bisa menahan pelakunya dari kekejian dan kemungkaran. Hatinya bersinar, keimanannnya meningkat, kecintaannya semakin kuat untuk melaksanakan kebaikan, dan keinginannya untuk berbuat kejelekan akan sirna. Dengan khusyu’, bertambahlah munajat seseorang kepada Rabb-nya, demikian pula kedekatan Rabb-nya kepadanya. Ahmad, Abu Dawud dan Nasaa-i meriwayatkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

لَا يَزَالُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ مُقْبِلًا عَلَى الْعَبْدِ َ فِي صَلَاتِهِ مَا لَمْ يَلْتَفِتْ فَإِذَا الْتَفَتَ انْصَرَفَ عَنْه

Senantiasa Allah ‘Azza wa Jalla menghadap hambaNya di dalam shalatnya, selama dia (hamba) tidak berpaling. Apabila dia memalingkan wajahnya, maka Allah pun berpaling darinya.

Khusyu’ memiliki kedudukan yang sangat besar. Ia sangat cepat hilangnya, dan jarang sekali didapatkan. Terlebih lagi pada jaman kita sekarang ini. Tidak bisa menggapai khusyu’ dalam shalat merupakan musibah dan penyakit yang paling besar. Rasulullah juga merasa perlu berlindung darinya, sebagaimana beliau n berdoa :

اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ قَلْبٍ لَا يَخْشَعُ

Ya, Allah. Aku berlindung kepadaMu dari hati yang tidak khusyu’. [HR Tirmidzi]

Dan tidaklah penyimpangan moral menimpa sebagian kaum Muslimin, kecuali karena shalat mereka bagaikan bangkai tanpa ruh, dan sebatas gerakan belaka. Ath Thabrani dan selainnya meriwayatkan, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

أَوَّل مَا يُرْفَعُ مِن هَذِهِ الأُمَّةِ الْخُشُوعُ حَتَّى َلَا تَرَى فِيهَا رَجُلًا خَاشِعًا

Yang pertama kali diangkat dari umatku adalah khusyu’, sehingga engkau tidak akan melihat seorang pun yang khusyu’.

Sahabat Hudzaifah Radhiyallahu anhu berkata : “Yang pertama kali hilang dari agama kalian adalah khusyu’, dan yang terakhir kali hilang dari agama kalian adalah shalat. Kadang-kadang seseorang yang shalat tidak ada kebaikannya, dan hampir-hampir engkau masuk masjid tanpa menjumpai di dalamnya seorang pun yang khusyu’”.

Shalat adalah penenang seorang muslim dan hiburannya, puncak tujuan dan cita-citanya. Rasulullah berkata kepada Bilal: “Tenangkan kami dengan shalat”. Beliau bersabda:

وَجُعِلَتْ قُرَّةُ عَيْنِي فِي الصَّلَاةِ

Dan dijadikan penyejuk hatiku dalam shalat. [HR Nasaa-i dan Ahmad]

Shalat menjadi penyejuk hati, kenikmatan jiwa dan surga hati bagi seorang muslim di dunia. Seolah-olah ia senantiasa berada di dalam penjara dan kesempitan, sampai akhirnya masuk ke dalam shalat, sehingga baru bisa beristirahat dari beban dunia dengan shalat. Dia meninggalkan dunia dan kesenangannya di depan pintu masjid, dia meninggalkan di sana harta dunia dan kesibukannya untuk membuka lembaran yang dia sebutkan di dalam hatinya. Masuk masjid dengan hati yang penuh rasa takut karena mengagungkan Allah mengharapkan pahalaNya.

Abu Bakar ash Shiddiq Radhiyallahu anhu, apabila sedang dalam keadaan shalat, seolah-olah ia seperti tongkat yang ditancapkan. Apabila mengeraskan bacaannya, isakan tangis menyesaki batang lehernya. Sedangkan ‘Umar al Faruq Radhiyallahu anhu, apabila membaca, orang yang di belakangnya tidak bisa mendengar bacaannya karena tangisannya. Demikian juga ‘Umar bin Abdul Aziz rahimahullah, apabila dalam keadaan shalat, seolah-olah ia seperti tongkat kayu. Sedangkan ‘Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu, apabila datang waktu shalat, bergetarlah ia dan berubah wajahnya. Tatkala ditanya, dia menjawab: “Sungguh sekarang ini adalah waktu amanah yang Allah tawarkan kepada langit, bumi dan gunung, mereka enggan untuk memikulnya dan takut dengan amanah ini, akan tetapi aku memikulnya”.

Di antara manusia ada yang shalat dengan badan dan seluruh persendiannya, menggerakkan lisannya dengan ucapan, menundukkan punggung mereka untuk ruku`, turun ke bumi untuk sujud, akan tetapi, hati mereka tidak bergerak ke arah Allah Sang Pencipta Yang Maha Tinggi. Mereka menampakkan ketundukan, sedangkan hatinya lari menjauh. Mereka membaca al Qur`an, akan tetapi tidak meresapinya. Mereka bertasbih, akan tetapi tidak memahaminya. Mereka berdiri di hadapan Allah dan di dalam rumahNya, akan tetapi, sebenarnya pandangannya ke arah pekerjaan mereka, tinggal bersama ruh mereka di tempat tinggal mereka. Begitulah keadaannya, seseorang telah mengerjakan shalat dalam waktu yang lama, akan tetapi ia tidak pernah menyempurnakan shalatnya, meskipun hanya sehari saja; karena ia tidak menyempurnakan ruku’nya, sujudnya dan khusyu’nya. Barangsiapa keadaannya seperti ini, sungguh ia tidak bisa mengambil manfaat dari shalatnya, sehingga kadang-kadang ia memakan harta manusia dengan batil, melakukan kerusakan di antara manusia, melaksanakan amalan yang bertentangan dengan agama dan akhlak, bahkan dia menjadikan shalat hanya untuk mendapatkan pujian manusia, untuk menutupi kejahatan kedua tangan dan kakinya.

Saudaraku seiman, hadits berikut ini sebagai renungan, sikapilah dirimu dengan jujur, agar mampu melihat posisi kita masing. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

إِنَّ الرَّجُلَ لَيَنْصَرِفُ وَمَا كُتِبَ لَهُ إِلَّا عُشْرُ صَلَاتِهِ تُسْعُهَا ثُمْنُهَا سُبْعُهَا سُدْسُهَا خُمْسُهَا رُبْعُهَا ثُلُثُهَا نِصْفُهَا

Sesungguhnya seseorang selesai (dari shalat) dan tidaklah ditulis (pahala) baginya, kecuali sepersepuluh shalatnya, sepersembilannya, seperdelapannya, sepertujuhnya, seperenamnya, seperlimanya, seperempatnya, sepertiganya, setengahya.

Diriwayatkan oleh Abu Dawud, bahwa Hasan bin ‘Athiah Radhiyallahu anhu berkata : “Sesungguhnya ada dua orang berada dalam satu shalat, akan tetapi perbedaan keutamaan (pahala) antara keduanya bagaikan langit dan bumi”.

Wahai orang yang shalat, sesungguhnya shalat adalah kobaran api pertempuran bersama setan, pertempuran was-was dan bisikan-bisikan, karena kita berdiri pada tempat yang agung, paling dekatnya kedudukan (dengan Allah) dan paling dibenci setan. Kemudian setan menghiasi di depan pandangamu dengan kesenangan, menawarkan keindahan dan godaan. Dia juga mengingatkan yang engkau lupakan, sehingga dia merasa senang ketika shalatmu rusak, sebagaimana baju yang usang, rusak, tidak mendapatkan pahala dan tidak pula mendapatkan keutamaan.

Wahai orang yang shalat, barangsiapa yang menempuh metode Nabi dan meniti jalan Nabi dalam shalatnya, niscaya dia dapat memperoleh kekhusyu’an. Untuk bisa meraih khusyu` ada beberapa hal yang bisa membantunya. Yaitu orang yang akan shalat, hendaknya segera menuju masjid dengan tenang dan tidak tergesa-gesa, ia telah membersihkan pakaiannya, mensucikan badannya, mengkosongkan hatinya dari kesibukan dunia, semerbak harum badannya, meluruskan barisan dan menutup celah dalam barisan, dan ia tidak mengangkat kepalanya ke langit saat shalat, karena hal ini terlarang dan bisa menghilangkan kekhusyu’an.

Termasuk yang juga bisa menolong untuk khusyu’ dalam shalat, yaitu tidak mengganggu orang lain dengan bacaan al Qur`an, tidak shalat dengan pakaian atau baju yang ada gambarnya, tulisannya, ataupun baju berwarna-warni yang bisa mengganggunya, dan mengganggu orang lain. Begitu juga suara-suara yang berasal dari handphone yang mengganggu kaum Muslimin, sehingga merusak kekhusyu’an. Oleh karena itu janganlah membawa suara musik yang berdendang di dalam rumah-rumah Allah tercampur dengan kalam Allah. Kita meminta kepada Allah salamah dan ‘afiyah dari dosa dan kesalahan.

Dari Abu Qatadah Radhiyallahu anhu berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أَسْوَأُ النَّاسِ سَرِقَةً الَّذِي يَسْرِقُ صَلَاتَهُ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَكَيْفَ يَسْرِقُهَا قَالَ لَا يُتِمُّ رُكُوعَهَا وَلَا سُجُودَهَا أَوْ قَالَ لَا يُقِيمُ صُلْبَهُ فِي الرُّكُوعِ وَالسُّجُود

“Sejelek-jelek pencuri adalah orang yang mencuri shalatnya”. Mereka bertanya,”Wahai, Rasulullah. Bagaimana seseorang mencuri shalatnya?” Rasulullah menjawab,”Dia tidak menyempurnakan ruku` dan sujudnya,” atau ia (Rasulullah) berkata : “Tidak menegakkan tulang punggungnya ketika ruku’ dan sujud”. [Diriwayatkan oleh Ahmad]

Bertakwalah kepada Alah dengan sebenar-benarnya takwa, dan tanamkan perasaan kedekatan Allah pada diri kalian, saat sendirian maupun ketika bersama manusia.

Termasuk hal terbesar untuk bisa tenang dan khusyu’ dalam shalat, yaitu merenungi dan meresapi makna. Ketika mengucapkan Allahu Akbar, maka renungkanlah kedalaman pemahamannya dan petunjuknya. Allah Maha Besar dari setan yang menipunya di dunia. Allah Maha Besar dari nafsu syahwat, harta, kedudukan dan anak. Maka mantapkan dan tanamkan ke dalam hati, kemudian laksanakan segala konsekwensinya.

Juga renungkanlah pahala yang besar pada setiap bacaan al Fatihah, bacaan ruku`ataupun bacaan-bacaan shalat lainnya. Renungkanlah pahala yang besar, di antaranya apabila imam mengucapkan

غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ

(bukan jalannya orang-orang yang Engkau murkai, bukan pula jalannya orang-orang yang sesat), maka para malaikat mengucapkan “Amiin”. Barangsiapa yang ucapan aminnya bersamaan dengan ucapan amin para malaikat, niscaya diampuni dosa-dosanya yang telah lalu. Begitu pula renungkanlah pahala-pahala yang agung, serta keutamaan-keutamaan besar lainnya saat berdiri, duduk, dzikir-dzikir ruku’ dan sujud. Barangsiapa yang merenunginya, dia akan yakin dengan rahmat Allah, sesembahannya.

Termasuk yang bisa mengantarkan kepada khusyu’, yaitu wasiat Rasulullah yang kekal : “Shalatlah seperti shalatnya orang yang akan berpisah (dengan dunia)”.

(Diangkat berdasarkan khuthbah Jum’at Syaikh Abdul Bari ats Tsubaiti di Masjid Nabawi, Madinah al Munawwarah, pada tanggal 16 Rajab 1426 H).

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun XI/1428/2007M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]

Abdurrahman bin Abi Bakar Radhiallâhuanhu


Ia merupakan lukisan nyata tentang kepribadian Arab dengan segala kedalaman dan kejauhannya .... Sementara bapaknya adalah orang yang mula pertama beriman, dan "Shiddiq" yang memiliki corak keimanan yang tiada taranya terhadap Allah dan Rasul Nya, serta orang kedua ketika mereka berada dalam gua. Tetapi Abdurrahman termasuk salah seorang yang keras laksana batu karang menyatu menjadi satu, senyawa dengit Agama nenek moyangnya dan berhala-berhala Quraisy...

Di perang Badar ia tampil sebagai barisan penyerang di pihak tentara musyrik dan di perang Uhud ia mengepalai pasukan panah yang dipersiapkan Quraisy untuk menghadapi Kaum Muslimin .... Dan sebelum kedua pasukan itu bertempur, lebih dulu seperti biasa dimulai dengan perang tanding. Abdurrahman maju ke depan dan meminta lawan dari pihak Muslimin. Maka bangkitlah bapaknya yakni Abu Bakar Shiddiq radhiyallah 'anhu maju ke muka melayani tantangan anaknya itu....Tetapi Rasulullah menahan shahabatnya itu dan menghalanginya melakukan perang tanding dengan puteranya sendiri....

Bagi seorang Arab asli, tak ada ciri yang lebih menonjol dari kecintaannya yang teguh terhadap apa yang diyakininya.. Jika ia telah meyakini kebenaran sesuatu agama atau sebuah pendapat, maka tak ubahnya ia bagai tawanan yang diperbudak oleh keyakinannya itu hingga tak dapat melepaskan diri lagi.
Kecuali bila ada keyakinan baru yang lebih kuat yang memenuhi rongga akal dan jiwanya tanpa cacat sedikit pun, yang akan menggeser keyakinannya yang pertama tadi. Demikianlah, bagaimana juga hormatnya Abdurrahman kepada bapaknya, serta kepercayaannya yang penuh kepada kematangan akal dan kebesaran Jiwa serta budinya, namun keteguhan hatinya terhadap keyakinannya tetap berkuasa hingga tiada tenpengaruh oleh keislaman bapaknya itu. Maka ia berdiri teguh dan tak beranjak dari tempatnya, memikul tanggung jawab aqidah dan keyakinannya itu, membela berhala berhala Quraisy dan bertahan mati-matian di bawah bendera dan panji-panjinya, melawan Kaum Mu'minin yang telah siap mengorbankan jiwanya.

Dan orang-orang kuat semacam ini, tidak buta akan kebenaran, walaupun untuk itu diperlukan waktu yang lama. Kekerasan prinsip, cahaya kenyataan dan ketulusan mereka, akhir kesudahannya akan membimbing mereka kepada barang yang haq dan mempertemukan mereka dengan petunjuk dan kebaikan. Dan pada suatu hari, berdentanglah saat yang telah ditetapkan oleh taqdir itu, yakni saat yang menandai kehadiran baru dari Abdurrahman bin Abu Bakar Shiddiq .... Pelita pelita petunjuk telah menyusupi dirinya, hingga mengikis habis bayang-bayang kegelapan dan kepalsuan warisan jahiliyah. Dilihatnya Allah Maha Tunggal lagi Esa di segala sesuatu yang terdapat di sekelilingnya, dan petunjuk Allah pun mengurat mengakar pada diri dan jiwanya, hingga ia pun menjadi salah seorang Muslim... ! Secepatnya ia bangkit melakukan perjalanan jauh menemui Rasulullah untuk kembali ke pangkuan Agama yang haq. Maka bercahaya-cahayalah wajah Abu Bakar karena gembira ketika melihat puteranya itu bai'at kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Di waktu kafirnya ia adalah seorang jantan! Maka sekarang ia telah memeluk Islam secara jantan pula! Tiada sesuatu harapan yang menariknya, tiada pula sesuatu ketakutan yang mendorongnya! Hal itu tiada lain hanyalah suatu keyakinan yang benar dan tepat, yang dikaruniakan oleh hidayah Allah dan taufik-Nya.. Dan mulai saat itu Abdurrahman pun berusaha sekuat tenaga untuk menyusul ketinggalan-ketinggalannya selama ini, baik di jalan Allah, maupun di jalan Rasul dan orang-orang Mu'min. Di masa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam begitupun di masa khalifah-khalifah sepeninggalnya, Abdurrahman tak ketinggalan mengambil bagian dalam peperangan, dan tak permah berpangku tangan dalam jihad yang aneka ragam ....

Dalam peperangan Yamamah yang terkenal itu, jasanya amat besar. Keteguhan dan keberaniannya memiliki peranan besar dalam merebut kemenangan dari tentara Musailamah dan orang-orang murtad .... Bahkan ialah yang menghabisi hidup Mahkam bin Thufeil, yang menjadi otak perencana bagi Musailamah, dengan segala daya upaya dan kekuatannya ia berhasil mengepung benteng terpenting yang digunakan oleh tentara murtad sebagai tempat yang strategis untuk pertahanan mereka. Tatkala Mahkam rubuh disebabkan suatu pukulan yang menentukan dari Abdurrahman, sedang orang-orang sekelilingnya lari tunggang langgang, terbukalah lowongan besar dan luas di benteng itu, hingga prajurit-prajurit Islam masuk berlompatan ke dalam benteng itu. Di bawah naungan Islam sifat-sifat utama Abdurrahman bertambah tajam dan lebih menonjol. Kecintaan kepada keyakinannya dan kemauan yang teguh untuk mengikuti apa yang dianggapnya haq dan benar, kebenciannya terhadap bermanis mulut dan mengambil muka, semua sifat ini tetap merupakan sari hidup dan permata kepribadiannya.



Iradatur Rahmat

Shalat Itu Ibadah, Bukan Balapan !

 
Salah satu rukun shalat terpenting adalah tuma’ninah (tenang dan tidak tergesa-gesa, red). Sebab tuma’ninah merupakan salah satu rukun shalat yang harus dikerjakan agar shalatnya menjadi sah.
Pernyataan Ketua Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat, Prof. Dr. Hasanudin AF, MA, menanggapi shalat tarawih tercepat sebanyak 20 rakaat dengan witir 3 rakaat dalam waktu 15 menit di pesantren Mambaul Hikam, Mantenan, Udawanu, Blitar yang menjadi pembicaraan publik.
“Tuma’ninah itu rukun dalam shalat, jika di dalam shalat tarawih tersebut tidak terdapat rukun (tuma’ninah, red), berarti shalatnya tidak sah,” kata Hasanudin Jum’at (26/06/2015), dikutip dari hidayatullah.com

Hasanudin menambahkan dalam membacakan surat al-Fatihah dan surat pendek lainnya di dalam shalat juga harus dibacakan dengan tartil. Dalam al-Qur’an sendiri, lanjutnya, menyatakan bahwa “bacalah al-Qur’an dengan tartil”, artinya tajwid dengan panjang pendek bacaan harus benar.

“Kita harus meperhatikan juga seperti apa bacaan al-Fatihahnya. Sebab, al-Fatihah itu kan salah satu surat di dalam al-Qur’an, sementara al-Qur’an menyatakan “bacalah al-Qur’an itu secara tartil”, yaitu tajwid dan panjang pendeknya harus dibaca benar. Karena itu pedomannya dan jika menyalahi itu berarti sudah melenceng,” papar Hasanudin.

Jadi, menurut Hasanuddin, di dalam shalat itu harus memenuhi rukun shalat sepertituma’ninah, dan ketika membacakan surat al-Fatihah (surat-surat al-Qur’an,red) juga harustartil. Mereka (jama’ah shalat tarawih yang tercepat,red), harus memperhatikan hal-hal itu.

“Jika dua unsur itu saja, tidak terdapat dalam shalat tarawih yang tercepat itu, maka shalatnya tidak sah, tetapi meski shalat tarawihnya cepat jika tuma’ninah ada, dan ketartilannya benar berarti shalat tarawihnya sah,” kata Hasanudin.

Terkait dengan menyingkat bacaan saat ruku’, sujud, dan lainnya, menurut Hasanudin itu termasuk sunnah shalat. Sementara, perbuatan ruku’, sujud, duduk tahiyatnya, berdirinya (i’tidal,red) dan lain sebagainya itu termasuk rukun shalat yang wajib dikerjakan.

“Rukun shalat itulah yang harus dilaksanakan, bagaimana ruku’nya, sujudnya, duduk tahiyatnya dan berdirinya. Kalau bacaan dalam ruku’, sujud dan seterusnya itu termasuk sunnah shalat. Jadi tidak membaca doa sekalipun ketika ruku’ dan sujud, tetap sah shalatnya. sebab yang harus dikerjakan adalah rukun shalat seperti perbuatan ruku’, sujud dan seterusnya itu,” pungkas Hasanudin.


Arrahman.com