رَبِّ اغْفِرْ لِي وَهَبْ لِي مُلْكًا لا يَنْبَغِي لأحَدٍ مِنْ بَعْدِي إِنَّكَ أَنْتَ الْوَهَّابُ


"Ya Rabb-ku, ampunilah aku, dan anugerahkanlah kepadaku kerajaan, yang tidak dimiliki oleh seorangpun juga sesudahku, sesungguhnya Engkaulah Yang Maha pemberi’."

Jumat, 30 Oktober 2015

Penyebab Terhalangnya Hujan

Sekitar satu tahun tidak turun hujan, Bani Israil dilanda bencana yang teramat sangat. Tak hanya kekeringan, tapi juga berbagai penyakit menyerang. Mereka meminta kepada Nabi Musa AS agar berdoa kepada Allah supaya menurunkan hujan.

Nabi Musa kemudian mengumpulkan semua penduduk di tanah lapang dan mengajak mereka berdoa bersama. “Wahai Tuhan penguasa hujan, turunkanlah hujan.”

Namun, hujan tidak juga turun. Mereka berdoa kembali, “Wahai Tuhan penguasa hujan, turunkanlah hujan.” Musa kemudian berkata, “Ya Allah, biasanya Engkau selalu mengabulkan permohonan kami, mengapa kali ini hujan tidak kunjung turun?”
Allah menjawab, “Musa, hujan tidak turun karena di antara kalian ada orang yang bermaksiat kepada-Ku selama 40 tahun. Karena keburukan maksiatnya, Aku mengharamkan hujan dari langit untuk kalian semua.”

Allah kemudian memerintahkan supaya orang itu dikeluarkan dari daerah tersebut. Musa pun berkata kepada kaumnya, “Saudara-saudaraku Bani Israil, aku bersumpah bahwa di antara kita ada orang yang bermaksiat kepada Allah selama 40 tahun. Akibat perbuatannya itu, Allah tidak menurunkan hujan untuk kita. Hujan tidak akan turun hingga orang itu pergi. Maka, usir orang itu dari sini.”
Orang yang ahli maksiat itu pun sadar. Kemudian, ia melihat sekelilingnya, berharap ada orang lain yang melangkah pergi. Namun, tak seorang pun yang beranjak dari tempatnya. Ia berdoa, “Ya Allah, aku telah bermaksiat kepada-Mu selama 40 tahun. Aku mohon Engkau menutupi aibku. Jika sekarang aku pergi, pasti dilecehkan dan dipermalukan. Aku berjanji tidak akan mengulangi perbuatanku lagi. Terimalah taubatku dan tutupi aibku ini.”

Belum sempat meninggalkan tempat, hujan pun turun. Nabi Musa terkejut atas hal ini. “Ya Allah, hujan telah turun padahal tak seorang pun dari kami yang pergi.”
Allah berfirman, “Musa, hujan turun karena Aku gembira, hamba-Ku yang bermaksiat kepada-Ku selama 40 tahun itu telah bertaubat.”

Atas hal ini, Musa pun memohon kepada Allah agar menunjukkan orang yang dimaksud itu kepadanya, sehingga dia bisa menyampaikan kabar gembira tersebut. Allah menjawab, “Musa, ia bermaksiat kepada-Ku selama 40 tahun, dan semuanya Kurahasiakan. Mungkinkah setelah sekarang ia bertaubat, Aku akan mempermalukannya?”

Kisah tersebut di atas memberikan pelajaran (ibrah) berharga kepada kita bahwa kemaksiatan atau dosa yang dilakukan oleh segelintar orang dapat menghalangi terkabulnya doa, termasuk ditahannya hujan dari langit. Begitulah pengaruh buruk dari berbuat maksiat.

Pengaruh buruk itu, kata Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, antara lain, dapat menghalangi turunnya rezeki, menjauhkan pelakunya dengan orang baik, menyulitkan urusan, melemahkan hati, memperpendek umur, merusak akal, hilangnya rasa malu, berkurangnya nikmat, dan mendatangkan azab.

Karena itu, agar hujan tidak terhalang, selain dengan shalat Istisqa, hendaknya dibarengi dengan memperbanyak istighfar dan bertaubat.

“Mohonlah ampun kepada Tuhanmu lalu bertaubatlah, niscaya Dia menurunkan hujan yang sangat deras atasmu, dan Dia akan menambahkan kekuatan kepada kekuatanmu, dan janganlah kamu berpaling dengan berbuat dosa.” (QS Hud [11]: 52). Wallahu a'lam.

Asma'ul Husna Dan Keuangan Keluarga


“Fadzkuruunii adzkurkum…Maka ingatlah kepadaKu maka Aku pun akan ingat kepadamu…” (Al-Baqarah (2): 152)

BEGITULAH salah satu seruan Allah supaya kita senantiasa ingat kepadaNya. Ayat ini dibahas panjang lebar di dalam kitab tafsir Ibnu Katsir. Beliau menyebutkan bahwa Imam Ahmad meriwayatkan dari Anas bin Malik, katanya, Rasulullah bersabda: “Allah SWT telah berfirman, ‘Hai anak Adam, jika kamu mengingat-Ku dalam dirimu, niscaya Aku akan mengingatmu dalam diri-Ku. Dan jika kamu mengingat-Ku di tengah kumpulan (manusia), niscaya Aku akan mengingatmu di tengah kumpulan para malaikat (di tengah kumpulan yang lebih baik). Jika kamu mendekat kepada-Ku satu jengkal, niscaya Aku akan mendekat kepadamu satu hasta. Dan jika kamu mendekat kepada-Ku satu hasta, maka Aku akan mendekat kepadamu satu depa. Dan jika kamu mendatangi-Ku dengan berjalan kaki, niscaya Aku akan mendatangimu dengan berlari.’” (HR Bukhari).

Ekonomi Indonesia, Ekonomi Keluarga Kita

Dengan segala permasalahan ekonomi yang kita hadapi sekarang seperti inflasi barang dan jasa yang sangat kerap kita hadapi, kerugian ekonomi pasca bencana atau kerusakan bumi seperti kasus asap baru-baru ini menjadikan sebagian dari kita putus asa dengan segala ikhtiar yang telah ditempuh. Baca saja berita CNN tentang kerugian akibat kebakaran hutan yang menurut KADIN Riau mencapai Rp.20 triliun atau menurut versi Center for International Forestry Research (CIFOR) kemungkinan bisa hingga Rp.200 triliun setelah ditambah dengan kerugian yang dialami oleh Malaysia dan Singapura, belum lagi jika ditambah kerugiaan dari Filipina yang kabarnya asap sudah tiba di sana.
Kerugian yang timbul adalah mulai dari pembatalan pesawat, kurangnya sinar matahari untuk pertanian, turunnya omset penjualan barang dan penyedian jasa karena kurangnya mobilitas, dan lain sebagainya. Sudah tentu semua ini menganggu pemasukan pendapatan sebagian keluarga. Lantas bagaimana solusinya?

Solusi Keuangan

Dalam mengelola keadaan defisit di saat keadaan seperti ini salah satunya adalah jika dapat mengencangkan ikat pinggang dengan mengurangi pengeluaran kebutuhan sekunder, mencari bahan subtitusi lebih murah untuk menutupi kebutuhan primer dan mengurangi makan di luar atau jalan-jalan keluarga. Tahap keduanya adalah mencari solusi pendapatan baru dan yakin bahwa Allah yang menetapkan rezeki bagi setiap mahluk jadi jangan pernah putus asa.
Tentu saja di sisi lain ada sebagian keluarga yang menikmati pendapatan yang lebih baik dari keadaan ekonomi yang disebut di atas, seperti penjual oksigen dalam tabung dan obat-obatan, masker penutup hidung dan air bersih, namun tetaplah hidup prihatin serta senantiasa berbagi dengan sesama. Apapun keadaannya, semuanya tidak kekal, maka dari itu baik dalam keadaan senang maupun susah, jangan pernah berhenti bersyukur dan berdoa supaya Allah Ya Akhir memberikan akhir hidup kita dalam keadaan terbaik dan akan masuk ke Surga Firdaus.

Dahsyatnya Doa

Banyak di antara kita melupakan dasyatnya dampak doa yang kita panjatkan kepada Allah untuk merubah nasib dan keadaan yang kita hadapi. Termasuk “Gerakan Nasional Revolusi Mental” yang sedang dicanangkan oleh pemerintah saat ini, harusnya juga menyentuh “bagaimana merevolusi cara kita berdoa”. “Percuma membangun Fisik tanpa membangun Pola Pikir Masyarakat” kata Ir. H. Joko Widodo, Presiden RI.

Ikhtiar pembangunan fisik termasuk juga ikhtiar membangun keluarga dan mengelola keuangannya yang baik seharusnya didampangi dengan doa, dan doa yang baik adalah doa yang mengikuti syarat kabul dan adabnya. Barulah kemudian kita berharap bahwa doa kita akan diijabah, tanpa penghalang.
Saya tergelitik menyampaikan tulisan ini karena sering mendengar sebagian kita yang mengeluh “kenapa ya masalah asap ini tidak segera usai?”, “kenapa ya ekonomi Indonesia tidak bisa lebih cepat tumbuhnya?”, “kapan Indonesia akan bebas dari hutang?”, “kapan ya masyarakat kita bersih korupsi?” dan akhirnya “kenapa ya uang yang kubawa ke rumah selalunya tidak pernah cukup?”, atau “bagaimana supaya Allah membukakan lagi pintu-pintu rezeki bagi keluarga kita?”.
Namun sayangnya, kita lupa dahsyatnya doa, juga syarat dan adab berdoa sering tidak kita perhatikan seperti misalnya memastikan setiap yang dimakan dan diminum adalah halal, menghadap kiblat, tidak tergesa-gesa serta memuji Allah dengan nama-namaNya yang terbaik (Asma’ul Husna).
Menggunakan beberapa nama-nama Allah yang disesuaikan dengan keinginan berdoa terkesan sederhana namun hal ini dapat memberikan dampak yang luar biasa. Seperti dalam Al-‘Araf (7): 180 dimana Allah menganjurkan kita untuk menggunakan Asma’ul Husna dalam doa:
“Hanya milik Allah Asma’ul Husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut Asma’ul Husna itu…”

Disamping itu ada sebuah hadith Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Abu Daud adalah sebagai berikut: “Apabila kalian berdoa, hendaknya dia mulai dengan memuji dan mengagungkan Allah, kemudian bershalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wassalaam. Kemudian berdoalah sesuai kehendaknya.”

Semoga anjuran dari Al-Quran an hadith ini akan memberikan semangat bagi kita untuk mengenal Allah (ma’rifatullah) melalui nama-namanya yang berjumlah 99 ini.

Contoh doa dengan Asma’ul Husna

Banyak dari kita yang paham, sering mendengar kajian atau hafal Asma’ul Husna, tapi malas menggunakannya dalam doa. Padahal doa kita terdengar sangat sejuk ketika menggunakannya seperti: Ya Allah Ya Qaadir, hentikanlah bencana kebakaran hutan di Riau dan hutan-hutan lainnya, Ya Allah Ya A’liyy, Ya Syakuur, Ya Hamiid naikkanlah martabat Indonesia, jadikan bangsa ini bangsa yang banyak bersyukur lagi terpuji, Ya Allah Ya Haadi, tunjukanlah kami jalan yang Engkau ridhoi, Ya Allah Ya Razzaq, bukakanlah pintu-pintu rezeki bagi keluarga kami, Ya Allah Ya Mujiib, kabulkan doa kami.

Tips memahami dan menghafal 99 Asma’ul Husna

Walau kita sibuk dengan bisnis, pekerjaan atau studi, sempatkanlah membaca buku-buku tentang Asma’ul Husna, membaca ayat-ayat Al-Qur’an beserta artinya yang menggunakan asma-asma di dalamnya. Sangat bagus jika dapat meluangkan waktu untuk mendengar kajian Asma’ul Husna di majlis atau online seperti yang sudah diselenggarakan oleh pengajian di Glasgow dan Pengajian Derby-Leicestershire-Nottingham di Inggris dan tentunya ada juga di kota – kota lainnya.
Bagi yang di Jakarta dan sekitarnya, dapat datang ke kajian rutin mengenai Asma’ul Husna seperti yang sudah didedikasikan oleh Andalusia Islamic Centre, Sentul City, Bogor, pada hari ahad kedua setiap bulan dimulai jam 7:30 pagi. Informasi yang didapati dari Imam Besar Masjid Andalusia bahwa jamaah yang hadir rata-rata bisa sebanyak seribu orang dewasa dan anak-anak termasuk mahasiswa dan mahasiswi STEI Tazkia atau bisa hingga 3.000 orang jika dipadukan acara-acara khusus seperti perayaan 1 Muharram, Maulid Nabi, dan lain sebagainya.

Kajian yang diberi nama “Sukses, Kaya, Bahagia dengan Asma’ul Husna dan Teladan Rasulullah SAW” ini dibawakan oleh Dr. Muhammad Syafii Antonio, M.Ec, Pimpinan Tazkia Group yang kerap didampingi oleh pembicara internal Tazkia, pembicara tamu baik pakar atau ulama asal Indonesia maupun mancanegara. Kajian yang sudah berlangsung lebih dari 4 tahun ini bulan depan, Ahad, 8 November 2015 akan membahas asma yang ke-56 yaitu “Al-Hamiid” yang artinya “Yang Maha Terpuji” yang dapat dijumpai diantaranya di dalam QS Huud (11):73, QS Al-Hajj (22):24, QS Luqmaan (31):12 dan QS Faathir (35):15.

Adapun tehnik menghafal cepat Asma’ul Husna dapat dipelajari melalui kursus sehari dengan tehnik menggunakan otak kanan yang banyak disediakan oleh majlis-majlis kajian di Indonesia. Jika berhasil menghafal, tentunya akan mempermudah kita dengan cepat menggunakan asma-asma yang terkait dengan doa yang kita panjatkan. Wallahu’alam.

Hujan

Hujan adalah salah satu anugerah agung dari Allah SWT yang diberikan kepada makhluk-Nya di bumi, terutama bagi manusia.

Hujan tidak hanya memberikan curahan air segar, tapi juga menjadi sebab terbukanya pintu rezeki, menyuburkan tanah yang gersang, dan membantu memperbaiki kualitas udara bagi manusia.
Karena itu, dalam Alquran, hujan sering disebutkan dengan kata rahmat (kasih sayang), rizqan (rezeki), dan ghaits (pertolongan).

Allah SWT berfirman, “Dialah yang meniupkan angin (sebagai) pembawa kabar gembira sebelum kedatangan rahmat-Nya (hujan), dan Kami turunkan air dari langit yang amat bersih agar Kami menghidupkan dengan air itu negeri (tanah) yang mati dan agar Kami memberi minum dengan air itu sebagian besar dari makluk Kami, binatang-binatang ternak dan manusia yang banyak.” (QS Al-Furqan [25]: 48-49).

Di tengah meluasnya bencana asap dan kekeringan yang melanda wilayah Indonesia saat ini, kita benar-benar sedang membutuhkan curahan air hujan. Allah SWT dan Rasul-Nya telah mengajarkan beberapa langkah yang hendaknya kita lakukan untuk “memancing” turunnya hujan.

Pertama, memperbanyak istighfar. Istighfar berarti mohon ampun kepada Allah SWT dengan mengakui dosa-dosa yang kita lakukan. Istighfar sebagai salah satu cara untuk memancing turunnya hujan pernah diajarkan oleh Nabi Nuh AS ketika berdakwah kepada kaumnya.

Allah SWT berfirman dalam Alquran surat Nuh (71) ayat 10-11 yang artinya, “Maka, aku (Nuh) katakan kepada mereka: 'Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun. Niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat.”
Kedua, istiqamah di jalan Allah SWT. Selain beristighfar, cara lain untuk memancing datangnya hujan adalah dengan istiqamah, yaitu konsisten melakukan kebaikan dan konsisten menjauhi larangan.

Allah SWT berfirman, “Dan bahwasanya jikalau mereka tetap istiqamah (berjalan lurus) di atas jalan itu (agama Islam), benar-benar Kami akan memberi minum kepada mereka air (hujan) yang segar.” (QS Al-Jin [72]: 16).
Ketiga, memperbanyak doa. Doa adalah senjata utama kaum Muslimin. Ketika berbagai usaha telah kita lakukan maka doa adalah pelengkapnya.

Diriwayatkan dari Anas bin Malik bahwa suatu hari ada orang datang kepada Rasulullah SAW mengadukan musnahnya harta benda dan terputusnya pintu rezekinya karena hujan yang tak kunjung turun.

Rasulullah SAW kemudian berdoa, “Ya Allah turunkanlah kepada kami hujan, Ya Allah turunkanlah kepada kami hujan, Ya Allah turunkanlah kepada kami hujan.” Tak lama setelah itu, tiba-tiba dari balik gunung muncul mendung bagaikan perisai, lalu menyebar dan menurunkan hujan hingga seminggu berikutnya. (HR Bukhari Muslim).

Keempat, shalat Istisqa. Shalat Istisqa adalah shalat dua rakaat yang diniatkan untuk meminta hujan kepada Allah SWT. Selain berdoa, Rasulullah SAW juga pernah mencontohkan shalat Istisqa ketika hujan tak kunjung datang.

Sahabat Abdullah bin Zaid pernah berkisah, “Rasulullah SAW pernah keluar rumah meminta hujan, lalu beliau shalat dua rakaat, di mana beliau mengeraskan bacaan pada kedua rakaatnya.” (HR An-Nasai). Wallahu A'lam.

Memberikan Pinjaman Kepada Allah SWT

Diriwayatkan dari Tsabit bin al-Bunani dari Anas mengisahkan, dahulu ada dua orang bertetangga yang terlibat sengketa karena memperebutkan sebatang pohon kurma. Salah satunya ingin memagar tanah, namun terhalang sebatang pohon kurma milik tetangganya yang tumbuh melewati pekarangannya. Persengketaan ini berlanjut sampai ke hadapan Rasulullah SAW.
"Berikanlah batang kurma itu kepada saudaramu (agar ia bisa memagar tanahnya), engkau akan mendapatkan ganti sebuah kebun kurma di surga," bujuk Rasulullah SAW. Namun tetap saja, ia tidak tidak mau.

Tiba-tiba seorang sahabat bernama Abu Dahdah datang menghampiri Rasulullah. "Benarkah demikian (apa yang baru engkau sabdakan itu), wahai Rasulullah?" ujarnya. Rasulullah pun mengiyakan.
Dengan wajah sumrigah, Abu Dahdah langsung berujar kepada kedua orang yang bersengketa itu. “Juallah sebatang pohon kurmamu itu kepadaku. Aku beli dengan seisi kebunku,” ujar Abu Dahdah kepada si pemilik batang kurma.

Ia pun terkejut. Siapa yang tidak kenal dengan kebun kurma milik Abu Dahdah. Di kebun tersebut setidaknya ada 600 pohon kurma. Tidak itu saja, kebun tersebut juga mempunyai sumur, vila, dan taman-taman yang indah. Benarkah Abu Dahdah rela menjualnya hanya untuk mendapatkan satu batang kurma yang dipertikaikan itu? Setengah tak percaya, si pemilik batang kurma itupun mengangguk.
“Wahai Rasulullah, aku telah membeli pohon kurma itu, aku bayar dengan kebunku. Sekarang pohon kurma itu aku berikan kepadamu,” tutur Abu Dahdah.
Rasulullah pun terkesima dengan perbuatan Abu Dahdah. “Alangkah banyaknya tandan kurma yang harum baunya milik Abu Dahdah di surga kelak,” Sabda Beliau SAW seraya mengulang-ulang kalimat tersebut.

Abu Dahdah pun pulang menemui istrinya. Ia ceritakanlah apa yang baru saja ia lakukan. Ia pun mengajak istri beserta anak-anaknya untuk keluar dari kebun kurma yang baru saja ia jual itu. Dengan wajah berseri-seri, istrinya pun setuju. “Alangkah beruntungnya jual belimu, suamiku,” ujar ummu Dahdah, istrinya. Demikian seperti dikisahkan dalam al-Mu’jam al-Kabir 22/300 nomor 763.
Kisah inilah yang melatarbelakangi turunnya Ayat Alquran Surat al-Baqarah ayat 245, “Siapa yang memberi pinjam kepada Allah dengan pinjaman yang baik, pasti Allah berikan ganjaran kepadanya dengan gandaan yang banyak."

Demikian manisnya Allah SWT membahasakan infak dan sedekah. Allah menamakan infak dan sedekah dengan istilah pinjaman. Mereka yang bersedekah berarti meminjamkan sesuatu kepada Allah. Kemudian, di akhirat kelak pinjaman tersebut dibayarkan Allah dengan kenikmatan surga. Tentulah, Sang Khaliq tidak akan ingkar kepada hamba-Nya yang telah mengeluarkan pinjaman.

Keyakinan inilah yang dipegang secara bulat oleh Abu Dahdah dan istrinya. Tanpa keyakinan penuh akan janji Allah, tentu tak akan ada orang yang mau menginfakkan sebuah kebun yang sangat luas dan indah itu. Keyakinan yang mantap itulah yang harus ada dalam diri setiap mukmin.
Pertanyaannya, seberapa yakinkah kita dengan janji Allah? Benarkah kita yakin, dengan sedekah yang kita keluarkan akan mendapatkan ganjaran yang berlipat-lipat di dunia hingga di akhirat kelak? Jika yakin itu benar-benar ada, maka tentu kita akan meminjamkan semua benda keduniawian kita kepada Allah, kemudian mengharapkan pengembaliannya di akhirat kelak.

Makrifat Allah SWT

Syekh Ahmad Atailah pernah berkata, "Apabila Allah SWT telah membukakan pintu makrifat untuk seorang hamba, karena dengan makrifat Allah itu, engkau tidak perlu pada amalanmu yang memang sedikit itu. Karena, Allah telah membukakan makrifat untukmu itu, berarti Allah berkehendak memberi anugerah-Nya kepadamu, sedang amal-amal yang engkau lakukan adalah semacam pemberian ketaatan kepada-Nya. Kalau demikian, maka di manakah letaknya perbandingan antara ketaatan hamba dan anugerah yang diterima dari Allah SWT."

Makrifat kepada Allah mengandung makna mengenal Allah. Seorang hamba yang telah mengenal Allah akan merasakan kehadiran Allah setiap gerak langkah kaki, tangan, kedipan mata, pendengaran, serta akal dan pikirannya. Dia akan merasakan betapa lemahnya di hadapan Sang Khalik Yang Maha Sempurna dan yang memiliki sifat Rahman-Rahim.
Sehingga dalam segala aktivitasnya, selalu mengharapkan pertolongan Allah Yang Mahasempurna.
Seperti dicontohkan Rasulullah SAW setiap kali menghadapi pertanyaan para sahabat, tidak memberikan penjelasan yang belum Allah turunkan petunjuknya. Beliau SAW selalu memohon kepada Allah agar diberikan petunjuk. Demikian kesempurnaan akhlak dan makrifat Rasulullah kepada Allah.

Makrifat kepada Allah diperlukan dalam beribadah dan beramal sehingga ia akan sampai pada tingkatan hamba yang haqqul yakin karena meyakini Allah itu ada dan tidak terpisahkan dalam kehidupan dunia dan akhirat. Ini merupakan  hal utama sebelum melaksanakan ibadah. Sedangkan, jika seorang hamba berada pada ilmul yaqqin ketika seorang hamba mengetahui Allah itu merupakan kewajiban dan tingkatan ainul yaqqin. Ketika dia mengenal Allah, menurut ilmu Allah sendiri.

Makrifat pada dasarnya bukan hanya persoalan rohani semata, melainkan bagaimana kemudian dapat menjadi bagian dari kehidupan keseharian. Tingkat makrifat seseorang akan terwujud dalam perilaku dan cara menafsir sebuah fenomena sosial tertentu. Apa yang menjadi fakta kehidupan tidak luput dari objek tafakur. Apa yang terjadi pada kehidupan manusia tidak luput dari kehendak Allah Yang Mahakuasa. Sebagai hamba yang serbaterbatas, manusia diharapkan dapat berintrospeksi terhadap apa yang selama ini diperbuat.
Kini, mari kita bertafakur terhadap apa yang menimpa bangsa ini, mulai dari hal kecil hingga yang paling besar. Kita bisa mengambil contoh, misalnya, yang kini sedang menimpa bangsa ini, yaitu kabut asap. Kabut asap telah berbulan-bulan belum terselesaikan, bahkan semakin meluas kerusakan hutan dan akibatnya.

Banyak sudah masyarakat menjadi korban, baik meninggal maupun sakit. Masyarakat kehilangan aktivitas pekerjaan atau tidak sekolah karena terhalang kabut asap. Berbagai upaya dilakukan untuk memadamkan api, pasukan BNPB dibantu TNI, Polri, dan negara-negara lain berjibaku, tetapi belum membuahkan hasil.
Wahai manusia, alam jagat raya ini milik Allah. "... Milik–Nya apa yang ada di langit dan bumi...." (QS al-Baqarah [2]: 255). Ayat ini menjelaskan diri kita, api, asap, tanaman, tanah, air semuanya milik Allah SWT.

Kini, mari kita bertanya pada diri kita seberapa luas jangkauan tangan kita, seberapa jauh langkah kaki kita, seberapa luas ilmu kita, seberapa kuat tenaga kita, dan seberapa sabar kita untuk mengatasi masalah itu dibanding dengan pasukan Allah.
Ilmu dan pengetahuan Allah meliputi alam dunia, juga alam akhirat. Seluruh makhluk akan tunduk kepada Sang Pencipta dan pemilik alam ini, yaitu Allah SWT. Lalu, apa yang mesti kita yakini? Bencana ini diakibatkan oleh ketamakan serta keserakahan atau kebodohan kita sebagai manusia pemegang amanah Allah untuk menggunakan alam bagi kesejahteraan manusia.

Kini, saatnya kita semua kembali kepada Allah, bertobat, memohon pertolongan serta meyakinkan diri kita tidak mengulangi perbuatan itu kembali. Setelah kita yakin pada Allah, saatnya bergerak untuk memadamkan api, "kun fayakun", maka jadilah api padam dengan izin dan perintah Allah SWT yang Rahman dan Rahim. Wallahu a'lam.

POLITIK KRISTENISASI


Ketika mengalahkan armada Portugis di Sunda Kelapa (1527), Fatahillah, panglima dan ulama Kerajaan Islam Demak langsung mengganti nama bandar di Teluk Jakarta itu menjadi Jayakarta. Nama ini diambil dari surat Al-Fath ayat pertama yang berbunyi: ''Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu kemenangan yang nyata.'' Kemenangan yang nyata oleh Fatahillah diartikan sebagai Jayakarta.

Fatahillah dan pasukan-pasukannya itu, saat mengenyahkan Portugis dari bandar Sunda Kelapa menyadari bahwa peperangan di Teluk Jakarta ini merupakan perang suci demi syiar Islam. Karena kedatangan Portugis di Indonesia tak dapat dipisahkan dari missi Kristen. Apalagi sebelumnya negara di Eropa Barat ini telah menguasai Malaka, yang merupakan jalur pelayaran penting ke Indonesia.
Mr Hamid Algadri dalam bukunya Politik Belanda terhadap Islam dan Keturunan Arab di Indonesia, tegas-tegas menyebutkan bahwa kedatangan Portugis di Indonesia tidak dapat dipisahkan dari kelanjutan Perang Salib. Karena menurut Hamid Algadri, dengan menguasai Indonesia, Portugis ingin memotong rute perdagangan yang sudah terjalin berabad-abad antara negara-negara Islam di Timur Tengah dengan Kepulauan Indonesia.

Portugis berpendapat akibat menguasai rute perdagangan rempah-rempah di Kepulauan Indonesia inilah menjadi sumber kekuatan ekonomi dan politik negara-negara Islam. Perlu dimaklumi, abad ke-15 dan 16 Portugis dan Spanyol masih terlibat dalam Perang Salib di Semenanjung Iberia (Spanyol). Dengan Portugis menjadi pemimpin agama Kristen melawan Islam. Perdagangan rempah-rempah waktu itu dari Kepulauan Indonesia melalui Selat Malaka sebagian besar diangkut oleh para pedagang Arab ke Laut Merah. Baru kemudian diperdagangkan ke Eropa.

Jadi, ketika Portugis menaklukkan Selat Malaka dan berupaya menaklukkan Indonesia, menurut Hamid Algadri bukan hanya punya motif dagang, tapi juga agama.
Hampir satu abad setelah Portugis diusir dari Sunda Kelapa, Gubernur Jenderal JP Coen (1619), saat menaklukkan Pangeran Jayakarta sekaligus membakar keraton dan sebuah masjid milik pangeran dan anak buahnya. Tapi, pada awal-awal penjajahan itu Belanda selalu mendapat perlawanan baik dari Pangeran Jayakarta dan anak buahnya yang bergerilya di hutan-hutan sekitar daerah Jatinegara. Perlawanan yang lebih dahsyat juga datang dari Kerajaan Islam Mataram, selama dua kali mengirimkan ekspedisi militer ke Jakarta. Di susul dengan pasukan-pasukan dari Kesultanan Islam Banten.

Di Indonesia, Belanda menyadari kenyataan bahwa sebagian besar penduduk negeri yang dijajahnya ini beragama Islam. Berbagai peperangan seperti Perang Paderi (1821-1827) di Sumatera Barat. Disusul Perang Diponegoro (1825-1830), dan Perang Aceh (1873-1903) semuanya tidak lepas dari ajaran dan semangat Islam. Masih banyak lagi pemberontakan yang dilakukan para pejuang Islam yang membuat repot pemerintah kolonial.

Setelah kedatangan Snouck Hurgronje pada 1889, tokoh Kristen yang menguasai bahasa Arab dan pengetahuan Islam yang dalam, ia dengan politik Islamnya berhasil menemukan seni memahami dan menguasai penduduk yang sebagian besar Muslim itu. (H Aqib Suminto - Politik Islam Hindia Belanda).

Bagi Snouck, yang pernah berhaji, musuh kolonialisme Belanda bukanlah Islam sebagai agama, melainkan Islam sebagai doktrin politik. Sekalipun Islam di Indonesia banyak bercampur dengan kepercayaan animisme dan Hindu, namun Snouck menyadari bahwa orang Islam di Indonesia memandang agamanya sebagai alat pengikat kuat yang membedakan dirinya dengan orang lain.
Menghadapi medan seperti ini, Snouck membedakan Islam dalam arti ''ibadah'' dengan Islam sebagai ''kekuatan sosial politik''. Karenanya pemerintah kolonial Belanda berupaya agar umat Islam hanya gandrung pada hal-hal ritual semata. Dan menghalangi kajian-kajian Islam karena ditakutkan bisa menimbulkan perlawanan. Resep inilah yang kemudian dikenal sebagai Islam Politiek, atau kebijaksanaan pemerintah kolonialdalam menangani masalah Islam di Indonesia.

Sekalipun pemerintah kolonial bersikap sangat keras terhadap Pan Islam, tapi pada abad ke-19 itu, pemikiran, ide dan gagasan Pan Islam Sayid Jamaluddin Al-Afghani, Sheikh Muhammad Abduh dan Sayid Rasyid Ridha banyak yang sampai ke Indonesia, sekalipun melalui selundupan.

Sejalan dengan jiwa kebangkitan nasional waktu itu, di kalangan para ulama dan pemimpin agama di Indonesia timbul cita-cita untuk menyusun barisan dan menggalang persatuan nasional di kalangan umat Islam. Maka muncullah patriot-patriot Islam seperti KH Samanhudi, HOS Tjokroaminoto, KH Ahmad Dahlan, H Agus Salim dan masih banyak lagi. Karena sebagian besar rakyat Indonesia beragama Islam, maka kebangkitan Islam ini merupakan kebangkitan rakyat Indonesia umumnya dan kaum Muslimin khususnya. (Sagumin MD: Jakarta dari Tepian Air ke Kota Proklamasi).

Untuk mengimbangi semangat kemerdekaan itu pihak kolonial menjalankan kebijaksaan seperti mengurangi atau menghancurkan sama sekali pengaruh para ulama, kiai dan para santri. Membentuk dan membina pemimpin rakyat yang berasal dari lingkungan pendidikan Barat yang diharapkan akan setia dan patuh pada Pemerintah Hindia Belanda.

Setelah terjadinya peristiwa Cilegon (1888), maka pendidikan agama Islam pun di awasi. Karena pemberontakan para petani di Banten itu dinilai dimotori para haji dan guru agama. Pada 1905 lahirlah suatu peraturan tentang pendidikan agama Islam yang disebut dengan Ordonansi Guru. Peraturan ini sangat memberatkan guru-guru agama yang tidak memiliki administrasi yang memadai dalam mengelola pengajiannya.

Selanjutnya pihak kolonial Belanda secara intensif memperluas pengaruh kebudayaan dan menambah pengaruh Barat (Belanda). Maksudnya adalah jelas guna melemahkan dan mengurangi pengaruh-pengaruh dari ajaran Islam. Belanda juga melakukan pengawasan yang ketat terhadap para jamaah yang menunaikan ibadah haji. Takut kalau mereka menyebarkan semangat keislaman setelah di haji bertemu dengan tokoh-tokoh Islam dunia.

Dan yang paling berbahaya, pemerintah kolonial Belanda melakukan intrik-intrik politik berupa ''divide et impera'' atau politik pecah belah. Dalam politik pecah belah ini, dalam upaya melestarikan jajahannya, pihak kolonial mengadu domba antara satu kesultanan dengan kesultanan lainnya. Demikian pula antara satu agama dengan agama lain.Termasuk mengadu domba antara kekuatan Islam sendiri.

Dalam upaya Kristenisasi, pihak kolonial melakukan diskriminasi antara orang yang beragama Islam dan Kristen. Dalam hal ini Belanda dengan sengaja memberikan banyak kelebihan serta kemudahan untuk penyebaran agama Kristen. Menurut perundang-undangan (Algemeene Bepaling van Wetgeving), golongan Kristen menikmati hak hukum yang sama dengan saudara-saudara mereka seagama bangsa Eropa. Tujuannya adalah agar rakyat Indonesia yang beragama Kristen merasa lebih dekat dan lebih akrab dengan orang-orang Belanda.

Diskriminasi juga dilakukan dalam bidang penggajian. Terjadi perbedaan yang menyolok antara gaji mereka yang beragama Kristen dan Islam. Demikian pula dalam bantuan peribadatan. Sangat diskriminatif antara gereja dan masjid. Bahkan kas masjid sengaja dibatasi agar kegiatan keagamaan tidak dapat bergerak secara leluasa.

Republika