رَبِّ اغْفِرْ لِي وَهَبْ لِي مُلْكًا لا يَنْبَغِي لأحَدٍ مِنْ بَعْدِي إِنَّكَ أَنْتَ الْوَهَّابُ


"Ya Rabb-ku, ampunilah aku, dan anugerahkanlah kepadaku kerajaan, yang tidak dimiliki oleh seorangpun juga sesudahku, sesungguhnya Engkaulah Yang Maha pemberi’."

Minggu, 07 September 2014

Sesak Di Ketinggian




فَمَنْ يُرِدِ اللهُ أَنْ يَهدِيَهُ يَشْرَحْ صَدْرَهُ لِلْإِسْلَامِ وَمَنْ يُرِدْ أَنْ يُضِلَّهُ يَجْعَلْ صَدْرَهُ ضَيِّقًا حَرَجًا كَأَنَّمَا يَصَّعَّدُ فِي السَّمَاءِ كَذَلِكَ يَجْعَلُ اللَّهُ الرِّجْسَ عَلَى الَّذِينَ لاَ يُؤْمِنُونَ (125) 

“Barangsiapa yang Allah menghendaki akan memberikan kepadanya petunjuk, niscaya Dia melapangkan dadanya untuk (memeluk agama) Islam. Dan barang siapa yang dikehendaki Allah kesesatannya, niscaya Allah menjadikan dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah ia sedang mendaki ke langit. Begitulah Allah menimpakan siksa kepada orang-orang yang tidak beriman.”
 (QS Al-An’am [6]: 125)

Formasi atmosfer sebelumnya tidak diketahu sampai Pascal membuktikan keberadaannya pada 1648. Ia membuktikan bahwa tekanan udara berkurang ketika kita pergi ke tempat yang lebih tinggi di atas permukaan laut.

Belakangan diketahui bahwa udara di lapisan bawah atmosfer lebih padat. Sekitar 50% dari massa udara terletak antara permukaan bumi hingga 20.000 meter di atas permukaan laut, dan 90% terletak antara permukaan bumi hingga 50.000 meter di atas permukaan laut.

Oleh karena itu, kerapatan udara berkurang secara vertikal hingga mencapai paling tekanan terendah di lapisan yang paling tinggi dari atmosfer, sebelum benar-benar menghilang di luar angkasa.

Ketika manusia berjalan lebih dari 10.000 meter di atas permukaan laut, hal itu tidak menyebabkannya berada dalam masalah serius, karena sistem pernafasan dapat mengatasi ketinggian 10.000 hingga 25.000 kaki di atas permukaan laut. Akan tetapi jika seseorang masuk ke luar angkasa, jumlah penurunan tekanan dan oksigen menyebabkan penutupan dada dan dyspnea (sesak napas). Kemudian, proses pernapasan menjadi sulit karena kekurangan oksigen dan sistem pernapasan sepenuhnya gagal, sehingga menyebabkan kematian.

Sudah lazim diketahui bahwa berbagai informasi tentang lapisan atmosfer tidak dikenal pada saat Alquran diturunkan. Akibatnya, tekanan rendah dan penurunan oksigen—sesuatu yang diperlukan untuk kehidupan manusia—di lapisan yang lebih tinggi juga tidak diketahui. Orang-orang pada waktu itu tidak mengetahui fakta-fakta ini. Sebaliknya, mereka percaya bahwa setiap kali seseorang menaiki tempat yang lebih tinggi, maka dia akan merasa lebih tenang dan bahagia serta bisa menikmati angin.

Ayat mulia ini jelas menunjukkan dua fakta yang telah hanya ditemukan akhir-akhir ini oleh ilmu pengetahuan modern. Yang pertama adalah dyspnea yang terjadi jika seseorang berjalan lebih tinggi di lapisan atmosfer karena kekurangan oksigen dan penurunan tekanan udara. Yang kedua adalah kesusahan napas yang mengarah pada kematian terjadi ketika seseorang berjalan lebih dari 30.000 meter di atas permukaan laut.

Hal ini disebabkan oleh penurunan drastis tekanan udara dan kekurangan oksigen secara ekstrem.
Yang penting untuk dicatat adalah keajaiban pemilihan kata yashsha’adu (menaiki) yang menunjukkan suatu kondisi yang sulit dan menggambarkan rasa sakit dan penderitaan yang menyertainya. Ini merupakan indikasi pasti bahwa Al-Qur’an ini benar-benar bersumber dari Yang Maha Mengetahui dan Maha Mengenal.


Eramuslim

Solusi Pada Saat Situasi Sulit






Ukuran  derajat kita dihadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah taqwa. Mulia atau hina diri kita dalam pandangan Allah SWT adalah tergantung tingkat ketaqwaan kita.

Begitu juga dalam menghadapi  permasalahan dan masa-masa yang sulit , situasi terjepit atau di dera timbunan problem yang terus menghimpit , solusi yang diambil menunjukan seberapa tingkat ketaqwaan kita dihadapanNya.

http://i4.mirror.co.uk/incoming/article1464899.ece/alternates/s1023/ONE%20USE%20ONLY%20-%20Fishing%20vessel%20%22Harvester%22%20crashing%20into%20wave%20on%20the%20North%20Sea,%20Europe,%20October%202011

Dengan kelemahannya sebagai manusia , seringkali manusia menemui jalan buntu . Ikhtiar dengan pikiran dan tenaga yang telah mencapai klimaksnya , pada beberapa kasus belum bisa mengatasi persoalan. Untuk itu manusia berusaha mencari alternatif lain , entah dengan maksud sebagai pelengkap , penyempurna, atau bahkan sebagai pengganti dari ikhtiar yang rasional. Banyak sekali pilihan alternative dicari, dan banyak pula tawaran tersaji. Sayangnya seringkali pilihan itu jatuh semata-mata mempertimbangkan “ Yang penting tujuan tercapai, meski harus menabrak aturan syar’i)

Dibalik hiruk pikuknya manusia mencari jalan keluar yang irasional itu, kebanyakan mereka melupakan hal yang paling penting  untuk dilakukan ketika itu . Bahwa, ketika seseorang dalam kondisi sulit, terjepit dan terhimpit itu sebenarnya menjadi modal paling besar untuk berdoa. Andai saja mereka mau berdoa kepada Allah agar diberi jalan keluar, kemudahan, kelapangan dan keselamatan, niscaya Allah akan mengabulkan . Karena Allah berfirman :

 أَمَّنْ يُجِيبُ الْمُضْطَرَّ إِذَا دَعَاهُ وَيَكْشِفُ السُّوءَ وَيَجْعَلُكُمْ خُلَفَاءَ الأرْضِ أَإِلَهٌ مَعَ اللَّهِ قَلِيلا مَا تَذَكَّرُونَ

“ Atau siapakah yang memperkenankan (doa) orang yang dalam kesulitan apabila ia berdoa kepada-Nya dan yang menghilangkan kesusahan” 
 (QS An Naml : 62)

Dialah Allah yang mengabulkan doa orang yang sakit , apalagi ketika segala usaha telah ditempuh demi mencari kesembuhan. Dokter sudah angkat tangan , dan berbagai pengobatan yang dibolehkan telah dicoba dan belum juga berhasil. Kondisi kritis adalah merupakan momentum emas untuk berdoa . Ketika usaha dirasa buntu, disitulah sebenarnya peluang besar terbuka dan pertolongan Allah akan datang.

Suatu hari, Ubaidullah bin Abi Shalit sakit dan dijenguk oleh Thawus bin Kaisan, ia berkata,” Doakan untuk kesembuhanku wahai Abu Abdu rahman (Thawus) . Ubaidullah meminta Thawus karena menurutnya Thawus adalah seorang ulama dan juga ahli ibadah. Akan tapi Thawus Rahimahullah justru berkata , “ Berdoalah untuk dirimu sendiri , karena Allah menjawab doa orang yang dalam kesulitan  apabila ia berdoa kepada Nya.” Thawus tidak bermaksud menolak dimintai doa, tapi beliau ingin menegaskan  bahwa doa orang yang sakit itu mustajab jika ia mau berdoa.’’

Allah lah yang mampu .menyelamatkan saat fisik tak lagi kuat bertahan, akal sudah buntu untuk mencari jalan keluar, tapi terkabulnya doa justru makin terbuka lebar. Bahkan Allah menyelamatkan orang-orang musyrik yang menghadapi bahaya di tengah laut, dalam keadaan sangat genting namun mereka tahu hanya Allah yang mampu menolong mereka, meskipun mereka memiliki banyak sesembahan lain.

وَإِذَا مَسَّكُمُ الضُّرُّ فِي الْبَحْرِ ضَلَّ مَنْ تَدْعُونَ إِلا إِيَّاهُ فَلَمَّا نَجَّاكُمْ إِلَى الْبَرِّ أَعْرَضْتُمْ وَكَانَ الإنْسَانُ كَفُورًا

“  dan apabila kamu ditimpa baha ya di lautan,niscaya hilanglah siapa yang kamu seru kecuali Dia, maka tatkala dia menyelamatkan  kamu ke daratan, kamu berpaling, dan manusia itu adalah selalu tidak berterima kasih.. 
(QS Al Isra; 67)

Ibnu Katsier menceritakan perihal tersebut “ Ketika Ikrimah bin Abu Jahal hendak lari dari Rasulullah SAW dalam peristiwa Fathul Makkah, dia menaiki kapal menuju Habsyah. Tiba-tiba badai datang, lalu orang-orang saling berkata “ Tak ada lagi yang bisa kalian buat selain berdoa hanya kepada Allah semata. “ Ketika itu Ikrimah berkata dalam hati,” demi Allah jika tidak ada yang bisa memberikan manfaat di laut selain Allah, maka tiada pula yang dapat memberi manfaat di daratan selain dia. Ya Allah saya berjanji , jika Engkau menyelamatkan aku dari badai ini, sungguh aku akan datang dan meletakkan tanganku di atas tangan Nabi SAW , dan aku berharap menjumpai beliau sedang beliau bersikap lembut dan santun padaku..” Akhirnya  mereka bisa selamat dari bahaya di laut. Ikrimah kembali kepada Rasulullah SAW, lalu masuk Islam dan bagus keislamannya , semoga Allah meridhoinya dan menjadikan ia ridha..”

Sayangnya, sangat sedikit orang yang seperti  Ikrimah, bisa mengambil pelajaran berharga saat kondisi sulit menghimpit. Kebanyakan orang kembali musyrik setelah selamat sampai di darat.

Bandingkan juga dengan kondisi musyrik hari ini. Ketika ekonomi sulit , ketika terjangkit penyakit, ketika dijerat hutang yang membelit dan ketika didera urusan yang serba sulit , mereka justru melupakan Allah. Yang mereka ingat pertama adalah jin penunggu, batu akik , rajah dan jimat  atau orang sakti yang telah mati. Tempat yang mereka tuju pertama pun kuburan, temapat keramat dan para dukun.

Dimanakah iman mereka, dimanakah akal mereka ? Peluang terkabulnya doa saat kondisi sulit mereka sia-siakan, justru mereka beralih kepada cara dan tempat yang tak jelas hasilnya, namun sudah pasti kesesatannya.

Semoga Allah ta’ala senantiasa  memelihara dan menjaga iman, Tauhid dan ketaqwaan.


Eramuslim

SHALAWAT SHOLATUM BISSALAMIL MUBIN







Lirik Shalawat 

صَلاَةٌ بِالسَّلاَمِ المُبِينِ     لِنُقطَةِ التَّعيِينِ يَاغَرَامِى

Sholatum bissalamil mubiini      linuqtotitta’yiini ya ghoromi
Shalawat serta salam sesungguhnya untuk yang terkhusus, wahai Rinduku…


نَبِيٌّ كَانَ اصلَ التَّكوِينِ     مِن عَهدِ كُن فَيَكُون يَاغَرَامِي

Nabiyyun kana ashlattakwiini            min ‘ahdikun fayakun ya ghoromi
Sang Nabi, awal penciptaan sejak masa Kun fa yakun, wahai Rinduku…


اَيَّامَن جَاءَنَا حَقًّا نَذِيرِ     مُغِيثًامُسبِلا سُبُلَ الرَّشَادِ

Ayyaman ja ana haqqon nadziri       mughiitsam musbilan subularrosyaadi
Wahai engkau yang telah datang kepada kami membawa sebenar peringatan, penolong serta penunjuk jalan kebenaran…


رَسُولُ اللهِ يَاضَاوِي الجَبِينِ     وَيَامَن جَاءَ بِالحَقِّ المُبِينِ

Rasulullahiya dhowil jabiini      wa ya man ja a bil haqqil mubiini
Wahai Rasulullah yang dahinya bercahaya…Wahai yang datang dengan kebenaran yang terang…


صَلاَةُ لَم تَزَل تُتلى عَلَيكَ     كَمِعطَرِ النِّسِيمِ تُهدى الَيك

sholatullamtazal tutla alaika         kami’thorinnasiimi tuhda ilaika
Shalawat senantiasa tercurah atasmu bagaikan angin wewangian yang dihadiahkan kepadamu…



Hukum Nikah Bagi Perempuan Yang Dalam Keadaan Hamil

 

Bahwa banyak perempuan yang menikah ketika sedang berbadan dua. Bagaimana Islam memandangnya?

Perempuan yang dinikahi dalam keadaan hamil ada dua macam :

Satu : Perempuan yang diceraikan oleh suaminya dalam keadaan hamil.

Dua : Perempuan yang hamil karena melakukan zina sebagaimana yang banyak terjadi di zaman ini –Wal ‘iyadzu billah- mudah-mudahan Allah menjaga kita dan seluruh kaum muslimin dari dosa terkutuk ini.

Adapun perempuan hamil yang diceraikan oleh suaminya, tidak boleh dinikahi sampai lepas ‘iddah nya. Dan ‘iddah-nya ialah sampai ia melahirkan sebagaimana dalam firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala :


وَ اللاَّئي‏ يَئِسْنَ مِنَ الْمَحيضِ مِنْ نِسائِكُمْ إِنِ ارْتَبْتُمْ فَعِدَّتُهُنَّ ثَلاثَةُ أَشْهُرٍ وَ اللاَّئي‏ لَمْ يَحِضْنَ وَ أُولاتُ الْأَحْمالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ وَ مَنْ يَتَّقِ اللهَ يَجْعَلْ لَهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْراً

 “Dan perempuan-perempuan yang hamil waktu ‘iddah mereka sampai mereka melahirkan kandungannya,” (QS. Ath-Tholaq : 4).

Dan hukum menikah dengan perempuan hamil seperti ini adalah haram dan nikahnya batil tidak sah sebagaimana dalam firman Allah Ta’ala :

وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا عَرَّضْتُم بِهِۦ مِنْ خِطْبَةِ ٱلنِّسَآءِ أَوْ أَكْنَنتُمْ فِىٓ أَنفُسِكُمْ ۚ عَلِمَ ٱللَّهُ أَنَّكُمْ سَتَذْكُرُونَهُنَّ وَلَٰكِن لَّا تُوَاعِدُوهُنَّ سِرًّا إِلَّآ أَن تَقُولُوا۟ قَوْلًۭا مَّعْرُوفًۭا ۚ وَلَا تَعْزِمُوا۟ عُقْدَةَ ٱلنِّكَاحِ حَتَّىٰ يَبْلُغَ ٱلْكِتَٰبُ أَجَلَهُۥ ۚ وَٱعْلَمُوٓا۟ أَنَّ ٱللَّهَ يَعْلَمُ مَا فِىٓ أَنفُسِكُمْ فَٱحْذَرُوهُ ۚ وَٱعْلَمُوٓا۟ أَنَّ ٱللَّهَ غَفُورٌ حَلِيمٌۭ

 “Dan janganlah kalian ber’azam (bertetap hati) untuk beraqad nikah sebelum habis ‘iddahnya”.
(QS. Al-Baqarah : 235).

Berkata Ibnu Katsir dalam tafsir-nya tentang makna ayat ini : “Yaitu jangan kalian melakukan akad nikah sampai lepas ‘iddah-nya”. Kemudian beliau berkata : ‘Dan para ‘ulama telah sepakat bahwa akad tidaklah sah pada masa ‘iddah”. Lihat : Al-Mughny 11/227, Takmilah Al-Majmu’ 17/347-348, Al-Muhalla 10/263 dan Zadul Ma’ad 5/156.

Adapun perempuan hamil karena zina, kami melihat perlu dirinci lebih meluas karena pentingnya perkara ini dan banyaknya kasus yang terjadi di seputarnya. Maka dengan mengharap curahan taufiq dan hidayah dari Allah Al-‘Alim Al-Khabir, masalah ini kami uraikan sebagai berikut :

Perempuan yang telah melakukan zina menyebabkan dia hamil atau tidak, dalam hal bolehnya melakukan pernikahan dengannya terdapat persilangan pendapat dikalangan para ‘ulama.
Secara global para ‘ulama berbeda pendapat dalam pensyaratan dua perkara untuk sahnya nikah dengan perempuan yang berzina.

Syarat yang pertama : Bertaubat dari perbuatan zinanya yang nista. Dalam pensyaratan taubat ada dua pendapat dikalangan para ‘ulama :

Satu : Disyaratkan bertaubat. Dan ini merupakan madzhab Imam Ahmad dan pendapat Qatadah, Ishaq dan Abu ‘Ubaid.

Dua : Tidak disyaratkan taubat. Dan ini merupakan pendapat Imam Malik, Syafi’iy dan Abu Hanifah.
Tarjih Yang benar dalam masalah ini adalah pendapat pertama yang mengatakan disyaratkan untuk bertaubat.

BERKATA Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Al-Fatawa 32/109 : “Menikahi perempuan pezina adalah haram sampai ia bertaubat, apakah yang menikahinya itu adalah yang menzinahinya atau selainnya. Inilah yang benar tanpa keraguan”.

Tarjih diatas berdasarkan firman Allah ‘Azza Wa Jalla :

الزَّاني‏ لا يَنْكِحُ إِلاَّ زانِيَةً أَوْ مُشْرِكَةً وَ الزَّانِيَةُ لا يَنْكِحُها إِلاَّ زانٍ أَوْ مُشْرِكٌ وَ حُرِّمَ ذلِكَ عَلَى الْمُؤْمِن

“Laki-laki yang berzina tidak menikahi melainkan perempuan yang berzina atau perempuan yang musyrik. Dan perempuan yang berzina tidak dinikahi melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik. Dan telah diharamkan hal tersebut atas kaum mu`minin,” 
(QS. An-Nur : 3).

Dan dalam hadits ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya ‘Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash, beliau berkata :
“Sesungguhnya Martsad bin Abi Martsad Al-Ghonawy membawa tawanan perang dari Makkah dan di Makkah ada seorang perempuan pelacur disebut dengan (nama) ‘Anaq dan ia adalah teman (Martsad). (Martsad) berkata : ‘Maka saya datang kepada Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam lalu saya berkata : ‘Ya Rasulullah, Saya nikahi ‘Anaq?’.

Martsad berkata : “Maka beliau diam, maka turunlah (ayat) : “Dan perempuan yang berzina tidak dinikahi melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik”. Kemudian beliau memanggilku lalu membacakannya padaku dan beliau berkata : “Jangan kamu nikahi dia,” (Hadits hasan, riwayat Abu Daud no. 2051, At-Tirmidzy no. 3177, An-Nasa`i 6/66 dan dalam Al-Kubra 3/269, Al-Hakim 2/180, Al-Baihaqy 7/153, Ibnul Jauzy dalam At-Tahqiq no. 1745 dan disebutkan oleh Syeikh Muqbil rahimahullahu dalam Ash-Shohih Al-Musnad Min Asbabin Nuzul).

Ayat dan hadits ini tegas menunjukkan haram nikah dengan perempuan pezina. Namun hukum haram tersebut bila ia belum bertaubat. Adapun kalau ia telah bertaubat maka terhapuslah hukum haram nikah dengan perempuan pezina tersebut berdasarkan sabda Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam :

“Orang yang bertaubat dari dosa seperti orang yang tidak ada dosa baginya,” (Dihasankan oleh Syeikh Al-Albany dalam Adh-Dho’ifah 2/83 dari seluruh jalan-jalannya)

Adapun para ‘ulama yang mengatakan bahwa kalimat ‘nikah’ dalam ayat An-Nur ini bermakna jima’ atau yang mengatakan ayat ini mansukh (terhapus hukumnya) ini adalah pendapat yang jauh dan pendapat ini (yaitu yang mengatakan bermakna jima’ atau mansukh) telah dibantah secara tuntas oleh Ibnu Taimiyah dalam Al-Fatawa 32/112-116. Dan pendapat yang mengatakan haram nikah dengan perempuan pezina sebelum bertaubat, ini pula yang dikuatkan Asy-Syinqithy dalam Adwa Al-Bayan 6/71-84 dan lihat Zadul Ma’ad 5/114-115.

Dan lihat permasalahan di atas dalam : Al-Ifshoh 8/81-84, Al-Mughny 9/562-563 (cet. Dar ‘Alamil Kutub), dan Al-Jami’ Lil Ikhtiyarat
Al-Fiqhiyah 2/582-585.

Catatan :
Sebagian ‘ulama berpendapat bahwa perlu diketahui kesungguhan taubat perempuan yang berzina ini dengan cara dirayu untuk berzina kalau ia menolak berarti taubatnya telah baik. Pendapat ini disebutkan oleh Al-Mardawy dalam Al-Inshof 8/133 diriwayatkan dari ‘Umar dan Ibnu ‘Abbas dan pendapat Imam Ahmad. Dan Ibnu Taimiyah dalam Al-Fatawa 32/125 kelihatan condong ke pendapat ini.

Tapi Ibnu Qudamah dalam Al-Mughny 9/564 berpendapat lain, beliau berkata : “Tidak pantas bagi seorang muslim mengajak perempuan untuk berzina dan memintanya. Karena permintaannya ini pada saat berkhalwat (berduaan) dan tidak halal berkhalwat dengan Ajnabiyah (perempuan bukan mahram) walaupun untuk mengajarinya Al-Qur’an maka bagaimana (bisa) hal tersebut dihalalkan dalam merayunya untuk berzina?”

Maka yang benar adalah ia bertaubat atas perbuatan zinanya sebagaimana ia bertaubat kalau melakukan dosa besar yang lainnya. Yaitu dengan lima syarat :

1. Ikhlash karena Allah.
2. Menyesali perbuatannya.
3. Meninggalkan dosa tersebut.
4. Ber’azam dengan sungguh-sungguh tidak akan mengulanginya.
5. Pada waktu yang masih bisa bertaubat seperti sebelum matahari terbit dari Barat dan sebelum ruh sampai ke tenggorokan.

Dan bukan disini tempat menguraikan dalil-dalil lima syarat ini. Wallahu A’lam.
Syarat Kedua : Telah lepas ‘iddah.

Para ‘ulama berbeda pendapat apakah lepas ‘iddah, apakah merupakan syarat bolehnya menikahi perempuan yang berzina atau tidak, ada dua pendapat :

Pertama : Wajib ‘iddah. Ini adalah pendapat Hasan Al-Bashry, An-Nakha’iy, Rabi’ah bin ‘Abdurrahman, Imam Malik, Ats-Tsaury, Imam Ahmad dan Ishaq bin Rahawaih.

Kedua : Tidak wajib ‘iddah. Ini adalah pendapat Imam Syafi’iy dan Abu Hanifah, tapi ada perbedaan antara mereka berdua pada satu hal, yaitu menurut Imam Syafi’iy boleh untuk melakukan akad nikah dengan perempuan yang berzina dan boleh berjima’ dengannya setelah akad, apakah orang yang menikahinya itu adalah orang yang menzinahinya itu sendiri atau selainnya.

Sedangkan Abu Hanifah berpendapat boleh melakukan akad nikah dengannya dan boleh berjima’ dengannya, apabila yang menikahinya adalah orang yang menzinahinya itu sendiri. Tapi kalau yang menikahinya selain orang yang menzinahinya maka boleh melakukan akad nikah tapi tidak boleh berjima’ sampai istibro` (telah nampak kosongnya rahim dari janin) dengan satu kali haid atau sampai melahirkan kalau perempuan tersebut dalam keadaan hamil.
Tarjih

Dan yang benar dalam masalah ini adalah pendapat pertama yang wajib ‘iddah berdasarkan dalil-dalil berikut ini :

1. Hadits Abu Sa’id Al-Khudry radhiyallahu ‘anhu, sesungguhnya Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda tentang tawanan perang Authos : “Jangan dipergauli perempuan hamil sampai ia melahirkan dan jangan (pula) yang tidak hamil sampai ia telah haid satu kali”. (HR. Ahmad 3/62,87, Abu Daud no. 2157, Ad-Darimy 2/224 Al-Hakim 2/212, Al-Baihaqy 5/329, 7/449, Ath-Thobarany dalam Al-Ausath no. 1973 dan Ibnul Jauzy dalam At-Tahqiq no. 307 dan di dalam sanadnya ada rowi yang bernama
Syarik bin ‘Abdullah An-Nakha’iy dan ia lemah karena hafalannya yang jelek tapi hadits ini mempunyai dukungan dari jalan yang lain dari beberapa orang shohabat sehingga dishohihkan dari seluruh jalan-jalannya oleh Syeikh Al-Albany dalam Al-Irwa` no. 187).

2. Hadits Ruwaifi’ bin Tsabit radhiyallahu ‘anhu dari Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam, beliau bersabda : “Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, maka jangan ia menyiramkan airnya ke tanaman orang lain,” (HR. Ahmad 4/108, Abu Daud
no. 2158, At-Tirmidzi no. 1131, Al-Baihaqy 7/449, Ibnu Qoni’ dalam Mu’jam Ash-Shohabah 1/217, Ibnu Sa’ad dalam Ath-Thobaqot 2/114-115, Ath-Thobarany 5/no.4482 dihasankan oleh Syeikh Al-Albany dalam Al-Irwa` no. 2137).

3. Hadits Abu Ad-Darda` riwayat Muslim dari Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam : “Beliau mendatangi seorang perempuan yang hampir melahirkan di pintu Pusthath. Beliau bersabda : “Barangkali orang itu ingin menggaulinya?” (Para sahabat) menjawab : “Benar”. Maka Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda : “Sungguh saya telah berkehendak untuk melaknatnya dengan laknat yang dibawa ke kuburnya. Bagaimana ia mewarisinya sedangkan itu tidak halal baginya dan bagaimana ia memperbudakkannya sedang ia tidak halal baginya?”

Berkata Ibnul Qayyim rahimahullah : “Dalam (hadits) ini ada dalil yang sangat jelas akan haramnya menikahi perempuan hamil, apakah hamilnya itu karena suaminya, tuannya (kalau ia seorang budak-pent.), syubhat (yaitu nikah dengan orang yang haram ia nikahi karena tidak tahu atau karena ada kesamar-samaran-pent.) atau karena zina.”

Nampaklah dari sini kuatnya pendapat yang mengatakan wajib ‘iddah dan pendapat ini yang dikuatkan oleh Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim, Asy-Syinqithy, Syaikh Ibnu Baz dan Al-Lajnah Ad-Daimah (Lembaga Fatwa Saudi Arabia). Wallahu A’lam.

Catatan :
Nampak dari dalil-dalil yang disebutkan di atas bahwa perempuan hamil karena zina tidak boleh dinikahi sampai melahirkan, maka ini ‘iddah bagi perempuan yang hamil karena zina dan ini juga ditunjukkan oleh keumuman firman Allah ‘Azza Wa Jalla :

وَ اللاَّئي‏ يَئِسْنَ مِنَ الْمَحيضِ مِنْ نِسائِكُمْ إِنِ ارْتَبْتُمْ فَعِدَّتُهُنَّ ثَلاثَةُ أَشْهُرٍ وَ اللاَّئي‏ لَمْ يَحِضْنَ وَ أُولاتُ الْأَحْمالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ وَ مَنْ يَتَّقِ اللهَ يَجْعَلْ لَهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْراً

“Dan perempuan-perempuan yang hamil waktu ‘iddah mereka sampai mereka melahirkan kandungannya,” 
 (QS. Ath-Tholaq : 4).

Adapun perempuan yang berzina dan belum nampak hamilnya, ‘iddahnya diperselisihkan oleh para ‘ulama yang mewajibkan ‘iddah bagi perempuan yang berzina. Sebagian para ‘ulama mengatakan bahwa ‘iddahnya adalah istibro` dengan satu kali haid. Dan ‘ulama yang lainnya berpendapat : tiga kali haid yaitu sama dengan ‘iddah perempuan yang ditalak.

Dan yang dikuatkan oleh Imam Malik dan Ahmad dalam satu riwayat adalah cukup dengan istibro` dengan satu kali haid. Dan pendapat ini yang dikuatkan oleh Ibnu Taimiyah berdasarkan hadits Abu Sa’id Al-Khudry di atas. Dan ‘iddah dengan tiga kali haid hanya disebutkan dalam Al-Qur’an bagi perempuan yang ditalak (diceraikan) oleh suaminya sebagaimana dalam firman Allah Jalla Sya`nuhu:

وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ ۚ وَلَا يَحِلُّ لَهُنَّ أَنْ يَكْتُمْنَ مَا خَلَقَ اللَّهُ فِي أَرْحَامِهِنَّ إِنْ كُنَّ يُؤْمِنَّ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۚ وَبُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِي ذَٰلِكَ إِنْ أَرَادُوا إِصْلَاحًا ۚ وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ ۚ وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ ۗ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ - See more at: http://www.alim.org/library/quran/ayah/compare/2/228/waiting-period-after-divorce#sthash.BcCu8p57.dpuf
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ ۚ وَلَا يَحِلُّ لَهُنَّ أَنْ يَكْتُمْنَ مَا خَلَقَ اللَّهُ فِي أَرْحَامِهِنَّ إِنْ كُنَّ يُؤْمِنَّ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۚ وَبُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِي ذَٰلِكَ إِنْ أَرَادُوا إِصْلَاحًا ۚ وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ ۚ وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ ۗ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ - See more at: http://www.alim.org/library/quran/ayah/compare/2/228/waiting-period-after-divorce#sthash.BcCu8p57.dpuf
وَٱلْمُطَلَّقَٰتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنفُسِهِنَّ ثَلَٰثَةَ قُرُوٓءٍۢ ۚ وَلَا يَحِلُّ لَهُنَّ أَن يَكْتُمْنَ مَا خَلَقَ ٱللَّهُ فِىٓ أَرْحَامِهِنَّ إِن كُنَّ يُؤْمِنَّ بِٱللَّهِ وَٱلْيَوْمِ ٱلْءَاخِرِ ۚ وَبُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِى ذَٰلِكَ إِنْ أَرَادُوٓا۟ إِصْلَٰحًۭا ۚ وَلَهُنَّ مِثْلُ ٱلَّذِى عَلَيْهِنَّ بِٱلْمَعْرُوفِ ۚ وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌۭ ۗ وَٱللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ

 “Dan wanita-wanita yang dithalaq (hendaknya) mereka menahan diri (menunggu) selama tiga kali quru`(haid)”. 
(QS. Al-Baqarah : 228).

Kesimpulan Pembahasan :

1. Tidak boleh nikah dengan perempuan yang berzina kecuali dengan dua syarat yaitu, bila perempuan tersebut telah bertaubat dari perbuatan nistanya dan telah lepas ‘iddah-nya.

2. Ketentuan perempuan yang berzina dianggap lepas ‘iddah adalah sebagai berikut :
• Kalau ia hamil, maka ‘iddahnya adalah sampai melahirkan.
• Kalau ia belum hamil, maka ‘iddahnya adalah sampai ia telah haid
satu kali semenjak melakukan perzinahan tersebut. Wallahu Ta’ala A’lam.
Lihat pembahasan di atas dalam : Al-Mughny 9/561-565, 11/196-197, Al-Ifshoh 8/81-84, Al-Inshof 8/132-133, Takmilah Al-Majmu’ 17/348-349, Raudhah Ath-Tholibin 8/375, Bidayatul Mujtahid 2/40, Al-Fatawa 32/109-134, Zadul Ma’ad 5/104-105, 154-155, Adwa` Al-Bayan 6/71-84 dan Jami’ Lil Ikhtiyarat Al-Fiqhiyah Lisyaikhil Islam Ibnu Taimiyah 2/582-585, 847-850.

2. Telah jelas dari jawaban di atas bahwa perempuan yang hamil, baik hamil karena pernikahan sah, syubhat atau karena zina, ‘iddahnya adalah sampai melahirkan. Dan para ‘ulama sepakat bahwa akad nikah pada masa ‘iddah adalah akad yang batil lagi tidak sah. Dan kalau keduanya tetap melakukan akad nikah dan melakukan hubungan suami-istri setelah keduanya tahu haramnya melakukan akad pada masa ‘iddah maka keduanya dianggap pezina dan keduanya harus diberi hadd (hukuman) sebagai pezina kalau negara mereka menerapkan hukum Islam, demikian keterangan Imam Ibnu Qudamah dalam Al-Mughny 11/242.

Kalau ada yang bertanya : “Setelah keduanya berpisah, apakah boleh keduanya kembali setelah lepas masa ‘iddah?”.
Jawabannya adalah Ada perbedaan pendapat di kalangan para ‘ulama. Jumhur (kebanyakan) ‘ulama berpendapat : “Perempuan tersebut tidak diharamkan baginya bahkan boleh ia meminangnya setelah lepas ‘iddah-nya.”

Dan mereka diselisihi oleh Imam Malik, beliau berpendapat bahwa perempuan telah menjadi haram baginya untuk selama-lamanya. Dan beliau berdalilkan dengan atsar ‘Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu yang menunjukkan hal tersebut. Dan pendapat Imam Malik ini juga merupakan pendapat dulu dari Imam Syafi’iy tapi belakangan beliau berpendapat bolehnya menikah kembali setelah dipisahkan.

Dan pendapat yang terakhir ini zhohir yang dikuatkan oleh Ibnu Katsir dalam tafsir-nya dan beliau melemahkan atsar ‘Umar yang menjadi dalil bagi Imam Malik bahkan Ibnu Katsir juga membawakan atsar yang serupa dari ‘Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu yang menunjukkan bolehnya. Maka sebagai kesimpulan pendapat yang kuat dalam masalah ini adalah boleh keduanya menikah kembali setelah lepas ‘iddah. Wal ‘Ilmu ‘Indallah. Lihat : Tafsir Ibnu Katsir 1/355 (Darul Fikr).

3. Laki-laki dan perempuan hamil yang melakukan pernikahan dalam keadaan keduanya tahu tentang haramnya menikahi perempuan hamil kemudian mereka berdua tetap melakukan jima’ maka keduanya dianggap berzina dan wajib atas hukum hadd kalau mereka berdua berada di negara yang diterapkan di dalamnya hukum Islam dan juga tidak ada mahar bagi perempuan tersebut.

Adapun kalau keduanya tidak tahu tantang haramnya menikahi perempuan hamil maka ini dianggap nikah syubhat dan harus dipisahkan antara keduanya karena tidak sahnya nikah yang seperti ini sebagaimana yang telah diterangkan.

Adapun mahar, si perempuan hamil ini berhak mendapatkan maharnya kalau memang belum ia ambil atau belum dilunasi.

Hal ini berdasarkan hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda : “Perempuan mana saja yang nikah tanpa izin walinya, maka nikahnya batil, nikahnya batil, nikahnya batil, dan apabila ia telah masuk padanya (perempuan) maka baginya mahar dari dihalalkannya kemaluannya, dan apabila mereka berselisih maka penguasa adalah wali bagi yang tidak mempunyai wali”. (HR. Syafi’iy sebagaimana dalam Munadnya 1/220,275, dan dalam Al-Umm 5/13,166, 7/171,222, ‘Abdurrazzaq dalam Mushonnafnya 6/195, Ibnu Wahb sebagaimana dalam Al-Mudawwah Al-Kubra 4/166, Ahmad 6/47,66,165, Ishaq bin Rahawaih dalam Musnadnya 2/no. 698, Ibnu Abi Syaibah 3/454, 7/284, Al-Humaidy dalam Musnadnya 1/112,

Ath-Thoyalisy dalam Musnadnya no. 1463, Abu Daud no. 2083, At-Tirmidzi no. 1102, Ibnu Majah no. 1879, Ibnu Jarud dalam Al-Muntaqo no. 700, Sa’id bin Manshur dalam sunannya 1/175, Ad-Darimy 2/185, Ath-Thohawy dalam Syarah Ma’any Al-Atsar 3/7, Abu Ya’la dalam Musnadnya no. 4682,4750,4837, Ibnu Hibban sebagaimana dalam Al-Ihsan no. 4074, Al-Hakim 2/182-183, Ad-Daruquthny 3/221, Al-Baihaqy 7/105,124,138, 10/148, Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah 6/88, As-Sahmy dalam Tarikh
Al-Jurjan hal. 315, Ibnul Jauzy dalam At-Tahqiq no. 1654 dan Ibnu ‘Abbil Barr dalam At-Tamhid 19/85-87 dan dishohihkan oleh Al-Albany dalam Al-Irwa` no.1840).

Nikah tanpa wali hukumnya adalah batil tidak sah sebagaimana nikah di masa ‘iddah hukumnya batil tidak sah. Karena itu kandungan hukum dalam hadits mencakup semuanya. Demikian rincian Ibnu Qudamah, Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qayyim.

Adapun orang yang ingin meminang kembali perempuan hamil ini setelah ia melahirkan, maka kembali diwajibkan mahar atasnya berdasarkan keumuman firman Allah Ta’ala :

وَآتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً ۚ فَإِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِنْهُ نَفْسًا فَكُلُوهُ هَنِيئًا مَرِيئًا

 “Berikanlah kepada para perempuan (yang kalian nikahi) mahar mereka dengan penuh kerelaan,”
(QS. An-Nisa` : 4)

Islampos