رَبِّ اغْفِرْ لِي وَهَبْ لِي مُلْكًا لا يَنْبَغِي لأحَدٍ مِنْ بَعْدِي إِنَّكَ أَنْتَ الْوَهَّابُ


"Ya Rabb-ku, ampunilah aku, dan anugerahkanlah kepadaku kerajaan, yang tidak dimiliki oleh seorangpun juga sesudahku, sesungguhnya Engkaulah Yang Maha pemberi’."

Senin, 31 Agustus 2015

Cara Setan Masuk Ke Dalam Manusia



SETAN merupakan satu-satunya makhluk yang paling berbahaya bagi manusia. Ia musuh yang paling nyata. Kebenciannya terhadap manusia membuat ia rela melakukan segala cara untuk masuk ke dalam diri manusia. Hal ini semata-mata ia lakukan untuk membuat manusia berpaling dari Tuhannya, sehingga ia mempunyai teman yang banyak di dalam api neraka.
Setan masuk ke dalam diri manusia dengan berbagai cara dan datang dari semua arah. Hal ini pernah dijelaskan oleh setan sendiri, yaitu setan yang bernama Iblis.

Sebagaimana dikisahkan dalam Al-Quran, “Iblis menjawab, ‘Karena Engkau telah menyesatkanku, pasti aku akan selalu menghalangi manusia dari jalanMu yang lurus. Aku pun pasti akan mendatangi mereka dari depan, belakang, kanan dan kiri mereka. Sehingga Engkau tidak akan mendapati kebanyakan manusia bersyukur,” (QS. Al-A’raf: 16-17).

Menurut Al Hakam bin Utaibah bahwa yang dimaksud dengan dari muka adalah dunia, dari belakang adalah akhirat, dari kanan adalah kebaikan dan dari kiri adalah keburukan. Kendati Al Hakam telah memberi tafsiran untuk empat kata tersebut, tafsirannya masih memerlukan penjelasan, karena ayat tersebut mengandung makna yang jauh lebih luas. Maka yang dimaksud dengan:

1. Mendatangi mereka dari muka adalah setan senantiasa menggunakan kehidupan manusia dalam urusan dunia yang terlihat jelas untuk melupakan mereka terhadap urusan yang masih ghaib, yaitu akhirat dan kehidupan dunia dipandang tidak berhubungan dengan akhirat.

2. Mendatangi mereka dari belakang, yaitu menggunakan amal ukH.R.owi untuk kepentingan dunia. Al-Quran adalah pembimbing yang mengarahkan semua kehidupan manusia agar menjadi amal ibadah demi kepentingan akhirat. Namun, dengan belajar dari pengalaman yang sudah ribuan tahun, maka iblis terus menerus berbisik dan mengarahkan manusia agar menggunakan Al-Quran untuk kepentingan dunia.
   Setan juga mengarahkan orang yang suka beribadah agar menjadikan ibadahnya untuk kepentingan dunia pula. Bahkan, dia juga menanamkan ke dalam hati manusia keangkuhan tersembunyi, yaitu meyakini bahwa keajaiban-keajaiban yang dialaminya adalah bukti ketakwaan dirinya kepada Allah. Jika sudah muncul keangkuhan, maka desakan menuju kemusyrikan semakin kuat dan jalan kesesatan di hadapannya semakin terbuka lebar.

3. Dengan kebaikan. Amal kebaikan yang dikerjakan seorang hamba pun tidak lepas dari incaran setan. Setan berupaya menggunakan amal kebaikan seorang hamba sebagai jalan menuju keangkuhan. Dia berbisik kepada orang yang beramal kebaikan agar memandang dirinya sebagai orang yang lebih utama dan mulia, bahkan lebih dari itu merasa diri sebagai orang suci dari dosa.
Alkisah, pada suatu hari, seorang praktisi ruqyah ditanya, “Ustadz, mengapa bacaan ustadz sangat berpengaruh bagi pasien, sementara bacaan orang lain tidak? Padahal, orang lain pun mampu membaca yang ustadz baca?” Dengan yakin dia menjawab, “Oh, itu urusan ketakwaan.”
Kisah lain, seorang yang mengaku sufi mengaku bahwa dia telah mampu membela diri dengan kekuatan ghaib. Ketika seorang pemuda berkata, “Ustadz tolong ajarkan padaku agar aku memiliki bekal untuk berjihad.” Dia berkata kepada pemuda itu, “Kalian beluam sampai kepada maqam yang kami capai.”

Bahkan, dari kalangan mereka, ada yang lebih parah lagi, yaitu mengaku lebih mulia daripada nabi dan malaikat, seperti yang diungkapkan tokoh spiritual di Asia Tengah, “Sesungguhnya pemimpin-pemimpin kami menempati kedudukan yang tidak dicapai oleh nabi yang diutus dan tidak pula dicapai oleh malaikat yang dekat.”

4. Dengan keburukan. Ketika seorang hamba mendapat satu musibah atau menghadapi kesulitan, maka setan akan terus berusaha untuk menanamkan keresahan, kegelisahan, hingga kehilangan kontrol dalam sikap dan ucapan yang akhirnya keluar kata-kata kufur dan syirik.
Di samping itu, juga sangat mungkin setan membisiki seorang hamba tadi agar mengatasi masalah dengan cara yang melanggar syariat, seperti mengatasi penyakit dengan menggunakan dukun atau mengatasi kemiskinan dengan mencuri atau merampok.



Islampos

Pada Masa Nabi Sulaiman Bukan Jin Ifrit yang Memindahkan Singgasana Ratu Saba’



JIKA kita sering diperdengarkan kisah tentang dua puluh lima nabi sejak kecil, tentu kita tidak akan asing dengan kisah tentang kerajaan Nabi Sulaiman.

Kisah tentang kerajaan Nabi Sulaiman menjadi cerita yang menarik dan terus lestari dari generasi ke generasi. Al-Qur’an pun menceritakan dengan cukup detail, namun kita tidak sepenuhnya mampu memahami inti pesan yang Allah SAWT sampaikan lewat ayat-ayat itu.

Tidak sedikit dari kita hanya menceritakan kembali apa yang pernah kita dengar dari orang tua atau kakek kita, tanpa pernah meneliti kembali bagian-bagian penting dari kisah itu, sehingga bisa melepaskan diri dari kesalahan yang mungkin diwariskan secara turun-temurun.

Bagian yang cukup penting yang perlu kita teliti kembali adalah, mengenai siapa yang berhasil memindahkan singgasana Ratu Saba’ ke dalam istana Nabi Sulaiman.

Sebagian besar dari kita mungkin mendapatkan cerita bahwa yang memindahkan singgasana itu adalah jin Ifrit, karena dia dikenal sebagai jin yang cerdik dan kuat secara fisik. Akan tetapi, mari kita teliti kembali bagian-bagian dari ayat al-Qur’an yang menceritakan hal ini.

(٣٩)قَالَ عِفْريتٌ مِنَ الْجِنِّ أَنَا آتِيكَ بِهِ قَبْلَ أَنْ تَقُومَ مِنْ مَقَامِكَ وَإِنِّي عَلَيْهِ لَقَوِيٌّ أَمِينٌ
قَالَ الَّذِي عِنْدَهُ عِلْمٌ مِنَ الْكِتَابِ أَنَا آتِيكَ بِهِ قَبْلَ أَنْ يَرْتَدَّ إِلَيْكَ طَرْفُكَ فَلَمَّا رَآهُ مُسْتَقِرًّا عِنْدَهُ قَالَ هَذَا مِنْ فَضْلِ رَبِّي لِيَبْلُوَنِي
(٤٠)أَأَشْكُرُ أَمْ أَكْفُرُ وَمَنْ شَكَرَ فَإِنَّمَا يَشْكُرُ لِنَفْسِهِ وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ رَبِّي غَنِيٌّ كَرِيمٌ

“Ifrit dari golongan jin berkata, ‘Akulah yang akan membawanya kepadamu sebelum engkau berdiri dari tempat dudukmu; dan sungguh, aku kuat melakukannya dan dapat dipercaya.’ Seorang yang mempunyai ilmu dari kitab berkata, ‘Aku akan membawa singgasana itu kepadamu sebelum matamu berkedip.’ Maka ketika dia (Sulaiman) melihat singgasana itu terletak di hadapannya, dia pun berkata, ‘Ini termasuk karunia Rabbku untuk mengujiku, apakah aku bersyukur atau mengingkari (nikmat-Nya). Barangsiapa bersyukur maka sesungguhnya dia bersyukur untuk (kebaikan) dirinya sendiri, dan barang siapa ingkar, maka sesungguhnya Rabbku Mahakaya, Mahamulia,’”(QS. An-Naml: 39-40)
Ayat di atas jelas menyatakan, bahwa yang membawa singgasana itu ke dalam istana Nabi Sulaiman bukan jin Ifrit, karena dia kalah cepat dan kalah cerdik dari seorang hamba Allah yang memiliki ilmu dari kitab. Hamba Allah itu mampu membawa singgasana itu ke hadapan Nabi Sulaiman sebelum dia mengedipkan mata. Sedangkan Ifrit hanya mampu membawanya ke hadapan Nabi Sulaiman sebelum dia bangkit dari tempat duduknya.

Peristiwa ini memberikan pelajaran yang tetap mengukuhkan keunggulan manusia di atas makhluk Allah yang lain, bahkan jin sekalipun. Hamba Allah yang berhasil membawa singgasana itu digambarkan dengan kata alladzii ‘indahuu ‘ilmun minal kitaab (yang mempunyai ilmu dari kitab). Silahkan mengamati kata-kata itu dengan baik dan cobalah cerna, apa pesan yang ingin Allah SWT sampaikan kepada kita lewat peristiwa itu.

Hamba Allah itu mampu menempuh jarak antara negeri Saba’ yang berada di sekitar wilayah Yaman dan kerajaan Nabi Sulaiman yang berada di wilayah Yarussalem (sekitar 2.022 km) dengan membawa singgasana besar dengan berat ratusan kilogram, hanya dalam waktu kurang dari satu kediapan mata. Apakah ini mukjizat, ataukah karomah, atau mungkin sebagai bagian dari kemajuan teknologi transportasi di zaman Nabi Sulaiman?

Bila peristiwa itu disebut sebagai mukjizat atau karomah, redaksi kata dalam ayat itu sangat jelas menyatakan bahwa hamba Allah itu memiliki ilmu yang digali dari kitab (alladzii indahuu ilmun minal kitaab). Ilmu yang membuat dia mampu melakukannya. Sehingga Nabi Sulaiman sangat bangga dengan apa yang dilakukan hamba tersebut dan berucap, ”Ini termasuk karunia Tuhanku untuk mengujiku apakah aku bersyukur atau mengingkari (akan nikmat-Nya), dan siapa yang bersyukur maka sesungguhnya dia bersyukur untuk (kebaikan) dirinya sendiri dan siapa yang ingkar, maka sesungguhnya Tuhanku Mahakaya lagi Mahamulia.”

Apakah kemajuan teknologi saat ini sudah ada yang mampu menggabungkan kekuatan dan kecepatan seperti itu dalam satu jenis alat transportasi?
Allah SWT memberikan stimulasi untuk kita mau mempelajari dan meneliti hanya dalam beberapa ayat al-Qur’an. Menyingkap suatu disiplin ilmu yang belum terungkap agar bisa memberi lebih banyak manfaat bagi kehidupan. Pada setiap ayat tersebut pula, Allah SWT selalu menyertakan pemberitahuan bahwa tidak ada sesuatu pun di jagat raya ini yang berada di luar kendali-Nya; dan kepada Allah SWT pula kita akan kembali dan mempertanggungjawabkan apa yang pernah kita perbuat selama hidup.

أَلَمْ تَعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ لَهُ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ وَمَا لَكُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ مِنْ وَلِيٍّ وَلا نَصِيرٍ
“Tidakkah kamu tahu bahwa Allah memiliki kerajaan langit dan bumi? Dan tidak ada bagi kalian pelindung dan penolong selain Allah SWT,”(QS. Al-Baqarah: 107).



Islampos

Berdoalah Selalu Agar Iman Terjaga



Bukan harta, apalagi jabatan yang menjadi bekal terbaik dalam hidup ini. Akidah yang kuat dengan iman yang kokoh menjadi energi terbaik dan membuat seseorang menjadi lebih kuat.

Diriwayatkan dari Jabir ra, ia berkata, "Pada Perang Uhud ada seorang yang bertanya kepada Nabi SAW, 'Apakah engkau tahu di manakah tempatku seandainya aku terbunuh?' Beliau menjawab, 'Di dalam surga.' Kemudian orang itu melemparkan biji-biji kurma yang ada di tangannya, lalu maju ke medan perang sampai mati terbunuh." (HR Bukhari dan Muslim).

Iman dalam setiap diri kadang naik dan turun. Karena itu, peliharalah dan pertahankan sebaik mungkin. Rasulullah SAW mengibaratkan iman sebagai perhiasan terindah, tergambar dalam doa, "Ya Allah, hiasilah kami dengan perhiasan keimanan. Dan, jadikanlah kami sebagai orang yang mendapatkan petunjuk dan memberi petunjuk kepada orang lain."

Hidup manusia selalu berada pada bukit, lembah, bahkan dasar jurang, semuanya serbaberliku dan menantang, butuh proses panjang dalam menjalaninya. Seperti roda yang terus berputar, kadang di bawah, kadang juga di atas. Ketika berada di atas, rasanya nyaman dan penuh rasa syukur menjalaninya.
Namun, saat terpuruk di bawah, penuh kesedihan, penyesalan, dan rasa kehilangan. Tak jarang, sebagian dari kita marah, protes atas takdir-Nya, berputus asa dan lari dari kenyataan dan mengakhiri hidup dengan konyol (bunuh diri).

Harta, takhta, jabatan, atau keluarga sekali pun belumlah cukup menjadikan diri manusia kuat menghadapi segala cobaan. Hanya keimanan yang menjadi obat sekaligus penguat dalam menyikapi segala persoalan kehidupan.

Iman yang kuat membuat manusia bijak dalam bersikap, berbuat, dan bertindak. Iman berfungsi sebagai perisai yang melindungi dari perbuatan jahat dan mendorong untuk melakukan perbuatan-perbuatan baik. Dengan iman, sekeras apa pun cobaan yang menimpa, tidak akan menjadikan diri kita berburuk sangka kepada Allah SWT. Dengan iman, hidup menjadi lebih optimistis, selalu bersemangat, dan penuh makna.

Berdoalah selalu agar iman kita terjaga. Sesungguhnya, orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan, niscaya diberi petunjuk oleh Tuhan karena keimanannya. (QS Yunus: 9).

Jauhkan diri kita dari kebodohan, kelalaian dalam beribadah, nafsu yang membawa kepada keburukan, dan berbuat maksiat karena akan mengurangi iman. Berlindunglah selalu kepada Allah SWT agar dilindungi dari godaan setan, godaan gemerlap duniawi yang melalaikan, dan teman bergaul yang berakhlak buruk. Kecenderungan manusia untuk menumpuk harta dan lalai kepada peran sejatinya sebagai hamba dan khalifah di muka bumi ini telah digambarkan Allah SWT dalam surah at-Takatsur.

Padahal, harta dan takhta hanyalah amanah dan alat untuk beribadah. Tetaplah pelihara hati agar jangan pernah sedetik pun berpaling dari Allah Yang Maha Rahman dan Rahim. Dengan keimanan, kebahagiaan dunia dan akhirat menjadi niscaya. Dengan keimanan pula, akan digapai ketenangan dan kemantapan jiwa.

Dalam Alquran surah an-Nahl ayat 97, Allah berfirman, "Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik...."

Iman membimbing kepada ketaatan, keihklasan dalam beribadah, sabar menghadapi cobaan, dan tawakal kepada Allah. Hatinya selalu diliputi kepasrahan, ketenangan, penuh harap, dan ridha atas segala keputusan-Nya. Wallahu'alam.


 Republika

Belajar Ilmu Hikmah



Thalut diragukan kemampuannya ketika melawan Zhalut. Anak muda yang saleh dari bani Israil ini dianggap tak memiliki apa- apa. Umatnya bahkan menelisik dengan nada mengejek, "Bagaimana Thalut memerintah kami, padahal kami lebih berhak mengendalikan pemerintahan darinya sedangkan dia pun tidak diberi kekayaan yang banyak?"

Umat bani Israil itu sering aneh dan tak pandai bersyukur. Pasca wafatnya Musa AS dan Yusa bin Nun hingga kehadiran pemimpin mereka bernama Shamil, mereka sesungguhnya kehilangan tonggak kepemimpinan yang memberi arah jalan.

Mereka meminta kelahiran sosok pemimpin baru untuk melawan rezim Amaliqah. Lalu, Tuhan mengirim Thalut. Dia hanya penggembala miskin, padahal yang diharapkan ialah pemimpin keturunan Lawi bin Ya'kub atau Yahuza bin Ya'kub.

Namun, Tuhan memberi ilmu dan hikmah kepada Thalut. Akhirnya, dengan izin Allah, Thalut mampu mengalahkan Zhalut sang perkasa dari negeri Amaliqah sebagaimana dikisahkan dalam Alquran surah al-Baqarah ayat 246-248.

Insan beriman niscaya belajar banyak rahasia hidup dengan radar iman dan ilmu yang melampaui. Belajar ilmu hikmah untuk membaca ayat- ayat kauniyah Tuhan yang sering kali penuh misteri dalam hidup di semesta raya ini.

Alquran mengungkap kisah-kisah sarat hikmah, seperti Ashab al-Kahfi, Lukman al-Hakim, Dzulqarnain, pertemuan Musa dan Khidir, Ibrahim dan Ismail berkurban, dan banyak lainnya sebagai ibrah.

Membacanya tidak memadai hanya dengan nakar verbal dan instrumental. Manusia beriman, siapa pun dia, sikap hidupnya tentu bukan sekadar berwawasan duniawi atau indrawi belaka. Dunia sendiri disebut Tuhan al-mata al-ghurur, penuh senda gurau, dan permainan. Kejayaan duniawai tetap nisbi dan tak pernah absolut.

Kehebatan manusia siapa pun dia memiliki batas lebih dan kurang. Di dalam kelebihannya terdapat kekurangan dan dalam kelemahannya tersimpan kekuatan. Fir'aun yang superperkasa pun memiliki kelemahan, dia sepanjang hayatnya dibayang-bayangi ketakutan sosok bayi laki-laki yang akan merenggut kedigdayaannya.

Ilmu manusia itu terbatas, betapa pun ia merasa hebat. Apalagi, sekadar ilmu akademik. Allah SWT dalam surah al-Israa'ayat 37 mengingatkan kaum beriman agar tidak arogan. Manusia sombong itu, menurut sabda Nabi, memiliki dua sifat, bathar al-haqq wa ghamthu al-nas, yakni suka menolak kebenaran dari orang lain dan merendahkan sesama. Baru memperoleh ilmu dan merambah dunia sebahu, sudah bertepuk dada seolah setinggi langit. Padahal, di atas langit ada lagi langit.

Belajarlah ilmu hikmah bersama agar semakin tinggi kian merunduk. Hikmah adalah pengetahuan dan kebaikan yang melampaui batas syariat menembus titik hakikat dan makrifat. Hikmah menembus jiwa dan makna ihsan ke jantung terdalam.

Mereka yang diberi ilmu minus hikmah, seperti Musa, kala muda yang merasa serba tahu, tetapi akhirnya terpaksa harus belajar kepada Khidzir yang ilmunya menembus batas cakrawala yang tak terjangkau nalar verbal. Berilmu plus hikmah akan melahirkan kecerdasan yang arif mencerahkan.

Hikmah diraih karena berkah Allah. Difirmankan, yang artinya "Allah memberikan hikmah kepada sesiapa yang dikehendakinya. Dan, barang siapa yang diberi hikmah, sungguh telah diberi kebaikan yang banyak." (QS al- Baqarah: 269). Lukman al-Hakim juga satu di antara hamba Allah yang diberi hikmah yang dari dirinya lahir banyak kebaik an dan suri teladan bagi kehi - dup an, bak pelita di tengah kegelapan.

Berilmu semestinya naik tangga menuju ilmu berhikmah bukan sekadar ilmu verbal dan instrumental. Banyak orang berilmu, tetapi ilmunya tak mence - rahkan sekitar, bahkan tak mampu menerangi dirinya. Mereka yang berilmu tinggi pun tak jarang tersesat arah jalan sehingga mengalami disorientasi hidup.

Apalagi, baru ilmu sejengkal yang menyentuh kulit luar. Mereka sering merasa benar di jalan sesat. Maka, untuk apa merasa digdaya dengan ilmu dan segala atribut kuasa yang dimiliki manakala tak mampu membuahkan hikmah dalam kehidupan?

Banyak hal dalam hidup ini menj adi berantakan dan salah kaprah karena manusia kehilangan hikmah. Politik dan segala aktivitas perebutan akses kehidupan di manapun menjadi serbagarang karena minus hikmah. Hanya karena satu posisi yang tak seberapa manusia beriman sering saling mengancam dan menerkam sesama.
Merasa hebat, namun kerdil. Merasa menjadi pewaris para Nabi pun sekadar baju luar, minus ilmu hikmah untuk mengajarkan se gala kearifan hidup. Akhirnya, ma nusia bisa saling memangsa da lam hukum homo homini lopus.

Nilai autentik Belajar kepada Lukman al- Hakim, Khidhir, Dzulkarnain, lebih-lebih kepada para Nabi dan Rasul kekasih Allah sungguh tak mudah. Juga kepada para sosok- sosok saleh dan cerdas di manapun tempatnya yang menyiramkan benih-benih kebaikan semesta.
Menyerap serbuk kebajikannya pun boleh jadi merupakan suatu pendakian yang sangat berat. Apalagi, untuk meneladani para Nabi dan Rasul dalam seluruh gerak hidup selaku insan beriman yang sering tersandera oleh banyak topeng dan kepentingan-kepentingan serbainstan yang menyala-nyala.

Maka, menjadi penting mem bangkitkan api iman yang autentik berbingkai hikmah sebagai sikap Muslim yang hanif di tengah hiruk-pikuk kehidupan yang sering kali membuat diri mengalami disorientasi dan sesat jalan. Setiap hari seorang Muslim berdoa, "Tunjukkan kami jalan yang lurus, (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka, bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan pula (jalan) mereka yang sesat." (QS al-Fatihah: 6-7).

Doa itu selain membuka pintu berkah dan perkenan Tuhan, sesungguhnya menularkan energi positif untuk menjalani hidup dengan nilai- nilai ruhaniah yang berwawasan hikmah. Boleh jadi hidayah iman dan Islam dalam makna verbal selalu melekat dalam diri setiap Muslim.

Namun, tak tertutup kemungkinan jalan hidupnya berbelok arah karena iman dan Islamnya tak menghunjam ke kalbu terdalam dan mem buah - kan ihsan serbakebaikan. Iman dan Islam yang harus menjadi - kan setiap insan Muslim berada di jalan lurus dan berperilaku serbabajik yang menyebarkan kesalehan di manapun berada.

Keberimanan dan keberislaman yang benar-benar menampilkan sikap hidup yang tulus, jujur, amanah, damai, welas asih, rendah hati, toleran, dan memuliakan sesama tanpa diskriminasi. Bukan keimanan dan keislaman dalam pesona lisan, teori, dan retorika yang biasanya jauh lebih indah ketimbang aslinya.

Ketika nilai iman dan Islam yang autentik melebur dalam diri insan Muslim, luruhlah kesombongan, keserakahan, ajimumpung, culas, kekerdilan, dusta, nifaq, dan segala penyakit diri. Bersamaan dengan itu diri menjelma menjadi sosok berperangi ihsan yang menyebarkan segala benih kebaikan dalam bingkai Nur Ilahi yang menyejukkan lingkungan kehidupan di sekitar.

Pada titik inilah setiap Muslim mikraj ruhaniah dari sekadar manusia biasa menjadi insan fiahsani at-taqwim yang berperangai utama. Dalam tarikan napasnya selalu ingin menggapai keutamaan hidup yang hakiki melampaui segala penjara duniawi yang indrawi.


Republika

Manusia Yang Paling Berat Cobaannya



Suatu hari seorang sahabat bertanya kepada Rasulullah SAW, "Wahai Rasulullah, siapakah orang yang paling berat cobaannya?" Beliau SAW menjawab: "Para nabi, kemudian orang-orang saleh, kemudian yang sesudah mereka secara berurutan berdasarkan tingkat kesalehannya. Seseorang akan diberikan ujian sesuai dengan kadar agamanya. Bila ia kuat, ditambah cobaan baginya. Kalau ia lemah dalam agamanya, akan diringankan cobaan baginya. Seorang mukmin akan tetap diberi cobaan, sampai ia berjalan di muka bumi ini tanpa dosa sedikit pun." (HR Bukhari).

Hadis di atas menunjukkan bahwa kadar cobaan berupa musibah yang diberikan Allah SWT itu bertingkat. Semakin tinggi tingkat keimanan, semakin berat ujian yang dialami. Sejatinya cobaan itu merupakan proses penguatan iman dan ketakwaan. Maka, bersabarlah dan terimalah dengan segala keikhlasan apa yang terjadi. Tidak perlu segala cobaan itu disikapi berlebihan. Tafakuri dan temukan hikmah dari setiap ujian.

Sikap ikhlas atas kehendak-Nya dan menafakuri apa yang dialami, akan memberikan pengalaman spiritual yang luar biasa dan menjadi bekal dalam menjalani kehidupan. Kehidupan adalah sekolah, nilainya ditentukan seberapa hebat tingkat kesabaran, keikhlasan, keimanan, dan ketakwaannya. Tidak ada sesuatu pun yang tak bernilai, semuanya memiliki tujuan. Dan bagi mereka yang mampu mengambil pelajaran, kemuliaan hidup yang akan didapatkan.

Apabila saat ini kondisi ekonomi terasa sangat berat, rupiah yang terpuruk hingga nilai tukarnya terhadap dolar AS mencapai Rp 14 ribu, tetaplah bersyukurlah. Sebab, Indonesia masih aman, jauh dari kondisi perang. Bisa dibayangkan, dalam kondisi perang, bukan hanya mahal, tapi kehidupan menjadi sulit.

Apabila kita tengah menghadapi kebangkrutan usaha, utang menggunung, tetaplah berusaha dan bersyukur karena Allah tidak membangkrutkan iman dan ketakwaan kita. Bangkrut di dunia ini lebih baik daripada bangkrut di akhirat nanti.

Apabila ada salah satu anggota keluarga kita yang sedang sakit, kecelakaan, atau bahkan meninggal, ikhlaslah dan sadari bahwa tak ada sesuatu pun di dunia ini yang bukan atas kehendak-Nya. Tak ada sesuatu apa pun yang luput dari pengetahuan-Nya. Kehidupan dunia ini sesungguhnya ladang amal saleh, mengumpulkan bekal untuk kehidupan abadi kelak.

Apabila kita tengah dilanda musibah, anak tidak bisa diatur karena kenakalannya, atau sedang ingin memiliki anak, sudah belasan tahun belum juga diamanahi oleh-Nya, tetaplah berbaik sangka kepada-Nya. Doa dan ikhtiar jangan kendur, terus berusaha dan percayakan bahwa Tuhan akan memberikan kita apa yang dibutuhkan, bukan yang diinginkan.

Ujian dan cobaan di dunia merupakan keniscayaan, siapa pun tidak bisa menghindarinya. Ibarat pelangi yang menjadi warna-warni kehidupan. Dalam Alquran surah al-Baqarah ayat 155 disebutkan, "Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar."

Sabar dan bijak dalam menghadapi cobaan dari Allah tidak mudah untuk dilakukan. Ikhlas menerima ketentuannya, akan memberikan kekuatan jiwa dan pahala. Dalam surah az-Zumar ayat 10 disebutkan: "Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas."

Penyakit, kesulitan hidup, kehilangan orang yang paling disayangi, dan bencana merupakan bagian dari skenario indah Tuhan untuk menaikkelaskan derajat kita. Rasulullah SAW bersabda, "Tidaklah segala sesuatu yang menimpa orang beriman dari kesusahan, sakit, kegundahan, kesedihan dan gangguan, hingga duri yang menusuknya, kecuali Allah menggugurkan kesalahannya dengan semua itu."
Wallahu'alam.

Republika

Tangisan Sang Nabi



Setiap pohon yang tidak berbuah, seperti pohon pinus dan pohon cemara, tumbuh tinggi dan lurus, mengangkat kepalanya ke atas, dan semua cabangnya mengarah ke atas. Sedangkan semua pohonnya yang berbuah menundukkan kepala mereka, dan cabang-cabang mereka mengembang ke samping.
Rasulullah adalah orang yang paling rendah hati, meskipun dia memiliki segala kebajikan dan keutamaan orang-orang dahulu kala dan orang-orang sekarang, dia seperti sebuah pohon yang berbuah. Menurut sebuah riwayat, beliau bersabda, “Aku diperintahkan untuk menunjukkan perhatian kepada semua manusia, untuk bersikap baik hati kepada mereka. Tidak ada Nabi yang sedemikian diperlakukan dengan sewenang-wenang oleh manusia selain aku.”

Kita tahu bahwa beliau dilukai kepalanya, ditanggalkan giginya, lututnya berdarah karena lemparan batu, tubuhnya dilumuri kotoran, rumahnya dilempari kotoran ternak. Beliau di hina, dan di siksa dengan keji.

Saat beliau berdakwah di Thaif, tak ada yang didapatkannya kecuali hinaan dan pengusiran yang keji. Ketika Rasulullah menyadari usaha dakwahnya itu tidak berhasil, beliau memutuskan untuk meninggalkan Thaif. Tetapi penduduk Thaif tidak membiarkan beliau keluar dengan aman, mereka terus mengganggunya dengan melempari batu dan kata-kata penuh ejekan. Lemparan batu yang mengenai Nabi demikian hebat, sehingga tubuh beliau berlumuran darah.

Dalam perjalanan pulang, Rasulullah Saw. menjumpai suatu tempat yang dirasa aman dari gangguan orang-orang jahat tersebut. Di sana beliau berdoa begitu mengharukan dan menyayat hati. Demikian sedihnya doa yang dipanjatkan Nabi, sehingga Allah mengutus malaikat Jibril untuk menemuinya. Setibanya di hadapan Nabi, Jibril memberi salam seraya berkata, “Allah mengetahui apa yang telah terjadi padamu dan orang-orang ini. Allah telah memerintahkan malaikat di gunung-gunung untuk menaati perintahmu.” Sambil berkata demikian, Jibril memperlihatkan para malaikat itu kepada Rasulullah Saw.

Kata malaikat itu, “Wahai Rasulullah, kami siap untuk menjalankan perintah tuan. Jika tuan mau, kami sanggup menjadikan gunung di sekitar kota itu berbenturan, sehingga penduduk yang ada di kedua belah gunung ini akan mati tertindih. Atau apa saja hukuman yang engkau inginkan, kami siap melaksanakannya.”

Mendengar tawaran malaikat itu, Rasulullah Saw. dengan sifat kasih sayangnya berkata, “Walaupun mereka menolak ajaran Islam, saya berharap dengan kehendak Allah, keturunan mereka pada suatu saat nanti akan menyembah Allah dan beribadah kepada-Nya.”

Ketika Makkah berhasil ditaklukkan, beliau berkata kepada orang-orang yang pernah menyiksanya, “Bagaimanakah menurut kalian, apakah yang akan kulakukan terhadapmu?” Mereka menangis dan berkata, “Engkau adalah saudara yang mulia, putra saudara yang mulia.” Nabi Saw. bersabda, “Pergilah kalian! Kalian adalah orang-orang yang dibebaskan. Semoga Allah mengampuni kalian.” (HR. Thabari, Baihaqi, Ibnu Hibban, dan Syafi’i).

Abu Sufyan bin Harits, sepupu beliau, lari dengan membawa semua anak-anaknya karena pernah menyakiti Rasul Saw., maka Ali bin Abi Thalib Ra. bertanya kepadanya, “Hai Abu Sufyan, hendak pergi kemanakah kamu?” Ia menjawab, “Aku akan keluar ke padang sahara. Biarlah aku dan anak-anakku mati karena lapar, haus, dan tidak berpakaian.”

Ali bertanya, “Mengapa kamu lakukan itu?” Ia menjawab, “Jika Muhammad menangkapku, niscaya dia akan mencincangku dengan pedang menjadi potongan-potongan kecil.”

Ali berkata, “Kembalilah kamu kepadanya dan ucapkan salam kepadanya dengan mengakui kenabiannya dan katakanlah kepadanya sebagaimana yang pernah dikatakan oleh saudara-saudara Yusuf kepada Yusuf, ….Demi Allah, sesungguhnya Allah telah melebihkan kamu atas kami dan sesungguhnya kami adalah orang-orang yang bersalah (berdosa). (QS. Yusuf [12]: 91).

Abu Sufyan pun kembali kepada Nabi Saw. dan berdiri di dekat kepalanya, lalu mengucapkan salam kepada beliau seraya berkata, Wahai Rasulullah, demi Allah, sesungguhnya Allah telah melebihkan engkau atas kami dan sesungguhnya kami adalah orang-orang yang bersalah (berdosa). (QS. Yusuf [12]: 91).

Rasulullah Saw. pun menengadahkan pandangannya, sedang air matanya membasahi pipinya yang indah hingga membasahi jenggotnya. Rasulullah menjawab dengan menyitir firman-Nya, …Pada hari ini tidak ada cercaan terhadap kamu. Mudah-mudahan Allah mengampuni (kamu) dan Dia adalah Maha Penyayang di antara para penyayang. (QS. Yusuf [12]: 92).

Imam Bukhari meriwayatkan hadits dari Abdullah bin Mas’ud bahwa Rasulullah Saw. bersabda kepadanya, “Bacakan al-Quran kepadaku.”

Ibnu Mas’ud berkata, “Bagaimana aku membacakannya kepada Engkau, sementara al-Quran itu sendiri diturunkan kepada Engkau?”

“Aku ingin mendengarnya dari orang lain,” jawab beliau. Lalu Ibnu Mas’ud membaca surat an-Nisa hingga firman-Nya, Maka bagaimanakah (halnya orang kafir nanti) apabila Kami mendatangkan kamu (Muhammad) sebagai saksi atas mereka itu (sebagai umatmu). (QS. an-Nisâ [4]: 41).
Begitu bacaan tiba pada ayat ini, beliau bersabda, “Cukup.”

Ibnu Mas’ud melihat ke arah beliau, dan terlihatlah olehnya bahwa beliau sedang menangis.
Dalam kisah ini kita memperoleh pelajaran berharga, bahwa Rasulullah Saw. sangat mencintai umat manusia. Beliau sangat mengharapkan agar orang-orang kafir itu beriman. Karena balasan kekafiran adalah neraka yang menyala-nyala. Rasulullah sendiri pernah melihat neraka. Dia melihat sungguh mengerikan neraka itu. Hingga ketika menyadari hal itu, mengalirlah airmatanya dengan deras.

Abu Dzar Ra. meriwayatkan dari Nabi Saw., bahwa beliau mendirikan shalat malam, sambil menangis dengan membaca satu ayat yang diulang-ulangi, yaitu, Jika Engkau menyiksa mereka, maka sesungguhnya mereka adalah hamba-hamba Engkau juga. (QS. al-Maidah [5]: 118).

Dan diriwayatkan saat hari kiamat tiba, beliaulah orang yang pertama kali dibangkitkan. Yang diucapkannya pertama kali adalah, “Mana umatku? Mana umatku? Mana umatku?” Beliau ingin masuk surga bersama-sama umatnya. Beliau kucurkan syafaat kepada umatnya sebagai tanda kecintaan beliau terhadap mereka. Beliau juga sering berdoa, Allahumma salimna ummati. Ya Allah selamatkan umatku.

Keadaan diri Nabi Muhammad Saw. digambarkan Allah Swt. dalam firman-Nya, Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin. (QS. at-Taubah [9]: 129).

Alangkah buruknya akhlak kita bila tak mencintai Nabi, sebagaimana Nabi mencintai kita, berkorban untuk kita, dan meneteskan airmatanya untuk kita. Di sini, apakah kita hanya berdiam diri saat Nabi dihina, seolah kita bukan lagi umatnya. Apakah kita rela Nabi berdakwah seorang diri dan kemudian dilempari batu hingga berdarah-darah, sementara umatnya yang begitu banyak hanya bisa berdiam diri? Tangisan sang Nabi hendaknya menjadi pengingat kita, untuk lebih mencintainya, membelanya, bahkan berkorban nyawa untuknya, sebagaimana ia telah berkorban nyawa untuk kita agar kita selamat dari siksa neraka.

Eramuslim

10 Perkara Yang Dibenci Allah SWT



Kebanyakan orang melakukan sesuatu tanpa menyadari bahwa apa yang dilakukan itu sangat dibenci Allah. Kosongnya ilmu dari diri mereka menyeretnya hanyut dalam perkara-perkara yang seharusnya senantiasa dihindari, dijauhi dan bahkan harus dibenci karena Allah juga sangat membencinya.
Ada sepuluh hal yang Allah sangat benci yang tidak seharusnya kita terjerat di dalam perangkapnya :
  1. Kikirnya orang-orang kaya
  2. Takabburnya orang-orang miskin
  3. Rakusnya para ulama
  4. Minimnya rasa malu para wanita
  5. Suka dunia orang-orang yang sudah tua renta
  6. Malasnya para pemuda
  7. Kejinya para penguasa
  8. Pengecutnya para tentara perang
  9. Ujubnya para zahid
  10. Riya’nya para ahli ibadah
Orang-orang kaya itu dihadirkan untuk membei bantuan dan meringankan orang lain, meringankan beban orang-orang tak berdaya sebagai ungkapan syukur atas nikmat yang Allah berikan kepadanya. Kekayaan yang mereka miliki jangan sampai terkonsentrasi pada dirinya dan tidak bisa dinikmati oleh orang lain. Bahkan menurut Rasulullah, cukuplah sebuah dosa bagi seseorang yang tidur kekenyangan sementara tetangganya mengerang kelaparan. Kepedulian sosial adalah bagian sangat penting dalam ajaran Islam yang harus senantiasa dikibarkan panji-panjinya. Orang yang tidak pernah terlibat merasakan denyut nadi perasaan orang lain sesungguhnya dia bukan bagian dari mereka. Barang siapa yang tidak pernah peduli pada masalah-masalah kaum muslimin maka sesungguhnya dia bukan bagian bagian dari mereka.

منن أصبح لا يهتم بالمسلمين فليس منهم
Barang siapa yang tidak peduli dengan urusan kaum muslimin maka dia bukan bagian dari mereka (HR. Hakim).

Kikirnya orang-orang kaya akan menyumbat kesejahteraan sosial yang menjadi pilar besar ajaran Islam.
وأى داء أدوى من البخل
Lalu penyakit apa lagi yang lebih berbahaya daripada sifat kikir (HR. Ahmad, Bukhari dan Muslim)

Adapun takabburnya orang-orang miskin adalah penyakit yang sulit dimengerti. Apa yang mendorong dirinya menjadi takabbur. Padahal harta tidak punya, kekayaan tidak melimpah. Rumah morat marit, kendaraan sudah berumur. Lalu apa yang membuat mereka sombong? Padahal orang kaya berharta saja yang memiliki kekayaan dan harta berlimpah tidak boleh menyombongkan diri kepada siapa saja. Sebab Allah sangat tidak menyukai perilaku sombong itu karena dia termasuk sifat yang melekat pada Iblis, yang karenanya dia dilaknat Allah dan diusir dari surga serta akan dikekalkan dalam neraka. Simaklah firman Allah berikut ini :

واعبدوا الله ولا تشركوا به شيئا وبالوالدين إحسانا وبذي القربى واليتامى والمساكين والجار ذي القربى والجار الجنب والصاحب بالجنب وابن السبيل وما ملكت أيمانكم إن الله لا يحب من كان مختالا فخورا

Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapak, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri (An-Nisaa’ : 36).
Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri (Lukman : 18).

Kesombongan hanya akan menyesakkan dada pelakunya dan memuakkan orang yang dihadapinya. Kesombongan hanya akan merenggangkan keakraban yang selama ini sudah terbina. Kesombongan hanya akan membuat jiwa tidak terkontrol sehingga meremehkan setiap orang yang dihadapinya. Sungguh lebih gila jika kesombongan itu dilakukan oleh orang-orang miskin papa yang tidak memiliki apa-apa. Beda antara harga diri dengan kesombongan. Harga diri adalah mempertahakan kehormatan diri jika dihina sedangkan sombong adalah meremehkan sesama.

Sedangkan para ulama dihadirkan untuk menghadirkan contoh sifat qana’ah dan tidak rakus pada dunia. Ulama sebagai penyeru akhlak dan moralitas hendaknya menyadari bahwa dirinya ditatap, disorot dan diamati oleh sekian ribu mata yang senantiasa menanti perilaku lurusnya. Ulama tidak dilahirkan untuk rakus pada dunia. Sebagai pewaris para Nabi sudah sepantasnya mereka tidak terlalu berpikir mewariskan dunia pada anak-anaknya namun yang dia pikirkan bagimana mewariskan ilmu pada generasinya.

Manusia-manusia yang bukan ulama saja tidak boleh tamak pada dunia apalagi ulama yang seharusnya menjadi contoh bagi mereka. Rakus pada dunia mematikan perburuan pada akhirat dan melemahkan ummat ini. Para pecinta dunia akan terkena penyakit ganas yang disebut dengan”wahn” cinta cinta dunia over-dosis dan takut mati over-dosis.

Para ulama pecinta dunia hampir bisa dipastikan mereka akan kehilangan karisma dan martabat keulamaannya dan akan mendapat gelar “ulama dunia” atau sering pula disebut dengan ulama suu’, ulama buruk.
ويل لأمتى من علماء السوء يتخذون هذا العلم تجارة يبيعونها من أمراء زمانهم ربحا لأنفسهم لا أربح الله تجارتهم

Celakalah bagi ummatku dari ulama buruk yang menjadikan agama ini sebagai komoditas, yang mereka jual pada para penguasa mereka di zamannya demi meraup keuntungan untuk diri mereka sendiri. Allah pasti tidak akan menjadikan bisnis mereka memperoleh keuntungan (HR. Hakim).

Wanita, fitrahnya dihadirkan dengan rasa malu yang luar biasa. Dari cara mereka bicara, cara mereka memandang, cara mereka berjalan ada sentuhan-sentuhan kelembutan yang luar biasa yang menggambarkan bahwa mereka adalah seorang wanita. Wanita dicipta untuk melahirkan kelembutan-kelembutan yang terefleksi dari perilaku mereka yang senantiasa berhiaskan rasa malu. Maka jika seorang wanit sedikit rasa malunya, dunia akan menjadi tidak seimbang lagi. Karena sisi positif wanita telah kehilangan ikatannya. Wanita masa kini tidak lagi merasa memamerkan auratnya di depan laki-laki asing.

Maka jangan heran jika Allah murka karena maksiat mereka. Padahal kita bisa belajar dari apa yang dilakukan oleh dua anak gadis Nabi Syu’aib tatkala mereka mau mengambil air di sebuah sumur lalu keduanya bertemu Musa, sosok wanita ideal yang saat ini tidak pernah lagi jadi perbincangan. Allah berfirman : Kemudian datanglah kepada Musa salah seorang dari kedua wanita itu berjalan kemalu-maluan, ia berkata: “Sesungguhnya bapakku memanggil kamu agar ia memberi balasan terhadap (kebaikan) mu memberi minum (ternak) kami”. Maka tatkala Musa mendatangi bapaknya (Syu’aib) dan menceritakan kepadanya cerita (mengenai dirinya). Syu’aib berkata: “Janganlah kamu takut. Kamu telah selamat dari orang-orang yang dzalim itu”. (Al-Qashahs : 25). Malu adalah mahkota seorang wanita, dan kehilangan rasa malu sama dengan kehilangan mahkotanya. Dan secara otomatis hilang pula harga dirinya.

Orang tua renta sudah seharusnya mempersiapkan segala hal untuk kematiannya. Kerentaannya hendaknya memberikan peringatan keras bahwa dia telah dekat untuk menuju ambang kematian. Dia telah jauh berjalan menemupuh liku-liku dunia dan semua uji cobanya. Rambut yang menguban, gigi yang bertanggalan, tulang-belulang yang mulai keroposan adalah sebagai pengingat bahwa kematian akan segera menjelang, menjemputnya bersama ketuaan yang sudah disandang.
Orang tua yang masih senang dunia, mabuk di dalamnya, berebut kenikmatannya yang hanya sementara tentu saja sangat Allah benci. Apakah mereka tidak sadar bahwa dunia akan segera ditinggalkannya, lalu untuk apa dia masih berburu dunia dengan penuh tamak dan cinta yang melampui batas.

Adapun masa muda adalah masa paling produktif dalam kehidupan manusia. Masa muda adalah masa gelora kehidupan mereka. Masa muda adalah masa penentuan masa depan yang sesungghnya. Maka malasnya pemuda adalah alamat awal dari suram dan buramnya masa depan mereka. Gelap dan gulitanya hari-hari ke depan mereka. Manusia yang tidak memiliki awal yang cemerlang biasanya sulit menuai cahaya di ujung kehidupan. Pemuda tiang sebuah bangsa.

Maju dan tidaknya sebuah bangsa berada pada produktivitas mereka, sedangkan bangkrut dan hancurnya sebuah negara ada pada kemalasan mereka. Islam di awal-awal bangkit karena dukungan para pemuda enerjik yang anti kemalasan. Siang mereka adalah kerja keras dan malam mereka adalah ibadah malam.

Rasulullah menghimpun orang-orang mulia dalam tujuh golongan diantaranya adalah pemuda yang enerjik. Rasulullah bersabda :

سبعة يظلهم الله في ظله يوم لا ظل إلا ظله إمام عادل وشاب نشأ في عبادة الله ورجل قلبه معلق بالمسجد إذا خرج منه حتى يعود إليه ورجلان تحابا في الله فاجتمعا على ذلك وافترقا عليه ورجل ذكر الله خاليا ففاضت عيناه ورجل دعته امرأة ذات منصب وجمال فقال إني أخاف الله رب العالمين ورجل تصدق بصدقة فأخفاها حتى لا تعلم شماله ما تنفق يمينه

Tujuh golongan orang yang akan mendapat naungan Allah pada hari dimana tidak ada naungan kecuali naungan Allah. Peminpin yang adil, pemuda yang tumbuh berkembang dalam beribadah kepada Allah, lelaki yang hatinya senantiasa terpaut ke mesjid tatkala dia keluar darinya hingga dia balik kembali, dua lelaki yang saling mencinta karena Allah. Dia berkumpul karenanya dan berpisah karenanya pula. Lelaki yang mengingat Allah sendirian kemudian kedua matanya mengalirkan air mata, lelaki yang dipanggil oleh seorang wanita yang memiliki kedudukan dan cantik lalu dia berkata : Sesunggguhnya aku takut kepada Allah Tuhan semesta alam, seseorang yang bersedekah lalu dia menyembunyikannya sampai-sampai tangan kirinya tidak tahu apa yang diinfakkan tangan kanannya (HR. Malik, Tirmidzi, Bukhari Muslim).

Peminpin sebagaimana diisyaratkan hadits di atas juga seharusnya berbuat adil bukan berlaku kejam agar mereka mendapat naungan Allah di hari kiamat. Keadilan mereka sangat ditunggu dan dirindu oleh rakyat. Karena harapan keadilan memang bertumpu pada para penguasa itu. Keadilan adalam dambaan setiap orang, cita setiap insan. Tatkala seorang penguasa yang seharus adil berubah menjadi keji maka kemurkaan Allah yang demikianpedih telah menunggu mereka. Karena Allah sangat tidak suka pada mereka yang berbuat zhalim. Allah berfirman : Tempat kembali mereka ialah neraka; dan itulah seburuk-buruk tempat tinggal orang-orang yang dzalim (Ali Imran : 151).

Para prajurit yang berlaga di medan perang adalah manusia-manusia pilihan untuk melakukan pembelaan terhadap agama mereka. Maka harus tidak ada dalam jiwa mereka rasa pengecut dan gentar saat menghadapi musuh sebesar apapun jumlah musuh yang ada di depan mereka. Selengkap apapun peralatan musuh yang mereka miliki. Jiwa prajurit adalah jiwa ksatria yang pantang menyerah pada musuh.

Jiwa prajurit tidak pernah menyimpan sikap pengecut dalam kamus hidup mereka. Sikap pengecut hanya akan menjadi virus yang menularkan kegentaran pada prajurit lain dan akan merusak semangat juang mereka. Oleh sebab itulah sungguhh sangat hina manusia-manusia yang melarikan diri pada saat perang sedang berkecamuk. Allah berfirman : Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bertemu dengan orang-orang yang kafir yang sedang menyerangmu, maka janganlah kamu membelakangi mereka (mundur) (Al-Anfaal : 15).

Ujub adalah penyakit hati yang bisa menyerang siapa saja. Tidak terkecuali pada zahid yang banyak menghindari dunia dan lebih dekat pada akhirat. Namun kezahidan mereka akan menuai murka Allah jika dalam kezahidan itu bergemuruh ujub yang membuncah dalam ucapan dan perilaku mereka.
Rasulullah bersabda :
ثلاث مهلكات : شح مطاع ، وهوى متبع ، وإعجاب المرء بنفسه

Tiga perkara yang menghancurkan : kekikiran yang dituruti, hawa nafsu yang diikuti dan ujub dengan pendapat sendiri (HR. Bazzar dan Ath-Thabrani).

Yang tak kalah sengitnya akan mendapatkan murka Allah adalah mereka yang menyatakan diri sebagai ahli ibadah namun riya’ menyelimuti seluruh ritual ibadahnya, mengiringi setiap langkah ibadahnya. Pujian selalu dia harapkan dari mulut manusia, pujaan selalu mereka dambakan dari lisan mereka. Sungguh celakalah mereka karena sesungguhnya riya’ itulah syirik kecil yang sangat diwanti-wanti oleh Rasulullah agar kita meninggalkannya.

Maka, jika kita menjadi orang kaya dermawanlah pada sesama. Jika kita ditakdirkan menjadi seorang miskin lebih rendah hatilah pada manusia. Jka kita menjadi ulama janganlah rakus pada dunia. Jika Anda seorang wanita maka ingat bahwa mahkota Anda ada pada rasa malu Anda. Jika kita telah tua renta maka segeralah rakus pada akhirat. Jika jika masih muda maka semangatlah bekerja untuk mengisi amanah khilafah di dunia yang Allah bebankan kepada Allah.

Dan jika Anda penguasa berbuat adillah pada orang yang kita pimpin. Jika Anda ada di medan tempur bersikaplah berani. Kalaupun Anda adalah seorang zahid tapi tak layak bagi Anda untuk berkata dan berbuat ujub dan jangan pula ibadah Anda terkotori oleh riya’ yang sering menjangkit jiwa tanpa diduga.

Semoga kita selamat dari sepuluh perkara di atas agar murka Allah tidak menimpa kita dan bangsa kita.

-Ustadz Samson-


Eramuslim