رَبِّ اغْفِرْ لِي وَهَبْ لِي مُلْكًا لا يَنْبَغِي لأحَدٍ مِنْ بَعْدِي إِنَّكَ أَنْتَ الْوَهَّابُ


"Ya Rabb-ku, ampunilah aku, dan anugerahkanlah kepadaku kerajaan, yang tidak dimiliki oleh seorangpun juga sesudahku, sesungguhnya Engkaulah Yang Maha pemberi’."

Jumat, 25 Juli 2014

HATI HATI BERBISIK




“Apabila kamu sedang bertiga sekawan, maka janganlah dua orang diantaranya berbisik-bisik tanpa ikut sertanya yang lain (yang ketiga) sampai kamu bercampur gaul dengan orang banyak, karena yang demikian akan menyedihkan hatinya.”  
(HR.Bukhari dan muslim dari Ibnu Mas’ud).

SAAT berbicara bersama tiga teman ataupun orang lain tentunya kita harus saling menghargai pendapat orang itu, tapi jangan sampai di antaranya berbisik sehingga orang ketiga mencurigainya. Hargailah pendapat orang lain maka Anda akan merasakan manfaatnya atau timbal baliknya.

Apa yang dimaksud berbisik-bisik di sini? berbisik-bisik ialah berkata-kata yang hanya dapat didengar sendiri atau orang lain yang ada didekatnya. Dalam pergaulan, bisik-bisik berduaan saja padahal di situ ada kawan yang ketiga sebab dapat menyinggung perasaan kawan yang tidak diajak berbicara. Makanya, hal itu dilarang langsung oleh Rasulullah. Mengapa?.

Sebab mungkin bisa menimbulkan prasangka yang bukan-bukan baginya, apakah sedang membicarakan tentang aib dirinya atau ia merasa disingkirkan atau dianggap tak pandai memegang rahasia dan sebagainya, maka dari itu berbisik dilarang dalam islam.

Termasuk dalam kategori berbisik ialah berbicara berdua dengan bahasa yang tidak dimengerti oleh kawan yang ketiga. Tetapi apabila kawan yang ketiga telah mendapat teman sendiri atau telah bercampur dengan orang banyak sehingga teman ketiga tidak memiliki urusan lagi dengan dua teman yang lain, maka bisik-bisik dua orang itu dilarang.

Jadi, anganlah pernah kita berbisik-bisik, apabila ada urusan yang tidak boleh diketahui oleh orang lain, maka akan lebih baik jika kita berbicara empat mata dengan orang yang ada urusan dengan kita. Yang demikian itu tidak akan menyinggung perasaan orang lain.

Islampos.com

MEMBEDAKAN ANTARA AZAB DAN UJIAN


SAAT sesuatu hal yang tidak diinginkan menimpa diri kita, kita pasti bertanya-tanya. Apakah ini adzab atau ujian? Apakah ini teguran atau sapaan?. Terkadang kita merasa ini adalah ujian, namun terkadang juga kita merasa ini adalah azab. Bagaimana membedakan keduanya?

Musibah atau bencana yang menimpa orang yang beriman yang tidak lalai dari keimanannya, sifatnya adalah ujian dan cobaan. Allah ingin melihat bukti keimanan dan kesabaran kita. Jika kita bisa menyikapi dengan benar, dan mengembalikan semuanya kepada Allah, maka Allah akan memberikan pertolongan dan rahmat sesudah musibah atau bencana tersebut.

Sebaliknya bagi orang-orang yang bergelimang dosa dan kemaksiatan, bencana atau musibah yang menimpa, itu adalah siksa atau azab dari Allah atas dosa-dosa mereka. Apabila ada orang yang hidupnya bergelimang kejahatan dan kemaksiatan, tetapi lolos dari bencana/musibah, maka Allah sedang menyiapkan bencana yang lebih dahsyat untuknya, atau bisa jadi ini merupakan siksa atau azab yang ditangguhkan, yang kelak di akhirat-lah balasan atas segala dosa dan kejahatan serta maksiat yang dilakukannya.

Sebenarnya yang terpenting bukan musibahnya, tetapi apa alasan Allah menimpakan musibah itu kepada kita. Untuk di ingat, jika musibah itu terjadi, disebabkan dosa-dosa kita, maka segera-lah bertobat kepada Allah. Kalau musibah yang terjadi karena ujian keimanan kita, maka kuatkan iman dan berpegang teguhlah kepada Allah.

Siapa saja berbuat kebaikan, maka manfaatnya akan kembali kepadanya. Sedangkan siapa saja berbuat kejahatan, maka bencananya juga akan kembali kepada dirinya sendiri. Bisa dibalas didunia atau di akhirat.
Sebagaimana Firman Allah SWT, ”Barangsiapa mengerjakan perbuatan jahat, maka dia tidak akan dibalas melainkan sebanding dengan kejahatan itu. Dan barangsiapa mengerjakan amal yang saleh baik laki-laki maupun perempuan sedang ia dalam keadaan beriman, maka mereka akan masuk surga, mereka diberi rezki di dalamnya tanpa hisab”. (QS. Al Mukmin:40).

Perhatikan juga dengan seksama firman Allah SWT berikut ini : “Apa saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan apa saja bencana yang menimpamu, maka dari (kesalahan) dirimu sendiri. Kami mengutusmu menjadi Rasul kepada segenap manusia. Dan cukuplah Allah menjadi saksi,” (QS. An Nissa : 79).

Ibnu Katsir mengatakan bahwa makna “Apa saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari Allah” adalah dari karunia dan kasih sayang Allah SWT. Sedangkan makna “dan apa saja bencana yang menimpamu, maka dari (kesalahan) dirimu sendiri.” Berarti dari dirimu sendiri dan dari perbuatanmu sendiri.

Islampos.com

TUJUH KEUTAMAAN DZIKIR "LAA ILAAHA ILLAALLAH"


IBNU Rajab Al Hambali rahimahullah mengatakan, “Kalimat tauhid (Laa ilaaha illallah) memiliki keutamaan yang sangat agung yang tidak mungkin bisa dihitung.” Tapi kebanyakan kita tidak tahu keutamaan kalimat tauhid atau tahlil ini.
Berikut adalah beberapa keutamaan kalimat tahlil “Laa ilaaha illallah.”

1. Kalimat ‘Laa ilaaha illallah’ merupakan harga surga. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, “Barangsiapa yang akhir perkataannya sebelum meninggal dunia adalah ‘laa ilaaha  illallah,’ maka dia akan masuk surga,” (HR. Abu Dawud no. 1621).

2. Kalimat ‘Laa ilaaha ilallah’ adalah kebaikan yang paling utama, Abu Dzar berkata,”Katakanlah padaku wahai Rasulullah, ajarilah aku amalan yang dapat mendekatkanku pada surga dan menjauhkanku dari neraka.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila engkau melakukan kejelekan (dosa), maka lakukanlah kebaikan karena dengan melakukan kebaikan itu engkau akan mendapatkan sepuluh yang semisal.” Lalu Abu Dzar berkata lagi, “Wahai Rasulullah, apakah ‘laa ilaaha illallah’ merupakan kebaikan?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,”Kalimat itu (laa ilaaha illallah) merupakan kebaikan yang paling utama. Kalimat itu dapat menghapuskan berbagai dosa dan kesalahan.”

3. Kalimat ‘Laa ilaaha illallah’ adalah dzikir yang paling utama. Dari Jabir rodhiyallohu ‘anhu, dari Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam beliau bersabda: “Dzikir yang paling utama adalah laa ilaaha illallah, dan doa yang paling utama adalah alhamdulillah,” 
 (HR. Ibnu Majah, An Nasa’I Shohih Targhib wa Tarhib: 1526 ).

4. Kalimat ‘Laa ilaaha ilallah’ adalah pelindung api neraka. Dari Umar radhiyallahu ‘anhu ia berkata: Saya mendengar Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Sungguh aku akan mengajarkan sebuah kalimat, tidaklah seorang hamba mengucapkannya dengan benar dari hatinya, lalu ia mati diatas keyakinan itu, kecuali (Allah) mengharamkan tubuhnya dari api neraka. Yaitu kalimat laa ilaaha illallah,” (HR. Hakim-Shohih Targhib wa Tarhib: 1528).

Suatu saat Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam mendengar muadzin mengucapkan ‘Asyhadu allaa ilaaha illallah.’ Lalu beliau mengatakan pada muadzin tadi, “Engkau terbebas dari neraka,” (HR. Muslim no. 873).

5. Kalimat ‘Laa ilaaha illallah’ adalah dzikir dan perantara doa. Dari Abu Sa’id Al Khudri radhiyallahu ‘anhu dari Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam beliau bersabda, Musa berkata: Wahai Tuhanku ajarkanlah kepadaku sesuatu, yang aku akan berdzikir dan berdoa kepadaMu dengannya. Allah berfirman: Wahai Musa ucapkanlah Laa ilaaha illallah. Musa berkata: Wahai Tuhanku seluruh hambaMu mengucapkan kalimat ini. Allah berfirman: Wahai Musa! Seandainya langit tingkat tujuh dan apa yang ada didalamnya serta bumi tingkat tujuh selain Aku diletakkan di suatu timbangan, dan laa ilaaha illallah diletakkan di timbangan yang lain, maka akan berat timbangan laa ilaaha illallah,” (HR. Ibnu Hibban, Hakim-Fathul Bari: 11/28).

6. Kalimat ‘Laa ilaaha ilallah’ menunda kiamat. Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Tidak akan terjadi kiamat (apabila) masih ada orang yang menyebut laa ilaaha illallah,” (HR. Ibnu Hibban, Ta’liqotul Hisan: 6809, Ash Shohihah: 3016).

7. Dzikir Laa ilaaha illallah pahalanya paling banyak. Sebagaimana terdapat dalam shohihain (Bukhari-Muslim) dari Abu Hurairoh radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Barangsiapa mengucapkan ‘laa ilaaha illallah wahdahu laa syarika lah, lahul mulku wa lahul hamdu wa huwa ‘ala kulli syay-in qodiir’ (tidak ada sesembahan yang berhak disembah dengan benar kecuali Allah, tidak ada sekutu bagi-Nya, milik-Nya kerajaan dan segala pujian. Dia-lah yang Maha Kuasa atas segala sesuatu) dalam sehari sebanyak 100 kali, maka baginya sama dengan sepuluh budak (yang dimerdekakan, pen), dicatat baginya 100 kebaikan, dihapus darinya 100 kejelekan, dan dia akan terlindung dari setan pada siang hingga sore harinya, serta tidak ada yang lebih utama darinya kecuali orang yang membacanya lebih banyak dari itu,”
 (HR. Bukhari no. 3293 dan HR. Muslim no. 7018).

Dan masih banyak lagi keagungan–keagungan dzikir tahlil “Laa ilaaha illaallah.” Marilah kita berdzikir “laa ilaaha illaallah” sebanyak–banyaknya dengan hati yang tulus ikhlas diwaktu pagi dan petang, sebagaimana firman Allah “Wahai orang–orang beriman, berdzikirlah kepada Allah, sebanyak–banyaknya,” 
(Al- Ahdzab: 41).

 Islampos.com

TAUBATNYA SI PEMABUK



Pada masa tabiin hiduplah seorang penjahat terkenal yang suka membuat onar di daerah Basrah, Irak. Uthbah Al Ghulam, nama tokoh itu, dikenal sebagai pemabuk ulung. Uthbah juga ditakuti karena keberingasannya saat berhadapan dengan musuh. Dia pun tak segan menghabisi atau membunuh korbannya.

Bukan hanya jahat, Uthbah sangat benci terhadap orang-orang yang rajin beribadah. Hatinya geram setiap kali melihat orang-orang pergi ke masjid. Hingga, suatu hari timbul rasa penasaran dari dalam diri Uthbah untuk ikut mendengarkan apa yang disampaikan penceramah pada acara pengajian. Dengan menggunakan penutup wajah, dia pun menyusup ke dalam suatu majelis.

Di sana, Uthbah mendengar ceramah seorang imam. Kebetulan, guru yang memberikan materi kala itu adalah Imam Hasan al Bashri, seorang ulama terkemuka di Kota Basrah. Hasan al Bashri merupakan ulama kelahiran Madinah pada 21 H (642 M). Ia adalah anak dari seorang juru tulis wahyu yang membantu Zaid bin Tsabit.

Dengan lembut, Imam Hasan menguraikan surah al-hadid ayat 16, "Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka), dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Alkitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik."

Hasan Bashri kemudian membacakan tafsir ayat tersebut dengan nasihat yang sangat menyentuh hati. Banyak murid yang hadir dalam majelis itu menangis karena nasihat yang dia sampaikan. Seorang muridnya bertanya kepada Hasan Bashri, "Wahai guru kami, bagaimanakah jika ada seorang yang sudah keterlaluan melakukan maksiat, apakah dosanya masih diampuni Tuhan?"

Hasan Bashri menjawab, "Apabila ia bertobat dengan penuh kesadaran dan hati yang bersungguh-sungguh bertobat sesuai dengan syarat-syaratnya maka Tuhan akan mengampuni dosa-dosanya, sekalipun seperti Uthbah Al Ghulam!"

Mendengar jawaban Hasan Bashri yang mengutip namanya, Uthbah terkejut. Hasan Bashri belum pernah bertemu dengannya dan belum pernah mengenalnya. Tapi, karena ia terkenal sebagai seorang yang fasik, ia dibuat perbandingan dalam soal dosa.

Rasa gundah Uthbah kian menjadi. Dia kemudian bertanya, "Wahai orang yang bertakwa. Apakah Allah SWT akan menerima orang seperti saya yang fasik, berdosa apabila bertobat kepada-Nya?" Hasan Bashri kemudian menjawab, "Ya. Allah akan menerima tobat atas kefasikan dan dosamu."

Mendengar itu, terguncanglah jiwa Uthbah. Parasnya langsung berubah. Persendian di tubuhnya gemetar. "Ya Allah..." teriaknya, kemudian pingsan. Ketika sadar, ia bertanya lagi pada Hasan Bashri, "Ya Syeikh, apakah Allah Yang Maha Penyayang dan Penyayang akan mengampuni dosa orang sepertiku yang laknat ini?"

Hasan Bashri kemudian menjawab, "Bukankah tiada yang menerima tobat seorang hamba yang jiwanya kosong selain Allah SWT yang memaafkannya?" Orang itu kemudian mengangkat kepalanya dan berdoa. Ia mengajukan tiga permintaan kepada Allah SWT, "Pertama, Ya Tuhanku bila engkau menerima tobatku dan engkau ampuni dosaku maka muliakanlah aku dengan kepahaman dan hafalan, sehingga aku dapat menghafalkan apa yang aku dengar dari ilmu dan Alquran."

Lalu, Uthbah melanjutkan, "Kedua, Ya Tuhanku muliakanlah aku dengan suara yang bagus, sehingga setiap orang yang mendengar bacaanku semakin bertambah kasih dalam hatinya meskipun hatinya keras bagai batu."

"Ketiga, Ilahi muliakanlah aku dengan rizki yang halal dan berilah aku rizki dari segala arah yang tak terduga." Dengan izin Allah SWT, semua permintaan pemuda itu terkabul. Bertambahlah pemahaman dan hafalan Alquran yang dikuasai Uthbah.

Tiap dia membacakan Alquran, banyak orang kemudian bertobat karena mendengar keindahan suaranya melantunkan ayat suci. Ia juga meletakkan makanan di depan rumah-rumah orang yang tidak mampu. Ia bersedekah hingga ajal menjemputnya.

Amal yang ia berikan lewat makanan tidak pernah dia ceritakan kepada penduduk sekitar. Ketika Uthbah telah wafat, orang-orang miskin tidak mendapati makanan di depan rumahnya. Barulah,  mereka menyadari Uthbah yang selama ini meletakkan makanan di depan rumah mereka.

Republika.co.id

JASAD DAN RUH ALQUR'AN


Alquran itu terdiri dari jasad dan ruh. Hal ini dijelaskan Rasulullah SAW dalam hadisnya,Lahu dzahrun wabathnun” (baginya (Alquran) mempunyai jasmani (zahir) dan ruhani (batin). (Syarhussunnah)

Dalam kitab Fadhailul Amal, disebutkan sebagian ulama berpendapat yang dimaksud dengan jasad Alquran adalah merujuk pada kalimat-kalimat dalam Alquran yang dapat dibaca dengan baik oleh setiap orang.

Sedangkan, batin (ruh) Alquran merujuk pada maksud-maksudnya, baik yang tersurat maupun tersirat, yang pemahamannya berbeda sesuai dengan kemampuan pembacanya.

Di antara hikmah adanya jasad dan ruh Alquran ini untuk menunjukkan kepada kita bahwa Alquran bukan sekadar kitab bacaan semata, melainkan merupakan kitab pedoman hidup yang harus dijadikan rujukan dalam bersikap dan beramal yang bisa diawali dengan membaca dan memahaminya.

Oleh karena itu, Allah SWT menjadikan Alquran dengan menggunakan bahasa Arab, bukan hanya karena Alquran diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW sebagai orang Arab. Lebih daripada itu, bahasa Arab adalah bahasa yang mudah dipelajari dan dipahami setiap orang dari berbagai suku dan bangsa.

Allah SWT berfirman,Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Alquran dengan berbahasa Arab agar kamu memahaminya.(QS Yusuf [12]: 2).

Selain itu, Allah SWT menjadikan Alquran sebagai sesuatu yang mudah dibaca, mudah untuk dipahami, dan mudah untuk dipelajari sehingga dapat memberikan kemudahan kepada kita untuk mengamalkannya.

Allah SWT berfirman,Dan sesungguhnya telah Kami mudahkan Alquran untuk pelajaran, maka adakah orang yang mengambil pelajaran?(QS al-Qomar (54): 17)

Ketika kita mampu menyatukan jasad dan ruh Alquran, akan menjadikan kita mendapatkan ilmu yang luas dan mendalam.
Ibnu Masud berkata,Jika kamu ingin memperoleh ilmu, hendaklah kamu memikirkan dan merenungkan makna-makna Alquran karena di dalamnya mengandung ilmu orang-orang terdahulu dan orang-orang yang sesudahnya.''
Ketika kita mampu menyatukan jasad dan ruh Alquran, kitab suci itu akan hidup dalam diri kita yang tergambar dari akhlak-akhlak keseharian kita. Inilah yang dibuktikan Rasulullah SAW. Nabi Muhammad SAW digambarkan sebagai sosok Alquran yang berjalan.

Hal ini ini dinyatakan oleh Aisyah RA ketika ia ditanya mengenai akhlak Rasulullah SAW. Beliau menjawab, Budi pekerti Nabi SAW adalah Alquran. (Diriwayatkan oleh Imam Ahmad).

Sebagai seorang Muslim sudah selayaknya kita berupaya menghidupkan jasad dan ruh dari Alquran agar tidak hanya sebagai bacaan semata, lebih daripada itu dapat menjadi petunjuk bagi kita dalam mengarungi kehidupan dunia ini.

Kini, kita berada pada bulan Ramadhan. Pada bulan ini Rasulullah SAW selalu menghidupkannya dengan menyatukan jasad dan ruh Alquran.

Dalam hadis riwayat Bukhari dinyatakan Rasulullah SAW memperbanyak membaca Alquran al-Karim pada Ramadhan dan Malaikat Jibril datang kepada beliau untuk membacakan Alquran.

Untuk itu, mari kita upayakan untuk selalu membaca Alquran dengan sebaik-baiknya dan kita pahami maksudnya.
Lalu, berupaya untuk mengamalkannya sebagaimana yang telah dicontohkan Rasulullah SAW sehingga jasad dan ruh Alquran dapat kita amalkan dalam keseharian. Wallaahualam.

Republika.co.id

MEMPERBANYAK SEDEKAH


Jika seseorang menggunakan matematika biasa (berhitung ala manusia) untuk menghitung, maka hal itu tidak bisa diterapkan dalam sedekah. Sebab, matematika sedekah berbeda dengan matematika biasa.

Dan kalau menggunakan matematika biasa, sepertinya banyak orang yang tak akan mau bersedekah. Kenapa? Karena setiap kita memberi kepada orang lain, dipandangnya, dilihatnya, diketahuinya, pasti akan berbeda. Bahkan, mungkin dianggapnya akan berkurang.

Misalnya, 10 dikurang satu, hasilnya sembilan (10-1=9). Dan kalau 10 dikurang dua, maka hasilnya akan delapan (10-2=8). Kalau 10 dikurang tujuh, hasilnya tersisa tiga (10-7=3). Demikian seterusnya. Itu hitungan matematika yang biasa atau umum.

Karena itu, ia harus punya matematika ilahiyah. Matematika sedekah yang berbeda dengan matematika biasa. Matematika ilahiyah, atau matematika sedekah, ketika seseorang bersedekah maka nilainya akan bertambah.

Misalnya, 10 dikurang satu, hasilnya bukan sembilan, melainkan 19. Kemudian 10 dikurang dua, maka hasilnya bukan delapan, melainkan 28. Dan 10 dikurang tiga, hasilnya bukan tujuh, melainkan 37.

Begitu seterusnya. Semakin banyak disedekahkan, maka hasilnya pun akan terus bertambah. Misalnya, 10 dikurangi 10, hasilnya adalah 100 bukan nol.

Jadi, semakin dia tahu, semakin dia merasakan, semakin dia melihat, dan jika dia bersedekah, maka hasilnya akan semakin banyak. Dan jika dia mengetahui hal ini, semestinya dia akan semakin rajin bersedekah, dengan nilai yang akan lebih banyak lagi.

Nilai ini, jika kelipatannya hanya 10. Bagaimana jika hasilnya dikalikan dengan kelipatan 700 kali lipat? Tentu akan lebih besar lagi. Jika 10 dikurangi (disedekahkan) 10, maka hasilnya adalah 7.000, bukan nol.

Seorang karyawan dengan gaji sebesar Rp 2 juta, tetapi pengeluarannya Rp 3 juta, tidak mungkin dia akan bersedekah. Sebab, untuk kebutuhan sehari-harinya saja sudah nombok.

Begitu pula pandangan masyarakat umum akan hal ini. Akibatnya, jangankan untuk bersedekah, untuk mencukupi kebutuhan hidupnya saja dia tak bisa. Hal ini juga yang membuat mereka dan kebanyakan umat Islam, enggan bersedekah.

Andai dia tahu matematika sedekah, niscaya mereka akan banyak bersedekah. Jika dia mengetahui gajinya Rp 2 juta sedangkan kebutuhannya Rp 3 juta per bulan, dia akan bersedekah untuk mencukupi kebutuhannya.

Bismillah. Misalnya, dia mengeluarkan 10 persen dari kebutuhannya (Rp 3 juta) atau sebesar Rp 300 ribu. Insya Allah, dia akan mendapatkan hasil sebesar Rp 4,7 juta. Bahkan bisa mencapai lebih besar lagi bila dikalikan dengan 700 kali lipat.

Seorang pengusaha punya giro sebesar Rp 100 juta, tapi dia punya kebutuhan yang harus ditunaikan sebesar Rp 700 juta. Kemana mencari kekurangan Rp 600 jutanya?

Setelah pengusaha ini meyakini dan memahami tentang ilmu sedekah, Bismillahirrahmanirrahim, dia sedekahkan seluruh uang yang ada di gironya itu. Subhanallah, dia akan mendapatkan Rp 1 miliar.

Khusus di bulan suci Ramadhan ini, Allah akan makin melipatkan gandanya melebihi yang biasa. Jika pada bulan-bulan lainnya dilipatgandakan 10 kali lipat atau 700 kali lipat, pada bulan puasa ini, Allah akan melipatgandakannya hingga ribuan bahkan puluhan ribu kali lipat.

Karena itu, bila sudah memahami matematika sedekah ini, saya berharap seluruh pembaca Republika, dikaruniakan Allah SWT kelebihan rezeki yang berlipat-lipat.

Sehingga bisa bersedekah semakin banyak, semakin besar. Dan tentu saja, tetap dengan niat yang tulus ikhlas karena mengharapkan ridha Allah Taala.

Republika.co.id

SEDEKAH YANG TERBAIK


Sedekah merupakan amalan sunah yang sangat umum di kalangan umat Islam. Apalagi, pada bulan suci Ramadhan.
Sebagaimana diriwayatkan Imam Bukhari, kala Ramadhan, Rasulullah SAW   lebih dermawan dalam kebaikan daripada angin yang berhembus.

Bahkan, dalam hadis yang diriwayatkan Imam Ahmad ada tambahan, “Dan beliau tidak pernah dimintai sesuatu kecuali memberikannya.Artinya, Rasulullah SAW adalah ahli sedekah.

Dan, jika kita perhatikan, ternyata di dalam Alquran, Allah SWT berulang kali memberikan penekanan khusus terkait amal yang bisa memberikan kebahagiaan pada sesama ini.

Dan belanjakanlah sebagian dari apa yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang kematian kepada salah seorang di antara kamu, lalu ia berkata, Ya Rabbku, mengapa Engkau tidak menangguhkan (kematian)-ku sampai waktu yang dekat, yang menyebabkan aku dapat bersedekah dan aku termasuk orang-orang yang saleh?” (QS [63]: 10).

Ibnu Katsir dalam tafsirnya menjelaskan maksud ayat tersebut. Menurutnya, seorang Muslim hendaknya tidak berlebih-lebihan dalam soal harta (sehingga menjadi kikir), yang akan menjadikannya menyesal di hadapan Allah.

Sementara itu pada ayat lain, Allah SWT memberikan perintah khusus kepada orang beriman, sebagaimana khsusunya perintah berpuasa ini. Hai orang-orang yang beriman, belanjakanlah (di jalan Allah) sebagian dari rezki yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang hari yang pada hari itu tidak ada lagi jual beli dan tidak ada lagi syafaat. (QS [2]: 254).

Dengan demikian dapat dipahami, meskipun sedekah merupakan amalan sunah, pada hakikatnya sedekah merupakan perisai bagi umat Islam untuk menolak segala macam keburukan di dunia dan akhirat.

Dari sini dapat ditemukan alasan logis mengapa kala Ramadhan Rasulullah SAW lebih dermawan dibandingkan dengan angin yang berhembus.

Ternyata, sedekah sangat efektif untuk menyelamatkan masa depan kita yang sesungguhnya, yakni kelak pada hari akhir kala berjumpa dengan Allah SWT.

Jadi, sangat pantas jika suatu ketika ada seorang laki-laki menemui Rasulullah SAW, lantas bertanya tentang sedekah terbaik (yang paling besar pahalanya).

Diriwayatkan dari Abu Hurairah, dia mengatakan, Datang seorang laki-laki dan berkata kepada Nabi, Wahai Rasulullah, sedekah apakah yang paling utama (terbaik)?

Nabi SAW bersabda, Engkau bersedekah dan engkau dalam keadaan sehat dan sangat menginginkan, engkau takut kefakiran dan menginginkan kekayaan, dan janganlah engkau lalai. Hingga apabila (napas) telah sampai di kerongkongan, engkau berkata: Untuk fulan sekian dan untuk Fulan sekian, dan telah menjadi milik Fulan!” (HR Bukhari).

Artinya, sedekah yang paling utama itu ialah ketika kita dalam kondisi sangat berhajat terhadap harta, lantas kita merelakannya untuk orang lain demi membantu sesama atau tegaknya agama Allah.
Terhadap siapa saja umat Islam yang mampu melakukan hal tersebut maka insya Allah baginya surga seluas langit dan bumi (QS [3]: 133-134).

Dengan demikian, seorang Muslim tidak semestinya berkeluh kesah meskipun dalam kesempitan. Sebab, sedekah dalam kesempitan adalah sebaik-baik sedekah.

Republika.co.id

KISAH UMAR BIN KHATHAB RA DIMARAHI ISTRI


Umar bin Khattab dianugerahi Allah SWT dengan ketegasan sekaligus hati yang lembut. Kisah rumah tanggaUmar dapat menggambarkan betapa tinggi budi pekerti sang khalifah dalam menghormati istri. 
Syahdan, diceritakan seorang laki-laki datang kepada Umar bin Khattab RA. Ia hendak mengadukan istrinya karena marah-marah kepadanya. Lelaki tersebut jengkel dan ingin mengadukan kelakuan istrinya kepada Amirul Mukminin.

Setiap kali datang ke rumah Amirul Mukminin, ia tidak pernah bertemu dengannya. Umar bin Khattab RA selalu telah pergi sebelum ia datang. Suatu ketika, laki-laki itu kemudian datang lagi ke rumah Umar bin Khattab RA. Sampai di depan rumah, ia tidak langsung mengetuk pintu. Umar justru berdiri di depan.

Lelaki itu pun tertegun sejenak. Secara tak sengaja, ia mendengar sang khalifah sedang dimarahi istrinya. Sang istri terdengar membesar-besarkan masalah yang remeh. Nada suara perempuan itu meninggi. Sang Amirul Mukminin cenderung pasif menghadapi kemarahan istrinya.

Lelaki itu kemudian berkata dalam hati, “Jika seorang Amirul Mukminin saja seperti itu, bagaimana denganku?” Ia kemudian berbalik hendak pergi. Umar bin Khattab keluar rumah dan melihat tamunya hendak pergi. Ia pun bertanya, “Apa keperluanmu?”

Laki-laki itu kemudian berbalik dan berkata, “Wahai, Amirul Mukminin, aku datang untuk mengadukan perangai buruk istriku dan sikapnya kepadaku. Tapi, aku mendengar hal yang sama pada istrimu,” kata lelaki itu.

Umar bin Khattab RA kemudian tersenyum. Dia pun mengisahkan kepada lelaki itu mengapa Umar yang keras begitu sabar menghadapi istrinya. “Wahai, saudaraku, aku tetap sabar menghadapi perbuatannya karena itu memang kewajibanku.”

Alih-alih menghardik istrinya, Umar malah menceritakan betapa besar jasa istrinya dalam kehidupannya di dunia. “Bagaimana aku bisa marah kepada istriku karena dialah yang mencuci bajuku, dialah yang memasak roti dan makananku, ia juga yang mengasuh anak-anakku, padahal semua itu bukanlah kewajibannya,” jawabnya.

Umar bin Khattab RA kemudian menasihati lelaki itu untuk bersikap sabar kepada istrinya karena istrinyalah yang membuat dia tenteram di sampingnya. “Karena istriku, aku merasa tenteram (untuk tidak berbuat dosa). Maka, aku harus mampu menahan diri terhadap perangainya.”

“Wahai, Amirul Mukminin, istriku juga demikian,” kata lelaki itu. Amirul Mukminin pun menjawab, “Maka, hendaknya engkau mampu menahan diri karena yakinlah hal tersebut hanya sebentar saja,” kata Amirul Mukminin.


Republika.co.id