رَبِّ اغْفِرْ لِي وَهَبْ لِي مُلْكًا لا يَنْبَغِي لأحَدٍ مِنْ بَعْدِي إِنَّكَ أَنْتَ الْوَهَّابُ


"Ya Rabb-ku, ampunilah aku, dan anugerahkanlah kepadaku kerajaan, yang tidak dimiliki oleh seorangpun juga sesudahku, sesungguhnya Engkaulah Yang Maha pemberi’."

Selasa, 21 Juni 2016

Bertakwalah, Dimanapun Anda Berada


Satu hal yang sering luput dari perhatian kita sebagai seorang muslim adalah bahwa setiap diri kita akan senantiasa diawasi dan dicatat amal-amalnya apakah baik atau buruk oleh malaikat Raqib dan ‘Atid. Semuanya pasti tahu, ini bukanlah pengetahuan baru, bukan pula ilmu baru bagi kita, namun marilah sedikit meluangkan waktu untuk kembali menyadari dan mulai menginternalisasikan pada diri akan kesadaran tentang hal ini.

Semua Makhluk Ada Jalan Hidupnya



Ketika kita memperhatikan gerak kehidupan dari beragam makhluq yang ada di alam ini, kita mungkin akan menemukan keunikan pada masing-masing makhluq yang kita amati. Tak terkecuali manusia, yang mana memiliki gerak kehidupan yang sangat beragam dan unik sesuai keadaan dan kecenderungan masing-masing, dari mereka yang cenderung bergerak sebagai pedagang, dokter, insinyur, pengajar atau guru, hingga petani maupun nelayan, dan seterusnya. Setiap peran yang ada di antara manusia adalah seperti bagian-bagian tubuh yang berbeda namun saling melengkapi dan menopang, dari yang kecil hingga yang besar, dari yang sederhana hingga yang rumit. Semua perbedaan tersebut adalah fenomena keseimbangan yang tak dirancang atau direncanakan oleh manusia itu sendiri. Dan demikian pula halnya dengan beragam makhluq lain selain manusia, yang semuanya memiliki gerak kehidupan dan kecenderungan masing-masing yang khas dan saling melengkapi, yang tentunya juga di luar rencana dan kesadaran mereka sendiri.

Ketika kita mengamati kehidupan para nelayan, yang menjadikan hasil laut sebagai penopang keberlangsungan hidup mereka, maka kita akan mendapati bahwa para nelayan tulen biasanya memang lebih cenderung tertarik dengan dunia laut dan ikan daripada dunia kesibukan lainnya, seakan-akan keahlian mereka dalam menangkap ikan di laut pun sudah menjadi akar semangat yang menjadi penggerak kehidupan mereka, sebagaimana misalnya para pedagang tulen yang tentu jiwanya juga akan lebih bersemangat dengan dunia dagangnya daripada dunia selainnya, yang mana jika misalnya antara nelayan dan pedagang tersebut harus bertukar profesi, pastinya masing-masing akan merasakan kejanggalan dan ketidaksesuaian, karena memang masing-masing memiliki kecenderungan jiwa yang berbeda. Di samping itu, para nelayan biasanya juga akan dengan sendirinya mewariskan kemampuannya kepada generasi berikutnya. Dan tentunya memang harus ada generasi penerus bagi para nelayan, karena memang tak bisa dibayangkan jika ternyata di dunia ini tiada yang tertarik untuk meneruskan profesi tersebut. Dan itulah kenyataan bahwa sistem mewariskan keahlian pun sebenarnya merupakan fenomena alami yang di luar kendali manusia. Sekuat apapun manusia berkehendak untuk menciptakan fenomena keseimbangan tersebut sendiri, atau bahkan menghilangkannya, maka di sana telah ada Kekuatan tak terlihat yang telah lebih dahulu merancang dan mengaturnya, bahkan tanpa manusia minta.

Beralih ke makhluq selain manusia, jika memang strategi berburu ikan di laut menggunakan jaring adalah hal yang wajar dan tak perlu dipertanyakan, karena memang adalah tak mungkin jika manusia yang bisa berfikir dengan akalnya akan menangkap ikan hanya menggunakan kedua tangannya, maka yang mengherankan dan  perlu dipertanyakan adalah jika ada makhluq selain manusia yang memiliki kecerdasan setingkat manusia, yang mana bisa mengatur strategi berburu layaknya para nelayan, padahal makhluq tersebut tidak dilengkapi perangkat akal untuk berfikir.

Laba-laba, dialah makhluq kecil yang meskipun hidup berkaki namun bisa menangkap makhluq terbang yang tak terjangkau oleh kakinya. Kita tidak tahu kecerdasan macam apa yang dimiliki oleh makhluq tak berakal itu hingga dia bisa mengerti bahwa cara menangkap serangga yang terbang adalah dengan membuat perangkap halus di udara, agar mangsa bersayap tersebut nantinya dapat terjerat ketika melewati perangkap yang dibuatnya itu, seakan-akan dia memiliki cara berfikir yang sama seperti para nelayan, yang membuat perangkap jaring di dalam laut untuk menangkap ikan yang tak terjangkau oleh tangan mereka. Dan pola anyaman jaring perangkap yang diciptakan laba-laba pun begitu teratur dan rapi, serta sesuai dengan ukuran medan yang digunakannya, seakan-akan dia juga memiliki kemampuan memperhitungkan hingga mengerti cara mengukur tempat dan menyesuaikannya dengan pola serta ukuran jaring yang harus dirancang dan diciptakannya. Tentu kecerdasan semacam itu hanya akan dimiliki oleh para arsitek. Namun sulit dimengerti bahwa makhluq tak berakal sekecil itu ternyata mampu berbuat sedemikian rupa, seakan-akan ia memiliki daya arsitektur tinggi yang mana pastinya juga menggunakan logika.

Selain itu, dia pun bahkan hingga mengerti beragam fungsi lain dari benang jaringnya tersebut; dia juga menggunakan benang jaringnya itu untuk berayun dan berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain, untuk melarikan diri dengan cepat dari kejaran pemangsa, membungkus dan membekap mangsanya yang telah terjerat dalam perangkap, melindungi lubang sarangnya, atau membuat kantung untuk diisi ratusan telurnya, dan seterusnya. Dan konon, ratusan telur yang kemudian menetas akan mengeluarkan laba-laba kecil yang masih lemah, yang selanjutnya menghadapi tantangan hidup berupa dimakan burung, kadal, semut, atau makhluq lainnya, hingga menyisakan sebagian saja dari mereka untuk bisa sampai menjadi laba-laba dewasa. Dan mungkin memang demikianlah cara makhluq-makhluq yang lain memperoleh rizki mereka. Karena seekor laba-laba betina pun juga tidak pernah merencanakan bahwa dia akan bertelur dalam jumlah ratusan. Dia juga tidak pernah mempertanyakan mengapa dia harus bertelur sebanyak itu. Mungkin saja, jika telur laba-laba hanya berjumlah sedikit, bisa jadi semuanya akan dimakan habis oleh para pemangsanya hingga tiada lagi yang tersisa untuk menyambung keberlangsungan hidup generasi laba-laba berikutnya. Ataupun jika jumlah telur yang sedikit tersebut akan harus selalu selamat semuanya hingga dewasa, maka mungkin peluang rizki bagi para pemangsanya pun akan berkurang, dan jalan rizki mereka pun akan berbeda dari yang biasanya. Dan demikianlah sebagian kecerdasan yang kita dapati di alam ini, tanpa kita mampu melihat secara kasat mata Kekuatan macam apa yang menggerakkan semua itu.

Tiada pula yang bisa mengira bahwa ternyata sebuah tumbuhan yang berbatang segar sanggup bertahan hidup di daerah gurun yang kering sekalipun. Kaktus gurun, dialah makhluq yang memiliki keunikan berupa kemampuan pada akarnya untuk menembus jauh ke dalam tanah agar dapat menyerap air di daerah yang bahkan tergolong kurang air. Dan air yang berharga tersebut kemudian disimpannya di dalam ruang batangnya sebagai persediaan kehidupannya. Dia juga memiliki perlengkapan berupa duri yang menyelimuti permukaan batangnya, yang konon di antara fungsinya adalah sebagai pelindung dari hewan pemakan tumbuhan, dan juga untuk memperkecil potensi penguapan, karena memang tingkat penguapan di daerah gurun tentu jauh lebih tinggi dikarenakan suhu panasnya. Mungkin jika kita diposisikan dalam peran sebagai kaktus, tampaknya kita tidak akan memilih tempat yang kering dan panas untuk melanjutkan hidup. Namun justru memang demikianlah kapasitas dan keunikan sebuah tumbuhan gurun bernama kaktus. Dia bahkan mungkin tidak bisa hidup jika harus terendam di daerah rawa yang berlebihan kadar airnya. Begitu juga sebaliknya, tidak mungkin tumbuhan rawa bisa hidup jika harus bertukar habitat dengan kaktus tersebut. Masing-masing memang telah memiliki cara tersendiri untuk bertahan hidup sekaligus memerankan sebuah fungsi bagi ekosistemnya. Dan itu semua adalah kecanggihan alami yang tentunya di luar kesadaran benda alam itu sendiri.

Begitu pula dengan keunikan yang ada pada makhluq bernama ulat sebagai misal lainnya; kita mungkin bisa mempertanyakan bagaimana bisa makhluq sekecil itu sanggup menghabiskan dedaunan yang cukup banyak pada sebatang tumbuhan, seakan-akan dia memiliki sebuah rencana dan tujuan dalam tingkah lakunya itu. Dan memang konon, proses memakan daun yang terus-menerus dilakukannya tersebut tak lain adalah sebagai langkah persiapannya sebelum memasuki tahapan kepompong di mana akan mengharuskannya berhenti makan untuk beberapa lama. Namun tentunya akan mengherankan jika seekor ulat yang ukurannya jauh lebih kecil dari ukuran otak manusia ternyata bisa memperkirakan bahwa untuk menghadapi keadaan yang ‘paceklik’ tanpa makanan, maka dia harus bersiap-siap mengumpulkan energi terlebih dahulu sebelumnya, layaknya kebutuhan akan sahur sebelum berpuasa. Padahal jika kita renungkan, tentu kemampuan merencanakan semacam itu hanya akan dimiliki oleh makhluq yang memiliki akal. Namun nyatanya ulat yang tak dianugerahi akal pun telah terbukti sanggup membuat perencanaan semacam itu.

Dan keunikan ulat itupun tak hanya sampai di situ, bahkan pada kenyataannya, dari hasil kepompong itulah sebuah lingkungan alam akan kemudian dilengkapi dengan seekor serangga terbang bernama kupu-kupu, yang mana salah satu fungsinya adalah untuk membantu proses penyerbukan pada tumbuhan. Dan dari penyerbukan itulah tumbuhan akan dapat berkembang biak. Maka di sinipun semakin tampak jelas betapa canggihnya cara kerja alam ini. Dan bahkan jika kita perhatikan lagi dan kemudian lagi, ternyata melalui ulat dan kupu-kupu jugalah burung-burung dapat memberi makan anak-anaknya yang belum bisa terbang untuk mencari makan sendiri. Jika saja ulat dan kupu-kupu tidak pernah ada, mungkin peluang memperoleh makanan bagi burung-burung tersebut pun akan menjadi berkurang.

Dan sesungguhnya, betapapun manusia sangat berkehendak dan berusaha sekuat tenaga untuk menghilangkan fenomena yang tampak tidak nyaman atau perlu dikasihani, misalnya seperti daun yang dimakan ulat tersebut, atau ulat dan kupu-kupu yang dimakan burung, kaktus dengan duri tajamnya yang hidup di tempat yang kekurangan air, laba-laba yang memangsa dan yang dimangsa, atau perbedaan profesi manusia yang kerap menimbulkan perselisihan di antara mereka, maka niscaya semua fenomena itu pun akan selalu tetap ada, dan justru itulah yang sengaja diperlihatkan kepada manusia, agar direnungkan dan disadari betapa tak berdayanya mereka untuk merancang, mengatur, mengendalikan, atau hingga menghilangkan semua itu.

Demikianlah kurang lebih gambaran tentang kehidupan ini. Tiada manusia yang sanggup menghilangkan keburukan sepenuhnya dari dunia ini, karena memang adanya keburukan adalah justru untuk menjadi pembeda bagi kebaikan. Dan manusia dengan akalnya pun akan kemudian terseleksi dengan sendirinya, antara golongan yang dianugerahi keberuntungan dengan golongan yang sebaliknya, antara mereka yang dianugerahi kemampuan untuk meyakini adanya Tuhan, dengan mereka yang meragukan-Nya atau bahkan mengingkari-Nya sama sekali. Dan di sinilah manusia yang dianugerahi keberuntungan akan kemudian kembali dengan sepenuh hati kepada Tuhan mereka, Tuhan dalam arti yang sesungguhnya, yaitu Pencipta yang tidak pernah menjadi ciptaan, yang tidak pernah butuh untuk melahirkan apalagi hingga dilahirkan. Maha Suci Tuhan dari kekurangan semacam itu.

Dialah Allah (subhaanahuu wata’aalaa), satu-satunya Dzat yang menciptakan segala sesuatu, yang mana karena kesempurnaan-Nya-lah akal manusia yang terbatas pun hingga tak sanggup menampung segenap kebesaran-Nya. Oleh karena itulah Allah (subhaanahuu wata’aalaa) mengutus para Rasul-Nya dari golongan manusia untuk menjelaskan kepada mereka tentang hakikat diri-Nya, juga tentang hakikat kehidupan dunia yang nyatanya tak pernah abadi. Tiada tawa yang abadi di tempat singgah ini, demikian pula dengan kesulitan. Yang ada hanyalah janji abadi tentang hasil dari amal kebaikan dan amal keburukan di hari yang abadi kelak. Pada hari yang abadi itulah segala bentuk amal yang bahkan berupa gerakan batin sekalipun akan dinilai secara tepat, yang tidak baik akan kita sesali, dan yang baik akan menggembirakan kita.

Dan bagaimanapun juga, segala bentuk peran di dunia ini pada hakikatnya adalah anugerah bagi manusia, selama disertai iman dan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya. Tiada yang salah dari menjadi nelayan, petani, pengajar atau guru, insinyur, dokter, pedagang, atau apapun selama tetap dalam ketaatan tersebut. Yang salah adalah keadaan di mana kita sengaja melanggar ketaatan itu, ataupun menganggap bahwa profesi kita adalah satu-satunya yang paling penting di antara profesi yang ada. Maka tetaplah berbahagia dengan berbuat kebaikan dalam keadaan masing-masing, sambil berusaha memperbaiki kesalahan yang telah lalu semampunya, karena Allah akan berbahagia pula dengan kebahagiaan hamba-Nya yang bersabar mentaati-Nya dalam keadaan apapun. Dan berbahagialah ketika sesama manusia juga berbahagia dalam usaha mentaati Allah dan Rasul-Nya, karena mungkin demikianlah jalan hidup orang-orang yang beriman dan berserah diri, yaitu ruku’ bersama-sama di hadapan Allah, insyaa’Allaah.

Sesungguhnya tiada Tuhan yang patut disembah kecuali Allah (subhaanahuu wata’aalaa), Yang Maha Tunggal dan tak pernah melahirkan tuhan-tuhan lain yang mendampingi-Nya. Maha suci Allah. Dan sesungguhnya Rasul atau utusan Allah yang membawa kebenaran untuk manusia akhir zaman adalah Muhammad (shallallaahu ‘alaihi wasallam), yang membawa al-Qur’an untuk menyempurnakan ajaran para Rasul pendahulunya di dalam Taurat, Injil dan kitab langit lainnya yang telah dicampuri rekayasa tangan manusia.

Dan sesungguhnya tiada manusia yang tahu persis nasib masa depannya di hari yang kekal nanti, apakah akan selamat ataukah justru sebaliknya. Dan tiada manusia yang berhak mendaftarkan orang lain ke dalam neraka selama mereka masih hidup dan memiliki kesempatan untuk meraih hidayah iman dan Islam. Adapun yang telah dijelaskan kepada kita tentang keselamatan akhirat adalah bahwa Allah akan merahmati hamba-Nya dengan cara menjadikannya beramal kebaikan di dunia ini, disertai iman dan ketaatan kepada-Nya dan kepada Rasul-Nya. Dan bagaimanapun, tugas kita hanyalah berusaha menempuh ketaatan yang diperintahkan tersebut dengan segenap kemampuan, sedangkan perkara hasil hanyalah wewenang Allah semata. Dan hanya milik Allah sajalah segala kebenaran, hidayah dan taufiq.

Eramuslim


Benarkah Penyakit Pikun Karena Sering Tidur Sehabis Subuh !



Tidak terdapat satu nash pun yang melarang seseorang tidur setelah shalat shubuh sehingga hukumnya adalah tetap seperti asalnya yaitu boleh.

Namun demikian diantara arahan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabatnya bahwa apabila mereka menunaikan shalat shubuh maka mereka tetap duduk di tempat shalat mereka hingga terbit matahari, sebagaimana disebutkan didalam Shahih Muslim (1/463) no. 670 dari hadits Simak bin Harb katanya; aku berkata kepada Jabir bin Samurah; “Mungkin anda pernah duduk-duduk bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam? Dia menjawab; “Ya, dan itu banyak kesempatan, Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam tidak pernah beranjak dari tempat shalatnya ketika subuh atau pagi hari hingga matahari terbit, jika matahari terbit, maka beliau beranjak pergi. Para sahabat seringkali bercerita-cerita dan berkisah-kisah semasa jahiliyahnya, lantas mereka pun tertawa, namun beliau hanya tersenyum.”

Juga permintaan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam kepada Tuhannya agar memberkahi umatnya di pagi hari mereka, sebagaimana terdapat didalam hadits dari Shakhr Al Ghamidi, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau mengucapkan: “ALLAAHUMMA BAARIK LI UMMATII FII BUKUURIHAA (Ya Allah, berkahilah umatku di pagi hari mereka). Dan beliau apabila mengirim expedisi atau pasukan beliau mengirim mereka di awal siang. Dan Shakhr adalah seorang pedagang dan ia mengirim perdagangannya di awal siang, maka hartanya bertambah banyak. Abu Daud berkata; ia adalah Shakhr bin Wada’ah. (HR. Abu Daud, Tirmidzi dan Ibnu Majah) Hadits ini dikuatkan oleh hadits Ali, Ibnu Umar, Ibn Abbas, Ibnu Mas’ud dan selain mereka.

Dari sini, sebagian ulama salaf memakruhkan tidur setelah shubuh. Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan didalam “Mushannaf”nya 5/222 no. 25442 dengan sanad shahih dari Urwah bin az Zubeir bahwa dia berkata,”Zubeir dahulu melarang anaknya untuk tidur diwaktu pagi hari. Urwah berkata,’Sesungguhnya aku mendengar bahwa seeorang tidur di waktu pagi hari maka aku pun meninggalkannya.”

Ringkasnya bahwa yang lebih utama bagi seseorang adalah mengisi waktu ini dengan hal-hal yang bermanfaat bagi dunia dan akheratnya. Dan jika dia tidur di waktu itu untuk menguatkan dirinya dalam menunaikan pekerjaannya maka hal itu tidaklah mengapa terlebih lagi jika ia adalah orang yang diwaktu-waktu siangnya sulit sekali tidur kecuali di waktu ini (bada shubuh).

Ibnu Abi Syaibah didalam “Mushannaf”nya (5/223 No. 25454) meriwayatkan dari hadits Abi Yazid al Madini berkata,”Umar pernah mengunjungi Shuhaib di pagi hari lalu dia mendapatkanna sedang tidur dan ia pun duduk hingga Shuhaib terbangun. Shuhaib berkata,” Amirul Mukminin duduk diatas tempat duduknya sementara Shuhaib tidur diatas tempat tidurnya!” Umar pun berkata kepadanya,”Aku tidak suka agar engkau meninggalkan tidur yang menyertaimu.”

Adapun tidur setelah ashar maka ia juga boleh dan apa yang diriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tentang larangan tidur di waktu ini adalah tidak benar.
Adapun apa yang dinisbahkan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa beliau bersabda,”Tidur setelah ashar maka akan menghilangkan akalnya. Untuk itu tidak ada yang bisa disalahkan kecuali dirinya sendiri.” Ini adalah hadits batil yang tidak berasal dari Nabi saw. (Slilsilah adh Dhaifah No. 39). (Fatawa Islam Sual wa Jawab No. 2063)

Wallahu A’lam

Eramuslim


Untuk Ya'juj Dan Ma'juj, Dzul Qarnain Bangun Tembok Penghalang.

ANDA tentu mengenal Dzul Qarnain bukan? Ya, dia merupakan seorang pemimpin yang adil dan bijaksana. Dikisahkan bahwa dia telah membangun tembok besi yang tinggi untuk melindungi kaum lemah dari serangan Ya’juz dan Ma’juz yang ditemuinya dalam perjalanannya menuju timur.

Dzul Qarnain begitu menyayangi rakyatnya, hingga ia buat dinding penghalang yang dibangun untuk Ya’juz dan Ma’juz. Lalu, apakah ada manusia yang pernah melihat dinding tersebut?

Dinding yang dibangun Dzul Qarnain pernah dilihat oleh seorang sahabat Nabi ﷺ. Hal ini disebutkan dalam sebuah riwayat yang disebutkan oleh Bukhari, bahwa seseorang pernah berkata kepada Nabi ﷺ, “Aku pernah melihat dinding itu menyerupai selendang lurik.” Nabi ﷺ pun menjawab untuk membenarkan ciri-ciri dinding yang dilihat pria itu, “Engkau benar sudah melihatnya.”

Ibnu Hajar menuturkan, hadis ini disampaikan oleh Ibnu Abi Umar melalui jalur riwayat Sa’id ibn Abi Arubah, dari Qatadah, dari seorang penduduk Madinah yang pernah berkata kepada Nabi ﷺ, “Wahai Rasulullah, aku pernah melihat dinding penghalang Ya’juz dan Ma’juz.” Nabi ﷺ lalu balik bertanya, “Bagaimana engkau melihatnya?”

Pria itu menjawab, “Seperti selendang lurik yang bergaris-garis merah dan hitam.”

Nabi ﷺ pun bersabda membenarkan pernyataan pria itu, “Engkau benar sudah melihatnya,” (HR. Ibnu Hajar).

Al-Hafidz Ibnu Katsir menyebutkan kisah tentang upaya sejumlah penguasa untuk menemukan dinding penghalang Ya’juz dan Ma’juz, dengan menuturkan, bahwa Khalifah al-Watsiq mengutus salah seorang panglima perangnya bersama satu ekspedisi ini untuk melukiskan kepadanya mengenai ciri-ciri dinding penghalang tersebut.

Ekspedisi ini pun menempuh perjalanan dari satu negeri ke negeri lain, dari satu kerajaan ke kerajaan lain. Hingga akhirnya, sampailah mereka di satu tempat. Di sana, mereka melihat bangunan dinding penghalang yang terbuat dari besi dan timah. Menurut mereka, bahwa mereka melihat sebuah pintu sangat besar dengan banyak gembok yang besar pula. Mereka juga melihat sisa-sisa batu dan bekas-bekas pembangunan di sebuah menara sana. Dinding itu dijaga oleh beberapa orang raja di wilayah sekitarnya. Dinding tersebut sangat besar, tinggi dan kokoh, tak dapat ditembus dan dipanjat. Begitu pula pegunungan yang mengelilinginya. Setelah itu, mereka kembali ke negeri mereka. Ekspedisi ini mereka jalani selama lebih dari dua tahun. Selama itu pula, mereka menyaksikan banyak hal yang menakjubkan.

Ibnu Katsir tidak menyebutkan mata rantai periwayatan kisah ini. Ia sedikit pun tidak pernah menyinggungnya.

Islampos



Masjid Dan Azan


Masjid adalah tempat suci dan sangat dihormati umat Islam di seluruh dunia. Di masjid dimuliakan nama Allah melebihi tempat lain (QS an-Nur [24]: 36). Masjid merupakan bangunan risalah pertama yang didirikan oleh Nabi Muhammad SAW.

Sejalan dengan fungsi masjid sebagai tempat bersujud kepada Allah SWT maka masjid dan suara azan tidak dapat dipisahkan. Bukanlah masjid kalau tidak mengumandangkan suara azan. Suara azan tidak mungkin pula dikumandangkan secara rutin kalau bukan di masjid.

Pada zaman nabi, azan belum menggunakan pengeras suara. Muazin pertama Rasulullah, yaitu Bilal bin Rabah, cukup berdiri di tempat tinggi untuk mengumandangkan seruan azan. Dalam hadis diriwayatkan suatu ketika tiba waktu shalat, Rasulullah memanggil Bilal, “Wahai Bilal, kumandangkanlah azan, hiburlah kita dengan dia (azan itu).”

Tidak seorang pun ulama di dunia Islam yang memandang bidah azan dengan pengeras suara. Sudah jelas batas antara ibadah dan dunia dalam hal azan ini. Mustafa Kemal Ataturk di Turki pernah mengeluarkan larangan azan dalam bahasa Arab dari menara-menara masjid, tapi hanya berlangsung selama Ataturk berkuasa.

Mengapa suara azan harus jelas terdengar? Sebab, tujuan azan memanggil orang shalat berjamaah ke masjid. Namun demikian, kriteria muazin perlu lebih diperhatikan. Panggilan azan tidak sekadar asal bunyi, tapi diharapkan merasuk ke hati sanubari.  

Masjid harus sejuk dan menyejukkan. Suara selain azan memang bisa mengganggu waktu istirahat warga di sekitar masjid, terutama di perkotaan. Selawat, tarhim, bacaan Alquran, atau beduk bukan bagian dari azan. Hanya saja ada tradisi sebagian masjid di Tanah Air mengumandangkan bacaan selain azan berdekatan dengan waktu shalat atau memukul beduk sebagai tanda masuknya waktu shalat.

Sebagian orang mungkin terganggu dengan suara speaker selain azan pada jam-jam tertentu dan di lingkungan tertentu. Selain suara azan, tadarus Alquran di bulan Ramadhan dan takbir hari raya adalah ibadah dan syiar Islam. Tapi, kalau dilakukan semalam suntuk dengan pengeras suara atau menyetel kaset sampai pagi adalah tidak tepat.

Penggunaan pengeras suara di masjid dan mushala sudah ada pengaturan dan tuntunan yang dikeluarkan oleh Dirjen Bimas Islam Departemen Agama RI pada 1978. Dalam tuntunan tersebut, antara lain, diatur speaker masjid dipisahkan antara corong speaker keluar dan ke dalam. Speaker yang ditujukan ke luar masjid hanya untuk azan, sebagai tanda telah tiba waktu shalat.

Adapun bacaan shalat dan doa pada dasarnya hanya untuk kepentingan jamaah maka tidak perlu ditujukan keluar, sehingga tidak melanggar ketentuan syariah yang melarang bersuara keras dalam shalat dan doa.

Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin pada 1976 mengeluarkan seruan tertulis tentang Penggunaan Alat Pengeras Suara untuk Kepentingan Syiar Islam, yaitu 15 menit sebelum waktu Subuh pada hari-hari biasa dan 30 menit sebelum waktu Subuh pada Ramadhan. Pengaturan penggunaan pengeras suara di masjid-masjid menjelang Subuh merujuk pada keputusan Musyawarah Alim Ulama Terbatas DKI Jakarta, September 1973.

Republika.co.id


Shaum Dan Amanah Umar Bin Khattab



Umar bin Khattab terkenal sebagai sosok khalifah yang jujur memegang amanah, cerdas, dan berani mengambil keputusan dengan cepat. Banyak gagasan-gagasan dan inovasi Umar yang monumental sehingga masih tetap menjadi sumber inspirasi dalam mengembangkan kemajuan peradaban umat manusia sampai saat ini.

Mahmud al-Mishri Abu Amar dalam kitab Masu'ah Min Akhlaqi ar-Rasul mengisahkan sebuah peristiwa pada masa pemerintahan Umar. Suatu hari, Muaiqib, seorang penjaga baitul mal, membersihkan gedung dan menemukan uang sebesar satu dirham. Kemudian, uang tersebut diberikan Muaqib kepada putra Umar.

Muaiqib pun pulang ke rumahnya. Sesampainya di rumah, ternyata utusan Umar sudah berada di depan rumahnya dan memintanya agar segera menghadap khalifah. Muaiqib pun menghadap Khalifah Umar dan ternyata uang satu dirham yang diberikan kepada putranya itu dia pegang.

Lantas Umar berkata kepada Muaiqib, "Celaka kamu, wahai Muaiqib penjaga baitul mal! Apakah aku pernah bersalah kepadamu? Apakah kamu punya masalah denganku?" Muaiqib merasa heran. Kemudian, ia bertanya kepada Khalifah Umar, "Memangnya ada apa, wahai Umar?" Umar berkata, "Apakah kamu, wahai Muaiqib, mau dimusuhi umat Islam pada hari kiamat kelak disebabkan satu dirham itu?" 

Kisah lain, putra Umar bernama Abdullah bin Umar memelihara kambing. Kebetulan, ia menggembalakan kambing-kambingnya di halaman istana Khalifah Umar. Pada suatu saat, Umar bertanya kepada anaknya, "Kambingmu itu gemuk-gemuk, di mana kamu gembalakan kambing itu?" Abdullah menjawab, "Aku gembalakan di sekitar rumput halaman istana."

Mendengar jawaban sang anak, Umar langsung berkata, "Jual kambing itu! Dan kelebihan daging sebelum digembalakan di sekitar istana dan sesudahnya diberikan pada baitul mal. Karena, kambing itu telah memakan rumput sekitar istana dan rumput di sekitar istana itu adalah milik negara." 

Umar bin Khattab adalah seorang yang wajahnya terdapat dua garis hitam akibat air mata karena sering menangis. Ia merasa  takut akan azab Allah SWT yang disebabkan melanggar amanah yang dibebankan kepadanya. Rasulullah SAW bersabda, "Sesungguhnya kepemimpinan itu adalah amanah, dan sesungguhnya pada hari kiamat kepemimpinan itu merupakan kehinaan dan penyesalan, kecuali orang yang mengambilnya secara hak dan melaksanakan tugas kewajibannya." (HR Muslim).

Hadis ini menjelaskan tentang pentingnya melaksanakan amanah bagi seorang pemimpin dan memperoleh kepemimpinan dengan cara yang benar. Kita merasa prihatin dengan kondisi bangsa saat ini. Kita menyaksikan maraknya pelanggaran hukum yang terjadi di mana-mana sehingga mencederai amanah yang diembannya, baik dilakukan masyarakat biasa maupun para pemimpin bangsa yang seharusnya menjadi teladan rakyatnya.

Mudah-mudahan ibadah puasa yang kita laksanakan pada bulan Ramadhan ini dapat menjadi sarana terapi untuk mewujudkan amanah dengan sebaik-baiknya, di mana pun kita berada.

Republika.co.id


Tiga Golongan Manusia

Proses keimanan manusia sejak dimulai dari Nabi Adam as hingga akhir zaman, umat Nabi Muhammad Saw mengalami banyak tantangan dan perubahan. Tantangan yang dimaksud ialah tantangan keimanan; apakah manusia mampu beristiqamah dalam iman dan amal shaleh selepas Nabi penyampai risalah tiada. Sedangkan perubahan yang dimaksud adalah perubahan zaman (masa) dan tempat.

Jika dulu ketika zaman Nabi Adam fase kesesatan manusia (syirik kepada Allah) belum terlihat, maka di zaman Nabi Nuh; tantangan yang dialaminya jauh lebih berat manakala manusia satu persatu meninggalkan Allah dan justeru mengagungkan sesembahan yang mereka yakini mampu mengabulkan seluruh hajat.

Ketika kesesatan demi kesesatan mulai merajalela, seruan terasa diabaikan dan tiada artinya, hanya doa yang mampu terucap dari lisannya; air bah pun tak terhindarkan lagi, melenyapkan apa saja yang ada di darat, kecuali umat yang setia kepada ajakan Nabi Nuh.

Siksaan yang Allah berikan kepada kaum Nabi Nuh sangat logis dan beralasan. Jika kita menyepakati bahwa sebegitu dahsyatnya siksaan Allah pada masa Nabi Nuh, apalagi di zaman yang serba canggih dewasa ini? Tatkala kesyirikan terbungkus dalam bentuk baru-- bukan lagi patung-patung atau sesembahan-- salah satunya harta benda; saat seruan adzan terabaikan dan lebih khusyu oleh gadget bertebaran.

Semakin diabaikan, lama kelamaan keimananpun berkurang atau bahkan nyaris hilang. Karenanya, dilihat dari aspek pengetahuan tentang kebenaran dan pengamalannya, manusia terbagi menjadi tiga golongan, yakni pertama, golongan yang mendapatkan ni’mat. Kedua, golongan yang mendapat murka. Ketiga, golongan yang sesat.

Dalam perjalanan hidupnya, ada manusia yang mengetahui kebenaran dan tidak. Mereka yang mengetahui kebenaran akan senantiasa melaksanakan kewajiban dan enggan untuk menentangnya. Menjalani kewajiban shalat misalnya. Konsistensi menjaga shalat, baik wudhunya, gerakannya, lafadznya, hingga waktunya inilah yang akan mendapatkan rahmat.

Allah menyucikan dirinya dari hal-hal yang tidak baik serta melimpahkan padanya pahala dan ilmu yang bermanfaat. Sedangkan orang yang sebenarnya mengetahui kebenaran namun ia enggan melaksanakan perintah-perintah Allah, maka ia termasuk orang yang sesat.

Orang yang mendapat murka adalah orang yang tersesat dari hidayah amal. Orang yang tersesat mendapat murka karena kesesatannya dari ilmu yang diketahuinya dan amal yang harus dikerjakannya. Masing-masing dari keduanya sesat dan mendapat murka. Namun, orang yang tidak beramal shaleh padahal ia tahu bahwa itu adalah kebenaran jauh lebih layak mendapatkan murka.

“Katakanlah: “Hai Ahli Kitab, janganlah kamu berlebih-lebihan (melampaui batas) dengan cara tidak benar dalam agamamu. Dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu orang-orang yang telah sesat dahulunya (sebelum kedatangan Muhammad) dan mereka telah menyesatkan kebanyakan (manusia), dan mereka tersesat dari jalan yang lurus”.”

Alur seruan pertama pada ayat di atas tertuju kepada orang Yahudi dan alur seruan kedua tertuju untuk orang-orang Nasrani. Dalam hal ini, orang Yahudi lebih layak mendapatkan murka sebab mereka tahu kebenaran namun mereka enggan menampakkan apalagi melaksanakan apa yang diperintahkan-Nya.

Diriwayatkan dalam Sunan at-Tirmidzi dan Shahih Ibnu Hibban dari hadits Adi bin Hatim ra dia berkata, “Rasulullah Saw bersabda, ‘Orang-orang yahudi adalah orang-orang yang mendapat murka dan orang-orang nasrani adalah orang-orang yang sesat,’

Penyebutan tiga golonan manusia ini mengharuskan pengukuhan kerasulan dan kenabian Muhammad Saw karena klasifikasi manusia kepada tiga golongan ini merupakan realitas yang kasat mata dan klasifikasi inilah yang mengharuskan pengukuhan kerasulan itu, demikian ungkap Syaikh Ibnul Qayyim al Jauziyyah.

Adapun golongan sesat dan murka, keduanya-duanya cenderung mengikuti hawa nafsu yang buruk. Definisi hawa, seperti Syaikh Raghib al-Ashfahani dalam mu’jam mufradat al-fazil Qur’ani (2010: 395) menyebutkan bahwa Hawa ialah kecenderungan jiwa kepada keinginan hawa nafsu.

Dinamai hawa nafsu karena ia cenderung akan menjerumuskan pelakunya tidak hanya kepada siksa di dunia namun juga mendapatkan azab di akhirat nanti (neraka Hawiyah). Sedangkan makna kata hawiyah adalah jatuh dari tempat yang tinggi, seperti dalam surah al-Qariah ayat 9, “Maka adapun orang-orang yang ringan timbangan (amal kebaikannya), maka tempat kembalinya adalah neraka hawiyah,”

Sedangkan makna adh-dhalal (sesat), memiliki makna belok atau menyimpang dari jalan yang lurus, kebalikan dari al-Hidayah. Adh-Dhalal juga diartikan setiap penyimpangan dari manhaj baik sedikit maupun banyak, baik disengaja maupun tidak. Karena bertahan dijalan yang lurus dan diridhai Allah itu teramat berat. Sedangkan ditinjau dari perspektif lain ad-dhalal dengan makna sesat ada dua yaitu sesat dalam ilmu aqidah (seperti memahami dzat Allah) dan sesat dalam ilmu amaliah (seperti memahami hukum-hukum ibadah).

Semoga Allah melindungi kita dari golongan sesat dan murka, serta memasukkan kita menjadi golongan orang yang mendapatkan keni’matan; ni’mat Iman, Islam dan Ihsan. Sebab, tiada ni’mat yang lebih dan paling berharga selain keimanan. Ya Allah, wafatkan kami dalam keadaan beriman, Aamiin...

Republika.co.id