رَبِّ اغْفِرْ لِي وَهَبْ لِي مُلْكًا لا يَنْبَغِي لأحَدٍ مِنْ بَعْدِي إِنَّكَ أَنْتَ الْوَهَّابُ


"Ya Rabb-ku, ampunilah aku, dan anugerahkanlah kepadaku kerajaan, yang tidak dimiliki oleh seorangpun juga sesudahku, sesungguhnya Engkaulah Yang Maha pemberi’."

Sabtu, 18 Oktober 2014

Tertawa, Antara Sunnah Dan Dilarang






Pada dasarnya tertawa hukunya mubah. Ia bagian dari sifat dan tabiat manusia, manusiawi. Namun, kalau berlebihan sampai terbahak-bahak maka menjadi tercela. Tertawa berlebihan bisa membuat hati menjadi mati.

Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda,

وَلَا تُكْثِرْ الضَّحِكَ فَإِنَّ كَثْرَةَ الضَّحِكِ تُمِيتُ الْقَلْبَ
“Jangan banyak tertawa, karena banyak tertawa akan membuat hati mati.” 
(HR. Tirmidzi dan dihassankan Syaikh Al-Albani)

Al-Hasan al-Bashri Rahimahullah berkara, “Tertawanya seorang mukmin karena kelalaian hatinya.” (HR. Ibnu Abi Syabah dalam al-Mushannaf) maksud tertawa di sini adalah tertawa yang makruh (terbahak-bahak).

Ada jenis tertawa yang disunnahkan, yaitu tersenyum. Khususnya saat berada di hadapan saudara dan kawan. Yakni seseorang melebarkan bibirnya ke samping dengan wajah berseri dan tanpa bersuara.
Diriwayatkan dari Abu Dzar Radhiyallahu 'Anhu ia berkata, Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda kepadaku,

لَا تَحْقِرَنَّ مِنْ الْمَعْرُوفِ شَيْئًا وَلَوْ أَنْ تَلْقَى أَخَاكَ بِوَجْهٍ طَلْقٍ
"Janganlah sekali-kali kebaikan sekecil apapun itu, walau engkau bertemu saudaramu dengan wajah berseri (menyenangkan)." 
(HR. Muslim)

Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam menerangkan, tersenyum kepada kawan adalah shodaqoh.

تَبَسُّمُكَ فِي وَجْهِ أَخِيكَ لَكَ صَدَقَةٌ
“Senyummu kepada saudaramu menjadi shodaqoh bagimu.” 
(HR. Tirmidzi dan dishahihkan Syaikh Al-Albani)

. . . Ada jenis tertawa yang disunnahkan, yaitu tersenyum. . .

Sesungguhnya tersenyum adalah nikmat dari Allah untuk seseorang. Senyuman akan membuat raut wajah tampak indah dan menyenangkan. Ekspresi wajah yang tersenyum membuat nyaman saudaranya. Karenanya, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam orang yang paling banyak tersenyum. Jika beliau bergembira dan ingin tertawa, beliau tersenyum.

Diriwayatkan dari Abdullah bin al-Harits bin Jaz-i berkata,


مَا رَأَيْتُ أَحَدًا كَانَ أَكْثَرَ تَبَسُّمًا مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Aku tidak pernah melihat orang yang lebih banya tersenyum daripada Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam.” 
(HR. Ahmad dan dihassankan Syaikh al-Arnauth)

Dalam Sunan al-Tirmidzi juga disebutkan bahwa tertawanya Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam adalah dengan tersenyum. Dan disebutkan Imam Al-Ghazali dalam al-Ihya’ tentang maksud tersenym di sin, “Dan yang terpuji adalah tersenyum yang terlihat gigi namun tak terdengar suara.”




VoaIslam

Keutamaan Mengunjungi Sesama Muslim







Al-Hamdulillah, segala puji milik Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam atas Rasulillah –Shallallahu 'Alaihi Wasallam-, keluarga dan para sahabatnya.

Mengunjungi saudara seiman karena Allah menjadi sebab datangnya kecintaan Allah dan masuk surga. Ini berlaku jika niatan yang mendorongnya adalah rasa cinta karena Allah Subhanahu Wa Ta'ala, dan bukan karena tujuan materi duniawi.

Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'Anhu, dari Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam: ada seseorang yang mengunjungi saudaranya di satu desa lain, lalu Allah memerintahkan seorang malaikat duduk mengawasinya di jalannya. Saat ia tiba di tempat itu, maka malaikat tersebut bertanya, 'Ke mana kamu akan pergi?'

Dia menjawab, 'Saya bermaksud mengunjungi saudaraku di desa ini.' Malaikat itu bertanya, 'Apakah kamu memiliki suatu nikmat (baca: barang) yang kamu urusi padanya?' Dia menjawab, 'Tidak, hanya saja aku mencintainya karena Allah ‘Azza wajalla.' Lalu Malaikat itu berkata, 'Sesungguhnya saya adalah utusan Allah kepadamu untuk mengabarkan bahwa Allah telah mencintaimu sebagaimana kamu mencintai saudaramu karena-Nya'." 
(HR. Muslim)

Masih dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'Anhu, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda,


مَنْ عَادَ مَرِيضًا أَوْ زَارَ أَخًا لَهُ فِي اللَّهِ نَادَاهُ مُنَادٍ أَنْ طِبْتَ وَطَابَ مَمْشَاكَ وَتَبَوَّأْتَ مِنْ الْجَنَّةِ مَنْزِلًا


"Siapa yang menjenguk orang sakit atau mengunjungi suadaranya seiman, maka ada seorang yang menyeru dari langit: kamu adalah orang baik, dan langkahmu juga baik dan engkau berhak menempati satu tempat di surga." 
(HR. Al-Tirmidzi, dan dishahihkan Syaikh Al-Albani dalam Shahih al-Targhib wa al-Tarhib, no. 2578)

Dari Mu’ad bin Jabal Radhiyallahu 'Anhu, ia berkata: Aku mendengar Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda,


قَالَ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى وَجَبَتْ مَحَبَّتِي لِلْمُتَحَابِّينَ فِيَّ وَالْمُتَجَالِسِينَ فِيَّ وَالْمُتَزَاوِرِينَ فِيَّ وَالْمُتَبَاذِلِينَ فِيَّ


“Allah Tabaraka wa Ta’ala berfirman: Kecintaan-Kuwajib bagi orang-orang yang saling mencintai karena Aku, orang-orang yang saling berteman karena Aku, orang-orang yang saling mengunjungi karena Aku dan orang-orang yang saling berkorban karena Aku.”
 (HR. Malik dan Ahmad. Dishahihkan Al-Albani dalam Takhrij Misykah al-Mashabih, no. 5011)

Saling mengunjungi saudara seiman karena Allah memiliki manfaat yang banyak. Ia bisa menjadi sarana yang melembutkan hati dan mempertautkannya, menambah keimanan, dan membuat jiwa senang. Saling mengunjungi bisa menjadi sarana saling menasihati dan tolong menolong untuk kebaikan.

Muhammad bin al-Munkadir pernah ditanya, “Kenikmatan apa yang tersisa dalam hidup ini” beliau menjawab, “berjumpa dengan saudara-saudara seiman dan memasukkan kebahagiaan dalam diri mereka.”
Imam al-Hasan al-Bashri berkata, “Saudara (seiman) kami lebih kami cintai daripada keluarga kami, saudara seiman kami mengingatkan kami terhadap akhirat sementara keluarga kami mengingatkan kami terhadap dunia.”

Kalau kita telusuri sunnah Nabi dan siroh para sahabat, niscaya kita temukan mereka sangat gemar saling mengunjungi saudara seiman mereka. Bahkan sebagiannya sampai menginap di kediaman saudaranya. Dan Subhanallah, kita dapatkan mereka adalah umat yang sangat kuat rasa cinta antara sesamanya. Sehingga pantaslah jika Allah melimpahkan kecintaan dan keridhaan-Nya atas mereka. Apakah sunnah dan tradisi yang baik ini tetap lestari di zaman modern ini? Wallahu A’alam.



VoaIslam

Sultan Muhammad Al-Fatih Sang Penakluk Konstantinopel






Setelah menunggu selama delapan abad, Sultan Muhammad bin Murad, yang memerintah Turki dari 1451 sampai 1481, akhirnya dapat menaklukkan kota Konstantinopel, ibu kota imperium Byzantium, alias Yunani Timur. Penaklukan itu terjadi pada tahun 1455, tiga tahun setelah Sultan Muhammad menggantikan ayahnya.  
Kota ini memang telah lama diagendakan oleh para petinggi dinasti Utsmani untuk direbut namun selalu gagal.
Sukses yang diraih oleh Sultan Muhammad, yang relatif masih muda, benar-benar merupakan kejayaan bagi dinasti Turki Utsmani khususnya dan Islam pada umumnya. Maka pantas jika ia diberi gelar Al-Fatih, “Sang Penakluk”.

Ketika naik takhta pada tahun 1451, umur Muhammad bin Murad belum genap 22 tahun. Namun ia telah terobsesi untuk menaklukkan Konstantinopel. Semangat juang, dedikasi, dan pengabdiannya tak tertandingi. Setelah memegang pucuk pimpinan pemerintahan, ia juga menunjukkan jiwa kepemimpinan yang luar biasa, sehingga menjadikan Turki sebagai negeri yang sangat disegani oleh kawan maupun lawan.

Mengenai penaklukan itu, seorang guru besar Sejarah Kebudayaan dan Peradaban Universitas Islam As Saud, Riyadh, Arab Saudi, Dr. Sayid Ridwan Ali, menuliskan dalam buku berjudul Sultan Muhammad Fatih Bathal al-Fathu al Islami.

Pada 29 Mei 1453, Muhammad bin Murad melancarkan serbuan akhir, menjebol benteng musuh lewat pintu gerbang Rabul Madfa atau San Roman dan pintu Adrena.

Pihak musuh, yang dipimpin oleh  Justunianus, menyerang pasukan Turki yang mulai naik pagar benteng dengan menggunakan tangga.

Pasukan muslim ini berjumlah 30 orang, di bawah pimpinan Hasan Thobal, dan 17 di antaranya tewas.
Semangat tempur Hasan Thobal itu lantas menggugah semangat juang teman-temannya di belakang sehingga tentara Turki secara bergelombang dapat memasuki benteng dan terjadilah pertempuran hebat sebelum akhirnya benteng itu bisa direbut. Maka jatuhlah Konstantinopel ke tangan Turki.

Para sejarawan mengisahkan, ketika memasuki Konstantinopel, Sultan Muhammad sengaja memilih berjalan kaki. Ia bersujud kepada Allah atas karunia-Nya itu.


Karena sudah tidak ada jema’atnya lagi, hari itu juga Gereja Aya Sofia berubah menjadi masjid jami’, dan bergemalah AllahuAkbar ketika mereka melaksanakan shalat Jum’at untuk pertama kalinya. Meski demikian, Muhammad bin Murad, sebagai panglima Turki, melarang anak buahnya merampas harta benda penduduk.

Justinianus sendiri dengan luka-luka yang dideritanya melarikan diri ke pelabuhan dan menyeberang ke Pulau Launus, diikuti oleh anak buahnya.
Setelah itu, panji-panji Turki Utsmani berkibar di seantero Konstantinopel, seiring dengan berjalannya pertempuran di seluruh penjuru kota itu.

Dengan kemenangan itu, wilayah Turki bisa disatukan antara utara dan selatan, antara Asia dan Eropa. Dan kota Konstantinopel dijadikan ibu kota, dengan nama “Dar al-Sa’adah”. Dan sejak itu, pemerintahan Utsmani dapat mengembangkan gerakannya lebih leluasa hingga ke pantai Laut Hitam, di utara ke Rusia, Hongaria, Yunani, Albania, pantai timur Laut Adriatik, dan bagian timur Laut Tengah. Kelak, pada masa pemerintahan Mustafa Kemal At-Taruk, kota itu diganti namanya menjadi Istambul, dan menjadi pangkalan militer untuk wilayah timur negeri Turki.

Muhammad Al-Qanuni

Para sejarawan Mesir menggambarkan Muhammad bin Murad sebagai raja yang agung dan berhasil menguasai dinasti Utsmaniyah seluruhnya. Banyak prestasi yang ditorehnya selama memerintah 30 tahun itu. Selain memiliki ilmu pengetahuan yang luas, ia juga dikenal sangat adil.

Itu semua tak lain adalah hasil didikan ayahandanya, Murad bin Muhammad, yang mendidiknya dengan ilmu kemiliteran dan politik sejak kecil. Juga para gurunya, yang terdiri dari para ulama besar, sarjana ilmu agama, sastra,  olahraga, dan ilmu falak. Seperti Ibnu Tamjid,  Maulana Syamsuddin Al-Karoumi, Maula Zaerok,  Kwajah Zadah, Sinan Pasya.

Ia sangat mencintai ilmu pengetahuan, gemar bersahabat dengan para ilmuwan, ulama, dan adibba (budayawan), di dalam dan luar negeri. Ia membangun lembaga tinggi ilmu pengetahuan di Konstantinopel yang terkenal dengan nama “Madaris as Sahn Ats Tsamani”.

Ia menguasai berbagai bahasa asing, seperti Yunani, Latin, Persia, Arab. Ia memerintahkan agar beberapa buku yang ditemukan di perpustakaan Byzantium, seperti naskah asli geografi karya Ptolomeus, buku biografi orang-orang Romawi terkenal karya Plutarch, diterjemahkan ke dalam bahasa Arab dan Turki.
Ia membangun Universitas Akro Poolo di Athena setelah Yunani ditaklukkannya.

Demikian gandrungnya kepada syair, Muhammad bin Murad juga mengoleksi syair dari Turki dan Persia dan membentuk dewan penerbit yang membawahkan 30 penyair yang ternama. Ia memang dikenal sebagai pemuja keindahan seni dan begitu besar memberikan dorongan kepada para seniman dalam dan luar negeri.

Kepada penyair sufi populer dari Iran dan India, Abdurrahman Jami dan Khowajah Jahan, dan kepada ulama nahwu asal Mesir, Syaikh Muhyidin Al-Kafiji, ia pernah mengirim hadiah yang sangat berharga sebagai simpatinya. Ia juga mengagumi penulis Italia Gentile Bellini dan artis Bartholomeo dari Venesia.

Ia bahkan mengizinkan Christobolus, seorang ahli sejarah Yunani, menulis biografinya secara obyektif. Kebaikan, kelebihan, termasuk keburukan serta kekurangan yang ada pada dirinya.

Perhatiannya terhadap hasil kesenian begitu begitu besar. Ketika meresmikan perubahan  gereja Aya Sofia menjadi masjid jami’, ia tidak menghapus atau merusak gambar atau lukisan yang tertera di dalamnya, namun hanya menutupnya, agar bisa dibuka kembali. Setelah itu didirikanlah menara yang menjulang tinggi serta mihrab di dalamnya dengan fondasi yang kuat.

Di awal pemerintahannya, Muhammad bin Murad membenahi sistem administrasi negara, tata kota, dan perundang-undangan, sehingga ia mendapat gelar kehormatan Muhammad Al-Qanuni. Ia juga dikenal sebagai peletak dasar kebudayaan Turki Utsmani yang Islami.

Gelar kehormatan juga mengalir kepadanya dari Eropa. Mereka menggelarinya sebagai Grand Seigneur atau Asy-Syaraful A’dzam,  “Tuan Besar yang Agung”.

Di balik semua itu, ia adalah seorang penguasa yang sangat tegas. Sejumlah menteri, karena melakukan kesalahan yang begitu fatal, ia hukum mati. Khalil Pasha, misalnya, dihukum mati karena kedapatan sebagai mata-mata musuh.

Sultan Muhammad Al-Fatih wafat pada  tanggal 4 Rabi’ul Awwal 886 H atau 3 Mei 1481 dan dimakamkan di Makbarah di dalam kompleks masjid yang dibangunnya, Masjid Al-Jami’ Al-Fatih.




Benarkah Dahulu Iblis Termasuk Malaikat

IBLIS merupakan salah satu makhuk ciptaan Allah SWT yang sangat ingkar pada-Nya. Hingga ia kini dkeluarkan dari surga dan akan dimasukkan ke dalam neraka. Hanya saja, ia ingin mendapatkan teman dari golongan manusia. Dengan begitu sang iblis menggoda manusia.

Berbicara mengenai iblis, ada yang mengatakan bahwa iblis dahulu termasuk golongan malaikat, benarkah demikian?

Iblis hanya ada satu, karena dalam al-Quran tidak ada penyebutan iblis secara plural. Yang banyak adalah keturunannya.

Hasan Basri mengatakan, “Iblis itu sama sekali bukan termasuk golongan malaikat.”
Syahar bin Hausyab mengatakan, “Iblis itu termasuk golongan jin. [hal ini juga dijelaskan dalam firman Allah di surat Al-Kahfi ayat 50: Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat, “Sujudlah kamu kepada Adam!” Maka merekapun sujud kecuali Iblis. Dia adalah dari (golongan) jin, maka dia mendurhakai perintah Tuhannya.] Ketika mereka telah berbuat kerusakan di muka bumi, Allah mengutus sejumlah tentara dari golongan malaikat untuk menghentikan dan mengasingkan mereka ke pulau-pulau terpencil. Iblis adalah salah satu dari mereka yang ditawan itu, dan kemudian dibawa oleh para malaikat ke atas langit hingga ia menetap di sana bersama mereka. Lalu ketika para malaikat diperintahkan oleh Allah untuk bersujud, maka iblis pun membangkang dan tidak mau menaati perintah tersebut.”

Sejumlah ulama seperti Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, dan Said bin Musayib, mengatakan, “Iblis itu adalah pemimpin para malaikat yang ada di langit dunia (langit yang paling bawah dari tujuh lapisan langit).”
Ibnu Abbas menambahkan, “Iblis itu bernama Azazil.” Dalam riwayat lain, Ibnu Abbas menyatakan bahwa iblis itu bernama Al-Harits. Sedangkan An-Nuqasy mengatakan, “Iblis memiliki nama alias, yaitu Abu Kurdus.”

Pada suatu riwayat Ibnu Abbas mengatakan, “Iblis termasuk kelompok malaikat yang disebut al-hin, dan ditugaskan untuk menjaga surga. Iblis kala itu adalah salah satu makhluk yang paling dihormati, paling rajin beribadah, dan paling banyak ilmunya. Ia berparas rupawan dan memiliki empat sayap, namun akhirnya ia menjadi buruk rupa setelah Allah mengusirnya dari surga.”



Islampos

Mendamaikan Sesama Muslim Yang Berselisih





 إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ
Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu damaikanlah (ishlah) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat. 
(QS. Al-Hujurat(49):10)

Abdullah ibn Abi Aufa menuturkan bahwa Abdurrahman ibn Auf pernah mengadukan Khalid ibn Walid kepada Rasulullah saw. karena Khalid dianggap telah mencela Abdurrahman. Menanggapi hal tersebut, Rasulullah saw. bersabda kepada Khalid, “Jangan mengejek setiap orang yang ikut berperang dalam Perang Badar. Bahkan seandainya kau bersedekah dengan emas sebesar Gunung Uhud, amalmu itu tidak akan pernah setara dengan amal mereka.”

Abdurrahman berkata, “Mereka menghinaku lebih dahulu dan aku hanya membalasnya.”
Nabi saw. bersabda, “Jangan mengejek Khalid, karena ia adalah salah satu pedang Allah yang diutus untuk memerangi orang kafir.”

Kedua orang yang berselisih tadi adalah sahabat-sahabat Rasulullah saw. Mereka memiliki kedudukan yang penting di sisi beliau. Abdurrahman ibn Auf adalah seorang sahabat yang lebih dahulu memeluk Islam, turut berhijrah bersama Nabi, berpartisipasi dalam Perang Badar serta perang-perang lainnya. Sementara Khalid ibn Walid baru masuk Islam ketika menjelang takluknya Makkah. Bahkan dalam Perang Uhud, Khalid berada di pihak Quraisy yang memusuhi Nabi.

Rasulullah saw. menegur Khalid karena menghina seorang sahabat yang telah ikut aktif dalam Perang Badar. Namun Rasulullah juga menegur Ibn Auf karena mengejek Khalid. Kedua sahabat tadi memiliki kelebihan-kelebihan tersendiri di mata Nabi, sehingga ketika terjadi perselisihan, Nabi menasihati keduanya.

Sepanjang hidup Rasulullah selalu berusaha mendamaikan pihak-pihak yang berselisih, bertikai karena bermacam-macam konflik. Pada masa remaja, beliau juga telah menorehkan tinta emas dengan mendamaikan berbagai kabilah Makkah yang saat itu siap berperang satu sama lain demi memperebutkan hak memindahkan Hajar Aswad ke tempatnya semula setelah Ka’bah dipugar dan diperbaiki. Berkat kebijakan dan kecerdikannya, Rasulullah dapat mendamaikan mereka.

Begitu pula ketika beliau tiba di Madinah. Ia mendamaikan pihak-pihak yang bertikai di sana, terutama suku Aus dan suku Khazraj, yang sepanjang sejarahnya mempunyai riwayat peperangan yang panjang. Di Madinah, berkat kepandaiannya, Rasulullah dapat menghimpun masyarakat Madinah yang bermacam ragam di bawah satu panji kepemimpinan.

Bahkan, dengan alasan perdamaian dan persatuan, Rasulullah tidak secara langsung membasmi golongan munafik serta mencegah para sahabat yang ingin membunuh pemimpin kaum munafik – Abdullah ibn Ubay.
Inilah cara yang ditempuh kaum muslimin agar dilimpahkan rahmat. Sebab sejatinya Islam adalah perdamaian (As-salam). Maka damaikanlah dua orang mukmin yang berselisih.



Islampos