رَبِّ اغْفِرْ لِي وَهَبْ لِي مُلْكًا لا يَنْبَغِي لأحَدٍ مِنْ بَعْدِي إِنَّكَ أَنْتَ الْوَهَّابُ


"Ya Rabb-ku, ampunilah aku, dan anugerahkanlah kepadaku kerajaan, yang tidak dimiliki oleh seorangpun juga sesudahku, sesungguhnya Engkaulah Yang Maha pemberi’."
Tampilkan postingan dengan label HR. Muslim. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label HR. Muslim. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 08 Februari 2014

ADAB MEMINJAM (HUTANG)



Islam adalah agama yang mulia. Islam telah mengatur seluruh permasalahan di dalam kehidupan bermasyarakat, termasuk di dalamnya adalah permasalahan hutang-piutang.

Islam tidak hanya membolehkan seseorang berhutang kepada orang lain, tetapi Islam juga mengatur adab-adab dan aturan-aturan dalam berhutang.
Hukum asal dari berhutang adalah boleh (jaa-iz). Allah subhaanahu wa ta'aala menyebutkan sebagian adab berhutang di dalam Al-Qur’an. Allah subhaanahu wa ta’aala berfirman:


{ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوهُ }

“Hai orang-orang yang beriman! Apabila kalian ber-mu'aamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kalian menuliskannya.” (QS Al-Baqarah: 282)

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah berhutang. Di akhir hayat beliau, beliau masih memiliki hutang kepada seorang Yahudi, dan hutang beliau dibayarkan dengan baju besi yang digadaikan kepada orang tersebut.
Diriwayatkan dari ‘Aisyah radhiallaahu 'anhaa, bahwasanya dia berkata:


( أَنَّ النَّبِيَّ -صلى الله عليه وسلم- اشْتَرَى طَعَامًا مِنْ يَهُودِيٍّ إِلَى أَجَلٍ فَرَهَنَهُ دِرْعَهُ )

“Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam membeli makanan dari seorang Yahudi dengan tidak tunai, kemudian beliau menggadaikan baju besinya.” (HR Al-Bukhari no. 2200)

Akan tetapi, banyak kaum muslimin yang menganggap remeh hal ini. Mereka merasa nyaman dengan adanya hutang yang “melilit’ dirinya. Bahkan, sebagian dari mereka di dalam hidupnya tidak pernah sedetik pun ingin lepas dari hutang. Sebelum lunas pinjaman yang pertama, maka dia ingin meminjam lagi untuk yang kedua, ketiga dan seterusnya.
Jika hal ini dibiarkan, maka ini akan berlarut-larut dan akan “menular” kepada orang lain di sekitarnya. Terlebih lagi, dengan banyaknya fasilitas untuk berhutang yang disediakan oleh lembaga-lembaga, badan-badan atau perusahaan-perusahaan yang menganut sistem ribawi. Dan parahnya, tidak hanya orang-orang awam yang terlibat dengan hal-hal seperti ini, orang yang sudah lama mengaji, orang berilmu dan orang-orang kaya pun turut berpartisipasi dalam “meramaikannya”. Na’uudzu billaahi min dzaalika.

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam sangat takut berhutang dan sangat takut jika hal tersebut menjadi kebiasaannya. Mengapa demikian?

Diriwayatkan dari ‘Aisyah radhiallaahu 'anhaa, bahwasanya dia mengabarkan, “Dulu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam sering berdoa di shalatnya:


( اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ فِتْنَةِ الْمَسِيحِ الدَّجَّالِ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ فِتْنَةِ الْمَحْيَا وَفِتْنَةِ الْمَمَاتِ, اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْمَأْثَمِ وَالْمَغْرَمِ )

“Ya Allah! Sesungguhnya aku berlindung kepadamu dari azab kubur, dari fitnah Al-Masiih Ad-Dajjaal dan dari fitnah kehidupan dan fitnah kematian. Ya Allah! Sesungguhnya aku berlindung kepadamu dari hal-hal yang menyebabkan dosa dan dari berhutang.“
Berkatalah seseorang kepada beliau:


( مَا أَكْثَرَ مَا تَسْتَعِيذُ مِنَ الْمَغْرَمِ؟ )

“Betapa sering engkau berlindung dari hutang?”

Beliau pun menjawab:


( إِنَّ الرَّجُلَ إِذَا غَرِمَ, حَدَّثَ فَكَذَبَ وَوَعَدَ فَأَخْلَفَ. )

“Sesungguhnya seseorang yang (biasa) berhutang, jika dia berbicara maka dia berdusta, jika dia berjanji maka dia mengingkarinya.” (HR Al-Bukhaari no. 832 dan Muslim no. 1325/589)

Perlu dipahami bahwa berhutang bukanlah suatu perbuatan dosa sebagaimana telah disebutkan. Tetapi, seseorang yang terbiasa berhutang bisa saja mengantarkannya kepada perbuatan-perbuatan yang diharamkan oleh Allah subhaanahu wa ta'aala. Pada hadits di atas disebutkan dua dosa akibat dari kebiasaan berhutang, yaitu: berdusta dan menyelisihi janji. Keduanya adalah dosa besar bukan?

Mungkin kita pernah menemukan orang-orang yang sering berhutang dan dililit oleh hutangnya. Apa yang menjadi kebiasaannya? Bukankan orang tersebut suka berdusta, menipu dan mengingkari janjinya? Allaahumma innaa na’udzu bika min dzaalika.
Mungkin di antara pembaca ada yang mengatakan, “Bukankan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam sendiri berhutang?”

Ya, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam berhutang karena sangat membutuhkan hal tersebut pada saat itu. Coba kita perhatikan dengan seksama hadiits yang telah disebutkan. Bukankan yang dihutangi oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam adalah makanan? Jika benar-benar memiliki kebutuhan, maka hal tersebut bukanlah sesuatu yang tercela.
Tetapi perlu diingat, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah melakukan hal yang mulia ketika beliau berhutang. Apakah hal yang mulia tersebut? Beliau menggadaikan baju besinya sebagai jaminan. Apabila beliau tidak mampu membayarnya, maka baju besi itulah yang menjadi pembayarannya.

Begitulah seharusnya yang kita lakukan ketika berhutang. Kita harus memiliki jaminan dalam berhutang. Jaminan-jaminan tersebut bisa berupa:

1. Harta yang dimiliki

Misalkan seseorang ingin membeli motor, dia memiliki uang di simpanannya sebanyak Rp 15 juta. Uang tersebut tidak berani dia keluarkan, karena menjadi simpanan usahanya yang harus di sisakan di simpanan bisnisnya, untuk berjaga-jaga dalam permodalan atau karena hal-hal lain. Kemudian orang tersebut membeli motor dengan kredit seharga Rp 15 juta kepada seseorang dengan batas waktu yang telah ditentukan.
Hal seperti ini tidak tercela, karena seandainya dia meninggal, maka dia memiliki jaminan harta yang ada di simpanannya.

2. Menggadaikan barang (Ar-Rahn)

Hal ini telah dijelaskan sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam.

3. Mengalihkan hutang kepada piutang yang dimiliki (Al-Hawaalah/Al-Hiwaalah)

Misalkan si A memiliki piutang (orang lain [si B] berhutang kepadanya) sebesar Rp 5 juta, kemudian orang tersebut ingin berhutang kepada si C sebesar Rp 5 juta. Si A mengatakan kepada si C, “Bagaimana menurutmu jika piutangku pada si B menjadi jaminan hutang ini.” Kemudian si C pun menyetujuinya. Maka hal tersebut juga tidak tercela dan pengalihan seperti ini diperbolehkan di dalam Islam. Seandainya si A meninggal, maka hutang tersebut menjadi tanggung jawab si B untuk membayarkannya kepada si C.

4. Mencari penanggung jawab atas hutang yang dimiliki (Al-Kafaalah)

Misalkan seseorang membutuhkan biaya yang sangat besar secara mendadak, seperti: biaya operasi yang diakibatkan oleh kecelakaan. Orang tersebut tidak memiliki uang atau harta sebagai jaminannya. Pihak rumah sakit meminta orang tersebut mencari seorang penanggung jawab (kafil) atas hutangnya tersebut. Seandainya orang tersebut kabur atau meninggal dunia, maka penanggung jawabnyalah yang membayarkan hutangnya kepada rumah sakit. Hal ini diperbolehkan dengan syarat penanggung jawab tersebut mampu untuk membayarkan hutangnya atau mampu mendatangkan orang yang berhutang tersebut apabila dia kabur.
Jika tidak memiliki jaminan-jaminan yang telah disebutkan di atas, sebaiknya jangan membiasakan diri untuk berhutang. Karena orang yang meninggal sedangkan dia memiliki tanggungan hutang, maka dia akan mendapatkan banyak keburukan. Setidaknya penulis sebutkan tiga keburukan pada tulisan ini.

- Keburukan pertama: Tidak dishalati oleh tokoh-tokoh agama dan masyarakat

Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak menshalati jenazah yang memiliki hutang.



( عَنْ سَلَمَةَ بْنِ الأَكْوَعِ -رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ- قَالَ: كُنَّا جُلُوسًا عِنْدَ النَّبِيِّ -صلى الله عليه وسلم- إِذْ أُتِيَ بِجَنَازَةٍ، فَقَالُوا: صَلِّ عَلَيْهَا ، فَقَالَ : (( هَلْ عَلَيْهِ دَيْنٌ ؟ )), قَالُوا: لاَ، قَالَ: (( فَهَلْ تَرَكَ شَيْئًا ؟ )), قَالُوا: لاَ، فَصَلَّى عَلَيْهِ، ثُمَّ أُتِيَ بِجَنَازَةٍ أُخْرَى، فَقَالُوا: يَا رَسُولَ اللهِ، صَلِّ عَلَيْهَا، قَالَ: (( هَلْ عَلَيْهِ دَيْنٌ ؟ )) قِيلَ : نَعَمْ ، قَالَ: (( فَهَلْ تَرَكَ شَيْئًا؟ )) قَالُوا : ثَلاَثَةَ دَنَانِيرَ، فَصَلَّى عَلَيْهَا، ثُمَّ أُتِيَ بِالثَّالِثَةِ، فَقَالُوا: صَلِّ عَلَيْهَا، قَالَ: (( هَلْ تَرَك شَيْئًا؟ )) قَالُوا : لاَ، قَالَ: (( فَهَلْ عَلَيْهِ دَيْنٌ ؟ )) قَالُوا: ثَلاَثَةُ دَنَانِيرَ ، قَالَ: (( صَلُّوا عَلَى صَاحِبِكُمْ ))، قَالَ أَبُو قَتَادَةَ: صَلِّ عَلَيْهِ يَا رَسُولَ اللهِ، وَعَلَيَّ دَيْنُهُ، فَصَلَّى عَلَيْهِ.)

Diriwayatkan dari Salamah bin Al-Akwa’ radhiallaahu 'anhu, dia berkata, “Dulu kami duduk-duduk di sisi Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, kemudian didatangkanlah seorang jenazah. Orang-orang yang membawa jenazah itu pun berkata, ‘Shalatilah dia!’ Beliau pun bertanya, ‘Apakah dia punya hutang?’ Mereka pun menjawab, ‘Tidak.’ Beliau pun bertanya, ‘Apakah dia meninggalkan harta peninggalan?’ Mereka pun menjawab, ‘Tidak.’ Kemudian beliau pun menshalatinya. Kemudian didatangkan lagi jenazah yang lain. Orang-orang yang membawanya pun berkata, ‘Shalatilah dia!’ Beliau pun bertanya, ‘Apakah dia punya hutang?’ Mereka pun menjawab, ‘Ya.’ Beliau pun bertanya, ‘Apakah dia meninggalkan harta peninggalan?’ Mereka pun menjawab, ‘Ada tiga dinar.’ Kemudian beliau pun menshalatinya. Kemudian didatangkanlah jenazah yang ketiga. Orang-orang yang membawanya pun berkata, ‘Shalatilah dia!’ Beliau pun bertanya, ‘Apakah dia meninggalkan harta peninggalan?’ Mereka pun menjawab, ‘Tidak.’Beliau pun bertanya, ‘Apakah dia punya hutang?’ Mereka pun menjawab, ‘Ada tiga dinar.’ Beliau pun berkata, ‘Shalatlah kalian kepada sahabat kalian! Kemudian Abu Qatadah pun berkata, ‘Shalatilah dia! Ya Rasulullah! Hutangnya menjadi tanggung jawabku.’ Kemudian beliau pun menshalatinya.” (HR Al-Bukhaari no. 2289)

Hadits di atas jelas sekali menunjukkan bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak mau menshalati orang yang punya hutang. Hal ini sebagai bentuk pengajaran beliau bahwa membiasakan diri untuk berhutang sedangkan dia tidak memiliki jaminan adalah sesuatu yang buruk. Oleh karena itu, sudah selayaknya orang-orang terpandang, tokoh masyarakat dan agama melakukan hal seperti ini ketika ada orang yang meninggal dan dia memiliki tanggungan hutang.

- Keburukan kedua: Dosa-dosanya tidak akan diampuni sampai diselesaikan permasalahannya dengan orang yang menghutanginya

Diriwayatkan dari Abu Qatadah radhiallaahu 'anhu dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bahwasanya seseorang bertanya kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam:


( أَرَأَيْتَ إِنْ قُتِلْتُ فِى سَبِيلِ اللَّهِ أَتُكَفَّرُ عَنِّى خَطَايَاىَ ؟)

“Bagaimana menurutmu jika aku terbunuh di jalan Allah, apakah dosa-dosaku akan diampuni?”

Beliau pun menjawab:


( نَعَمْ وَأَنْتَ صَابِرٌ مُحْتَسِبٌ مُقْبِلٌ غَيْرُ مُدْبِرٍ إِلاَّ الدَّيْنَ فَإِنَّ جِبْرِيلَ عَلَيْهِ السَّلاَمُ قَالَ لِى ذَلِكَ )

“Ya, dengan syarat engkau sabar, mengharapkan ganjarannya, maju berperang dan tidak melarikan diri, kecuali hutang. Sesungguhnya Jibril ‘alaihissalam baru memberitahuku hal tersebut.” (HR Muslim no. 4880/1885)

Hadits di atas menjelaskan bahwa ibadah apapun, bahkan yang paling afdhal sekalipun yang merupakan hak Allah tidak bisa menggugurkan kewajiban untuk memenuhi hak orang lain.

- Keburukan ketiga: Ditahan untuk tidak masuk surga, meskipun dia memiliki banyak amalan sampai diselesaikan permasalahannya dengan orang yang menghutanginya

Diriwayatkan dari Tsauban, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:


( مَنْ مَاتَ وَهُوَ بَرِىءٌ مِنْ ثَلاَثٍ: الْكِبْرِ, وَالْغُلُولِ, وَالدَّيْنِ دَخَلَ الْجَنَّةَ )

“Barang siapa yang mati sedangkan dia berlepas diri dari tiga hal, yaitu: kesombongan, ghuluul (mencuri harta rampasan perang sebelum dibagikan) dan hutang, maka dia akan masuk surga. (HR At-Tirmidzi no. 1572, Ibnu Majah no. 2412 dan yang lainnya. Syaikh Al-Albani mengatakan, “Shahih” di Shahih Sunan Ibni Majah)

Oleh karena, sebelum mengakhiri tulisan ini, ada beberapa hal yang ingin penulis nasihatkan untuk diri penulis dan pembaca sekalian:

1 Janganlah membiasakan diri untuk berhutang. Terutama berhutang yang tidak memiliki jaminan.

2. Fasilitas untuk berkecimpung di dalam riba sangatlah banyak sekali di zaman ini. Oleh karena itu, janganlah kita biarkan diri kita berkecimpung di dalamnya! Diriwayatkan dari ‘Abdullah bin Mas’ud, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:


( لَعَنَ اللَّهُ آكِلَ الرِّبَا ، وَمُوكِلَهُ ، وَشَاهِدَهُ ، وَكَاتِبَهُ.)

“Allah melaknat pemakan riba, yang memberi makan, saksi dan juru tulisnya.” (HR Ahmad no. 3725. Syaikh Syu’aib mengatakan, “Shahih li ghairih.”)

3. Apabila ingin berhutang, maka niatkanlah dengan hati yang jujur untuk segera melunasi hutang tersebut pada waktu yang telah dijanjikan. Insya Allah, Allah akan membantu pelunasannya.

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:


( مَنْ أَخَذَ أَمْوَالَ النَّاسِ يُرِيدُ أَدَاءَهَا أَدَّى اللَّهُ عَنْهُ ، وَمَنْ أَخَذَ يُرِيدُ إِتْلاَفَهَا أَتْلَفَهُ اللَّهُ.)

“Barang siapa meminjam harta manusia dan dia ingin membayarnya, maka Allah akan membayarkannya. Barang siapa yang meminjamnya dan dia tidak ingin membayarnya, maka Allah akan menghilangkan harta tersebut darinya.” (HR Al-Bukhaari no. 2387)

4. Apabila telah sampai batas waktu yang telah ditentukan, maka segeralah membayar hutang tersebut dan jangan menunda-nundanya, terkecuali pada saat itu kita tidak memiliki harta untuk membayarnya. Orang yang memiliki harta untuk membayar hutangnya, tetapi dia sengaja memperlambat pembayarannya, maka dianggap sebagai suatu kezoliman/dosa.
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam :


( مَطْلُ الْغَنِيِّ ظُلْمٌ )

“Memperlambat pembayaran hutang untuk orang yang mampu membayarnya adalah kezoliman.” (HR Al-Bukhaari no. 2288 dan Muslim no. 4002/1564)

5. Jika benar-benar tidak mampu membayar hutang pada waktu yang telah ditentukan, maka bersegeralah meminta maaf kepada orang yang menghutangi dan minta tenggang waktu untuk membayarnya.

Demikian tulisan yang singkat ini. Mudahan bermanfaat untuk kita semua dan mohon perkenannya untuk menyampaikan kepada yang lain.


( اللَّهُمَّ إِنِّا نَعُوذُ بِكَ مِنَ الْمَأْثَمِ وَالْمَغْرَمِ )

Ditulis oleh: Ustadz Said Yai Ardiansyah, Lc., M.A. (Alumni Universitas Islam Madinah, Hadits. (S-2) Mediu Malaysia, Fiqhussunnah. Kepala SDIT Al-Istiqomah Prabumulih)

Jumat, 07 Februari 2014

HUKUM MEMPERJUAL-BELIKAN KUCING



Kucing persia adalah salah satu jenis kucing yang sangat disukai oleh para penggemar kucing. Kucing ini pun ramai diperjualbelikan. Lalu, bagaimanakah sebenarnya hukum jual beli kucing persia atau kucing peliharaan lainnya?


عَنْ أَبِى الزُّبَيْرِ قَالَ سَأَلْتُ جَابِرًا عَنْ ثَمَنِ الْكَلْبِ وَالسِّنَّوْرِ قَالَ زَجَرَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ ذَلِكَ.


Dari Abuz Zubair, "Aku bertanya kepada Jabir mengenai uang hasil penjualan anjing dan kucing." Jabir menjawab, "Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam melarang keras hal tersebut." (HR. Muslim, no. 4098)

Ibnu Utsaimin mengatakan, "Realitanya, kucing itu bermanfaat, karena kucinglah yang memakan tikus, tokek, dan jangkrik. Sebagian kucing, ada yang berada di dekat seorang yang tidur, dan dada kucing tersebut bersuara dan memiliki gerakan tertentu. Jika ada hewan yang akan mendekati manusia yang sedang tidur tadi maka, dengan sigap, kucing tersebut menangkapnya. Jika dia mau, dia (kucing tersebut) bisa memakannya. Bisa juga, dia tinggalkan. Inilah manfaat kucing. Oleh karena itu, banyak ulama yang memperbolehkan jual beli kucing. Dalam Shahih Muslim, terdapat hadis dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam yang berisi larangan jual beli kucing.

Karena itulah, para ulama berselisih pendapat. Ada ulama yang memperbolehkan jual beli kucing. Mereka mengatakan bahwa kucing yang di dalam hadis, (yang terlarang) untuk diperjualbelikan, adalah kucing yang tidak ada manfaatnya karena mayoritas kucing itu menyerang manusia. Akan tetapi, jika kita jumpai kucing peliharaan yang bisa diambil manfaatnya maka pendapat yang mengatakan bolehnya jual beli kucing tersebut adalah pendapat yang kuat karena adanya manfaat dalam objek transaksi." (Asy-Syarh Al-Mumti', jilid 8, hlm. 113--114)

Dari kutipan di atas, bisa kita simpulkan bahwa menurut Ibnu Utsaimin, jual beli kucing yang memiliki manfaat—misalnya: bisa menangkap tikus--adalah hal yang diperbolehkan. Sebaliknya, kucing yang, secara realita, tidak memiliki manfaat yang diakui oleh syariat adalah kucing yang terlarang untuk diperjualbelikan. Kucing persia lebih tepat jika dimasukkan ke dalam kategori kedua, daripada yang pertama.
Syekh Abdullah Al-Fauzan mengatakan, "Hadis tersebut adalah dalil atas haramnya uang yang didapatkan dari jual beli kucing. Jika demikian, tentu saja transaksi jual beli kucing adalah haram. Kucing adalah hewan yang tidak bisa diambil manfaatnya kecuali ada kebutuhan tertentu--alias 'tidaklah bisa diambil manfaatnya setiap saat'-- misalnya: untuk memburu tikus atau hewan lain yang semisal dengannya.
Pendapat yang mengatakan bahwa jual beli kucing itu terlarang adalah pendapat yang difatwakan oleh Jabir bin Abdillah dan Abu Hurairah--dari kalangan para sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam , Thawus dan Mujahid--dari kalangan tabiin--,dan merupakan salah satu pendapat Imam Ahmad. Inilah pendapat yang dipilih oleh Abu Bakar Abdul Aziz dan Ibnul Qayyim, serta dinilai sebagai pendapat yang benar oleh Ibnu Rajab.

Sedangkan, mayoritas ulama memperbolehkan jual beli kucing, dan pendapat inilah yang dijadikan sebagai pendapat Mazhab Hambali oleh para ulama Mazhab Hambali. Pendapat ini pula yang dipilih oleh Al-Kharqi, dalam bukunya Mukhtashar Al-Kharqi. Mereka beralasan bahwa kucing itu memiliki manfaat. Mereka menafsirkan hadis yang berisi larangan jual beli kucing dengan larangan menjual kucing milik orang lain, atau kucing yang tidak memiliki manfaat. Ada juga yang menjelaskan bahwa larangan yang dimaksudkan adalah larangan makruh, bukan haram. Masih ada penafsiran lain yang diberikan oleh mayoritas ulama untuk hadis ini.

Yang benar, adalah pendapat yang mengharamkan jual beli kucing, karena dasar pendapat ini adalah sebuah hadis yang sahih, dan tidak dijumpai hadis lain yang menyelisihinya, sehingga kita semua wajib berpendapat sejalan dengan isi hadis tersebut.

Al-Baihaqi mengatakan, 'Mengikuti kandungan hadis adalah (sikap) yang lebih baik. Seandainya Imam Syafi'i mendengar hadis yang ada dalam masalah ini, tentu beliau akan berpendapat sejalan dengan isi kandungannya, insya Allah.'

Sedangkan, pendapat yang kedua itu telah memalingkan makna hadis dari makna gamblang yang (dapat) ditangkap. Berpendapat sejalan dengan makna hadis yang umum, itulah yang lebih kuat." (Minhah Al-'Allam, jilid 6, hlm. 41)

Artikel www.PengusahaMuslim.com

Kamis, 21 Februari 2013

FADILAH SURAH AL-BAQARAH

Rasulullah SAW bersabda :

"Pada saat turun surat al-Baqarah, turun pada setiap ayat delapan puluh malaikat"
(HR Ahmad)

Selain itu surah al-Baqarah dapat menjadi benteng dari gangguan Syetan,
Rasulullah SAW bersabda :
"Barangsiapa yang membaca surah al-Baqarah di rumahnya pada malam hari, Setan tidak akan memasuki rumahnya selama tiga malam".
(HR Muslim)

"Barang siapa membaca surah al-Baqarah dirumahnya siang hari, setan tidak akan memasuki rumahnya selama tiga hari".
(HR Muslim)



FADILAH SURAH AL-FATIHAH

Surah al-Fatihah sebagai pembuka cahaya langit ke tujuh. Hal ini berdasarkan pada Hadist Nabi yang berbunyi :

"Malaikat Jibril berkata kepada Rasulullah SAW : 'Aku akan memberi kabar gembira tentang dua cahaya yang dianugerahkan kepadamu, yaitu pembuka kitab al-Fatihah dan penutup surah al-Baqarah (ayat 284-286). Kamu tidak membaca satu huruf dari keduanya kecuali Allah SWT memberikan kepadamu dua cahaya'".
(HR Muslim).

"Malaikat Jibril bercerita kepada Nabi Muhammad SAW : 'Ketika surah al-Fatihah turun pintu langit dibuka. Pintu itu tidak pernah dibuka sebelumnya, kecuali pada saat itu. Kemudian ada malaikat turun lewat pintu itu, padahal ia tidak pernah turun ke bumi sekalipun, kecuali pada hari itu".
(HR Muslim)

"Orang yang membaca al-Fatihah pada penderita gigitan ular maka al-Fatihah dapat menyembukan, dan ketahuilah bahwa al-Fatihah itu dapat digunakan sebagai jampi".
(HR Bukhari)



Kamis, 27 Desember 2012

Dimakruhkan Mencari Benda Hilang, Jual Beli Dan Bersyair Didalam Masjid



Diriwayatkan Dari Abu Hurairah :

Bahwa Rasulullah SAW bersabda :
"Barang Siapa mencari sesuatu yang hilang di dalam Masjid, hendaklah Ia berkata kepadanya, 'Semoga Allah tidak mengembalikan barang itu kepadamu!' sebab masjid didirikan buka untuk mencari seperti itu"

(HR Muslim)

Diriwayatkan, Abdullah bin Umar  berkata :
"Rasulullah SAW melarang jual bel didalam masjid, mengucapkan syair dan mencari barang hilang, Beliau juga melarang berkerumun didalam Masjid sebelum Shalat Jum'at"

(HR Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Nasa'i, dan Ibnu Majah, serta di sahihkan oleh Tirmidzi) 

Rabu, 26 Desember 2012

Sucinya Sisa Minuman Kucing

Sisa air minuman kucing adalah suci berdasarkan hadist Kabsyah binti Ka'ab yang tinggal bersama Abu Qatadah bahwa pada suatu ketika Abu Qatadah masuk kedalam rumah, kemudian Kabsyah menyediakan air minum untuknya. Tiba-tiba datang seekor kucing yang meminum air itu dan Abu Qatadah pun memiringkan mangkuk hingga binatang itu dapat meminumnya.
Ketika Abu Qatadah melihat Kabsyah memperhatikan tindakannya, ia pun bertanya, "Apakah engkau tercengang wahai anak saudaraku ?" " Benar " ujarnya. Abu Qatadah berkata, "Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda :
"Kucing itu tidak najis, Ia termasuk binatang yang berkeliling dalam lingkungan mu"

(HR Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Tarmidzi, dan An Nasa'i)

Sent from my HTC One X+

Selasa, 16 Oktober 2012

Mencegah Kemungkaran

Rasulullah SAW bersabda : "Barangsiapa diantara kalian melihat kemungkaran, maka hendaknya dia mengubahnya dengan tangannya, jika tidak mampu maka hendaknya mengubahnya dengan lidahnya dan jika tidak mampu juga maka hendaknya dilakukan dengan hatinya dan yang demikian itu adalah selemah-lemah iman."

(HR. Muslim dan Ahmad)

Minggu, 14 Oktober 2012

Hari Dimana Setiap Amal Manusia Dibuka

"Amal-amal manusia diperiksa di hadapan Alloh dalam setiap pekan (Jumu'ah) dua kali, yaitu pada hari Senin dan Kamis. Maka semua hamba yang beriman terampuni dosanya, kecuali seorang hamba yang di antara dia dan saudaranya terjadi permusuhan…" (HR. Muslim)

Hari Dimana Pintu Surga Dibuka

"Pintu-pintu Surga di buka pada hari Senin dan Kamis. Maka semua hamba yang tidak menyekutukan Alloh dengan sesuatu apapun akan diampuni dosa-dosanya, kecuali seseorang yang antara dia dan saudaranya terjadi permusuhan. Lalu dikatakan, 'Tundalah pengampunan terhadap kedua orang ini sampai keduanya berdamai, tundalah pengampunan terhadap kedua orang ini sampai keduanya berdamai, tundalah pengampunan terhadap orang ini sampai keduanya berdamai." (HR. Muslim)

Memiliki Anak yang Meninggal Sebelum Baligh



Di samping para malaikat dan Hurul-aini (bidadari syurga), maka kanak-kanak yang meninggal dunia sebelum baligh(disebut sebagai wildan), juga menyambut kedatangan ibu bapanya di pintu syurga. Sabda Rasullulah saw yang bermaksud : 
" Ketika aku mikraj ke langit, tiba-tiba aku mendengar suara kanak-kanak. Aku bertanya : " Wahai Jibril, siapakah mereka itu?" Jibril menjawab : Mereka adalah anak cucu orang Islam yang meninggal dunia sebelum baligh. Mereka itu di asuh oleh Nabi Ibrahim as sampai orang tuanya datang." (H.Riwayat Abu Daud)

Anak-anak orang Islam yang meninggal dunia pada waktu kecil, dia alam Barzakh dia dikumpulkan pada suatu tempat di bawah penjagaan Nabi Ibrahim 'alaihi salam. Setelah kiamat tiba, mereka langsung dipindahkan ke dalam syurga. Jadi mereka tidak melalui Mahsyar,hisab,mizan dan sebagainya.

Sabda Rasullullah Shallallahu 'alaihi wassalam yang bermaksud :
"Tiap-tiap anak kecil yang mati sebelum baligh akan dimasukkan ke dalam syurga dengan rahmat Allah." (H.Riwayat Bukhari dan Muslim)

Setelah dipindahkan ke dalam syurga, maka anak-anak kecil ini lupa kepada kehidupan dunia. Mereka lupa kedua ibu bapanya, lupa kepada kampung halamnanya dan sebagainya. Tiba-tiba pada suatu hari, ketika mereka sedang bermain-main menikmati kesenangan syurga, maka ada malaikat yang memberitahukannya: "Wahai Wildan, lupakah kamu kepada kedua orang tuamu? Sekarang mereka sudah berada di pintu syurga. "Ketika itulah baru mereka tahu dan ingat kembali kepada ayah bonda mereka yang selama ini mereka lupakan.

Mendengar apa yang dikatakan oleh malaikat itu, dalam keadaan menangis dan membawa air dengan segera mereka berlari menuju ke pintu syurga. Sesampainya di sana, mereka melihat Hurul-aini sedang tegak berbaris sepanjang jalan dengan memakai pakaian dan perhiasan yang serba indah.

Setelah pintu syurga terbuka, dengan diiringi nyanyian merdu Hurul-aini, maka orang-orang pun berebut masuk ke dalamnya, dan ketika itulah anak-anak kecil ini sibuk mencari kedua ibu bapanya. Mereka mencari ke sana ke mari, tetapi tidak berjumpa. Sambil menangis dan memgang air tangan maka pergilah mereka kepada malaikat serta bertanya: "Wahai malaikat, mana ayah dan ibu kami?"

Menjawab malaikat: Wahai Wildan, sungguh malang nasib kamu, kedua orang tua kamu terjatuh ke dalam neraka." Mendengar ungkapan yang demikian itu, maka anak kecil tadi menangis sejadi-jadinya, menangis menghiba dengan ratapan yang menyayat hati: "Wahai ibuku, wahai ayahku,apakah kesalahanmu,apakah dosamu sehingga kamu terjatuh ke dalam neraka?Begitulah ratapan mereka.

Berkata Malaikat: "Wahai wildan jangan menangis, pergilah kamu memohon bantuan kepada Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wassalam." Setelah anak kecil ini mengadu kepada Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wassalam, maka Nabi Muhammad pun mengangkat kedua tangannya berdoa, lalu dikeluarkanlah orang-orang mukmin yang berda dalam neraka itu. Inilah syafaat Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wassalam yang ketiga di akhirat. Pertama pada waktu ditimbang antara dosa dan pahala, yang kedua pada waktu meniti Shiratul Mustaqim yang ketiga ketika mengeluarkan orang dari dalam neraka. Maka ketika itu bertemulah antara anak-anak kecil tadi dengan kedua orang tuanya dengan perasaan gembira.
Firman Allah Subhanahu Wa Ta'ala yang maksudnya :
"Pada hari itu mereka berjumpa dengan perasaan gembira. " (Surah Ad-Dahr:Ayat 11)









Senin, 18 Juni 2012

Harta

 
Dari Abu Hurairah, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Kaya bukanlah diukur dengan banyaknya kemewahan dunia. Namun kaya (ghina’) adalah hati yang selalu merasa cukup.” (HR. Bukhari no. 6446 dan Muslim no. 1051)

Senin, 07 Mei 2012

Perkawinan Beda Agama


Menurut sebagian besar Ulama’, hukum asal menikah adalah mubah, yang artinya boleh dikerjakan dan boleh tidak. Apabila dikerjakan tidak mendapatkan pahala, dan jika tidak dikerjakan tidak mendapatkan dosa. Namun menurut saya pribadi karena Nabiullah Muhammad SAW melakukannya, itu dapat diartikan juga bahwa pernikahan itu sunnah berdasarkan perbuatan yang pernah dilakukan oleh Beliau.
Akan tetapi hukum pernikahan dapat berubah menjadi sunnah, wajib, makruh bahkan haram, tergantung kondisi orang yang akan menikah tersebut.

Pernikahan Yang Dihukumi Sunnah
Hukum menikah akan berubah menjadi sunnah apabila orang yang ingin melakukan pernikahan tersebut mampu menikah dalam hal kesiapan jasmani, rohani, mental maupun meteriil dan mampu menahan perbuatan zina walaupun dia tidak segera menikah. Sebagaimana sabda Rasullullah SAW :

“Wahai para pemuda, jika diantara kalian sudah memiliki kemampuan untuk menikah, maka hendaklah dia menikah, karena pernikahan itu dapat menjaga pandangan mata dan lebih dapat memelihara kelamin (kehormatan); dan barang siapa tidak mampu menikah, hendaklah ia berpuasa, karena puasa itu menjadi penjaga baginya.” (HR. Bukhari Muslim)

Pernikahan Yang Dihukumi Wajib
Hukum menikah akan berubah menjadi wajib apabila orang yang ingin melakukan pernikahan tersebut ingin menikah, mampu menikah dalam hal kesiapan jasmani, rohani, mental maupun meteriil dan ia khawatir apabila ia tidak segera menikah ia khawatir akan berbuat zina. Maka wajib baginya untuk segera menikah

Pernikahan Yang Dihukumi Makruh
Hukum menikah akan berubah menjadi makruh apabila orang yang ingin melakukan pernikahan tersebut belum mampu dalam salah satu hal jasmani, rohani, mental maupun meteriil dalam menafkahi keluarganya kelak

Pernikahan Yang Dihukumi Haram
Hukum menikah akan berubah menjadi haram apabila orang yang ingin melakukan pernikahan tersebut bermaksud untuk menyakiti salah satu pihak dalam pernikahan tersebut, baik menyakiti jasmani, rohani maupun menyakiti secara materiil.

Pembagian Pernikahan Beda Agama Dalam Islam
Didalam kehidupan kita saat ini pernikahan antara dua orang yang se-agama merupakan hal yang biasa dan memang itu yang dianjurkan dalam agama kita. Tetapi dengan mengatasnamakan cinta, saat ini lazim (namun belum tentu diperbolehkan agama) dilakukan pernikahan beda agama atau nikah campur. Hal ini sebenarnya sudah diatur dengan secara baik di dalam agama kita, agama Islam.
Secara umum pernikahan lintas agama dalam Islam dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu:
1.       Pernikahan antara pria muslim dengan wanita non-muslim
2.       Pernikahan antara pria non-muslim dengan wanita muslimah

Namun sebelum kita membahas tentang pernikahan tersebut diatas, sebaiknya kita perlu mengetahui tentang pengertian non-muslim di dalam Islam. Golongan non-muslim sendiri dapat dibagi menjadi 2, yaitu :

Golongan Orang Musyrik
Menurut Kitab Rowaa’iul Bayyan tafsir Ayyah Arkam juz 1 halaman 282 karya As Syech Muhammad Ali As Shobuni, orang musyrik ialah orang-orang yang telah berani menyekutukan ALLAH SWT dengan mahluk-NYA ( menyembah patung, berhala atau sejenisnya ).
Beberapa contoh golongan orang musyrik antara lain Majusi yang penyembah api atau matahari, Shabi’in, Musyrikin, dan beberapa agama di Indonesia dan kepercayaan yang menyembah patung, berhala atau lainnya.

Golongan Ahli Kitab
Menurut Kitab Rowaa’iul Bayyan tafsir Ayyah Arkam juz 1 halaman As Syech Muhammad Ali As Shobuni, Ahli Kitab adalah mereka yang berpegang teguh pada Kitab Taurat yaitu agama Nabi Musa As. atau mereka yanga berpegang teguh pada Kitab Injil yaitu agama Nabi Isa As. Atau banyak pula yang menyebut sebagai agama samawi atau agama yang diturunkan langsung dari langit yaitu Yahudi dan Nasrani.
Mengenai istilah Ahli Kitab ini, terdapat perbedaan pendapat diantara kalangan Ulama’. Sebagian Ulama’ berpendapat bahwa mereka semua kaum Nasrani termasuk yang tinggal di Indonesia ialah termasuk Ahli Kitab. Namun ada juga yang berpendapat bahwa Ahli Kitab ialah mereka yang nasabnya (menurut silsilah sejak nenek moyangnya dahulu) ketika diturunkan sudah memeluk agama Nasrani. Jadi kaum Nasrani di Indonesia, berdasarkan pendapat sebagian Ulama’ tidak termasuk Ahli Kitab.

1.       Pernikahan Antara Pria Muslim Dengan Wanita Non-Muslim


Didalam Islam, pernikahan antara antara pria muslim dengan wanita non-muslim Ahli Kitab itu, menurut pendapat sebagian Ulama’ diperbolehkan. Hal ini didasarkan pada Firman ALLAH SWT dalam Al-Quran Surat Al-Maidah ayat 5 yang artinya

“(Dan dihalalkan menikahi) perempuan-perempuan yang menjaga kehormatan dan dari kalangan orang-orang yang beriman dan perempuan-perempuan yang menjaga kehormatan dan dari kalangan Ahli Kitab sebelum kamu ”.

Namun ada beberapa syarat yang diajukan apabila akan melaksanakan hal tersebut, yaitu :
Jelas Nasabnya
Menurut silsilah atau menurut garis keturunannya sejak nenek moyangnya adalah Ahli Kitab, jadi seperti kesimpulan para Ulama’ di atas, sebagian besar kaum Nasrani di Indonesia bukan merupakan golongan Ahli Kitab, seperti halnya juga kaum Tionghoa yang beragama Nasrani di Indonesia.
Benar-benar Berpegang Teguh Pada Kitab Taurat dan Kitab Injil
Apabila memang apabila mereka berpegang teguh kepada Kitab Taurat dan atau Injil (yang benar-benar asli) pasti mereka pada akhirnya akan masuk Islam, karena sebenarnya pada Kitab Taurat dan Injil yang asli telah disebutkan bahwa akan datang seorang Nabi setelah Nabi Musa As dan Nabi Isa As, yaitu Nabiullah Muhammad SAW. Dan apabila mereka mengimani akan adanya Nabiullah Muhammad SAW, pasti mereka akan masuk Islam
Wanita Ahli Kitab tersebut nantinya mampu menjaga anak-anaknya kelak dari bahaya fitnah
Ada beberapa Hadits Riwayat Umar bin Khattab, Usman bin Affan, Sahabat Thalhah, Sahabat Hudzaifah, Sahabat Salman, Sahabat Jabir dan beberapa Sahabat lainnya, semua memperbolehkan pria muslim menikahi wanita Ahli Kitab. 
 Sahabat Umar bin Khattab pernah berkata 

“Pria Muslim diperbolehkan menikah dengan wanita Ahli Kitab dan tidak diperbolehkan pria Ahli Kitab menikah dengan wanita muslimah”.

Bahkan Sahabat Hudzaifah dan Sahabat Thalhah pernah menikah dengan wanita Ahli Kitab tetapi akhirnya wanita tersebut masuk Islam. Dengan demikian, keputusan untuk memperbolehkan menikah dengan wanita Ahli Kitab sudah merupakan Ijma’ (artinya kesepakatan yakni kesepakatan para ulama dalam menetapkan suatu hukum hukum dalam agama berdasarkan Al-Qur’an dan Hadits dalam suatu perkara yang terjadi.) para Sahabat. Ulama’ besar Ibnu Al-Mundzir mengatakan bahwa jika ada Ulama’ Salaf yang mengharamkan pernikahan tersebut diatas, maka riwayat tersebut dinilai tidak Shahih

Lebih lanjut MUI mengeluarkan  Fatwa Majlis Ulama Indonesia (MUI) Nomor:  4/MUNAS VII/MUI/8/2005 per-tanggal 9-22 Jumadil Akhir 1426 H. / 26-29 Juli 2005 M tentang haramnya pernikahan pria muslim dengan wanita Ahli Kitab berdasarkan pertimbangan kemaslahatan. Meskipun fatwa itu diusung dengan merujuk pada beberapa dalil naqli, tetap saja menghapus kebolehan pria muslim menikah dengan wanita Ahli Kitab sebagaimana disebutkan dalam QS. Al-Maidah ayat 5 tersebut diatas. Dan rupanya fatwa itu dikeluarkan karena didorong oleh keinsafan akan adanya persaingan antara agama. Para Ulama’ menganggap bahwa persaingan tersebut telah mencapai titik rawan bagi kepentingan dan pertumbuhan masyarakat muslim dan merupakan tindakan pencegahan untuk melindungi muslim dan keturunannya
Dalam hal ini fakta-fakta sejarah menunjukkan bahwa tiada sesuatu agama dan sesuatu ideologi di muka bumi ini yang memberikan kebebasan beragama, dan bersikap toleran terhadap agama/kepercayaan lain, seperta agama Islam. Sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 120 :

“Orang Yahudi dan Kristen tidak akan senang kepada kamu, hingga kamu mengikuti agama mereka”.

Dan Allah berfirman surat An Nisa ayat 141 yang artinya :

“Dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk melenyapkan orang-orang yang beriman”.

Firman tersebut mengingatkan kepada umat Islam hendaknya selalu berhati-hati dan waspada terhadap tipu muslihat orang-orang kafir termasuk Yahudi dan Kristen, yang selalu berusaha melenyapkan Islam dan umat Islam dengan berbagai cara, dan hendaklah umat Islam tidak memberi jalan/kesempatan pada meraka untuk mencapai maksudnya, misalnya dengan jalan perkawinan muslimah dengan pria non Muslim.

Namun ada pula Ulama’ yang secara tegas mengharamkan pernikahan antara pria muslim dengan wanita Ahli Kitab. Para Ulama’ ini mendasarkan pendapatnya pada Firman ALLAH Al-Quran Surat Al-Baqarah ayat 221 yang berarti
“Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang muslim itu lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman . sesungguhnya budak mukmin itu lebih baik daripada musyrik, walaupun mereka menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedangkan ALLAH mengajak ke surga dan ampunan dengan ijinNYA. Dan ALLAH menerangkan ayat-ayatNYA (perintah-perintahNYA) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran”

Dan juga Al-Quran Surat Al-Mumtahanah ayat 10 yang berarti
“Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. ALLAH mengetahui tentang keimanan mereka; maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka janganlah kamu mengembalikan mereka kepada (suami-suami) mereka orang-orang kafir. Mereka tiada halal pula bagi mereka. Dan berikanlah kepada (suami-suami) mereka, mahar yang telah mereka bayar. Dan tiada dosa atasmu mengawini mereka apabila kamu bayar kepada mereka maharnya. Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan kafir; dan hendaklah kamu minta mahar yang telah kamu bayar; dan hendaklah mereka meminta mahar yang telah mereka bayarkan. Demikianlah hukum ALLAH yang ditetapkanNYA diantara kamu, dan ALLAH Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”

Disamping itu, mereka juga berpegangan kepada perkataan Sahabat Abdullah bin Umar yang berarti
“tiada kemusyrikan yang paling besar daripada wanita yang meyakini Isa bin Maryam sebagai tuhannya”.

Dalam Kitab Al-Mughni juz 9 halaman 545 karya Imam Ibnu Qudamah, Ibnu Abbas pernah menyatakan, hukum pernikahan dalam QS. Al-Baqarah ayat 221 dan QS. Al-Mumtahanah ayat 10 diatas telah dihapus (mansukh) oleh QS. Al-Maidah ayat 5. Karenanya yang berlaku adalah hukum dibolehkannya pernikahan pria muslim dengan wanita Ahli Kitab
Sedangkan pernikahan antara pria muslim dengan wanita musyrikah, menurut kesepakatan para Ulama’ tetap diharamkan, apapun alasannya, karena dikhawatirkan dapat menimbulkan fitnah

2.       Pernikahan Antara Pria Non-Muslim Dengan Wanita Muslimah


Pernikahan antara wanita muslimah dengan pria non-muslim, menurut kalangan Ulama’ tetap diharamkan, baik menikah dengan pria Ahli Kitab maupun dengan seorang pria musyrik. Hal ini dikhawatirkan wanita yang telah menikah dengan pria non-muslim tidak dapat menahan godaan yang akan datang kepadanya. Seperti halnya wanita tersebut tidak dapat menolak permintaan sang suami yang mungkin bertentangang dengan syariat Islam, atau wanita itu tidak dapat menahan godaan yang datang dari lingkungan suami yang tidak seiman yang mungkin cenderung lebih dominan

Dalil naqli pernyataan tentang haramnya pernikahan seorang wanita muslimah dengan pria non-muslim adalah Al-Quran Surat Al-Maidah ayat 5, yang menyatakan bahwa ALLAH SWT hanya memperbolehkan pernikahan seorang pria muslim dengan wanita Ahli Kitab, tidak sebaliknya. Seandainya pernikahan ini diperbolehkan, maka ALLAH SWT pasti akan menegaskannya di dalam Al-Quran. Karenanya , berdasarkan mahfum al-mukhalafah, secara implisit ALLAH SWT melarang pernikahan tersebut.
Dalam Kitab tafsir Al-Tabati karya Imam Ibnu Jarir At-Tabari, menuturkan Hadits Riwayat Jabir bin Abdillah bahwa Nabi Muhammad SAW pernah bersabda

“Kami (kaum muslim) menikahi wanita Ahli Kitab, tetapi mereka (pria Ahli Kitab) tidak boleh menikahi wanita kami”

Menurut Imam Ibnu Jarir At-Tabari, meskipun sanad-sanad Hadits tersebut sedikit bermasalah, maknanya telah disepakati oleh kaum muslimin, maka ke-hujjah-annya dapat dipertanggungjawabkan.

Perkawinan Beda Agama Menurut Hukum Indonesia


Akhirnya keluarlah Kompilasi Hukum Islam (KHI), yang berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tanggal 10 Juni 1991 dan Keputusan Menteri Agama Nomor 154 tahun 1991 tanggal 22 Juli 1991 menjadi hukum positif yang bersifat unikatif bagi seluruh umat Islam di Indonesia dan menjadi pedoman para hakim di lembaga peradilan agama dalam menjalankan tugas mengadili perkara-perkara dalam bidang perkawinan, kewarisan dan perwakafan.

Berdasarkan Kompilasi Hukum Islam pasal 40 ayat (c): “Dilarang perkawinan antara seorang wanita beragama Islam dengan seorang pria tidak beragama Islam”.
Larangan perkawinan tersebut oleh Kompilasi Hukum Islam mempunyai alasan yang cukup kuat, yakni:
Satu : Dari segi hukum positif bisa dikemukakan dasar hukumnya antara lain, ialah pasal 2 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan  "tidak ada perkawinan di luar hukum agamanya dan kepercayaannya itu".
Dua : Dari segi hukum Islam dapat disebutkan dalil-dalilnya sebagai berikut:
a. سَدُّ الذَّرِيْعَةِ artinya sebagai tindakan preventif untuk mencegah terjadinya kemurtadan dan kehancuran rumah tangga akibat perkawinan antara orang Islam dengan non Islam.
b. Kaidah Fiqh دَرْءُ اْلمَفَاسِدِ مُقَدَّمٌ عَلَى جَلْبِ اْلمَصَالِحِ artinya, mencegah/menghindari mafsadah/mudharat atau resiko, dalam hal ini berupa kemurtadan dan broken home itu harus didahulukan/diutamakan daripada upaya mencari/menariknya ke dalam Islam (Islamisasi) suami/istri, anak-anak keturunannya nanti dan keluarga besar dari masing-masing suami istri yang berbeda agama itu.
c. Pada prinspnya agama Islam melarang (haram) perkawinan antara seorang beragama Islam dengan seorang yang tidak beragama Islam (perhatikan Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 221), sedangkan izin kawin seorang pria Muslim dengan seorang wanita dari Ahlul Kitab (Nashrani/Yahudi) berdasarkan Al-Quran surat Al-Maidah ayat 5 itu hanyalah dispensasi bersyarat, yakni kualitas iman dan Islam pria Muslim tersebut haruslah cukup baik, karena perkawinan tersebut mengandung resiko yang tinggi (pindah agama atau cerai). Karena itu pemerintah berhak membuat peraturan yang melarang perkawinan antara seorang yang beragama Islam (pria/wanita) dengan seorang yang tidak beragama Islam (pria/wanita) apapun agamanya, sedangkan umat Islam Indonesia berkewajiban mentaati larangan pemerintah itu sebagaimana yang telah ditetapkan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 50 ayat (c) dan pasal 44.

Berangkat dari ayat Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 221 dan Al-Maidah ayat 5.
Selanjutnya Yusuf Qardlawi mengingatkan banyaknya madharat yang mungkin terjadi karena perkawinan dengan wanita non Muslim :
1. Akan banyak terjadi perkawinan dengan wanita-wanita non Muslim. Hal ini akan berpengaruh kepada perimbangan antara wanita Islam dengan laki-laki Muslim. Akan lebih banyak wanita Islam yang tidak kawin dengan pria Muslim yang belum kawin.
2. Suami mungkin terpengaruh oleh agama istrinya, demikian pula anak-anaknya. Bila terjadi, maka “fitnah” benar-benar menjadi kenyataan.
3. Perkawinan dengan non Muslimah akan menimbulkan kesulitan hubungan suami-istri dan pendidikan anak-anak. Lebih-lebih jika pria Muslim dan kitabiyah beda tanah air, bahasa, kebudayaan dan tradisi, misalnya Muslim timur kawin dengan kitabiyah Eropa atau Amerika.

Dari segi agama, lemahnya posisi pria Muslim tersebut sangat berbahaya bila kawin dengan kitabiyah. Karena itu kawin dengan kitabiyah harus dijauhi. Pada masa Umar bin Khattab kaum Muslimin sangat kuat. Umar melarang kaum Muslimin kawin dengan kitabiyah dan para sahabat yang beristri kitabiyah ia suruh untuk menceraikannya. Jika dalam posisi kaum Muslimin kuat saja, dilarang kawin dengan kitabiyah, apalagi sesudah kaum Muslimin lemah, seperti pada masa kini, misalnya di Indonesia.

Kesimpulan

Sebenarnya pernikahan antara pria muslim dengan wanita Ahli Kitab diperbolehkan dalam Islam, tetapi karena saat ini sangat sulit sekali ditemui wanita Ahli Kitab yang benar-benar “Ahli Kitab”, maka saya dapat simpulkan bahwa pernikahan beda agama yang ada saat ini tidak dapat dikatakan sah karena hampir tidak ada wanita Ahli Kitab yang benar-benar berpegang teguh kepada Kitab Taurat dan atau Kitab Injil. Karena kedua Kitab suci tersebut yang ada saat ini bukan Kitab Taurat dan Injil yang asli. Sedangkan pernikahan wanita muslimah yang menikah dengan pria non-muslim, baik pria musyrik maupun pria Ahli Kitab tetap dihukumi haram

Akan tetapi, pada praktiknya memang masih dapat terjadi adanya perkawinan beda agama di Indonesia. Guru Besar Hukum Perdata Universitas Indonesia Prof. Wahyono Darmabrata, menjabarkan ada empat cara yang populer ditempuh pasangan beda agama agar pernikahannya dapat dilangsungkan. Menurut Wahyono, empat cara tersebut adalah:
1.      meminta penetapan pengadilan,
2.      perkawinan dilakukan menurut masing-masing agama,
3.      penundukan sementara pada salah satu hukum agama, dan
4.      menikah di luar negeri.

Nabi Muhammad SAW pernah bersabda

“Wanita itu dinikahi karena empat hal; karena hartanya; karena keturunannya; karena kecantikannya dan karena baik kualitas agamanya. Maka pilihlah wanita yang baik kualitas agamanya, niscaya kalian akan beruntung”. (HR. Bukhari dan Muslim)

Maka bagi kaum muslimin dan muslimah, alasan pernikahan beda agama dengan alasan cinta, kesamaan hak, kebersamaan, toleransi atau apapun alasannya TIDAK DAPAT DIBENARKAN.

Perlu pula ditegaskan bahwa masalah pernikahan pria muslim dengan wanita Ahli Kitab hanyalah suatu perbuatan yang dihukumi boleh dilakukan, namun bukan anjuran, apalagi perintah. Karenanya pernikahan yang paling ideal dan yang bisa membawa kita selamat di dunia maupun akhirat serta membawa keluarga kita menjadi keluarga yang sakinah, mawaddah dan warohmah adalah pernikahan dengan orang seagama yaitu Islam.

Wallahu ‘alam bisshowaab

Adab-Adab Makan Rasulullah SAW

Rasulullah SAW adalah suri tauladan umat dalam berbagai aspek kehidupan. Dalam hal kesehatan, ajaran-ajaran beliau sudah banyak dibuktikan oleh penelitian-penelitian modern akan kebenaran manfaatnya yang besar. Salah satu ajaran beliau adalah adab-adab makan yang membawa kesehatan dan keberkahan sepanjang zaman.
Diantara adab-adab makan yang Rasulullah SAW ajarkan adalah :

1. Tidak mencela makanan yang tidak disukai.

Abu Hurairah ra. berkata : “Rasulullah SAW tidak pernah sedikit pun mencela makanan. Bila beliau berselera, beliau memakannya. Dan jika beliau tidak menyukainya, maka beliau meninggalkannya.” (HR. Bukhari Muslim)


Dari Jabir ra. bahwa Rasulullah SAW pernah berkata kepada keluarganya (istrinya) tentang lauk pauk. Mereka menjawab : “Kami hanya punya cuka”. Lalu beliau memintanya dan makan dengannya, seraya bersabda : “Sebaik-baik lauk pauk ialah cuka (al-khall), sebaik-baik lauk pauk adalah (yang mengandung) cuka.” (HR. Muslim)

Penelitian Dr. Masaru Emoto dari Jepang dalam bukunya ’The True Power of Water’ menemukan bahwa unsur air ternyata hidup. Air mampu merespon stimulus dari manusia berupa lisan maupun tulisan. Ketika diucapkan kalimat yang baik atau ditempelkan tulisan dengan kalimat positif, maka air tersebut akan membentuk struktur kristal yang indah dan bisa memiliki daya sembuh untuk berbagai penyakit. Sebaliknya, jika diucapkan maupun ditempelkan kalimat umpatan, celaan atau kalimat negatif lainnya, maka air tersebut akan membentuk struktur kristal yang jelek dan bisa berpengaruh negatif terhadap kesehatan.

2. Mencuci tangan sebelum dan sesudah makan.

Rasulullah SAW bersabda : “Barang siapa yang tertidur sedang di kedua tangannya terdapat bekas gajih/lemak (karena tidak dicuci) dan ketika bangun pagi ia menderita suatu penyakit, maka hendaklah dia tidak menyalahkan kecuali dirinya sendiri.”

3. Membaca Basmalah dan Hamdalah.

Rasulullah SAW bersabda : “Jika seseorang di antara kamu hendak makan, maka sebutlah nama Allah SWT. Dan jika ia lupa menyebut nama-Nya pada awalnya, maka bacalah, ’Bismillahi awwalahu wa akhirahu’ (Dengan menyebut nama Allah SWT pada awalnya dan pada akhirnya).”(HR. Abu Dawud)

Dalam riwayat lain, disebutkan bahwa suatu ketika Rasulullah SAW tersenyum, beliau menjelaskan ketika seorang Muslim tidak membaca Basmalah sebelum makan, maka syaitan akan ikut makan dengannya. Namun, ketika Muslim tersebut teringat dan menyebut nama Allah SWT, maka syaitan pun langsung memuntahkan makanan yang sudah dimakannya.

Rasulullah SAW juga bersabda : “Sesungguhnya Allah SWT meridhai seorang hamba yang ketika makan suatu makanan lalu dia mengucapkan Alhamdulillah. Dan apabila dia minum suatu minuman maka dia pun mengucapkan Alhamdulillah.” (HR. Muslim, Ahmad dan Tirmidzi)

4. Makan menggunakan tangan kanan.

Abdullah bin Umar ra. berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda : “Jika salah seorang diantaramu makan, maka hendaklah ia makan dengan tangan kanannya dan jika ia minum maka hendaklah minum dengan tangan kanannya. Sebab syaitan itu makan dan minum dengan tangan kirinya.” (HR. Muslim)

Kedua tangan manusia mengeluarkan tiga macam enzim, tetapi konsentrasi di tangan kanan lebih banyak daripada tangan kiri. Enzim tersebut sangat membantu dalam proses pencernaan makanan.

5. Tidak bersandar ketika makan.

Rasulullah SAW bersabda : “Aku tidak makan dengan posisi bersandar (muttaki-an).” (HR. Bukhari)

“Muttaki-an” ada yang menafsirkan duduk bersilang kaki dan ada pula yang menafsirkan bersandar kepada sesuatu, baik itu bersandar di atas salah satu tangan atau bersandar pada bantal. Ada pula yang menafsirkan bersandar pada sisi badan.

Rasulullah SAW jika makan, tidak makan dengan menggunakan alas duduk seperti bantal duduk sebagaimana orang-orang yang ingin makan banyak dengan menu makanan yang variatif. Rasulullah SAW menjadikan makannya sebagai ibadah kepada Allah SWT. Karenanya beliau duduk tanpa alas dan mengambil makanan secukupnya.

6. Memakan makanan yang terdekat dahulu.

Umar bin Abi Salamah ra. bercerita : “Saat aku belia, aku pernah berada di kamar Rasulullah SAW dan kedua tanganku seringkali mengacak-acak piring-piring. Rasulullah SAW bersabda kepadaku, ’Nak, bacalah Bismillah, makanlah dengan tangan kananmu dan makanlah dari makanan baik yang terdekat.” (HR. Bukhari)

7. Makan ketika lapar dan berhenti sebelum kenyang.

Dari Mikdam bin Ma’dikarib ra. menyatakan pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda : “Tiada memenuhi anak Adam suatu tempat yang lebih buruk daripada perutnya. Cukuplah untuk anak Adam itu beberapa suap yang dapat menegakkan tulang punggungnya. Jika tidak ada cara lain, maka sepertiga (dari perutnya) untuk makanannya, sepertiga lagi untuk minuman dan sepertiganya lagi untuk bernafas.” (HR. Tirmidzi dan Hakim)

8. Menjilat tangan ketika makan tanpa sendok atau garpu.

Dari Abu Hurairah ra. bahwa Rasulullah SAW bersabda : “Jika salah seorang diantaramu makan, maka hendaklah ia menjilati jari-jemarinya, sebab ia tidak mengetahui dari jemari mana munculnya keberkahan.” (HR. Muslim)

Dalam hadits riwayat Imam Muslim pula, Ka’ab bin Malik ra. memberikan kesaksian bahwa ia pernah melihat Rasulullah SAW makan dengan menggunakan tiga jarinya dan beliau menjilatinya selesai makan.

Penemuan kesehatan modern menunjukkan bahwa ketika kita makan dengan jari dan menjilati jari untuk membersihkannya, maka jari tersebut mengeluarkan enzim yang sangat membantu bagi kelancaran pencernaan.

9. Membuang kotoran dari makanan yang terjatuh lalu memakannya.

Dari Anas bin Malik ra. berkata bahwa Rasulullah SAW sering makan dengan menjilati ketiga jarinya (Ibu jari, telunjuk dan jari tengah), seraya bersabda : “Apabila ada makananmu yang terjatuh, maka buanglah kotorannya dan hendaklah ia memakannya serta tidak membiarkannya untuk syaitan.” Dan beliau juga memerintahkan kami untuk menjilati piring seraya bersabda : “Sesungguhnya kamu tidak mengetahui pada makanan yang mana adanya berkah itu.” (HR. Muslim)

Islam melarang hal-hal yang mubazir, termasuk dalam hal makanan. Seringkali kita menyaksikan orang yang mengambil makanan berlebihan sehingga tidak habis dimakan. Makanan yang mubazir itu akhirnya dibiarkan untuk syaitan, padahal bisa jadi sebenarnya pada makanan tersebut terdapat keberkahan. Oleh karena itu, ketika mengambil makanan harus berdasarkan perhitungan bahwa makanan tersebut akan habis dimakan.

10. Makan dan minum sambil duduk.

Rasulullah SAW suatu ketika melarang seorang lelaki minum sambil berdiri. Berkata Qatadah : “Bagaimana dengan makan?” Rasul menjawab : “Itu lebih buruk lagi.” (HR. Muslim)

11. Tidak bernafas ketika minum dan menjauhkan mulut dari tempat minum ketika bernafas.

Dari Abu Al-Mutsni Al-Jahni ra berkata, aku pernah berada di rumah Marwan bin Hakam, tiba-tiba datang kepadanya Abu Sa’id ra. Marwan berkata kepadanya : “Apakah engkau pernah mendengar Rasulullah SAW melarang bernafas di tempat minum?”. Abu Sa’id menjawab : “Ya. Ada seseorang pernah berkata kepada Rasulullah SAW, ”Aku tidak kenyang dengan air hanya satu kali nafas.” Lalu Rasulullah SAW bersabda,“Jauhkanlah tempat air (gelas) dari mulutmu, lalu bernafaslah!” Orang itu berkata lagi, “Sesungguhnya aku melihat ada kotoran pada tempat minum itu”. Lalu Rasulullah SAW bersabda, ”Kalau begitu, tumpahkanlah! (HR. Abu Dawud)

Dan juga dari Ibnu Abbas ra. berkata : “Rasulullah SAW telah melarang untuk menghirup udara di dalam gelas (ketika minum) dan meniup di dalamnya.” (HR. Tirmidzi)

Rasulullah SAW melarang bernafas ketika minum. Apabila minum sambil bernafas, tubuh kita mengeluarkan CO2 (Karbondioksida), apabila bercampur dengan H2O (Air) dapat menjadi H2CO3 (Cuka) sehingga menyebabkan minuman menjadi acidic (Asam). Hal ini dapat terjadi juga ketika meniup air panas. Makanan dan minuman panas sebaiknya tidak didinginkan dengan ditiup, tapi cukup dikipas.

12. Tidak berprasangka buruk jika makan ditemani orang yang berpenyakit.

Dari Jabir ra. bahwa Rasulullah SAW pernah memegang tangan orang yang majdzum (kusta), beliau meletakkan tangannya pada piring makan seraya bersabda : “Makanlah, yakinlah kepada Allah SWT dan bertawakkallah.” (HR. Abu Dawud)

13. Tidak duduk pada meja yang dihidangkan makanan haram.

Dari Jabir ra. bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda : “Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaknya ia tidak duduk pada meja makan yang padanya diedarkan minuman khamr.” (HR. Imam Tirmidzi)

14. Mendo’akan yang mengundang makan.

Dari Anas bin Malik ra. bahwa Rasulullah SAW pernah datang ke Sa’ad bin Ubadah ra. yang menghidangkan roti dan mentega. Rasulullah SAW memakannya, lalu beliau bersabda : “Telah berbuka di sisimu orang-orang yang berpuasa. Hidanganmu telah dimakan oleh orang-orang shalih (baik) dan malaikat pun mendo’akan kebaikan untukmu.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud)

15. Menutup tempat makan dan minum.

Dari Jabir ra. bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda : “Tutuplah tempat makanan dan tempat minuman!” (HR. Bukhari Muslim)

Menutup tempat makan dan minum sangat bermanfaat untuk menghindarkan makanan dari polusi udara, kotoran atau zat-zat berbahaya yang dapat masuk ke dalam makanan atau minuman yang tidak titutupi