رَبِّ اغْفِرْ لِي وَهَبْ لِي مُلْكًا لا يَنْبَغِي لأحَدٍ مِنْ بَعْدِي إِنَّكَ أَنْتَ الْوَهَّابُ


"Ya Rabb-ku, ampunilah aku, dan anugerahkanlah kepadaku kerajaan, yang tidak dimiliki oleh seorangpun juga sesudahku, sesungguhnya Engkaulah Yang Maha pemberi’."

Sabtu, 20 Desember 2014

Saya Yakin Rizki itu Sebentar Lagi Nak


SAAT sedang menaiki kereta arah Depok-Jakarta kota beberapa minggu lalu. Saya melihat sepasang suami istri (foto di atas), entah siapa namanya terlihat begitu berantakan dan sedikit kumal—maaf, rasanya terhirup bau tak sedap dari mereka—baunya bahkan membuat seorang ibu yang awalnya duduk didekatnya terpaksa harus keluar dari kereta dan muntah, mungkin karena tidak tahan dengan baunya.
Awalnya saya berfikir bahwa Ibu dan Bapak ini adalah seorang pengemis.Hingga Allah kembali menghentakkan hati saya dengan pembelajaran yang luar biasa pada hari itu.

Kali ini saya tidak akan bercerita mengenai bagaimana kisah cinta pasangan ini, ikatan cinta keduanya,bagaimana mereka bersama mengarungi masa-masa tua,dengan kisah-kisah romantis mereka, menikmati hidup bersama. Bukan kawan,bukan itu yang akan saya ceritakan, hal ini lebih dari itu, jauh lebih indah dari itu.

Sambil menikmati perjalanan ditemani sebungkus kentang goreng menunggu kereta tiba di Jakarta kota. Mataku tak hentinya memandangi sepasang suami istri tersebut. Sebenarnya saya merasa terganggu karena bau yang dibawa kedua orang tua itu sungguh sangat menyengat, tak dapat saya gambarkan baunya seperti apa,saya hanya dapat memastikan bahwa saat itu kepala saya sangat pusing akibat baunya.

Hingga datang seorang pemuda dengan gaya sangat stylish sambil menggunakan headset duduk tepat disamping bapak yang memakai baju putih. Sesaat ketika melihat pemuda itu perawakannya sangat mirip dengan teman saya di kampus UNHAS, entah apa motivasi pemuda itu duduk tepat disamping bapak tersebut sedangkan setiap orang yang berada dalam gerbong kereta menjauhi sepasang suami istri itu karena baunya.

Hingga Mulai terdengar pemuda itu menanyakan beberapa hal kepada bapak tersebut. nama nya siapa pak? Tinggal dImana? Mau kemana? Punya anak berapa? Saat itu sungguh saya dibuat terkagum dengan perawakan pemuda itu,walaupun terlihat selengean (cuek) namun sungguh ia satu dari beberapa orang hebat yang pernah saya temui selama ini. Banyak hal yang membuat saya yakin bahwa pemuda itu adalah orang yang Hebat, namun tulisan saya Kali ini tidak akan membahas seberapa hebat pemuda itu, kali ini tulisan saya akan fokus menceritakan kisah sepasang suami istri tersebut.

Kereta sebentar lagi tiba distasiun gondangdia, saya dengar dari percakapan pemuda dan bapak itu, stasiun Gondangdia adalah stasiun tujuan pasangan suami istri itu.

Kulihat pemuda itu memasukkan tangannya kedalam tasnya dan mengambil beberapa uang Rp. 100.000 dalam jumlah yang sangat banyak,sangat banyak saya tak tahu pastinya.

Dengan nada yang sangat sopan pemuda itu berkata : “Pak,saya punya sedikit rejeki buat bapak dan Ibu mungkin bisa digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup bapak dan Ibu beberapa hari kedepan”

Tahukah kawan,apa jawaban bapak itu? Beliau menjawab seperti ini.
 “Sungguh agama saya melarang saya menjadi seorang pengemis yang menengadahkan tangan menunggu bantuan uang dari si tuan kaya raya, saya yakin Tuhan saya maha kaya, sangat kaya. Saya tahu niat ananda adalah untuk membantu kami, dan sungguh saya yakin bahwa Allah-lah yang telah mengirimmu kepada kami, namun mohon maaf nak saya tak bisa menerima itu, saya tak ingin sebuah kisah dari perjalanan perjuangan hidup kami mencari rezeki, terdapat sebuah kisah bahwa kami menerima uang dari orang lain dikarenakan kasihan dengan kondisi kami. Saya yakin nak, sebentar lagi Allah akan memberikan rezeki bagi kami dengan cara yang lebih baik dari ini, iya saya yakin sebentar lagi nak, sebentar lagi.

Kemudian bapak itupun melangkahkan kakinya turun ke stasiun Gondangdia bersama istrinya.
Semoga Allah memaafkan prasangka saya yang menganggap bapak dan Ibu itu adalah seorang pengemis. Sungguh mereka sebenar benarnya hamba Allah yang bertebaran dimuka bumi dan mencari rezeki Allah layaknya seorang pahlawan.

Pengalaman ini sontak menambah keyakinan saya bahwa rezeki Allah sungguh sangat dekat kawan, ya sebentar lagi, sebentar lagi.itu pesan si bapak tua.
Terima kasih banyak.

Islampos

Aku Akan Jadi Pengikut Muhammad



ALANGKAH terkejutnya Saad bin Abi Waqash ketika dilihat sahabat karibnya, Umar bin Khattab berjalan begitu tergesa-gesa sambil menghunus pedang. Sejumput amarah nampak terbaca jelas di wajah satu dari dua orang yang sangat berpengaruh di Mekkah itu. Segera Saad bin Abi Waqash menghampiri Umar, “Hai Ibnul Khattab, akan pergi kemanakah engkau?”

Umar mendengus, “Mencari Muhammad. Orang celaka itu. Ia sudah berani mendirikan agama baru dan memutuskan persaudaraan kita, memecah belah persatuan bangsa kita, membodohkan orang-orang pandai kita, mencaci maki agama nenek moyang kta, menghina tuhan-tuhan kita, dan merendahkan kemuliaan kita. Jika aku bertemu dengannya, akan langsung kubunuh ia.”

Saad terperanjat mendengar jawaban Umar. Saad tahu bahwa Umar sangat membenci Rasulullah. Ia memusuhi Muhammad. Bukan sekali dua Umar menganiaya para pengikut Rasulullah.

Umar memang seorang pemuka Quraisy yang sangat berpengaruh di masyarakatnya. Ia adalah salah seorang yang gagah berani, cerdas, tangkas, dan kuat. Kegagahan, keberanian, dan pengaruh Umar seimbang dengan kegagahan dan dan keberanian Abu Jahal—atau juga dikenal sebagai Umar bin Hisyam. Dua orang ini sangat mewarnai Mekkah. Tidak ada lagi yang penduduk Mekkah takuti, hormati dan segani selain kedua orang itu.

Mendengar jawaban Umar itu, Saad menukas, “Oh Umar, engkau hendak membunuh Muhammad? Kau pikir, apakah setelah engkau berhasil membunuhnya, anak keturunan Abdul Muthalib akan membiarkan engkau hidup lebih lama lagi?”

Umar mendongak. Ia juga tidak kalah terkejut dengan apa yang dilontarkan Sada bin Abi Waqash sahabatnya itu. “Jadi kamu sudah mulai berani kepadaku ya? Engkau sudah mengikuti agama Muhammad. Engkau sudah berlainan agama denganku… Mungkin lebih baik kubunuh kau lebih dahulu…”
Saad tersentak. Segera ia menghunus pedangnya. “Hai Umar, mengapa kau tidak berbuat yang sama terhadap adik perempuanmu dan suaminya?’
“Apa maksudmu?” Umar mengernyitkan dahinya.
“Ha, Umar, mereka telah lama mengikuti agama ajaran Muhammad dengan patuh dan taat..”
Umar berang. Ia langung meninggalkan sahabatnya itu. Dengan kemarahan yang amat sangat, ia menggesa menuju rumah adiknya, Fatimah dan Zaid bin Tsabit, suami Fatimah. Digedornya pintu dengan keras sambil tangannya msih tetap memegang pedang terhunus. Fatimah dan Zaid yang tengah mengajarkan Alquran kepada budaknya tersentak. Zaid bertanya dari dalam rumah, “Siapa itu?”
“Aku, Ibnul Khattab!”

Fatimah segera menyembunyikan catatan-catatan ayat-ayat Alquran dan budaknya disuruh segera bersembunyi. Umar masuk dengan muka merah padam. “Betulkah kalian telah mengikuti agama Muhammad?”

Belum lagi Zaid bin Tsabit menjawab, Umar meloncat memegang janggut Zaid dan mencekik lehernya. Zaid dibanting dan dadanya diinjak-injak dengan sekehendak hati.

Fatimah berteriak. Berusaha sekuat tenagah menolong suaminya. Tetapi ketika ia mendekat, kepalanya dipukul dengan sangat keras oleh kakaknya dan mulutnya disikut. Fatimah mengeluarkan darah yang banyak. “Engkau hendak memukuli aku ataukah hendak membunuhku?”

Umar diam. Seperti ada sesal terbaca di raut mukanya. Ia telah menyakiti adik tersayangnya. Fatimah tetap berkata, lebih lantang, “Hai musuh Allah! Aku dan suamiku telah lama memeluk agama Allah. Mengapa engkau baru bertanya sekarang? Kalau engkau memang hendak membunuh kami, aku tidak takut sedikitpun. Aku tetap akan menjadi pengikut Muhammad.”

Umar makin terdiam. Umar termenung-menung dan tampak menyesal dan kelihatan sangat malu. Matanya melihat ke atas dan ke bawah, dan tiba-tiba ia melihat suatu tulisan di sehelai kertas yang tergantung di atas pintu. Diam-diam ia tertarik dan memperhatikannya. Umar adalah Quraisy yang bisa membaca dan menulis. Amat langka ketika itu orang Arab mempunyai keterampilan dan kemampuan seperti Umar. “Tulisan apakah itu, Fatimah? Ambilkan itu untukku, aku ingin mengetahuinya…”

Fatimah menjawab dengan tegas, “Tidak, aku tidak sudi mengambilnya. Engkau pasti akan merobeknya…”
Berulang-ulang Umar meminta supaya diambilkan tulisan itu, tetapi Fatimah tidak bersedia mengambilkannya. Akhirnya Umar bersumpah bahwa ia tidak akan merobek-robek tulisan itu dan mengembalikannya. Fatimah tahu, kakaknya walau bukan seorang muslim adalah orang yang sangat menjaga ucapannya. Ia segera mengambil dan memberikan tulisan itu kepada Umar.

Ketika melihat apa yang tertera di tulisan itu, Umar bergetar. “Bismillah”, begitu tulisan pertama yang ia baca. Umar semakin berguncang manakala mendapati tulisan-tulisan selanjutnya yang merupakan penggalan dari Surat Thaahaa. Tiba-tiba ia berteriak dengan sangat keras. Yang membuat kaget Fatimah dan Zaid, teriakan Umar adalah ucapan syahadat.

“Fatimah…” Umar terbata-bata, “Antarkan aku kepada Muhammad. Aku ingin menjadi pengikutnya. Aku akan masuk Islam.”

Fatimah tergetar. Ia tertunduk. Sebait syukur ia lafadzkan. Akhirnya kakaknya yang sangat disegani oleh masyarakat Mekkah mendapat sejumput hidayah dan akan bersama-sama menjalani dakwah mereka yang sangat panjang. Diantar oleh budak Fatimah, Umar menghadap Rasulullah.

Rasulullah menyambut suka cita atas masuk Islamnya Umar bin Khattab. Ia bersyukur doanya dikabulkan oleh Allah. Bahwa permintaannya agar salah satu dari dua Umar—Ibnul Khattab atau bin Hisyam (Abu Jahal)—masuk Islam. Rasulullah sangat menyadari ketokohan kedua Umar itu sangat vital dalam dakwah ini. Jika tidak bisa keduanya, salah satunya pun cukup sudah. Mekkah tiba-tiba semakin diselubungi cahaya putih. Ada banyak hal yang menanti yang memerlukan seorang Umar bin Khattab yang dulunya bertemperamen, berangasan namun sangat dihormati itu. Umar siap menjelma menjadi pengikut Rasulullah sejati.

Islampos

Mengenali Malaikat Pendamping di Masa Hidup




SELAMA hidup di dunia ini, kita pasti akan selalu didampingi. Kita akan selalu didampingi oleh dua malaikat, yakni malaikat Raqib dan Atid. Kedua malaikat itu yang akan selalu mencatat segala amal perbuatan kita. Dan itu telah kita ketahui sejak lama, namun, apakah kita mneyadari akan hal itu? Yuk, kenali kembali malaikat yang selalu ada mendampingi masa hidup kita.

Hanya ada dua malaikat yang setiap saat mengintai gerak-gerik kita. Memata-matai tingkah laku serta tak pernah mengerjapkan mata meski sekejap. Mereka memiliki kapasitas dan kemampuan yang jauh di atas rata-rata intelijen yang pernah dimiliki CIA, FBI, atau NSA saat mengendus “korbannya”. Mereka adalah malaikat Raqib dan malaikat ‘Atid. Tugas utama mereka dari Allah cuma satu, yakni mencatat kelakuan baik serta kelakuan jahat kita.

Mereka sangat jujur dan tak pernah bermaksiat kepada Allah. Mencatat apa adanya. Baik ya baik, buruk tetap buruk. Mereka tidak ditugaskan untuk mengolah, menganalisis, menyimpulkan apalagi menjatuhkan vonis sebagaimana intelijen kampung yang seringkali bisa melakukan hal itu atas nama kepentingan. Mereka hanya menyetor data. Soal keputusannya, semata di tangan Allah SWT.

Nama keduanya amat mudah dikenal karena sejak kanak-kanak sudah masuk dalam file memori kita. Malaikat Raqib bertugas hanya mencatat yang baik-baik saja dari kita, sedang malaikat ‘Atid sebaliknya, cuma mencatat yang buruk-buruk. Keduanya dikenal sangat jujur, tulus dalam bertugas serta sungguh jauh dari pamrih.

Dari Thowus, Imam Ahmad berkata,

يكتب الملك كل شيء حتى الأنين. فلم يئن أحمد حتى مات رحمه الله

“Malaikat akan mencatat segala sesuatu sampai pun keluh kesah ketika sakit.” Oleh karena itu, Imam Ahmad tidak pernah berkeluh kesah ketika sakit sampai beliau rahimahullah menghembuskan nafas terakhir.
Al Hasan Al Bashri ketika membaca ayat (yang artinya), “(Yaitu) ketika dua orang malaikat mencatat amal perbuatannya, seorang duduk di sebelah kanan dan yang lain duduk di sebelah kiri,” lalu ia berkata, “Wahai manusia, telah dibentangkan padamu catatan amalan.

Di sisi kalian ada dua malaikat yang mulia yang satunya berada di sisi kanan, yang lainnya di sisi kiri. Yang berada di sisi kanan, itulah yang mencatatat amalan kebaikan. Sedangkan yang berada di sisi kiri, itulah yang mencatat amalan kejelekan. Jadi beramallah semaumu. Baik sedikit maupun banyak, semuanya akan dicatat dalam catatan amalanmu.

Dan itu akan bersamamu di lehermu hingga engkau di kubur sampai engkau keluar untuk dihisab pada hari kiamat.

وَكُلَّ إِنْسَانٍ أَلْزَمْنَاهُ طَائِرَهُ فِي عُنُقِهِ وَنُخْرِجُ لَهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ كِتَابًا يَلْقَاهُ مَنْشُورًا اقْرَأْ كِتَابَكَ كَفَى بِنَفْسِكَ الْيَوْمَ عَلَيْكَ حَسِيبًا

“Dan tiap-tiap manusia itu telah Kami tetapkan amal perbuatannya (sebagaimana tetapnya kalung) pada lehernya. Dan Kami keluarkan baginya pada hari kiamat sebuah kitab yang dijumpainya terbuka. ‘Bacalah kitabmu, cukuplah dirimu sendiri pada waktu ini sebagai penghisab terhadapmu’,” (QS. Al Isra’: 13-14).” Al Hasan kemudian berkata, “Kelak engkau akan menghisab dirimu sendiri.”

Kini kita telah mengetahui bahwa segala tingkah laku manusia tidak akan terlepas dari catatan kedua-dua malaikat ini. Dan juga dari sini, kita juga dapat mengambil pelajaran bahwa setiap kita akan diawasi oleh dua malaikat yang bertugas mencatat amalan yang baik dan buruk. Jika memahami demikian, semestinya kita semakin serius untuk beramal kebaikan dan berusaha menjauhi kejelekan di mana pun kita berada. Karena ingatlah semuanya akan dicatat!


Islampos

Asiyah Tetap Sabar Menghadapi Firaun Hingga Akhir Hayatnya



AL-QURAN telah menceritakan tentang kisah para Nabi serta sosok-sosok keluarga di sekitarnya. Demikian dengan keluarganya, ada kisah Nabi Nuh yang sabar dengan isteri yang durhaka. Ada juga kisah Asiyah istri yang baik hatinya, padahal Firaun begitu durhakanya.

Dan kemuliaan Asiyah ini Allah kabarkan dalam firmannya:

وَضَرَبَ اللَّهُ مَثَلا لِلَّذِينَ آمَنُوا اِمْرَأَةَ فِرْعَوْنَ إِذْ قَالَتْ رَبِّ ابْنِ لِي عِنْدَكَ بَيْتًا فِي الْجَنَّةِ وَنَجِّنِي مِنْ فِرْعَوْنَ وَعَمَلِهِ وَنَجِّنِي مِنَ الْقَوْمِ الظَّالِمِينَ

“Dan Allah membuat perumpamaan, bagi orang-orang yang beriman, istri Fir’aun, ketika dia berkata, ‘Ya Rabb-ku, bangunkanlah untukku sebuah rumah di sisi-Mu dalam surga dan selamatkanlah aku dari Fir’aun dan perbuatannya, dan selamatkanlah aku dari kaum yang zalim.” (QS. At-Tahrim (66): 11).

Ketahuilah wahai para ukhti, Allah Ta’ala memberikan perumpamaan kepada kalian dan kita, juga kepada jin, tentang kisah Asiyah, perempuan yang teguh keimanannya, meskipun suaminya adalah seorang yang sangat kafir lantaran mengaku dirinya sebagai tuhan.

Asiyah selalu dizalimi oleh suaminya Fir’aun. Ia menyiksanya sampai akhirnya Asiyah meninggal dalam siksaan yang dialaminya, Allah Ta’ala menyelamatkan ia dari suami dan pengikutnya yang zalim dengan mewafatkannya, dan mengembalikan rohnya ke sisi-Nya.

Dikisahkan dalam Kitab Tafsir Al-Jahmi’ li Ahkam Al-Quran, Imam Al-Qurthubi, bahwa Abu Al-Aliyah berkata, “Fir’aun telah mengetahui keimanan istrinya, lalu dia keluar menuju para pembesarnya dan bertanya kepada mereka, ‘Apa yang kalian ketahui tentang Asiyah binti Muzahim?’ mereka menyanjung Asiyah. Fir’aun berkata kepada mereka, ‘Sesungguhnya dia telah menyembah Tuhan selain aku.’ Mereka berkata kepadanya, ‘Bunuhlah dia.’ Fira’un kemudian mengikat Asiyah dan membelenggu kedua tangan dan kakinya. Asiyah berkata, ‘Ya Rabb-ku bangunkanlah untukku sebuah rumah di sisi-Mu dalam surga.’ Hal itu bertepatan dengan kedatangan Fir’aun. Asiyah tersenyum ketika dia melihat rumahnya di surga. Fir’aun berkata, ‘Tidakkah kalian heran akan kegilaannya? Sesungguhnya kita sedang menyiksanya, tapi dia malah tertawa.’ Allah kemudian mengambil nyawa Asiyah.”

Salman Al-Farisi berkata pada riwayat yang dituturkan oleh Utsman An-Nahdi, “Asiyah dijemur di terik matahari. Apabila sengatan matahari menyakitinya, malaikat menaunginya dengan sayap-sayapnya.”
Menurut suatu pendapat Fir’aun menjemur kedua tangan dan kedua kakinya di terik matahari, dan meletakkan sebongkah batu besar, di punggung Asiyah. Allah kemudian memperlihatkan kepada Asiyah rumahnya di surga.

Kisah Asiyah adalah kisah yang menjadi suriteladan bagi wanita-wanita mukmin. Ini adalah kisah Istri yang sholeh namun suaminya durhaka. Sesungguhnya suami adalah cobaan bagi istri, dan istri adalah cobaan bagi suami. Begitu juga anak-anak yang kita lahirkan dan besarkan.

Wahai para istri, jika mengalami siksaan oleh suami bersabarlah di jalan Allah, dan laksanakan shalat. Sesungguhnya orang-orang yang bersabar, dicintai Allah Ta’ala. Sabar itu tidak ada batasnya. Dengan cara yang Allah SWT perintahkan, dengan izin Allah Pula lah kita akan medapat kemuliaan. Semoga kita menjadi istri-istri yang mulia.


Islampos

Jilbab, Bukan Sekadar Trendi




JIKA di kota Paris para muslimah menuntut haknya untuk berjilbab, maka di negara yang mayoritas agamanya Islam ini menuntut para muslimahnya untuk mengenakan jilbabnya.

Jilbab adalah salah satu perintah Allah SWT yang wajib dipatuhi dan diamalkan oleh setiap muslimah yang telah baligh. Dan kewajiban seorang muslimah salah satunya ialah menutup auratnya. Maka dari itu suka maupun tidak suka, itu adalah perintah Allah SWT untuk kaum hawa. (Ada di surat Al-Ahzab : 59).

Banyak sekali cara untuk menjadikan jilbab agar terlihat modis. Mulai dari gaya khimarnya (kerudung) yang didesain secara rumit dan gamis yang didesain secara gaul. Maka dari itu, kaum hawa berbondong-bondong mengenakan jilbab tanpa mempedulikan sudah benar atau belum jilbab yang digunakannya. Sehingga jilbab yang sering digunakan tidak sesuai dengan syariat Islam.

Dari Abu Dawud, dari Aisyah berkata, bahwa Asma suatu kali mendatangi Rasulullah dengan mengenakan pakaian tipis lalu Rasulullah berkata kepadanya, “Wahai Asma, wanita yang telah haid, tidak boleh terlihat darinya kecuali ini dan ini, beliau mengisyaratkan ke mukanya dan telapak tangannya.” (HR. Abu Dawud no. 4104). Dari hadits tersebut bisa kita ketahui bahwa seorang muslimah harus memakai pakaian yang menutupi seluruh tubuhnya kecuali muka dan telapak tangannya, dan juga tidak tipis.

Dengan demikian tujuan jilbab adalah untuk melindungi diri dari godaan lelaki dan menghindar dari fitnah, dan juga jilbab yang dikenakannya pun harus sederhana, serta menutupi perhiasan wanita. Oleh karenanya Allah berfirman, “Dan janganlah menampakkan perhiasannya (QS. An-Nuur : 31). Maka dari itu bila wanita muslimah enggan memakai jilbab maka ia bisa dikatakan berpakaian tapi telanjang.

Lalu bagaimana solusinya? Tentunya dengan cara menanamkan pendidikan Islam secara menyeluruh dan berkesinambungan kepada para generasi muda umat ini dimulai dari mereka sendiri. Dan dengan cara dakwah pula kita bisa mengingatkan kaum muslim di seluruh dunia.


Islampos

Laknat Rasulullah untuk Praktik Suap Menyuap




Perilaku gratifikasi atau suap pernah terjadi di zaman Nabi Muhammad SAW sebagaimana yang dilakukan oleh Ibnu Al-Lutaibah yang diberi tugas sebagai pengelola zakat, lantas ia menyalahgunakan tugasnya (jabatan) untuk memperkaya diri. Suatu hari, Ibnu Al-Lutaibah seorang petugas zakat datang menghadap Rasulullah SAW untuk melaporkan dan menyerahkan hasil penarikan zakat dengan mengatakan: “Ini untukmu, dan yang ini telah dihadiahkan kepadaku!”
Rasulullah SAW seketika tersentak mendengar laporan keuangan zakat dari amil beliau yang berasal dari suku Uzdi. Dengan geram dan heran Rasulullah SAW berdiri di atas mimbar seraya mengatakan: “Ada apa gerangan seorang petugas yang kami utus untuk menjalankan suatu tugas lalu mengatakan: “Ini untukmu
(Wahai Rasulullah), dan yang ini telah dihadiahkan untukku!”

Kenapa ia tidak duduk saja di rumah bapak dan ibunya, lalu ia melihat apakah ia diberi hadiah atau tidak?”
Lanjutnya, “Demi Tuhan yang jiwa kalian berada di tangan-Nya, bahwa tiada yang membawa sesuatupun dari hadiah-hadiah tersebut kecuali ia akan membawanya sebagai beban tengkuknya pada hari kiamat.” (HR Imam Ahmad).

Melalui kisah di atas Rasulullah SAW menegaskan tentang larangan (haramnya) bagi pejabat atau pegawai di lingkungan manapun menyalahgunakan jabatannya untuk memperkaya diri dengan menerima gratifikasi di luar hak yang telah ditentukan untuknya.

Menurut UU No 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto UU No. 20/2001 bab penjelasan Pasal 12B ayat (1), gratifikasi adalah pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (diskon), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma dan fasilitas lainnya.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), mengungkapkan, sesuai Pasal 12B UU No. 20/2001, setiap gratifikasi pada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap sebagai pemberian suap, bila berhubungan dengan jabatan dan berlawanan dengan kewajibannya. Dalam Islam, seorang pegawai atau pejabat dianggap sebagai pengkhianat negara jika ia menerima gratifikasi terkait tugasnya. Dalam hal ini Rasulullah SAW bersabda, “Gratifikasi untuk pegawai atau pejabat adalah khianat” (HR Ahmad dan
Baihaqi).

Islam telah melarang dengan tegas memakan harta dengan cara yang tidak dibenarkan, termasuk harta dari hasil gratifikasi (QS al-Baqarah [2]: 188). Di kalangan masyarakat gratifikasi biasa disebut dengan banyak istilah, seperti money politics, uang sogok, uang kompromi, dan sejenisnya, tetapi esensinya
adalah suap.

Terkait suap, Rasulullah SAW melaknat penyuap dan orang yang menerima suap (HR Abu Daud). Dalam hadits yang lain, Rasul SAW pun melaknat penghubung antara penyuap dan yang disuap (HR
Hakim). Wallahu a’lam.


Republika

Rezeki Yang Dijamin



Hampir setiap manusia menginginkan rezeki melimpah ruah. Kalau perlu, dapat diwariskan untuk tujuh turunan. Sifat tamak, serakah, berfoya-foya dan kikir ikut menyertainya. Padahal, harta hanyalah titipan, alat untuk menjalankan tugas kekhalifahan, memakmurkan bumi, dan beribadah kepada-Nya.

Janganlah mencari harta membuat kita lalai dari kewajiban beribadah. Karena, Allah Yang Maha Rahman dan Rahim menciptakan makhluk disertai dengan rezekinya masing-masing. Dalam Alquran surah Hud ayat 6 disebutkan, “Dan tidak ada binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberikan rezekinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam Lauhul Mahfuzh.”

Seperti kisah mashur seorang sufi bernama Abul Hasan al-Mishri yang menjalani hidup zuhud. Pada usia senjanya, meninggalkan jabatan di pemerintahan dengan gaji 50 dinar per bulan. Beliau beruzlah di menara Masjid Jami’ Amr bin al-Ash sampai akhir hayatnya.

Konon, Al-Mishri memilih hidup zuhud karena seekor kucing yang selalu datang ke rumahnya setiap pagi menunggu untuk diberikan makanan. Ketika diberi, kucing itu tidak langsung memakannya, tapi membawanya pergi. Karena penasaran, Al-Mishri membuntuti kucing itu. Ternyata, makanan itu dibawanya ke suatu gubuk. Di sana terdapat kucing lain yang buta. Makanan itu ia letakkan dihadapan kucing yang buta tersebut. Rupanya, dari situlah kucing buta tersebut mendapatkan makanannya sehari-hari.

Al-Mishri terkesima melihat pemandangan yang tak biasa tersebut dan ia bergumam, “Zat yang telah menjadikan kucing ini sebagai pelayan bagi kucing buta yang melarat itu sangat bisa membuatku tidak butuh kepada dunia ini.”

Dari kisah di atas, dapat diambil pelajaran bahwa dari kehidupan binatang pun manusia dapat belajar, tersadar dari kelalaiannya kepada Allah SWT. Kita sering kali sombong terhadap apa yang telah dimiliki, lupa bahwa apa yang diperoleh, selain merupakan usaha, juga ada campur tangan Allah sang pemberi rezeki.

Rasulullah SAW menegaskan, “Seandainya kalian bertawakal kepada Allah dengan tawakal yang sesungguhnya, niscaya Allah memberi rezeki kepada kalian sebagaimana Dia memberi rezeki kepada burung. Burung berangkat pada pagi hari dengan perut kosong dan pulang dengan perut yang penuh.” (HR Ahmad, At-Tirmidzi, An-Nasa’i, dan Hakim dari Umar bin al-Khatthab).

Hanya saja, mesti disadari, sudah menjadi sunnatullah ada yang mendapat kelebihan rezeki, tapi ada pula yang hanya dipenuhi kebutuhan primernya atau disempitkan. Hal ini ditegaskan Allah dalam Alquran surah Al-Baqarah ayat 212, “…Dan Allah memberi rezeki kepada orang-orang yang dikehendakinya tanpa batas.”

Dalam makna yang sama, Allah menyampaikan bahwa akan ada orang-orang yang diberikan rezeki melimpah, sebagaimana tertera dalam surah Ali Imran ayat 27 dan 37. Bahkan, ditegaskan pula, bila Allah SWT menghendaki, mungkin saja ada yang diluaskan rezekinya atau disempitkan. Seperti yang disampaikannya dalam surah ar-Ra'd ayat 26, “Allah meluaskan rezeki dan menyempitkannya bagi siapa yang Dia kehendaki.”

Kepada mereka yang berlebih, hendaknya selalu bersyukur dan membantu yang kekurangan. Sementara, bagi mereka yang kekurangan, hendaknya bersabar, terus berusaha, tetap bersyukur atas karunia yang diberikan oleh-Nya, dan menjaga iman. Karena, kefakiran cenderung mendorong manusia kepada kekafiran.

Keyakinan bahwa rezeki dijamin Allah SWT tidak berarti hidup yang dijalani tidak produktif. Bekerja keraslah sekuat tenaga agar kita tidak meninggalkan keluarga dan keturunan dalam kefakiran.

Menjadi kewajiban kita untuk berusaha sekuat tenaga agar selain mampu memenuhi kebutuhan pribadi dan keluarga, juga membantu orang lain. Ingatlah, sebaik-baiknya manusia adalah yang bermanfaat bagi manusia lainnya. Wallahu’alam.


Republika