رَبِّ اغْفِرْ لِي وَهَبْ لِي مُلْكًا لا يَنْبَغِي لأحَدٍ مِنْ بَعْدِي إِنَّكَ أَنْتَ الْوَهَّابُ


"Ya Rabb-ku, ampunilah aku, dan anugerahkanlah kepadaku kerajaan, yang tidak dimiliki oleh seorangpun juga sesudahku, sesungguhnya Engkaulah Yang Maha pemberi’."

Jumat, 15 Agustus 2014

Misteri Nabi Khaidir


Sebagian kita ada yang menganggap ‘Nabi Khidir “  sampai sekarang  belum wafat, untuk mengajarkan berbagai hikmah kepada manusia.. Bagaimanakah sejatinya nabi Khidir itu?
  .
“ Lalu keduanya bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah kami berikan rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi kami..
(Qs  Al kahfi : 65)

Menurut jumuhul mafassirin (mayoritas ahli tafsir) sejak dari Ibnu Abbas, Al Thabari, Al Qurthubi, Ibnu Katsir sampai penafsir kontemporer Ahmad Musthafa al Maraghi bahwa yang dimaksud keduanya pada ayat ini adalah Nabi Musa Alaihi Salam dan anak muda pengiringnya (pembantunya) Yusya’ bin Nun. Sementara yang dimaksud seorang diantara hamba-hamba Kami adalah Nabi Khidr Alaihi Slama. Tetapi penafsir kontemporer yang lain yaitu as Syahid Sayid Quthb, penyusun tafsir fi dzilalil Qur’an tidak menyebut nama Khidr ketika menafsirkan ayat ini. Dia hanya menyebut-nyebut al abdus shalih (hamba yang shalih) saja. Dia berpendirian demikian sebab di dalam ayat-ayat yang berhubungan dengan kisah ini (QS Al Kahfi 65-82) tidak pernah disebut nama Khidr dan karenanya beliau merasa lebih baik membiarkan sosok ini tetap rahasia seperti yang termaktub dalam Al Qur’an

SIAPAKAH NABI KHIDIR ITU?

Sosok nabi Khidir Alaihi Salam yang menurut Jumhurul Mufasirin sebagi nabi yang dijadikan oleh Nabi Musa Alaihi Salam sebagai gurunya, telah menimbulkan kontroversi di kalangan ulama sejak dahulu samapai sekarang. Khidr atau khadhir atau Khidhir berasal dari bahasa Arab yang artinya hijau. Menurut riwayat Mujahid apabila dia shalat rumput-rumput kering yang disekelililngnya akan menjadi hijau. Segolongan orang terutama dari kalangan kaum shufi mengatakan bahwa dia masih hidup sampai sekarang. Banyak cerita lainnya, tetapi kebanyakan cerita tersebut berasal dari kisah-kisah israiliyat. Dan tentang beliau masih hidup sampai sekarang bertentangan dengan ayat Allah :

 Kami tidak menjadikan hidup abadi bagi seorang manusiapun sebelum kamu (Muhammad), maka jikalau kamu mati, apakah mereka akan kekal?  Tiap –tiap yang berjiwa akan merasakan mati 
(Qs Al Anbiya : 34-35)

Imam Bukhari dan beberapa perawi hadis yang lain menegaskan Nabi Khidr Alaihi Salam telah wafat

Hikmah dari kisah ini , Adab menuntut ilmu

AI Imam Fakhrur Razi mengatakan,” Ketahuilah , ayat ini (Qs  al Kahfi: 66) menunjukan bahwa Nabi Musa memperhatikan adab serta tata cara yang cukup banyak dan lunak ketika ingin belajar dari nabi Khidir. Tata cara tersebut antara lain :

Nabi Musa merendah’kan dirinya dengan bertanya secara halus , “ Apakah engkau mengizinku untuk  mengikutimu? Padahal kita tahu Nabi Musa adalah seorang nabi Ulul Azmi yang pernah bercakap-cakap dengan Allah dan memimpin Bani Israil. Dia pula satu-satunya Nabi yang disebut namanya dalam Al Qur’an sebanyak 300 Kali!

Kemudian nabi Musa mengatakan “ Supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar..” ini membuktikan kepribadian luhur dan sifat tawadlu untuk  mengakui akan kebodohan dirinya di hadapan sang guru. Dan beberapa adab lainnya

Hikmah kisah ini juga menyampaikan salah satu etika dalam menuntut ilmu (al Qur’an) adalah bahwa ilmu harus dicari dari sumbernya . Ia harus didatangi walau jauh tempatnya dan kesulitan  dalam menempuhnya. Dan Nabi Musa mencontohkan bagaimana ia walaupun seorang nabi pilihan (ulul azmi) yang sekaligus pemimpin , siap menempuh suatu perjalanan untuk mencari ilmu.

Nasihat  Khidir kepada Musa

Dari Umar bin Al Khattab Radiyallahu Anhu , bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa sallam bersabda, “ Saudaraku, Musa Alaihissalam berkata, Wahai Rabbi .., tampakanlah kepadaku orang yang engkau tampakkan kepadaku di perahu..”

Allah menurunkan wahyu kepada Musa ,” Hai  Musa kamu  akan melihatnya..”
Tak berapa lama kemudian datang Khidir, dengan aroma yang harum dan mengenakan pakaian berwarna putih. Khidir berkata, “ Salam sejahtera atasmu wahai Musa bin Imran. Sesungguhnya Rabbmu menyampaikan salam kepadamu beserta rahmatNYa..

Musa berkata,” Dialah As-Salam dan  kepada-Nya kesejahteraan serta dari Nya kesejahteraan. Segala puji bagi Allah Rabbul-alamin yng nikmat-nikmatNya tidak dapat kuhitung dan aku tidak dapat bersyukur kepada-Nya kecuali dengan petolongan-Nya. Kemudian Musa berkata, “ Aku Ingin engkau memberiku nasihat dengan suatu nasihat yang dengannya Allah memberikan manfaat kepadaku sepeninggalmu.”

Khidir berkata,” Wahai pencari ilmu, sesungguhnya orang yang berbicara tidak lebih mudah jemu daripada orang yang mendengarkan. Maka janganlah kau buat orang-orang yang ada disekitarmu menjadi jemu ketika engkau berbicara kepada mereka. Ketahuilah bahwa hatimu merupakan bejana. Kenalilah dunia dan buanglah ia dibelakangmu, karena dunia bukan merupakan tempat tinggalmu, dan apa yang ditetapkan bagimu tidak ada di sana. Dunia dijadikan sebagai perantara hidup hamba, agar mereka mencari bekal darinya untuk tempat kembali. Hai Musa , letakkanlah dirimu pada kesabaran, tentu engkau akan selamat dari dosa. Wahai Musa, pusatkanlah minatmu pada ilmu kalau memang engkau menghendakinya. Sesungguhnya ilmu itu bagi orang yang berminat kepadanya.

Janganlah engkau menjadi mudah kagum kepada perkataan yang disampaikan panjang lebar, karena banyak perkataan mendatangkan aib bagi orang yang berilmu dan dapat membocorkan rahasia yang mestinya ditutupinya.Tetapi semestinya engkau berkata sedikit karena yang demikian itu termasuk taufiq dan kebenaran. Berpalinglah dari orang bodoh dan bersikaplah secara lemah lembut terhadap orang yang dungu, karena yang demikian itu merupakan kelebihan para ahli hikmah dan hiasan orang-orang yang berilmu. Jika ada orang bodoh yang mencacimu , diamlah di depannya lalu menyingkir dari sisinya secara hati-hati karena kelanjutannya tetap menggambarkan kebodohannya terhadap  dirimu dan caciannya akan semakin bertambah gencar dan banyak. Wahai anak keturunan Imran, janganlah engkau terlihat memiliki ilmu kecuali hanya sedikit. Sesungguhnya asal keluar dan asal berbuat merupakan tindakan menceburkan diri kepada sesuatu yang tidak jelas dan memaksakan diri. Wahai anak Imran janganlah sekali-kali engkau membukakan pintu yang tidak engkau ketahui untuk apa pintu itu ditutup dan jangan tutup pintu yang tidak engkau ketahui untuk apa ia di buka.

Wahai anak Imran, siapa yang tidak berhenti dari dunia, maka dunia itu yang akan melahapnya. Mana mungkin seseorang menjadi ahli ibadah jika hasratnya kepada dunia tidak pernah habis? Siapa yang menghinakan keadaan dirinya dan membuat tuduhan terhadap Allah tentang apa yang ditakdirkan baginya, mana mungkin kan menjadi orang zuhud? Adakah orang yang telah dikalahkan hawa nafsunya akan berhenti dari syahwat? Mana mungkin pencarian ilmu masih bermanfaat bagi orang yang dipagari kebodohan? Perjalanan akan menunjukkan ke akhirat dengan meninggalkan dunia .

Wahai Musa belajarlah apa engkau amalkan agar engkau mengamalkannya dan janganlah engkau menampakkan amalmu agar disebut-sebut , sehingga engkau mendapat kerusakan dan orang lain mendapat cahaya. Wahai anak Imran, jadikanlah zuhud dan taqwa pakaianmu, jadikanlah ilmu dan zikir sebagai perkataanmu, karena yang demikian itu membuatmu Rabbmu ridha. Berbuatlah kebaikan karena engkau juga harus melakukan yang lainnya. Engkau telah mendapatkan nasihatnya jika engkau menghafalkannya”.

Setelah itu Khidir berbalik meninggalkannya, sehingga tinggal sendirian Musa dalam keadaaan sedih. (Diriwayatkan Ath Thbrany dalam Al Ausath, di dalam nya ada Zakaria bin Yahnya Al Wafad, yang didhaifkan tidak hanya oleh satu orang, Ibnu Hibband dalam At Tsiqat. Dia menyebutkan bahwa dia salah dalam  kemaushullannya. Yang benar , didalamnya ada riwayat dari Sufyan Ats Tsaury, bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam mengatakannya, dan rijal yang lainnya tsiqat. Majma”Az Zawa’id, 10/224)

Eramuslim

Seorang Muslim Dengan Mental Pecundang



Salah satu penyakit menonjol kaum Muslimin dewasa ini ialah terjangkiti Defeated Mentality (Mental Pecundang). Tidak sedikit saudara muslim kita yang malu menampilkan identitas ke-Islam-annya di tengah masyarakat. Ia sangat khawatir bila dirinya memperlihatkan segala sesuatu yang terkait dengan nilai-nilai Islam maka ia akan diejek, dipandang rendah, diasingkan, dikucilkan, ditolak bahkan dimusuhi. Inilah yang menyebabkan tidak sedikit pegawai kantoran yang membiarkan dirinya menunda bahkan meninggalkan sholat bila mendapati dirinya sedang “terjebak” di dalam suatu meeting panjang.

Tidak sedikit muslimah yang ragu untuk berjilbab karena tidak siap menghadapi “komentar negatif” orang-orang di sekelilingnya. Dan banyak daftar contoh lainnya. Padahal menampilkan identitas Islam merupakan perintah Allah

فَإِنْ تَوَلَّوْا فَقُولُوا اشْهَدُوا بِأَنَّا مُسْلِمُونَ

Jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka: “Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah).”
(QS. Ali Imran [3] : 64)

Keberpalingan orang lain dari agama Allah سبحانه و تعالى tidak berarti kitapun harus ikut-ikutan berpaling darinya. Berjalanlah di tengah masyarakat dengan identitas Islam yang jelas terlihat. Sebab menampilkan identitas Islam merupakan bukti seorang muslim siap beribadah kepada Rabbnya dalam situasi dan kondisi apapun. Di manapun dan di hadapan siapapun. Memperlihatkan perilaku dan akhlak Islam merupakan bukti seorang muslim meyakini bahwa sosok Nabi Muhammad صلى الله عليه و سلم merupakan teladan utama bagi dirinya yang perlu ia contoh begaimanapun situasi dan kondisi yang melingkupi dirinya. Seorang muslim tidak dibenarkan membiarkan dirinya berperilaku laksana bunglon. Berubah warna menyesuaikan diri dengan warna di sekitar dirinya. Warna Islam harus menjadi warna seorang muslim betapapun ramainya aneka warna lainnya di sekitar dirinya. Muslim yang tidak konsisten menampilkan identitas Islamnya merupakan orang yang memiliki mentalitas pecundang. Ia telah kalah sebelum bertarung.
Apa sebenarnya yang menyebabkan banyak muslim dewasa ini ber-mental pecundang? Banyak sebabnya. Di antaranya ialah:
  1. Tidak memiliki keyakinan yang mantap bahwa sesungguhnya Allah سبحانه و تعالى pasti menolong orang yang menolong (agama) Allah سبحانه و تعالى. Dia ragu apakah benar jika dirinya tampil dengan identitas Islam ia bakal ditolong Allah سبحانه و تعالى? Sehingga akhirnya dia menawar dalam hal ini. Dia mulai mencari identitas lain yang dia sangka jika ia tampilkan –baik bersama dengan identitas Islam maupun tidak- maka manusia di sekitar akan memberikan apresiasi kepada dirinya. Ia akan dianggap sebagai orang yang lebih “mudah diterima”. Padahal jelas Allah سبحانه و تعالى berfirman:

    يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ تَنْصُرُوا اللَّهَ يَنْصُرْكُمْ وَيُثَبِّتْ أَقْدَامَكُمْ

    Hai orang-orang yang beriman, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu.
    (QS. Muhammad [47] : 7)
  2. Dia silau melihat kaum kafir yang Allah sedang berikan kesempatan memimpin dunia dewasa ini di zaman yang penuh fitnah (baca: ujian) bagi kaum yang beriman. Lalu dalam rangka supaya bisa segera menyaingi keberhasilan kaum kafir, maka diapun mengikuti jejak langkah, tabiat dan kebiasaan kaum kafir. Jika kaum kafir bisa meraih kemenangan tanpa menghiraukan keterlibatan agama dalam urusan kehidupan sosial, politik dan ekonomi, maka iapun menganggap bahwa hal itu juga bisa diraih oleh ummat Islam jika paham sekularisme turut dikembangkan di tengah kaum muslimin. Akhirnya ia beranggapan bahwa identitas berdasarkan kesamaan bangsa lebih dapat diandalkan daripada identitas berdasarkan kesamaan aqidah dan ketundukan kepada Allah, Rabb Pencipta, Pemilik, Pemelihara dan Penguasa alam raya. Paham nasionalisme yang merupakan ideologi produk manusia dipercaya dapat “lebih menjual” daripada ideologi dienullah (agama Allah) Al-Islam yang bersumber dari Allah سبحانه و تعالى . Alhasil keyakinan bahwa Allah سبحانه و تعالى merupakan sebab bersatunya hati manusia digantikan dengan man-made ideologies sebagai sebab persatuan dan kesatuan umat manusia. Padahal jelas Allah سبحانه و تعالى berfirman:

    وَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِهِمْ لَوْ أَنْفَقْتَ مَا فِي الأرْضِ جَمِيعًامَا أَلَّفْتَ بَيْنَ قُلُوبِهِمْ وَلَكِنَّ اللَّهَ أَلَّفَ بَيْنَهُمْ

    “Dan (Allah) Dialah Yang mempersatukan hati mereka (orang-orang yang beriman). Walaupun kamu membelanjakan semua (kekayaan) yang berada di bumi, niscaya kamu tidak dapat mempersatukan hati mereka, akan tetapi Allah telah mempersatukan hati mereka.”
    (QS. Al-Anfal [8] : 63)
  3. Dia mudah terjebak oleh paham-paham sesat modern yang bertentangan dengan ajaran Islam. Sementara ada sebagian ummat Islam bahkan tokoh Islam yang justeru mendukung paham-paham tersebut. Dukungan yang diberikan kadang-kala dijabarkan dalam tulisan-tulisan yang berdalilkan ayat dan hadits pula. Di antaranya adalah seperti paham Pluralisme, Sekularisme, Humanisme serta Demokrasi. Memang harus diakui bahwa jika seorang muslim tidak memiliki ilmu yang cukup dan rajin membaca berbagai tulisan para ulama dan pemikir Islam yang kritis membedah kesesatan paham-paham tersebut, niscaya dia akan dengan mudah menelan berbagai pandangan yang mendukung dan menjustifikasi keabsahan paham-paham tadi. Sebab media yang pada umumnya sekuler lebih condong memuat pendapat yang sejalan dengannya. Hanya sedikit sekali media Islam yang cukup cerdas membongkar bahayanya paham-paham tadi. Karena disamping kecerdasan juga diperlukan keberanian untuk menentang arus yang mengkampanyekannya. Itulah rahasianya Allah سبحانه و تعالى memerintahkan ummat Islam agar tidak mudah ikut arus yang ramai.

    وَإِنْ تُطِعْ أَكْثَرَ مَنْ فِي الأرْضِ يُضِلُّوكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ إِنْ يَتَّبِعُونَ إِلا الظَّنَّ وَإِنْ هُمْ إِلا يَخْرُصُونَ

    “Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah).”
    (QS. Al-An’aam [6] : 116)
  4.  Dia tidak cukup sabar meniti jalan sulit dan mendaki sesuai sunnah (tradisi) cara berjuang Nabi Muhammad صلى الله عليه و سلم untuk meraih janji kemenangan agama Allah سبحانه و تعالى di dunia. Dia mengira bahwa jadwal kemenangan ummat Islam mesti ditentukan oleh perhitungan akal dirinya sendiri. Padahal segala sesuatu memiliki dan mengikuti sunnatullah. Akhirnya demi segera tercapainya kemenangan ia rela berjalan dan berjuang tidak lagi mencontoh sunnah Nabi Muhammad صلى الله عليه و سلم Mulailah dia memandang para mujahidin yang sejatinya berada di atas jalan Allah سبحانه و تعالى justeru sebagai kalangan yang bodoh, tidak progressif dan tidak realistis. Sedangkan para kolaborator (baca: para pengkhianat) justeru dipandangnya sebagai kalangan yang berpandangan luas, progressif dan realistis dalam berjuang. Mereka lupa bahwa kalah dan menang merupakan tabiat hidup di dunia. Tidak mungkin ummat Islam terus-menerus meraih kemenangan di dunia sebagaimana tidak mungkin kaum kafir pasti selalu mengalami kekalahan di dunia. Allah سبحانه و تعالى menggilir masa kejayaan dan kemenangan di antara ummat manusia. Ada masanya ummat Islam berjaya, ada masanya ummat Islam terpuruk. Ada masanya kaum kafir terpuruk, ada masanya mereka diizinkan Allah meraih kemenangan di dunia. 

    إِنْ يَمْسَسْكُمْ قَرْحٌ فَقَدْ مَسَّ الْقَوْمَ قَرْحٌ مِثْلُهُوَتِلْكَ الأيَّامُ نُدَاوِلُهَا بَيْنَ النَّاسِ وَلِيَعْلَمَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُواوَيَتَّخِذَ مِنْكُمْ شُهَدَاءَ وَاللَّهُ لا يُحِبُّ الظَّالِمِينَ

     “Jika kamu (pada perang Uhud) mendapat luka, maka sesungguhnya kaum (kafir) itu pun (pada perang Badar) mendapat luka yang serupa. Dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu, Kami pergilirkan di antara manusia (agar mereka mendapat pelajaran); dan supaya Allah membedakan orang-orang yang beriman (dengan orang-orang kafir) dan supaya sebagian kamu dijadikan-Nya (gugur sebagai) syuhada. Dan Allah tidak menyukai orang-orang yang zalim.” 
    (QS. Ali Imran [3] : 140)

    Yang pasti, hanya kaum beriman sejati sajalah yang selamanya akan berjaya dan bahagia di akhirat. Dan hanya kaum kafirlah —beserta kaum munafiq yang berkolaborasi dengan mereka— yang selamanya bakal merugi dan menderita kekalahan sejati di akhirat kelak nanti.
Begitu kita menyadari bahwa secara konteks zaman kita ditaqdirkan Allah سبحانه و تعالى lahir ke dunia di era dimana giliran kekalahan sedang menimpa ummat Islam dan giliran kejayaan sedang Allah taqdirkan berada di tangan kaum kuffar, maka kita segera sadar bahwa ini merupakan era badai fitnah (baca: badai ujian). Dengan legowo kita harus mengakui bahwa ummat Islam dewasa ini sedang babak belur dan kaum kafir sedang berjaya secara duniawi. Tapi itu bukan alasan untuk kemudian kita meniti kehidupan di dunia ini dengan defeated mentality (mental pecundang). Ini sama sekali bukan alasan ummat Islam untuk meninggalkan jalan hidup Islam dan malah mengadopsi jalan hidup kaum kuffar.

وَلا تَهِنُوا وَلا تَحْزَنُوا وَأَنْتُمُ الأعْلَوْنَ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ

“Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman.” 
(QS. Ali Imran [3] : 139)

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَدَأَ الْإِسْلَامُ غَرِيبًا وَسَيَعُودُ كَمَا بَدَأَ غَرِيبًا فَطُوبَى لِلْغُرَبَاءِ

Dari Abu Hurairah dia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: ‘Islam muncul dalam keadaan asing, dan ia akan kembali dalam keadaan asing,maka beruntunglah orang-orang yang terasing’.” 
(HR. Muslim No. 208)

Eramuslim

Jihadnya Seorang Ibu



Islam mengajarkan bahwa kaum ibu merupakan fihak yang sangat istimewa dan tinggi derajatnya. Oleh karena itu kita sangat akrab dengan hadits yang menjelaskan keharusan seorang sahabat agar memprioritaskan berbuat baik kepada ibunya. Bahkan Nabi shollallahu ’alaih wa sallam menyebutkan keharusan tersebut sebanyak tiga kali sebelum beliau akhirnya juga menganjurkan sahabat tadi agar berbuat baik kepada ayahnya. Jadi ibaratnya keharusan menghormati dan berbuat baik seorang anak kepada ibunya sepatutnya lebih banyak tiga kali lipat daripada penghormatan dan perilaku baiknya terhadap sang ayah.

أَخْبَرَنَا بَهْزُ بْنُ حَكِيمٍ حَدَّثَنِي أَبِي عَنْ جَدِّي قَالَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَنْ أَبَرُّ قَالَ أُمَّكَ قَالَ قُلْتُ ثُمَّ مَنْ قَالَ أُمَّكَقَالَ قُلْتُ ثُمَّ مَنْ قَالَ أُمَّكَ قَالَ قُلْتُ ثُمَّ مَنْ قَالَثُمَّ أَبَاكَ ثُمَّ الْأَقْرَبَ فَالْأَقْرَبَ

Bahaz Ibnu Hakim, dari ayahnya, dari kakeknya Radliyallaahu ‘anhu berkata: Aku bertanya: Wahai Rasulullah, kepada siapa aku berbuat kebaikan?. Beliau bersabda: “Ibumu.” Aku bertanya lagi: Kemudian siapa?. Beliau bersabda: “Ibumu.” Aku bertanya lagi: Kemudian siapa?. Beliau bersabda: “Ibumu.” Aku bertanya lagi: Kemudian siapa?. Beliau bersabda: “Ayahmu, lalu yang lebih dekat, kemudian yang lebih dekat.” 
(HR. Abu Dawud dan Tirmidzi)

Kita juga sangat akrab dengan hadits yang menyebutkan beberapa dosa besar dimana salah satunya ialah durhaka kepada kedua orangtua, yaitu ayah dan ibu. Di antaranya disebutkan sebagai berikut:

عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ سُئِلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَعَنْ الْكَبَائِرِ قَالَ الْإِشْرَاكُ بِاللَّهِ وَعُقُوقُ الْوَالِدَيْنِوَقَتْلُ النَّفْسِ وَشَهَادَةُ الزُّورِ

Dari Anas ia berkata: Nabi shollallahu ’alaih wa sallam ditanya mengenai dosa-dosa besar, maka beliau bersabda: “Mempersekutukan Allah, durhaka kepada kedua orang-tua, membunuh jiwa dan kesaksian palsu.” 
(HR. Bukhari)

Bahkan di dalam hadits lainnya disebutkan bahwa kedua orang-tua merupakan faktor yang sangat besar mempengaruhi apakah seseorang bakal menuju ke surga ataukah ke neraka. Artinya, perilaku baik seseorang kepada kedua orang-tuanya bakal memperbesar kemungkinannya berakhir di dalam rahmat Allah dan surga-Nya. Sedangkan kedurhakaannya kepada kedua orang-tua bakal memperbesar kemungkinan hidupnya berakhir di dalam murka Allah dan neraka-Nya.

عَنْ أَبِي أُمَامَةَ أَنَّ رَجُلًا قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِمَا حَقُّ الْوَالِدَيْنِ عَلَى وَلَدِهِمَا قَالَ هُمَا جَنَّتُكَ وَنَارُكَ

Dari Abi Umamah ia berkata: “Ada seorang lelaki berkata: “Ya Rasulullah, apakah hak kedua orang-tua atas anak mereka?” Rasulullah shollallahu ’alaih wa sallam bersabda: ”Keduanya (merupakan) surgamu dan nerakamu.”
(HR. Ibnu Majah)

Hal ini sejalan dengan hadits berikut ini:  

Dari Abdullah Ibnu Amar al-’Ash Radliyallaahu ‘anhu bahwa Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Keridhaan Allah tergantung kepada keridhaan orang tua dan kemurkaan Allah tergantung kepada kemurkaan orang tua.” 
(HR. Tirmidzi)

Namun yang menarik ialah ditemukannya hadits yang secara khusus mengungkapkan haramnya durhaka kepada sang ibu. Sedangkan hal ini tidak kita temukan dalam kaitan dengan larangan berlaku durhaka kepada sang ayah. Sudah barang tentu ini tidak berarti bahwa berlaku durhaka kepada fihak ayah dibenarkan. Yang jelas dengan adanya larangan khusus berlaku durhaka kepada fihak ibu cuma menunjukkan betapa ajaran Islam sangat menjunjung tinggi martabat kaum ibu.

قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ اللَّهَ حَرَّمَ عَلَيْكُمْ عُقُوقَ الْأُمَّهَاتِ

Bersabda Nabi shollallahu ’alaih wa sallam: “Allah melarang kalian durhaka kepada ibu kalian.” (HR. Bukhari)

Dalam hadits lain kita juga dapati bagaimana Islam menyuruh menghormati ibu sekalipun ia bukan orang beriman seperti hadits yang diriwayatkan oleh Asma puteri sahabat Abu Bakar Ash-Shiddiq berikut ini:

عَنْ أَسْمَاءَ بِنْتِ أَبِي بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَتْقَدِمَتْ عَلَيَّ أُمِّي وَهِيَ مُشْرِكَةٌ فِي عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِصَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَاسْتَفْتَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَقُلْتُ قَدِمَتْ عَلَيَّ أُمِّي وَهِيَ رَاغِبَةٌ أَفَأَصِلُ أُمِّي قَالَ نَعَمْ صِلِي أُمَّكِ

Asma binti Abu Bakar berkata: “Telah datang kepadaku ibuku dan dia seorang wanita musyrik di zaman Rasulullah shollallahu ’alaih wa sallam. Maka aku datang kepada Rasulullah shollallahu ’alaih wa sallam meminta fatwa beliau. Aku bertanya kepada beliau: ”Telah datang kepadaku ibuku sedangkan ia punya suatu keperluan. Apakah aku penuhi permintaan ibuku itu?” Maka Nabi shollallahu ’alaih wa sallam bersabda: ”Iya, penuhilah permintaan ibumu itu.” 
(HR. Bukhari)

Mengapa kaum ibu sedemikian diutamakan? Karena mereka adalah fihak yang sejak masih mengandung anak saja sudah merasakan beban memikul tanggung-jawab membesarkan anak-anaknya. Mereka adalah pendamping, penyayang, pengasuh dan pengajar pertama dan utama bagi seorang anak. Ibu adalah fihak yang paling banyak direpotkan oleh anak semenjak mereka masih kecil. Begitu lahir anak menuntut air susu ibunya. Keinginan minum ASI seringkali tidak pandang waktu. Bisa jadi seorang ibu di tengah malam ”terpaksa” bangun mengorbankan waktu istirahatnya demi menyusui buah hatinya.

Seorang ibu juga direpotkan ketika anaknya ngompol dan buang air besar. Ibulah yang biasanya harus mencebok dan membersihkan anaknya. Semakin ikhlas seorang ibu mengerjakan semua aktifitas tadi maka semakin melekatlah si anak kepada dirinya. Di balik segala kerepotan tadi sesungguhnya terjalinlah ikatan hati yang semakin kokoh antara ibu dan anak. Itulah sebabnya ketika seseorang sudah dewasa sekalipun, tatkala dalam kesepian tidak jarang rasa rindu akan belaian tangan ibunya yang penuh kasih sayang terkenang kembali.

Dalam pepatah Arab ada ungkapan berbunyi Al-Ummu madrasah (ibu adalah sekolah). Benar, saudaraku. Seorang ibu merupakan sekolah pertama bagi setiap anak. Ibulah yang pertama kali mengajarkan banyak pelajaran awal tentang kehidupan kepada anak. Apalagi di zaman penuh fitnah seperti sekarang dimana al-ghazwu al-fikri (perang pemikiran/ perang budaya/ perang ideologi) datang menyerbu rumah-rumah kaum muslimin. Serbuan itu datang dari berbagai penjuru. Bisa dari televisi, internet, facebook, buku bacaan, komik, majalah, nyanyian, musik, pergaulan bahkan dari sekolah formal…! Maka kehadiran seorang ibu yang memiliki wawasan pengetahuan luas menjadi laksana penjaga benteng terakhir bagi anak-anaknya. Ibulah yang bertugas membentengi, memfilter dan mengarahkan anak-anak menghadapi berbagai serbuan perang budaya tadi.

Di masa kita dewasa ini saat mana faham ateisme, materialisme, sekularisme, liberalisme dan pluralisme begitu dominan mewarnai kehidupan masyarakat dunia, maka kehadiran seorang ibu sendirian mendampingi anak-anaknya kadang dirasa kurang memadai. Sehingga kerjasama antara ayah-mukmin dan ibu-mukminah sangat diperlukan. Dalam dunia modern anak-anak kita sangat perlu pengarahan yang sangat kokoh dan kompak dari kedua orang-tuanya sekaligus untuk meng-counter serangan musuh-musuh Islam yang pengaruh buruknya semakin hari semakin hegemonik.

Betapapun, seorang ayah tidak mungkin diharapkan untuk terus-menerus berada di rumah karena tuntutan mencari ma’isyah (penghasilan) bagi anak-isterinya. Oleh karenanya kehadiran dan keaktifan peran seorang ibu di rumah mendampingi anak-anaknya menjadi sangat strategis. Oleh karenanya Nabi shollallahu ’alaih wa sallam menyetarakan hadir dan aktifnya seorang ibu mendampingi anak-anaknya di rumah dengan aktifitas jihad fi sabilillah yang dilakukan oleh kaum pria di medan perang menghadapi musuh-musuh Allah.

عن أنس، رضي الله عنه، قال: جئن النساء إلى رسول اللهصلى الله عليه وسلم فقلن: يا رسول الله، ذهب الرجالبالفضل والجهاد في سبيل الله تعالى، فما لنا عمل ندرك بهعمل المجاهدين في سبيل الله؟ فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم:”من قعد -أو كلمة نحوها -منكن في بيتها فإنها تدركعمل المجاهدينفي سبيل الله”.

Dari Anas Radhiyallahu ‘anhu ia berkata: Kaum wanita datang menghadap Rasulullah shollallahu ’alaih wa sallam bertanya: “Ya Rasulullah, kaum pria telah pergi dengan keutamaan dan jihad di jalan Allah. Adakah perbuatan bagi kami yang dapat menyamai ’amal para mujahidin di jalan Allah?” Maka Rasulullah shollallahu ’alaih wa sallam bersabda: ”Barangsiapa di antara kalian berdiam diri di rumahnya maka sesungguhnya ia telah menyamai ’amal para mujahidin di jalan Allah.”
(HR. Al-Bazzar)

Wahai kaum ibu, ikhlaslah dan sabarlah menjaga pos jihad kalian. Didiklah generasi masa depan calon-calon mujahidin dan mujahidat fii sabilillah harapan ummat….! 

Eramuslim

Ketentuan Berpakaian



Salah satu misi Islam adalah memuliakan kaum wanita. Bentuk pemuliaan tersebut, di antaranya, melalui perintah menutup aurat, agar terjaga dari pandangan orang lain, sekaligus menghindarkan fitnah.

Allah SWT berfirman, “Hai anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutup auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan. Dan, pakaian takwa itulah yang paling baik.” (QS al-A’raf [7]: 26).

Pakaian merupakan salah satu nikmat besar yang Allah berikan kepada hamba-hamba-Nya. Salah satu cara mensyukuri nikmat pakaian itu adalah dengan mengenakan pakaian sesuai tuntunan-Nya.

Oleh karena itu, Islam memberikan ketentuan dalam mengenakan pakaian. Pertama, menutupi seluruh badan, kecuali wajah dan telapak tangan. Rasulullah SAW bersabda, “Wahai Asma, sesungguhnya perempuan itu apabila telah sampai umur (dewasa), maka tidak patut menampakkan sesuatu dari dirinya melainkan ini dan ini. Rasul berkata sambil menunjukkan pada muka dan telapak tangan hingga pergelangannya sendiri.” (HR Abu Dawud).

Kedua, tidak ketat. Memakai pakaian yang ketat akan menampakkan bentuk tubuh yang ditutupinya. Seseorang yang mengenakan pakaian ketat seakan tidak berpakaian alias telanjang. Sehingga, hal itu dapat memancing syahwat dan menjadi sebab timbulnya hal-hal yang tidak diinginkan.

Ketiga, tidak tipis. Pakaian yang tipis akan menampakkan warna kulit yang akan semakin memancing syahwat dan melahirkan fitnah.

Keempat, tidak menyerupai pakaian laki-laki dan begitu juga sebaliknya. Sabda Nabi Muhammad SAW, “Allah melaknat laki-laki yang memakai pakaian wanita dan wanita yang memakai pakaian laki-laki. Allah juga melaknat laki-laki yang menyerupai wanita dan wanita yang menyerupai laki-laki“ (HR Bukhari).

Kelima, tidak berwarna yang mencolok. Sebab, warna yang mencolok dapat menarik perhatian orang lain. Rasulullah SAW terbiasa mengenakan pakaian warna putih, kadang merah, dan terkadang hijau. (HR Bukhari, Nasai, dan Hakim).

Karena itu, saking pentingnya masalah berpakaian agar tidak menimbulkan fitnah, Rasulullah SAW pun mengajarkan doa yang hendaknya dibaca pada setiap akan mengenakan dan melepas pakaian.

Allaahumma innii as-aluka min khairihi wa khairi maa huwa lahu, wa a’uudzubika min syarrihi wa syarri maa huwa lahu” (Ya Allah, aku memohon kepada-Mu kebajikan pakaian ini dan kebajikan yang disediakan baginya. Dan aku berlindung kepada-Mu dari kejahatannya dan kejahatan sesuatu yang dibuat untuknya)”. (HR Ibnu Sunni).

Dengan demikian, jika masing-masing kita berkomitmen menerapkan ajaran agama yang diyakini dalam kehidupan sehari-hari, termasuk komitmen dalam berpakaian, maka tidak akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Wallahu a’lam.





Republika