رَبِّ اغْفِرْ لِي وَهَبْ لِي مُلْكًا لا يَنْبَغِي لأحَدٍ مِنْ بَعْدِي إِنَّكَ أَنْتَ الْوَهَّابُ


"Ya Rabb-ku, ampunilah aku, dan anugerahkanlah kepadaku kerajaan, yang tidak dimiliki oleh seorangpun juga sesudahku, sesungguhnya Engkaulah Yang Maha pemberi’."

Rabu, 02 Mei 2012

Doa Saat Melihat Petir dan Mendengar Guntur

سُبْحَانَ الَّذِي يُسَبِّحُ الرَّعْدُ بِحَمْدِهِ وَالْمَلَائِكَةُ مِنْ خِيفَتِهِ
SUBHAANAL LADZI YUSABBIHUR RO'DU BIHAMDIHII WAL MALAAIKATU MIN KHIIFATIH

 
"Maha Suci Allah yang telah menjadikan kilat ini memuji-Nya dan juga Malaikat karena takut kepada-Nya." (HR. Malik dalam Muwatha'nya dari hadits Amir bin Abdullah bin al-Zubair Radhiyallahu 'Anhu. Imam Nawawi menyebutkannya dalam al-Adzkar, hal. 164. Isnadnya adalah hasan sebagaimana disebutkan Syaikh Al-Albani dalam al-Kalim al-Thayyib dengan tahqiqkannya, hal. 156)
______________________

Oleh: Badrul Tamam
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam semoga terlimpah kepada baginda Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam, keluarga dan para sahabatnya.
Di musim hujan seperti sekarang ini, kilatan petir dan gemuruh guntur menjadi pemandangan rutin. Sebagian orang merasa takut dan merinding saat petir menyambar. Kaget saat guntur menggelegar. Dan bagi seorang muslim, kedatangannya semakin meningkatkan imannya karena melihat bagian dari tanda-tanda kekuasaan dan kebesaran Tuhannya. Kemudian ia bertasbih (menyucikan)-Nya, memuji dan mengagungkan-Nya. Sehingga hal itu menjadi ladang pahala baginya.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman,  
هُوَ الَّذِي يُرِيكُمُ الْبَرْقَ خَوْفًا وَطَمَعًا وَيُنْشِئُ السَّحَابَ الثِّقَالَ وَيُسَبِّحُ الرَّعْدُ بِحَمْدِهِ وَالْمَلَائِكَةُ مِنْ خِيفَتِهِ وَيُرْسِلُ الصَّوَاعِقَ فَيُصِيبُ بِهَا مَنْ يَشَاءُ وَهُمْ يُجَادِلُونَ فِي اللَّهِ وَهُوَ شَدِيدُ الْمِحَالِ
"Dia-lah Tuhan yang memperlihatkan kilat kepadamu untuk menimbulkan ketakutan dan harapan, dan Dia mengadakan awan mendung. Dan guntur itu bertasbih dengan memuji Allah, (demikian pula) para malaikat karena takut kepada-Nya, dan Allah melepaskan halilintar, lalu menimpakannya kepada siapa yang Dia kehendaki, dan mereka berbantah-bantahan tentang Allah, dan Dia-lah Tuhan Yang Maha keras siksa-Nya." (QS. Al-Ra'du: 12-13)

Ibnu Katsir rahimahullah berkata, "Allah Ta'ala mengabarkan bahwa Dialah yang menundukkan kilat, yaitu cahaya terang mengkilat yang terlihat keluar dari celah-celah awan."
Sedangkan maksud Khaufa wa Thama'a (ketakutan dan harapan), menurut Qatadah, "Ketakutan adalah untuk orang bepergian yang takut tertimpa bahaya dari kilat itu dan kesulitan yang ditimbulkannya. Sedang harapan adalah untuk orang muqim yang berharap berkah dan manfaatnya serta mengharap rizki Allah."
Keberadaan petir dan guntur menjadi suatu peringatan keras bagi penduduk bumi. Dan dijadikan juga untuk menghukum sebagian manusia yang Allah kehendaki. Hal ini sebagaimana yang terdapat pada ayat di atas, "dan Allah melepaskan Guntur/halilintar, lalu menimpakannya kepada siapa yang Dia kehendaki." Oleh karena itu petir banyak terjadi di akhir zaman sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, dari hadits Abu Sa'id al-Khudri Radhiyallahu 'Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda,

تَكْثُرُ الصَّوَاعِقُ عِنْدَ اقْتِرَابِ السَّاعَةِ حَتَّى يَأْتِيَ الرَّجُلُ الْقَوْمَ فَيَقُولَ مَنْ صَعِقَ تِلْكُمْ الْغَدَاةَ فَيَقُولُونَ صَعِقَ فُلَانٌ وَفُلَانٌ
"Petir akan banyak terjadi saat dekatnya kiamat sehingga ada seseorang datang kepada kaumnya lalu bertanya: 'Siapa di antara kalian yang tersambar petir pagi ini.' Kemudian mereka menjawab: 'si fulan dan si fulan tersambar petir'."
Diriwayatkan dari Amir bin Abdullah bin al-Zubair, jika ia mendengar guntur, maka ia berhenti berbicara, lalu membaca:

سُبْحَانَ الَّذِي يُسَبِّحُ الرَّعْدُ بِحَمْدِهِ وَالْمَلَائِكَةُ مِنْ خِيفَتِهِ
"Mahasuci Allah yang Guntur itu bertasbih dengan memuji-Nya, demikian malaikat karena takut kepada-Nya."
Kemudian beliau berkata, "Sesungguhnya Guntur itu adalah ancaman yang keras bagi penduduk bumi." (HR. Malik dalam al-Muwatha' dan Imam al-Bukhari dalam kitab al-Adab al-Mufrad, no. 724)

Lalu apa yang dituntunkan oleh Islam saat terjadi petir agar orang beriman selamat darinya?
Sebagian ulama menuturkan, pada dasarnya tidak ada bacaan khusus yang bersumber dari Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam dalam masalah ini. Tetapi kalau seseorang berzikir kepada Allah atas keagungan Allah dan penciptaan makhluk-Nya maka, insya Allah, ini tidak mengapa. Hal ini didasarkan kepada petunjuk dari ayat di atas, "Dan guntur itu bertasbih dengan memuji Allah, (demikian pula) para malaikat karena takut kepada-Nya."
Imam Abu Ja'far bin Jarir al-Thabari meriwayatkan hadits yang dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'Anhu –beliau merafa'kannya- berkata: Apabila beliau mendengar guntur maka membaca:

سُبْحَانَ مَنْ يُسَبِّحُ الرَّعْدُ بِحَمْدِهِ
"Mahasuci Dzat yang guruh itu bertasbih dengan memuji-Nya."
Diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu 'Anhu, apabila beliau mendengar suara guntur, beliau membaca:

سُبْحَانَ مَنْ سَبَّحَتْ لَهُ
"Mahasuci Dzat yang Guntur itu bertasbih kepada-Nya." Bacaan demikian ini juga diriwayatkan dari Ibnu Abbas, al-Aswad bin Yaszid, dan Thawus: bahwa mereka semua membaca seperti itu. (Keterangan bahwa Imam Thawus membaca tasbih di atas diriwayatkan oleh Imam Syafi'i dalam Al-Umm dan al-Baihaqi dengan sanad shahih sebagaimana yang diutarakan oleh Imam Nawawi dalam al-Azkar, hal. 263).
Al-Auza'i rahimahullah berkata: Adalah Ibnu Abi Zakaria berkata: Siapa yang saat mendengar Guntur membaca:

سُبْحَانَ اللَّهِ وَبِحَمْدِهِ
"Mahasuci Allah dan segala puji bagi-Nya," maka petir tidak akan menyambarnya.
Dan dalam riwayatkan dari Amir bin Abdullah bin al-Zubair di atas, jika ia mendengar guntur, maka ia berhenti berbicara, lalu membaca:

سُبْحَانَ الَّذِي يُسَبِّحُ الرَّعْدُ بِحَمْدِهِ وَالْمَلَائِكَةُ مِنْ خِيفَتِهِ
"Mahasuci Allah yang guntur itu bertasbih dengan memuji-Nya, demikian malaikat karena takut kepada-Nya."

Kemudian beliau berkata, "Sesungguhnya guntur itu adalah ancaman yang keras bagi penduduk bumi." (HR. Malik dalam al-Muwatha' dan Imam al-Bukhari dalam kitab al-Adab al-Mufrad, no. 724)
Terdapat sebuah riwayat dari Ibnu Umar Radhiyallahu 'Anhu, bahwa apabila Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam mendengar لuntur dan petir, beliau berdoa:

اللَّهُمَّ لَا تَقْتُلْنَا بِغَضَبِكَ وَلَا تُهْلِكْنَا بِعَذَابِكَ وَعَافِنَا قَبْلَ ذَلِكَ
"Ya Allah, janganlah engkau membunuh kami dengan kemurkaan-Mu, jangan hancurkan kami dengan siksa-Mu, dan berilah kami kesehatan sebelum itu." (HR. Al-Tirmidzi, Ahmad, Al-Bukhari dalam al-Adab al-Mufrad, al-Nasai dalam 'Amal al-Yaum wa al-Lailah, dan al-Hakim dalam Mustadraknya)

Penutup
Saat melihat kilatan petir menghias langit dan mendengar guntur menggelegar maka dianjurkan untuk membaca tasbih. Di antara sifatnya, sebagaimana yang telah dipraktekkan salaful ummah, tidak hanya satu macam saja, seperti yang disebutkan dalam beberapa riwayat di atas. Atau berdoa kepada Allah dengan memohon keselamatan kepada-Nya dari sambaran petir, seperti dalam hadits terakhir yang dari Ibnu Umar Radhiyallahu 'Anhuma.

Kisah Nabi Musa Meminta Hujan

Di riwayatkan, bahawa pada zaman Nabi Musa as, kaum bani Israil pernah ditimpa musim kemarau panjang, lalu mereka berkumpul menemui Nabi Musa as dan berkata:

 “Wahai Kalamullah, tolonglah doakan kami kepada Tuhanmu supaya Dia berkenan menurunkan hujan untuk kami!”
 
Kemudian berdirilah Nabi Musa as bersama kaumnya dan mereka bersama-sama berangkat menuju ke tanah lapang. Dalam suatu pendapat dikatakan bahawa jumlah mereka pada waktu itu lebih kurang tujuh puluh ribu orang.Setelah mereka sampai ke tempat yang dituju, maka Nabi Musa as mulai berdoa.
Diantara isi doanya ituialah: 

Tuhanku, siramlah kami dengan air hujan-Mu, taburkanlah kepada kami rahmat-Mu dan kasihanilah kami terutama bagi anak-anak kecil yang masih menyusu, hewan ternak yang memerlukan rumput dan orang-orang tua yang sudah bongkok. Sebagaimana yang kami saksikan pada saat ini, langit sangat cerah dan matahari semakin panas. Tuhanku, jika seandainya Engkau tidak lagi menganggap kedudukanku sebagai Nabi-Mu, maka aku mengharapkan keberkatan Nabi yang ummi yaitu Muhammad SAW yang akan Engkau utus untuk Nabi akhir zaman “.

Kepada Nabi Musa as Allah menurunkan wahyu-Nya yang isinya:

 “Aku tidak pernah merendahkan kedudukanmu di sisi-Ku, sesungguhnya di sisi-Ku kamu mempunyai kedudukan yang tinggi. Akan tetapi bersama denganmu ini ada orang yang secara terang-terangan melakukan perbuatan maksiat selama empat puluh tahun. Engkau boleh memanggilnya supaya ia keluar dari kumpulan orang-orang yang hadir di tempat ini! Orang itulah sebagai penyebab terhalangnya turun hujan untuk kamu semuanya.”

Doa dan Zikir Saat Melihat Hujan Turun



Alhamdulillah, segala puji bagi Allah Subhanahu wa Ta'ala. Pencipta dan pengatur alam raya dengan qudrah-Nya yang agung. Menundukkan apa saja yang ada di dalamnya untuk manusia supaya mereka menjadi khalifah-Nya di bumi dengan menegakkan ajaran dien-Nya yang lurus dan suci yang telah disampaikan oleh hamba dan utusan-Nya Shallallahu 'Alaihi Wasallam.
Shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam, keluarga dan para sahabatnya.

Kemarau panjang sehingga menyebabkan kekeringan, gagal panen, langkanya air bersih dan kesulitan-kesulitan lainnya membuat masyarakat menderita dan mengalami kesulitan hidup. Dalam kondisi seperti ini disunnahkan untuk memperbanyak istighfar dan doa istisqa' (meminta hujan). Salah satunya melalui shalat istisqa' yang telah dibahas pada tulisan sebelumnya. 
Kenapa memperbanyak istighfar? Karena kemarau panjang dan paceklik yang terjadi di suatu negeri disebabkan oleh dosa penduduknya. Hal ini seperti yang sudah kami bahas dalam dua tulisan sebelumnya. 

Oleh sebab itulah, saat melihat angin kencang dan mendung hitam, Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam khawatir kalau-kalau itu adalah sebab azab yang diutus oleh Allah sebagai hukuman atas kemaksiatan manusia. Sehingga kekhawatiran itu sangat tampak jelas di wajahnya, sebagaimana yang dituturkan Aisyah pada hadits riwayat Muslim. Dan saat terjadi hujan, berarti perubahan kondisi alam tadi bukan sebagai azab. Oleh karena itu, kekhawatiran beliau Shallallahu 'Alaihi Wasallam hilang dan berganti gembira. Lalu beliau bersabda, "ini adalah rahmat."
Sedangkan melaksanakan doa istisqa' dengan mengerjakan shalat istisqa' adalah karena hujan itu berada di bawah kekuasaan Allah, tidak turun kecuali dengan perintah-Nya. Maka jika lama tidak turun hujan, Islam memerintahkan untuk berdoa kepada Dzat yang menciptakan dan menguasai hujan tersebut, yaitu Allah Ta'ala semata. Mendirikan shalat istisqa' juga sebagai bentuk tawassul agar doa dikabulkan dan permintaan dipenuhi. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اسْتَعِينُوا بِالصَّبْرِ وَالصَّلَاةِ
"Hai orang-orang yang beriman, mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan (mengerjakan) salat. . ." (QS. Al-Baqarah: 153)

Jika Hujan Sudah Turun
Berkaitan dengan hujan, Allah menjadikannya sebagai nikmat dan rahmat bagi makhluk-makhluk-Nya, tidak terkecuali manusia. Bahkan Al-Qur'an menyebutkannya sebagai sumber kehidupan.

وَجَعَلْنَا مِنَ الْمَاءِ كُلَّ شَيْءٍ حَيٍّ أَفَلَا يُؤْمِنُونَ
"Dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka tiada juga beriman?" (QS. Al-Anbiya': 30)

Namun di satu sisi, Allah juga pernah menjadikan hujan dan berlimpahnya air sebagai hukuman atas kaum pembangkang, seperti yang menimpa kaum Nabi Nuh 'Alaihissalam.


وَنُوحًا إِذْ نَادَى مِنْ قَبْلُ فَاسْتَجَبْنَا لَهُ فَنَجَّيْنَاهُ وَأَهْلَهُ مِنَ الْكَرْبِ الْعَظِيمِ وَنَصَرْنَاهُ مِنَ الْقَوْمِ الَّذِينَ كَذَّبُوا بِآَيَاتِنَا إِنَّهُمْ كَانُوا قَوْمَ سَوْءٍ فَأَغْرَقْنَاهُمْ أَجْمَعِينَ
"Dan (ingatlah kisah) Nuh, sebelum itu ketika dia berdoa, dan Kami memperkenankan doanya, lalu Kami selamatkan dia beserta pengikutnya dari bencana yang besar. Dan Kami telah menolongnya dari kaum yang telah mendustakan ayat-ayat Kami Sesungguhnya mereka adalah kaum yang jahat, maka Kami tenggelamkan mereka semuanya." (QS. Al-Anbiya': 76-77)

Maka saat turun hujan, kaum muslimin yang menyaksikannya berharap agar hujan tersebut membawa kebaikan dan menjadi rahmat sebagaimana yang pernah diajarkan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam. Di antara doa/dzikir tersebut adalah:

Pertama: Membaca doa:

اللَّهُمَّ صَيِّبًا نَافِعًا
ALLAHUMMA SHAYYIBAN NAAFI'A


Artinya: Ya Allah, (jadikan hujan ini) hujan yang membawa manfaat (kebaikan).


Diriwayatkan dari 'Aisyah Radhiyallahu 'Anha,
 أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إذَا رَأَى الْمَطَرَ قَالَ : اللَّهُمَّ صَيِّبًا نَافِعًا
"Adalah Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam apabila melihat hujan beliau berdoa:  ALLAHUMMA SHAYYIBAN NAAFI'A (Ya Allah, -jadikan hujan ini- hujan yang membawa manfaat -kebaikan-." (HR. Al-Buhari)

Kedua: membaca: 

رَحْمَةٌ
rahmatun

Artinya: ini adalah rahmat.
Diriwayatkan dari 'Aisyah Radhiyallahu 'Anha, adalah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam apabila terjadi angin kencang dan awan tebal maka beliau sangat khawatir yang dapat diketahui melalui wajah beliau. Beliau mondar-mandir. Dan jika turun hujan, maka beliau terlihat senang dan hilang kekhwatiran tadi. Lalu 'Aisyah menanyakan kepada beliau perihal tadi. Maka beliau menjawab, "Sungguh aku khawatir kalau itu menjadi azab yang ditimpakan kepada umatku." Dan apabila beliau melihat hujan, beliau bersabda: rahmatun (ini adalah rahmat). (HR. Muslim)
Imam Nawawi rahimahullah dalam Syarh Muslim menjelaskan tentang makna hadits di atas, "Di dalamnya terdapat anjuran bersiaga dengan mendekatkan diri kepada Allah dan berlindung kepada-Nya saat terjadi perubahan kondisi alam dan munculnya penyebab musibah. Kekhawatiran beliau Shallallahu 'Alaihi Wasallam kalau-kalau diazab dengan maksiatnya ahli maksiat. Dan gembiranya beliau karena hilangnya sebab kekhawatiran."

Ketiga: Menisbatkan hujan kepada Allah, bukan kepada selainnya seperti kepada bintang.
Dari Zaid bin Khalid Radhiyallahu 'Anhu menceritakan, kami keluar bersama Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam pada tahun Hudaibiyah, lalu pada suatu malam kami mendapat hujan. Maka pada seusai beliau mengimami kami pada shalat shubuhnya, beliau menghadap kepada kami, lalu bersabda: 'Tahukah kalian apa yang dikatakan oleh Rabba kalian?' Kami menjawab: 'Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu.' Kemudian beliau bersabda:


قَالَ اللَّهُ أَصْبَحَ مِنْ عِبَادِي مُؤْمِنٌ بِي وَكَافِرٌ بِي فَأَمَّا مَنْ قَالَ مُطِرْنَا بِرَحْمَةِ اللَّهِ وَبِرِزْقِ اللَّهِ وَبِفَضْلِ اللَّهِ فَهُوَ مُؤْمِنٌ بِي كَافِرٌ بِالْكَوْكَبِ وَأَمَّا مَنْ قَالَ مُطِرْنَا بِنَجْمِ كَذَا فَهُوَ مُؤْمِنٌ بِالْكَوْكَبِ كَافِرٌ بِي
"Allah berfirman: di pagi ini ada di antara hamba-hamba-Ku yang beriman kepada-Ku dan yang ingkar kepada-Ku. Adapun orang yang mengatakan, 'kami diberi hujan karena rahmat Allah, rizki dan karunia-Nya,' maka ia beriman kepada-Ku dan kufur terhadap bintang-bintang. Adapun orang yang mengatakan, 'kami diberi hujan karena bintang ini dan bintang itu,' maka ia beriman kepada bintang-bintang dan kufur kepada-Ku." (HR. al-Bukhari dan Muslim, lafaz milik Al-Bukhari)


Keempat: memperbanyak doa saat turun hujan, karena termasuk waktu yang mustajab. Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda:  
اطلبوا استجابة الدعاء عند التقاء الجيوش و إقامة الصلاة و نزول الغيث
"Carilah pengabulan doa pada saat bertemunya dua pasukan, pada saat iqamah shalat, dan saat turun hujan." (HR. al-Hakim dalam al-Mustadrak: 2/114 dan dishahihkan olehnya. Lihat Majmu' fatawa: 7/129. Dishahihkan Al-Albani dalam al-Silsilah al-Shahihah no. 1469 dan Shahih al-Jami' no. 1026)

Penutup
Islam mengajarkan banyak zikir dan doa pada beberapa kondisi. Semua itu agar hamba Allah selalu ingat dan kembali kepada-Nya. Menyadari bahwa semua kebaikan ada di tangan-Nya. Sehingga dia senantiasa berharap dan memohon kebaikan hanya kepada-Nya semata. lalu diikuti dengan syukur kepada-Nya dengan menggunakan nikmat untuk taat kepada-Nya. Dan seperti itu pula saat melihat hujan turun.

Doa Saat Angin Bertiup Kencang





اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ خَيْرَهَا وَخَيْرَ مَا فِيهَا وَخَيْرَ مَا أُرْسِلَتْ بِهِ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ شَرِّهَا وَشَرِّ مَا فِيهَا وَشَرِّ مَا أُرْسِلَتْ بِهِ
”Allahumma Innii As’aluka Khairaha  wa Khaira Maa Fiihaa wa Khaira Maa Ursilat  Bihi wa ’Udzu Bika Min Syarriha wa Syarri Maa Fiihaa wa Syarri Maa Ursilat Bihi”
"Ya Allah sesungguhnya aku memohon kepada-Mu kebaikan angin ini dan kebaikan yang ada padanya dan kebaikan yang dibawanya. Dan aku berlindung kepada-Mu dari keburukan angin ini, keburukan yang ada padanya dan keburukan yang dibawanya."

Sumber Doa
Doa di atas bersumber dari Aisyah Radhiyallahu ‘Anha, ia berkata: Adalah Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam apabila angin bertiup kencang beliau berdoa,

اللَّهُمَّ إِنِّى أَسْأَلُكَ خَيْرَهَا وَخَيْرَ مَا فِيهَا وَخَيْرَ مَا أُرْسِلَتْ بِهِ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ شَرِّهَا وَشَرِّ مَا فِيهَا وَشَرِّ مَا أُرْسِلَتْ بِهِ
"Ya Allah sesungguhnya aku memohon kepada-Mu kebaikan angin ini dan kebaikan yang ada padanya dan kebaikan yang dibawanya. Dan aku berlindung kepada-Mu dari keburukan angin ini, keburukan yang ada padanya dan keburukan yang dibawanya." (HR. Muslim, no. 2122, Kitab Shalatil Istisqa', bab berlindung saat melihat angin (kencang), cetakan Daar al-Jil dan daar al-Afaq al-Jadidah, Beirut.

Dalam Sunan al-Tirmizi, dari Ubai bin Ka'ab dengan redaksi lain. Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam: janganlah kalian mencaci angin. Lalu apabila engkau melihat yang tidak menyenangkan, maka berdoalah:

اللَّهُمَّ إِنِّا نَسْأَلُكَ مِنْ خَيْرِ هَذِهِ الرِّيْحَ وَخَيْرِ مَا فِيْهَا وَخَيْرِ مَا أُمِرَتْ بِهِ وَنَعُوْذُ بِكَ مِنْ شَرِّ هَذِهِ الرِّيْحَ وَشَرِّ مَا فِيْهَا وَشَرِّ مَا أُمِرَتْ بِهِ
"Ya Allah, sesungguhnya kami memohon kepada-Mu kebaikan angin ini dan kebaikan yang ada padanya dan kebaikan yang dibawanya. Dan kami berlindung kepada-Mu dari keburukan angin ini, keburukan yang ada padanya dan keburukan yang dibawanya." (HR. Al-Tirmidzi)       
              
Keterangan
Kondisi di musim penghujan seperti sekarang ini, angin besar menjadi pemandangan tak terelakkan. Satu sisi ia menjadi pertanda segera turunnya hujan, namun sisi lain menimbulkan ketakutan dan kekhawatiran. Karena angin kencang ada kalanya menumbangkan pohon, merobohkan bangunan, merebahkan tanam-tanaman, dan menjadi sebab terjadinya banjir. Dalam kondisi semacam ini kita tidak boleh mencelanya, karena ia bertiup demikian dengan ketentuan Allah Subhanahu wa Ta'ala. Tetapi disyariatkan mengucapkan zikir dan doa seperti yang diajarkan Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam.
Dari Ubai bin Ka'ab dengan redaksi lain. Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam: janganlah kalian mencaci angin. Lalu apabila engkau melihat yang tidak menyenangkan, maka berdoalah:

اللَّهُمَّ إِنِّا نَسْأَلُكَ مِنْ خَيْرِ هَذِهِ الرِّيْحَ وَخَيْرِ مَا فِيْهَا وَخَيْرِ مَا أُمِرَتْ بِهِ وَنَعُوْذُ بِكَ مِنْ شَرِّ هَذِهِ الرِّيْحَ وَشَرِّ مَا فِيْهَا وَشَرِّ مَا أُمِرَتْ بِهِ
"Ya Allah, sesungguhnya kami memohon kepada-Mu kebaikan angin ini dan kebaikan yang ada padanya dan kebaikan yang dibawanya. Dan kami berlindung kepada-Mu dari keburukan angin ini, keburukan yang ada padanya dan keburukan yang dibawanya." (HR. Al-Tirmidzi)

Pergerakan angin merupakan bagian dari tanda kebesaran Allah Subhanahu wa Ta'ala. Adakalanya bertiup sepoi-sepoi dan menyejukkan. Ada kalanya juga kencang dan ribut sehingga menimbulkan sesuatu yang tidak kita suka. Ini semua berlaku dengan qadha' dan qadar Allah 'Azza wa Jalla. Tentunya dengan hikmah yang Allah kehendaki. Oleh sebab itu tidak pantas jika seorang muslim mencaci angin. Karena mencaci angin itu berimbas mencaci terhadap Zat yang mencipta dan mengutusnya. Karena angin itu makhluk Allah dan tunduk kepada perintah-Nya.
Allah Ta'ala berfirman,

وَهُوَ الَّذِي يُرْسِلُ الرِّيَاحَ بُشْرًا بَيْنَ يَدَيْ رَحْمَتِهِ
"Dan Dialah yang meniupkan angin sebagai pembawa berita gembira sebelum kedatangan rahmat-Nya (hujan)." (QS. Al-A'raf: 57)

وَهُوَ الَّذِي أَرْسَلَ الرِّيَاحَ بُشْرًا بَيْنَ يَدَيْ رَحْمَتِهِ وَأَنْزَلْنَا مِنَ السَّمَاءِ مَاءً طَهُورًا
"Dialah yang meniupkan angin (sebagai) pembawa kabar gembira dekat sebelum kedatangan rahmat-nya (hujan); dan Kami turunkan dari langit air yang amat bersih." (QS. Al-furqan: 48)

وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ يُرْسِلَ الرِّيَاحَ مُبَشِّرَاتٍ وَلِيُذِيقَكُمْ مِنْ رَحْمَتِهِ
"Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah bahwa Dia mengirimkan angin sebagai pembawa berita gembira dan untuk merasakan kepadamu sebagian dari rahmat-Nya . . ." (QS. Al-Ruum: 46)

فَسَخَّرْنَا لَهُ الرِّيحَ تَجْرِي بِأَمْرِهِ رُخَاءً حَيْثُ أَصَابَ
"Kemudian Kami tundukkan kepadanya angin yang berhembus dengan baik menurut ke mana saja yang dikehendakinya." (QS. Shaad: 36)

Penutup
Angin terbagi dalam dua jenis. Pertama, angin yang bertiup tenang maka tidak disyariatkan berzikir khusus padanya. Kedua, angin ribut yang bertiup kencang sehingga menimbulkan ketakutan, menumbangkan pepohonan, merobiohkan bangunan, dan semisalnya. Pada yang kedua ini dilarang mencacinya, karena tidaklah menjalankan angin, mengutusnya, dan menentukan bentuk bertiupnya kecuali Allah Subhanahu wa Ta'ala. Tidak ada seorangpun yang mampu mengendalikan angin kecuali penciptanya, yakni Allah 'Azza wa Jalla. Bahkan sebaliknya diperintahkan untuk berzikir dan berdoa kepada Allah saat terjadi angin kencang, di antaranya adalah doa di atas. Wallahu Ta'ala A'lam.

Doa Agar Mendapat Husnul Khatimah


Alhamdulillah, segala puji bagi Allah. Shalawat dan salam untuk Rasulullah, keluarga dan para sahabatnya.
Husnul khatimah menjadi dambaan kita semua. Karena nilai kita ditentukan saat kematian datang. Jika kita mengakhiri hidup di dunia ini dalam kondisi beriman dan dihiasi dengan ketaatan, maka itulah husnul khatimah.
Diriwayatkan dari Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu, Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam bersabda,

إِذَا أَرَادَ اللَّهُ بِعَبْدٍ خَيْرًا اسْتَعْمَلَهُ قَالُوا وَكَيْفَ يَسْتَعْمِلُهُ قَالَ يُوَفِّقُهُ لِعَمَلٍ صَالِحٍ قَبْلَ مَوْتِهِ
Apabila Allah menghendaki kebaikan atas hamba-Nya, maka Dia memperkerjakannya?” Para sahabat bertanya, ‘Bagaimana Allah memperkerjakannya?’ Beliau menjawab, ”Allah memberinya taufiq untuk beramal shalih sebelum kematiannya.” (HR. Ahmad dan al-Tirmidzi, Imam al-Hakim menshahihkannya dalam al-Mustadrak. Syaikh Al-Albani menshahihkannya dalam Al-Shahihah, no. 1334)

Tidak Mudah Menggapai Husnul Khatimah
Saat menjelang kematian merupakan saat kesempatan terakhir bagi setan untuk menyesatkan hamba Allah. Setan berusaha sekuat tenaga untuk menyesatkannya, bahkan terkadang menjelma dalam rupa ayah dan ibunya.
Imam Ibrahim bin Muhammad bin Muflih al-Maqdisi al-Hambali dalam kitabnya Mashaaib al-Insan min Makaa-id al-Syaithan pada Bab ke-22 mengupas tentang usaha setan untuk menyesatkan orang mukmin pada saat kematian. Dalam bab tersebut, beliau menukilkan hadits yang diriwayatkan Abu Dawud dalam Sunannya bahwa  Iblis berkata kepada bala tentaranya pada saat kematian manusia: Berusahalah saat sekarang, karena jika kalian gagal tidak akan ada kesempatan lagi.

Dari Wailah bin al-Asqa’ berkata bahwa Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam bersabda, “Talkin (tuntun)-lah orang yang hendak meninggal dengan Laa Ilaaha Illallaah dan berilah kabar gembira dengan surga. Sesungguhnya orang yang mulia, dari kaum laki-laki dan wanita kebingungan dalam menghadapi kematian dan diuji. Sesungguhnya setan paling dekat dengan manusia pada saat kematian. Sedangkan melihat malaikat maut lebih berat daripada seribu kali tebasan pedang.” (HR. Abu Nu’aim)
 
Abdullah bin Ahmad berkata, “Pada saat saya hadir dalam kematian bapakku, saya membawakan kain untuk mengikat jenggotnya, sementara beliau dalam  keadaan tidak sadar. Kemudian pada saat beliau sadar, mengatakan, ‘Belum, belum!’ Beliau mengucapkan itu berkali-kali. Saya bertanya kepada beliau, ‘wahai bapakku, apa yang tampak padamu?’ Beliau menjawab, ‘setan berdiri di depanku sambil menggigit jarinya seraya mengatakan, ‘aku gagal menggodamu wahai Ahmad.’ Saya katakan, ‘Belum, sebelum saya benar-benar meninggal’.”

Abu Hasan al-Qabisi dalam Risalah Ibnu Abi Zaid meriwayatkan bahwa seorang hamba tatkala sedang menghadapi kematian ada dua setan yang menggoda dari atas kepalanya. Salah satunya berada di sebelah kanan dan satunya lagi di sebelah kiri. Adapun yang di sebelah kanan menyerupai bapaknya lalu berkata, “Wahai anakku, saya sangat sayang dan cinta kepadamu. Jika kamu mau mati, maka matilah dengan membawa agama Nasrani sebab dia adalah sebaik-baik agama.” Dan yang berada di sebelah kiri menyerupai ibunya dan berkata, “Wahai anakku, perutku dahulu tempat hidupmu dan air susuku sebagai minumanmu serta pangkuanku sebagai tempat tidurmu, maka saya minta hendaknya kamu mati dengan membawa agama Yahudi sebab dia adalah sebaik-baik agama.”
Maka menurut Imam al-Ghazali, pada saat itu Allah menggelincirkan orang-orang yang dikehendaki oleh-Nya tergelincir. Demikian itu yang dimaksud dengan firman Allah,

رَبَّنَا لَا تُزِغْ قُلُوبَنَا بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَنَا
Ya Tuhan kami, janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau beri petunjuk kepada kami.” (QS. Ali Imran: 8)

Maksudnya, Ya Allah janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan pada saat kematian setelah Engkau beri petunjuk kepada kami beberapa kurun waktu.
Jika Allah menghendaki hidayah dan keteguhan pada hamba-Nya, maka datanglah rahmat dan Malaikat Jibril untuk mengusir setan dan mengatakan kepada orang beriman, “Wahai orang mukmin, mereka itu adalah musuh-musuhmu dari kalangan setan, maka meninggallah kamu dalam keadaan membawa agama yang hanif dan syariat Muhammad.” Dan tidak ada sesuatu yang paling dicintai oleh orang beriman kecuali Malaikat itu dan itulah yang dimaksud firman Allah,

وَهَبْ لَنَا مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً إِنَّكَ أَنْتَ الْوَهَّابُ
Dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi Engkau; karena sesungguhnya Engkau-lah Maha Pemberi (karunia).” (QS. Ali Imran: 8).” Selesai perkataan Imam al-Ghazali yang dinukil Imam Ibrahim bin Muhammad al-Maqdisi dalam Menelanjangi Setan, hal. 277-278)

Ibnu Al-Jauzi dalam Shaid al-Khathir berkata, “Saya berwasiat kepada diriku dan kepada orang yang mendengar wasiatku ini agar teguh saat menghadapi kematian –tiada daya dan tiada upaya kecuali dengan izin Allah- sebab godaan dan bisikan kematian banyak syubhatnya. Dan saya merasa kasihan terhadap orang yang sakit semoga tidak tenggelam dalam sakaratul maut sehingga tidak sadar. Dan saya berlindung kepada Allah dari kematian masih dalam keadaan sadar tidak teguh dengan godaan.”

Sebab-sebab Meraih Husnul Khatimah
Husnul khatimah merupakan karunia terbesar dari Allah untuk seorang hamba. Penjagaan Allah dan meneguhkannya di atas iman lah yang menjadikannya mendapat husnul khatimah saat banyak godaan dan syubuhat menjelang kematian.

 “Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ucapan yang teguh itu dalam kehidupan di dunia dan di akhirat..” (QS. Ibrahim: 27)

Namun demikian hamba juga punya peran usaha sebagai sebab Allah menganugerahkan husnul khatimah kepadanya. Walaupun usaha hamba tidak bisa lepas dari kehendak Allah juga.
Imam Sufyan al-Tsauri pernah berpesan saat menghadapi kematian agar menjaga akidah, membaca istighfar, dan bertaubat dari dosa agar bertemu Allah dalam keadaan bersih. (Menelanjangi Syetan, Ibrahim al-Maqdisi, hal. 279)
Maka di antara upaya yang bisa dilakukan hamba untuk meraih husnul khatimah, adalah:

1. Menjaga iman dan tuntutannya berupa ketaatan dan takwa kepada Allah. Hendaknya dia menjauhi benar-benar pembatal-pembatal iman dan yang mengurangi kesempurnaannya dari berbagai maksiat. Dia bertaubat dari segala dosa dan maksiat, khususnya syirik besar amaupun yang kecil. Di antaranya dengan membaca doa yang diajarkan Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam,

اللَّهُمَّ إنِّي أَعُوذُ بِك أَنْ أُشْرِكَ بِك وَأَنَا أَعْلَمُ وَأَسْتَغْفِرُك لِمَا لَا أَعْلَمُ
"Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari perbuatan syirik (menyekutukan-Mu) sedangkan aku mengetahuinya. Dan aku memohon ampun kepada-Mu terhadap kesyirikan yang tidak aku ketahui." (HR. Ahmad dan Shahih Abi Hatim serta yang lainnya, shahih)

2. Berusaha sungguh-sungguh untuk memperbaiki zahir dan batinnya. Niat dan tujuan amalnya untuk mewujudnya keshalihan zahir dan batinnya tersebut. Sesungguhnya sunnah Allah Subhanahu wa Ta'ala yang abadi bahwa pencari kebenaran akan diberi petunjuk memperolehnya, diteguhkan di atasnya, dan ditutup hidupnya dengan kebenaran.

3. Senantiasa memohon dan berdoa kepada Allah agar diwafatkan di atas iman dan takwa.

Beberapa Doa Supaya Diwafatkan Husnul Khatimah 
Sangat banyak doa yang diabadikan Al-Qur’an dan sunnah Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam yang bermakna permintaan agar akhir hayat husnul khatimah;

1. Doa agar diwafatkan di atas Islam,
-  Doa Nabi Yusuf 'alaihis salam:
تَوَفَّنِي مُسْلِمًا وَأَلْحِقْنِي بِالصَّالِحِينَ
Wafatkanlah aku dalam keadaan Islam dan gabungkanlah aku dengan orang-orang yang shaleh.” (QS. Yuusuf: 101)
-  Doa tukang sihir Fir’an yang telah bertaubat,
رَبَّنَا أَفْرِغْ عَلَيْنَا صَبْرًا وَتَوَفَّنَا مُسْلِمِينَ
Ya Tuhan kami, limpahkanlah kesabaran kepada kami dan wafatkanlah kami dalam keadaan berserah diri (kepada-Mu).” (QS. Al-A’raaf: 126)

2. Doa diteguhkan di atas hidayah,
رَبَّنَا لَا تُزِغْ قُلُوبَنَا بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَنَا وَهَبْ لَنَا مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً إِنَّكَ أَنْتَ الْوَهَّابُ
"Ya Tuhan kami, janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau beri petunjuk kepada kami, dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi Engkau; karena sesungguhnya Engkau-lah Maha Pemberi (karunia)." (QS. Ali Imran: 8)
يَا مُقَلِّبَ الْقُلُوْبِ، ثَبِّتْ قَلْبِي عَلَى دِيْنِكَ
Wahai Dzat yang membolak-balikkan hati, teguhkan hati kami di atas agama-Mu." (HR. Ahmad dan at Tirmidzi)

3. Doa agar diselamatkan dari godaan setan saat mengalami sakaratul maut.
اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ الْهَرَمِ وَالتَّرَدِّي وَالْهَدْمِ وَالْغَمِّ وَالْحَرِيقِ وَالْغَرَقِ وَأَعُوذُ بِكَ أَنْ يَتَخَبَّطَنِي الشَّيْطَانُ عِنْدَ الْمَوْتِ وَأَنْ أُقْتَلَ فِي سَبِيلِكَ مُدْبِرًا وَأَعُوذُ بِكَ أَنْ أَمُوتَ لَدِيغًا
“Ya Allah, sunguh aku berlindung kepada-Mu dari pikun, terjatuh dari ketinggian,  keruntuhan bangunan, kedukaan, kebakaran, dan tenggelam. Aku berlindung kepada-Mu dari penyesatan setan saat kematian, terbunuh dalam kondisi murtad dan aku berlindung kepada-Mu dari mati karena tersengat binatang berbisa.” (HR. Al-Nasai dan Abu Dawud. Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahih Al-Jami’: no. 1282)

Makna berlindung dari penyesatan syetan ketika datang kematian adalah dikuasai olehnya ketika berpisah dari dunia sehingga setan berhasil menyesatkannya, menghalanginya dari taubat, menghambatnya dari memperbaiki dirinya dan meninggalkan kezaliman yang telah diperbuat sebelumnya. Atau menjadikannya putus asa dari rahmat Allah, membenci kematian dan berat meninggalkan dunia sehingga dia tidak ridha dengan ketentuan Allah padanya berupa kematian dan berpindah ke negeri akhirat. Akibatnya dia mengakhiri hidupnya dengan keburukan dan bertemu Allah dalam kondisi murka kepadanya. (Disarikan dari keterangan Imam al-Khathabi dalam Hasyiyah al-Suyuthi).

Penutup
Sesungguhnya akhir hayat kita memiliki kaitan dengan amal kita sejak sekarang. Siapa yang senantiasa menjaga ketaatan kepada Allah dengan penuh keikhlasan, insya Allah dia akan mengakhiri hidupnya di atas kondisi tersebut. Sebaliknya, siapa yang mengotori hidupnya dengan maksiat dan kejahatan, atau bahkan sengaja menympang. Kesempatan taubat sering disia-siakan dengan menunda-nunda, atau bahkan mencari-cari pembenaran atas kesalahan, maka biasanya dia akan mengahiri hidupnya dengan su'ul khatimah. Semoga Allah menyelamatkan kita dari kondisi semacam ini.
Ya Allah, jadikanlah amal terbaik kami pada penutupnya, jadikan sebaik-baik umur kami pada saat kami mengakhirinya, dan jadikan hari terbaik kami pada saat kami bertemu dengan-Mu. Ya Allah berilah taufik kepada kami semua untuk senantiasa berbuat kebajikan dan menjauhi kemungkaran-kemungkaran.
Segala puji hanya bagi-Nya dan semoga shalawat dan salam selalu dilimpahkan untuk nabi kita Muhammad, keluarga dan para sahabatnya.

Saat Galau, Bacalah Doa Ini Semoga Tenang dan Gembira


Al-Hamdulillah, segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam semoga terlimpah kepada baginda Rasulillah Shallallahu 'Alaihi Wasallam, keluarga dan para sahabatnya.
Istilah galau sedang ngetren. Banyak dipakai dan digunakan, khususnya dikalangan ABG (remaja dan pelajar). Ada istilah SMS Galau, Status Galau, Pesan galau, kata-kata galau dan semisalnya. Intinya, menggambarkan kondisi perasaan atau pikiran yang tidak enak. Perasaan tidak menentu. Rasanya ada yang kurang. Ada yang tidak beres. Tidak jelas apa sebabnya.
Kalau menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi IV (2008) halaman 407, dikatakan “galau” itu berarti kacau (tentang pikiran); “bergalau” berarti (salah satu artinya) kacau tidak keruan (pikiran); dan “kegalauan” berarti sifat (keadaan hal) galau. Jika merujuk ke definisi ini, keadaan galau adalah saat pikiran sedang kacau tak keruan. Orang yang tengah galau pikirannya sedang kacau.
Hampir setiap orang pernah mengalami galau. Karena tabiat manusia sering berdosa. Dan dosa menjadi sesuatu yang tak bisa lepas dalam kehidupan manusia. berdosa juga menjadi tanda akan insaniyahnya. Karena setiap manusia pastilah berdosa sehingga dia harus menunduk dan merendahkan diri bertaubat dan memohon ampunan kepada Tuhannya.
Berikut ini ini penawar yang diajarkan Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam saat galau datang, kesedihan hinggap, perasaan tak menentu menyerang. Sangat mujarab dan ampuh dosa ini sebagaimana yang dikabarkan Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam, "melainkan Allah akan menghilangkan kesedihan dan kegelisahan (kegundahan)-nya serta menggantikannya dengan kegembiraan."

__________________
__________________
اللَّهُمَّ إِنِّي عَبْدُكَ وَابْنُ عَبْدِكَ وَابْنُ أَمَتِكَ نَاصِيَتِي بِيَدِكَ مَاضٍ فِيَّ حُكْمُكَ عَدْلٌ فِيَّ قَضَاؤُكَ أَسْأَلُكَ بِكُلِّ اسْمٍ هُوَ لَكَ سَمَّيْتَ بِهِ نَفْسَكَ أَوْ أَنْزَلْتَهُ فِي كِتَابِكَ أَوْ عَلَّمْتَهُ أَحَدًا مِنْ خَلْقِكَ أَوْ اسْتَأْثَرْتَ بِهِ فِي عِلْمِ الْغَيْبِ عِنْدَكَ أَنْ تَجْعَلَ الْقُرْآنَ رَبِيعَ قَلْبِي وَنُورَ صَدْرِي وَجِلَاءَ حُزْنِي وَذَهَابَ هَمِّي

Artinya: "Ya Allah, sesungguhnya aku adalah hamba-Mu, anak hamba laki-laki-Mu, dan anak hamba perempuan-Mu. Ubun-ubunku berada di tangan-Mu. Hukum-Mu berlaku pada diriku. Ketetapan-Mu adil atas diriku. Aku memohon kepada-Mu dengan segala nama yang menjadi milik-Mu, yang Engkau namakan diri-Mu dengannya, atau Engkau turunkan dalam Kitab-Mu, atau yang Engkau ajarkan kepada seorang dari makhluk-Mu, atau yang Engkau rahasiakan dalam ilmu ghaib yang ada di sisi-Mu, agar Engkau jadikan Al-Qur'an sebagai penyejuk hatiku, cahaya bagi dadaku dan pelipur kesedihanku serta pelenyap bagi kegelisahanku."
________________
________________

Doa di atas didasarkan pada hadits dari Abdullah bin Mas'ud radliyallah 'anhu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, "Tidaklah seseorang tertimpa kegundahan (galau) dan kesedihan lalu berdoa (dengan doa di atas) . . . melainkan Allah akan menghilangkan kesedihan dan kegelisahan (keundahan)-nya serta menggantikannya dengan kegembiraan.

Ibnu Mas'ud berkata, "Ada yang bertanya, 'Ya Rasulallah, bolehkah kita mempelajarinya?' Beliau menjawab, 

'Ya, sudah sepatutnya orang yang mendengarnya untuk mempelajarinya'." (HR. Ahmad dalam Musnadnya I/391, 452, Al-Hakim dalam Mustadraknya I/509, Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannafnya VII/47, Ibnu Hibban dalam Shahihnya no. 2372, Al-Thabrani dalam Al-Mu'jam Al-Kabir no. 10198 –dari Maktabah Syamilah-. Hadits ini telah dishahihkan oleh Ibnu Taimiyah dan muridnya Ibnul Qayyim, keduanya banyak menyebutkannya dalam kitab-kitab mereka. Juga dihasankan oleh Al-Hafidz dalam Takhriij Al-Adzkaar dan dishahihkan oleh Al-Albani  dalam al-Kalim al Thayyib hal. 119 no. 124 dan Silsilah Shahihah no. 199.)

Apabila yang Berdoa Seorang Wanita
Bentuk lafadz doa di atas untuk mudzakar (laki-laki), Ana 'Abduka (aku hamba laki-laki-Mu), Ibnu 'Abdika Wabnu Amatik (anak laki-laki dari hamba-laki-laki-Mu dan anak laki-laki dari hamba perempuan-Mu).  Kalau yang berdoa adalah laki-laki tentunya lafadz tersebut tepat dan tidak menjadi persoalan. Namun, bila yang berdoa seorang muslimah, apakah dia harus mengganti lafadz di atas dengan bentuk mu'annats (untuk perempuan), yaitu dengan Allaahumma Inni Amatuk, Ibnatu 'Abdika, Ibnatu Amatik (Ya Allah aku adalah hamba wanita-Mu, anak perempuan dari hamba laki-laki-Mu dan anak perempuan dari hamba perempuan-Mu)?
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah pernah ditanya tentang seorang wanita yang mendengar doa di atas, tapi dia tetap berpegang dengan lafadz hadits. Lalu ada yang berkata padanya, ucapkan, "Allahumma Inni Amatuk . . . ." namun dia menolak dan tetap memilih lafadz dalam hadits, apakah dia dalam posisi yang benar ataukah tidak?
Kemudian beliau menjawab, "Selayaknya dia mengucapkan dalam doanya, "Allahumma Inni Amatuk, bintu amatik  . . ." dan ini adalah yang lebih baik dan tepat, walaupun ucapannya, 'Abduka, ibnu 'abdika memiliki pembenar dalam bahasa Arab seperti lafadz zauj (pasangan; bisa digunakan untuk suami atau istri-pent), wallahu a'lam." (Majmu' Fatawa Syaikhil Islam Ibnu Taimiyah: 22/488)
Syaikh Abdul 'Aziz bin Baaz rahimahullah pernah juga ditanya tentang cara berdoanya seorang wanita dengan doa tersebut. Apakah wanita itu tetap mengucapkan, "wa ana 'abduka wabnu 'abdika" (dan saya adalah hamba laki-laki-Mu dan anak laki-laki dari hamba laki-laki-Mu) ataukah harus mengganti dengan, "Wa ana amatuk, ibnu 'andika atau bintu 'abdika"?
Beliau rahimahullah menjawab, "Persoalan ini luas Insya Allah, Persoalan dalam masalah ini luas. Apabila wanita itu berdoa sesuai dengan hadits, tidak apa-apa. Dan jika berdoa dengan bentuk yang ma'ruf bagi wanita, Allahumma innii amatuk, wabnutu 'abdika, juga tidak apa-apa, semuanya baik."            

Kandungan Doa
Doa di atas mengandung persoalan-persoalan pokok dalam akidah Islam di antaranya:

1. Rasa galau, gundah dan sedih yang menimpa seseorang akan menjadi kafarah (penghapus dari dosanya) berdasarkan hadits Mu'awiyah radliyallah 'anhu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam sabda,
مَا مِنْ شَيْءٍ يُصِيبُ الْمُؤْمِنَ فِي جَسَدِهِ يُؤْذِيهِ إِلَّا كَفَّرَ اللَّهُ عَنْهُ بِهِ مِنْ سَيِّئَاتِهِ
"Tidak ada sesuatu yang menimpa seorang mukmin pada tubuhnya sehingga membuatnya sakit kecuali Allah akan menghapuskan dosa-dosanya." (HR. Ahmad 4/98, Al-Hakim 1/347 dan beliau menyatakan shahih sesuai syarat Syaikhain. Imam al-Dzahabi menyepakatinya. Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam al-Shahihah 5/344, no. 2274)
Diriwayatkan dari Abu Sa’id Al-Khudri dan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhuma, dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, beliau bersabda:

مَا يُصِيبُ الْمُسْلمَ مِنْ نَصَبٍ وَلاَ وَصَبٍ وَلاَ هَمٍّ وَلاَ حُزْنٍ وَلاَ أَذًى وَلاَ غَمٍّ حَتَّى الشَّوْكَةِ يُشَاكُهَا إِلاَّ كَفَّرَ اللهُ بِهَا مِنْ خَطَايَاهُ
"Tidaklah menimpa seorang muslim kelelahan, sakit, kekhawatiran, kesedihan, gangguan dan duka, sampai pun duri yang mengenai dirinya, kecuali Allah akan menghapus dengannya dosa-dosanya.” (Muttafaqun alaih)

Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullahu berkata dalam Syarh Riyadhish Shalihin (1/94): “Apabila engkau ditimpa musibah maka janganlah engkau berkeyakinan bahwa kesedihan atau rasa sakit yang menimpamu, sampaipun duri yang mengenai dirimu, akan berlalu tanpa arti. Bahkan Allah Subhanahu wa Ta'ala akan menggantikan dengan yang lebih baik (pahala) dan menghapuskan dosa-dosamu dengan sebab itu. Sebagaimana pohon menggugurkan daun-daunnya. Ini merupakan nikmat Allah Subhanahu wa Ta'ala. Sehingga, bila musibah itu terjadi dan orang yang tertimpa musibah itu:
a. Dia mengingat pahala dan mengharapkannya, maka dia akan mendapatkan dua balasan, yaitu menghapus dosa dan tambahan kebaikan (sabar dan ridha terhadap musibah).
b. Dia lupa (akan janji Allah Subhanahu wa Ta'ala), maka akan sesaklah dadanya sekaligus menjadikannya lupa terhadap niat mendapatkan pahala dari Allah Ta’ala.
Dari penjelasan ini, ada dua pilihan bagi seseorang yang tertimpa musibah: beruntung dengan mendapatkan penghapus dosa dan tambahan kebaikan, atau merugi, tidak mendapatkan kebaikan bahkan mendapatkan murka Allah Ta’ala karena dia marah dan tidak sabar atas taqdir tersebut.”

2. Kedudukan ubudiyah merupakan tingkatan iman tertinggi. Karenanya, seorang muslim wajib menjadi hamba Allah semata dan senantiasa beribadah kepada-Nya, Dzat yang tidak memiliki sekutu. Hal ini ditunjukkan lafadz, Inni 'Abduka Wabnu 'Abdika Wabnu Amatik (Sesungguhnya aku adalah hamba-Mu, anak hamba laki-laki-Mu, dan anak hamba perempuan-Mu).

3. Semua urusan hamba berada di tangan Allah yang diarahkan sekehandak-Nya. Dan masyi'ah (kehendak) hamba mengikuti kehendak Allah. hal ini ditunjukkan oleh lafadz, Naashiyatii biyadik (Ubun-ubunku berada di tangan-Mu).

4. Allah yang berhak mengadili dan memutuskan perkara hamba-hamba-Nya dalam perselisihan di antara mereka. Hal ini ditunjukkan oleh lafadz, 'Adlun fiyya qadla-uka (Ketetapan-Mu adil atas diriku). Allah Ta'ala berfirman,
إِنِ الْحُكْمُ إِلَّا لِلَّهِ أَمَرَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ
"Keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia. Itulah agama yang lurus, . ." (QS. Yuusuf: 40)

5. Ketetapan takdir-Nya adil dan baik bagi seorang muslim. Jika dia mendapat kebaikan, bersyukur, dan itu baik baginya. Sebaliknya, bila tertimpa keburukan (musibah atau bencana) dia bersabar, dan itupun baik baginya. Semua perkara orang mukmin itu baik, dan hal itu tidak dimiliki kecuali oleh ornag beriman. (HR. Muslim)

6. Anjuran untuk bertawassul dengan Asmaul Husna (Nama-nama Allah yang Mahaindah) dan sifat-sifatnya yang Mahatinggi. Allah perintahkan sendiri bertawassul dengannya dalam firman-Nya,
وَلِلَّهِ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَى فَادْعُوهُ بِهَا
"Hanya milik Allah asmaulhusna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaaulhusna itu . ." (QS. Al-A'raaf: 180)


7. Nama-nama Allah dan sifat-sifatnya adalah tauqifiyyah yang tidak diketahui kecuali melalui wahyu. Allah sendiri yang menamakan diri-Nya dengan nama-nama tersebut dan mengajarkannya kepada para hamba-Nya.

8. Nama-nama Allah tidak terbatas pada 99 nama. Hal ini ditunjukkan oleh lafadz, awis ta'tsarta bihii fii 'ilmil ghaibi 'indaka (atau yang Engkau rahasiakan dalam ilmu ghaib yang ada di sisi-Mu).
Sedangkan hadits yang menerangkan jumlah nama Allah ada 99,

إنَّ لِلَّهِ تِسْعَةً وَتِسْعِينَ اسْمًا مِائَةً إِلَّا وَاحِدًا مَنْ أَحْصَاهَا دَخَلَ الْجَنَّةَ
"Sesungguhnya Allah memiliki 99 nama, seratus kurang satu, siapa yang menghafalnya pasti masuk surga." (HR. Bukhari dan Muslim)

 Menurut imam al-Khathabi dan lainnya, maknanya adalah seperti orang yang mengatakan "Saya memiliki 1000 dirham yang kusiapkan untuk sedekah," yang bukan berarti uangnya hanya 1000 dirham itu saja. (Majmu' Fatawa: 5/217)

9. Al-Qur'an memberi petunjuk kepada jalan yang paling lurus. Keberadaannya laksana musim semi bagi hati orang mukmin, memberi kenyamanan pada hatinya, menjadi cahaya bagi dadanya, sebagai pelipur kesedihannya, dan penghilang bagi kesusahannya. Hal ini menunjukkan kedudukan Al-Qur'an yang sangat tinggi dalam kehidupan manusia, baik individu, masyarakat, atau suatu umat.

10. Siapa yang datang kepada Allah pasti Allah akan mencukupkannya, siapa yang menghaturkan kefakirannya kepada Allah, Dia pasti mengayakannya. Siapa yang meminta kepada-Nya, pasti Dia akan memberinya. Hal ini ditunjukkan lafadz hadits, "Melainkan Allah akan menghilangkan kesedihan dan kesusahannya serta menggantikannya dengan kegembiraan."
 
11. Wajib mempelajari Al-Sunnah dan mengamalkan serta mendakwahkannya. Sesungguhnya Sunnah memuat petunjuk kehidupan manusia secara keseluruhan. Hal ini ditunjukkan oleh kalimat di ujung hadits, "Ya, sudah sepatutnya orang yang mendengarnya untuk mempelajarinya."

Doa Ashabul Kahfi: Memohon Rahmat dan Bimbingan Allah Saat Terancam

Al-Hamdulillah, segala puji bagi Allah Subhanahu wa Ta'ala. Shalawat dan salam semoga terlimpah kepada baginda Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam, keluarga dan para sahabatnya.
رَبَّنَا آَتِنَا مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً وَهَيِّئْ لَنَا مِنْ أَمْرِنَا رَشَدًا
"(Ingatlah) tatkala pemuda-pemuda itu mencari tempat berlindung ke dalam gua lalu mereka berdoa: Wahai Tuhan kami berikanlah rahmat kepada kami dari sisi-Mu dan sempurnakanlah bagi kami petunjuk yang lurus dalam urusan kami (ini)"." (QS. Al-Kahfi: 10)

Doa di atas dibaca para pemuda Ashabul Kahfi saat memasuki goa. Mereka berlindung ke dalamnya karena khawatir akan keselamatan agama mereka. Karena raja yang berkuasa di daerah tempat tinggal mereka membenci dan memusuhi keyakinan para Ashabul Kahfi.
Banyak mufassirin generasi salaf dan khalaf yang menyebutkan, para pemuda tersebut terdiri dari anak-anak raja Romawi dan orang-orang terhormat mereka yang bersatu karena iman. Saling bantu-membantu menegakkan ibadah kepada Allah semata dalam tempat ibadah yang mereka bangun bersama. Terus bertahan demikian sehingga mereka diketahui oleh kaumnya. Kemudian mereka dilaporkan kepada raja mereka. Sang raja memanggil mereka untuk datang menghadap kepadanya. Lalu ia bertanya tentang hal ihwal dan kegiatan mereka. Lalu mereka menjawab dengan sebenarnya dan mengajak raja itu untuk menyembah Allah Ta'ala.

وَرَبَطْنَا عَلَى قُلُوبِهِمْ إِذْ قَامُوا فَقَالُوا رَبُّنَا رَبُّ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ لَنْ نَدْعُوَ مِنْ دُونِهِ إِلَهًا لَقَدْ قُلْنَا إِذًا شَطَطًا هَؤُلَاءِ قَوْمُنَا اتَّخَذُوا مِنْ دُونِهِ آَلِهَةً لَوْلَا يَأْتُونَ عَلَيْهِمْ بِسُلْطَانٍ بَيِّنٍ فَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنِ افْتَرَى عَلَى اللَّهِ كَذِبًا
"Dan Kami telah meneguhkan hati mereka di waktu mereka berdiri lalu mereka berkata: "Tuhan kami adalah Tuhan langit dan bumi; kami sekali-kali tidak menyeru Tuhan selain Dia, sesungguhnya kami kalau demikian telah mengucapkan perkataan yang amat jauh dari kebenaran". Kaum kami ini telah menjadikan selain Dia sebagai tuhan-tuhan (untuk di sembah). Mengapa mereka tidak mengemukakan alasan yang terang (tentang kepercayaan mereka?) Siapakah yang lebih lalim daripada orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah?" (QS. Al-Kahfi: 14-15)

Ibnu Katsir rahimahullah berkata, "Allah Ta'ala berfirman: Kami jadikan mereka bersabar atas tindakannya menentang kaum mereka sendiri, meninggalkan kampung halaman mereka dan meninggalkan kehidupan yang enak, kebahagiaan, dan kenikmatan."
Sesudah mereka menyeru raja untuk beriman kepada Allah, maka raja menolak seruan tersebut. Bahkan ia mengancam mereka dan menyuruh menanggalkan pakaian yang mereka kenakan, yang padanya terdapat perhiasan kaumnya. Kemudia ia memberikan waktu kepada mereka untuk berpikir supaya rela meninggalkan keyakinan mereka.
Kemudian Allah menurunkan rahmat dan kasih sayangnya kepada para pemuda Ashabul Kahfi, di mana pada masa penangguhan itu mereka berhasil melarikan diri demi mempertahankan agama yang dianutnya dari fitnah. Lalu mereka ber'uzlah, dan Allah menurunkan ilham-Nya kepada mereka agar berlindung ke dalam gua, mencari tempat di sana sehingga raja dan kaumnya kehilangan jejak mereka. Hal ini diterangkan dalam firman-Nya,

وَإِذِ اعْتَزَلْتُمُوهُمْ وَمَا يَعْبُدُونَ إِلَّا اللَّهَ فَأْوُوا إِلَى الْكَهْفِ يَنْشُرْ لَكُمْ رَبُّكُمْ مِنْ رَحْمَتِهِ وَيُهَيِّئْ لَكُمْ مِنْ أَمْرِكُمْ مِرفَقًا
"Dan apabila kamu meninggalkan mereka dan apa yang mereka sembah selain Allah, maka carilah tempat berlindung ke dalam gua itu niscaya Tuhanmu akan melimpahkan sebagian rahmat-Nya kepadamu dan menyediakan sesuatu yang berguna bagimu dalam urusan kamu." (QS. Al-Kahfi: 16)

Raja dan kaumnya terus mencari para pemuda Ashabul Kahfi, tapi tidak menemukannya. Bahkan Allah membutakan raja dan kaumnya untuk mendapatkan berita para pemuda tersebut. Hal ini sebagaimana Allah membutakan kaum kafir Quraisy yang memburu Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam dan Abu Bakar al-Shiddiq, saat keduanya bersembunyi di gua Tsur dalam keberangkatan hijrah ke Madinah. Padahal Kafir Quraisy telah melalui tempat persembunyian Rasulullah dan Abu Bakar, namun mereka tidak mendapatkan keduanya.
Nah, pada saat mereka akan memasuki gua di sebuah gunung, tempat sembunyi dan berlindung dari raja dan kaumnya yang kafir, mereka berdoa kepada Allah Ta'ala saat memasukinya, memohon rahmat dan kebaikan-Nya,

رَبَّنَا آَتِنَا مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً وَهَيِّئْ لَنَا مِنْ أَمْرِنَا رَشَدًا
"(Ingatlah) tatkala pemuda-pemuda itu mencari tempat berlindung ke dalam gua lalu mereka berdoa: Wahai Tuhan kami berikanlah rahmat kepada kami dari sisi-Mu dan sempurnakanlah bagi kami petunjuk yang lurus dalam urusan kami (ini)"." (QS. Al-Kahfi: 10)

Maksudnya: Anugerahkan kepada kami rahmat dari sisi-Mu, yang dengannya Engkau rahmati kami dan selamatkan kami dari kaum kami. Dan tetapkanlah petunjuk yang lurus kepada kami dalam urusan kami. Dengan kata lain, jadkanlah kesudahan akhir kami di bawah petunjuk yang lurus. Sebagaimana doa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam, 

اللَّهُمَّ أَحْسِنْ عَاقِبَتَنَا فِي الْأُمُورِ كُلِّهَا وَأَجِرْنَا مِنْ خِزْيِ الدُّنْيَا وَعَذَابِ الْآخِرَةِ
"Ya Allah, jadikanlah baik akhir kesudahan kami dalam semua urusan, dan selamatkanlah kami dari kehinaan dunia dan azab akhirat." (HR. Ahmad dari Busr bin Arthah al-Qurasyi)

Kemudian Allah menurunkan urusan-Nya kepada mereka, menjadikan mereka tertidur bertahun-tahun lamanya sesaat sesudah mereka memasuki goa, yakni 309 tahun. Dan saat mereka terbangun, kondisi masyarakat sudah berubah. Raja yang berkuasa adalah seorang muslim yang menurut satu riwayat namanya, Yandusus. Rakyatnya juga demikian. Sehingga saat raja dan rakyatnya menemui mereka di dalam goa, para Ashabul Kahfi merasa bahagia dan bercengkrama bersamanya. Kemudian mereka meninggalkan para pemuda tersebut dan mengucapkan salam kepada mereka. Lalu mereka kembali ke tempat pembaringan mereka sehingga Allah mewafatkan mereka.

Doa Bila Tertimpa Sesuatu yang Tidak Diinginkan

قَدَّرَ اللَّهُ وَمَا شَاءَ فَعَلَ
Qaddarallahu Wamaa Syaa-a Fa'ala
"Allah telah mentakdirkannya, dan apa yang Dia kehendaki Dia Perbuat."

Boleh juga diucapkan:
قَدَرُ اللَّهِ وَمَا شَاءَ فَعَلَ
Qadarulluhi Wamaa Syaa-a Fa'ala
"ini adalah takdir Allah, dan apa yang Dia kehendaki Dia Perbuat."


Sumber Doa:

Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'Anhu, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda,

الْمُؤْمِنُ الْقَوِىُّ خَيْرٌ وَأَحَبُّ إِلَى اللَّهِ مِنَ الْمُؤْمِنِ الضَّعِيفِ وَفِى كُلٍّ خَيْرٌ احْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ وَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ وَلاَ تَعْجِزْ وَإِنْ أَصَابَكَ شَىْءٌ فَلاَ تَقُلْ لَوْ أَنِّى فَعَلْتُ كَانَ كَذَا وَكَذَا. وَلَكِنْ قُلْ قَدَرُ اللَّهِ وَمَا شَاءَ فَعَلَ فَإِنَّ لَوْ تَفْتَحُ عَمَلَ الشَّيْطَانِ
"Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai oleh Allah daripada mukmin yang lemah. Namun masing-masing ada kebaikan. Semangatlah meraih apa yang manfaat untukmu dan mohonlah pertolongan kepada Allah, dan jangan bersikap lemah. Jika engkau tertimpa suatu musibah janganlah mengatakan, "Seandainya aku berbuat begini dan begitu, niscaya hasilnya akan lain." Akan tetapi katakanlah, "Allah telah mentakdirkannya, dan apa yang Dia kehendaki Dia Perbuat." Sebab, mengandai-andai itu membuka pintu setan." (HR. Muslim)

Keterangan
Seorang muslim semestinya menjadi orang yang dinamis dan penuh semangat. Karena setiap dari amalnya tidak akan disia-siakan oleh Rabb-nya. Kerjanya mencari nafkah untuk keluarganya dan semua usahanya untuk kebaikan dunia dan akhiratnya dinilai sebagai shadaqah untuknya, ibadah yang berpahala. Namun perlu diingat, ia tidak boleh hanya bersandar kepada usahnya semata. Tapi haruslah ia mentawakkalkan usahanya kepada Allah dengan berdoa, berharap, dan menyerahkan hasil puncaknya kepada Tuhannya. Sehingga ia berada pada maqam Iyyaka Na'budu wa Iyyaka Nasta'in.
Kemudian kesungguhan usaha dan isti'anah tadi diikuti dengan husnudzan (prasangkan baik kepada-Nya), bahwa Dia akan memberikan yang terbaik kepada dirinya. Setiap ketetapan Allah mengandung hikmah yang boleh jadi tak diketahuinya dan tak terlihat oleh matanya. Sehingga saat terjadi sesuatu yang berbeda ia tetap tenang dan semangat. Ia tidak melemah dan menyesali usahanya tersebut. Karena penyesalan hanya akan menghapuskan amal kebaikan yang sudah dikumpulkannya. Apalagi sampai mengandai-andai, kalau saja ia memilih usaha atau melakukan sesuatu yang lain tentu tidak terjadi apa yang sudah terjadi. Padahal apa yang sudah terjadi itu adalah takdir yang sudah sudah dicatat jauh-jauh sebelum itu diperbuat, diketahui dan dikehendaki oleh-Nya. Karenanya ucapan semacam itu termasuk bagian yang bertentangan dengan rukun iman ke enam, iman kepada takdir yang baik dan yang buruk (menurut kita).
Mengandai-andai di kala terjadi sesuatu yang tidak sesuai keinginan akan membuka pintu syetan, yakni akan menyebabkan cacian, lemah semangat, marah, was-was, merana dan sedih. Semua ini termasuk dari perbuatan syetan sehingga Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam melarang membuka kesempatan pada syetan untuk menggoda hamba dengan kalimat pengandaian ini. Kemudian Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam memerintahkan agar melihat kejadian itu dari sudut pandang takdir. Ia meyakini, apa yang sudah Allah takdirkan atasnya pasti itu akan menimpanya, tak seorangpun yang sanggup menghalau dan menolaknya.
. . . Mengandai-andai di kala terjadi sesuatu yang tidak sesuai keinginan akan membuka pintu syetan, yakni akan menyebabkan cacian, lemah semangat, marah, was-was, merana dan sedih. . .
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam menasihatkan kepada Ibnu Abbas Radhiyallahu 'Anhuma, "Ketahuilah, seandainya semua umat berkumpul untuk memberi suatu manfaat kepadamu, maka mereka tidak bisa memberi manfaat kepadamu kecuali dengan sesuatu yang telah Allah tetapkan untukmu. Sebaliknya, seandainya mereka berkumpul untuk menimpakan kemadharatan kepadamu, maka mereka tidak bisa menimpakan kemadharatan kepadamu kecuali dengan sesuatu yang Allah tetapkan atasmu. Pena (takdir) telah diangkat dan lembaran-lembaran telah kering." (HR. al-Tirmidzi)

Benar, urusan telah usai. Tidak mungkin yang sudah terjadi bisa berubah lagi. Perkara ini sudah tercatat di Lauh Mahfudz lima puluh tahun sebelum Allah menciptakan langit dan bumi. Akan terjadi apa yang sudah tercatat bagaimanapun ia berbuat. Oleh sebab itu, Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam menganjurkan untuk berkata:  "Ini adalah takdir Allah, dan apa yang Dia kehendaki Dia Perbuat." Artinya: ini yang terjadi adalah takdir dan qadha' (ketetapan) Allah. Apa yang Allah 'Azza wa Jalla  kehendaki maka Dia lakukan, tak seorangpun yang bisa melarang dan menahan-Nya dari melakukan keinginan-Nya dalam kekuasaan yang Dia miliki. Maka Setiap yang Dia kehendaki pastilah Dia akan melakukannya.

إِنَّ رَبَّكَ فَعَّالٌ لِمَا يُرِيدُ      
"Sesungguhnya Tuhanmu Maha Pelaksana terhadap apa yang Dia kehendaki." (QS. Huud: 107)

Meyakini Hikmah dalam Takdir       
Mengembalikan kenyataan yang tidak sesuai keinginan kepada takdir haruslah disertai dengan keyakinan bahwa setiap takdir Allah mengandung hikmah yang dikehendaki oleh-Nya. Boleh jadi hikmah tersebut tak mampu kita baca atau tidak nampak oleh kita. Meyakini ini hukumnya wajib berdasarkan firman Allah Ta'ala,

وَمَا تَشَاءُونَ إِلَّا أَنْ يَشَاءَ اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا
"Dan kamu tidak mampu (menempuh jalan itu), kecuali bila dikehendaki Allah. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui lagi Maha Hikmah." (QS. al-Insan: 30)

Allah menjelaskan bahwa Masyi'ahnya (kehendak-Nya) diiringi dengan hikmah dan ilmu. Berapa banyak kenyataan yang dibenci orang tapi akibatnya baik untuk dirinya. Sebagaimana firman Allah Ta'ala, "Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu." (QS. Al-Baqarah; 216) dan banyak kejadian-kejadian yang membenarkan ayat ini.
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin menuturkan dalam Syarh Riyadhus Shalihin, pernah terjadi kecelakaan pesawat yang berangkat dari Riyadh menuju Jeddah. Di dalamnya terdapat penumpang sangat banyak, lebih dari 300 penumpang. Terdapat salah seorang calon penumpang yang sudah membeli tiket berada di ruang tunggu sampai tertidur. Tatkala diumumkan bahwa pesawat segera berangkat, para penumpang memasuki pesawat. Sementara seorang penumpang tadi masih terlelap dalam tidurnya. Saat ia bangun, pintu pesawat sudah tertutup. Ia sangat menyesal dan jengkel. Kemudian Allah menetapkan takdir-Nya dengan hikmah-Nya, pesawat tersebut mengalami kecelakaan, terbakar. Semua penumpangnya tewas. Subhanallah, laki-laki yang tertidur tadi selamat dari kecelakaan karena tertidur. Ia marah karena tertinggal pesawat, tapi kejadian itu malah membawa kebaikan untuk dirinya. Semoga kita menjadi orang cerdas yang senantiasa beriman kepada Allah dan takdir-Nya, serta selalu berbaik sangka kepada-Nya. Amiin.