رَبِّ اغْفِرْ لِي وَهَبْ لِي مُلْكًا لا يَنْبَغِي لأحَدٍ مِنْ بَعْدِي إِنَّكَ أَنْتَ الْوَهَّابُ


"Ya Rabb-ku, ampunilah aku, dan anugerahkanlah kepadaku kerajaan, yang tidak dimiliki oleh seorangpun juga sesudahku, sesungguhnya Engkaulah Yang Maha pemberi’."

Sabtu, 13 September 2014

Ternyata Ada Dosa yang Lebih Besar dari Syirik





Dosa syirik (menyekutukan Allah) terkenal sebagai dosa besar yang paling besar. Seorang musyrik, apabila meninggal di atas kesyirikannya akan kekal di neraka. Status keislamannya batal. Seluruh amal baiknya terhapus. Dan diharamkan ampunan Allah atasnya. Haruslah seorang muslim takut dan khawatir terjerumus ke dalamnya.


Namun tahukah kita bila di sana ada dosa yang lebih besar dosanya dari syirik. Ibnul Qayyim dalam I’lam Muwaqqi’in menyebutkan dosa yang lebih besar dari Syirik tersebut, yaitu berbicara (mengada-ngada) tentang Allah tanpa ilmu.


Beliau berkata: “Sungguh Allah Subhanahu Wa Ta'ala telah haramkan berbicara (mengada-ngada) terhadap Allah tanpa ilmu dalam fatwa dan ketetapan hukum. Allah menjadikannya sebagai bagian dari perkara haram yang paling besar. Bahkan menjadikannya pada tingkatan perkara haram yang paling tinggi.” (I/38)

Beliau mendasarkan pendapatnya kepada firman Allah Subhanahu Wa Ta'ala,


قُلْ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَالْإِثْمَ وَالْبَغْيَ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَأَنْ تُشْرِكُوا بِاللَّهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَانًا وَأَنْ تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ مَا لَا تَعْلَمُونَ


Katakanlah: "Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak atau pun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui".” 
(QS. Al-A’raf: 33)


Allah mengklasifikasi perkara-perkara haram pada empat tingkatan. Dia memulainya dengan yang paling ringan, yaitu al-Fawahisy (perbuatan keji). Lalu menempatkan pada urutan keduanya perbuatan yang lebih haram darinya, yaitu dosa dan aniaya. Lalu menyusulkan diurutan ketiga: perkara yang lebih tinggi tingkat keharamannya daripada kedua di awal, yaitu syirik terhadap Allah (menyekutukan Allah) Subhanahu Wa Ta'ala. Kemudian menyusulkan dengan yang keempat suatu perbuatan yang lebih dahsyat keharamannya daripada semuanya tadi, yaitu berbicara (mengada-ngada) terhadap Allah tanpa ilmu.


Menurut Ibnul Qayyim, ditempatkannya pada urutan keempat dari perkara-perkara haram yang disepakati syariat menunjukkan bahwa berbicara tentang Allah tanpa ilmu adalah perkara haram yang paling haram dan paling besar dosanya. Ia tidak pernah bisa menjadi halal dalam satu waktu atau kondisi. Dalam kondisi apapun tetap haram. Ini berbeda dengan haramnya bangkai, darah, dan babi yang bisa bisa dibolehkan dalam kondisi tertentu. (I’lam al-Muwaqqi’in: I/372)


Perkara ini mencakup berdusta terhadap Allah dan menisbatkannya kepada sesuatu yang tidak layak untuk-Nya, merubah dan mengganti agama-Nya, meniadakan apa yang telah ditetapkan-Nya dan menetapkan apa yang ditiadakan oleh-Nya, menganggap benar apa yang dibatilkan-Nya dan membatilkan apa yang dinyatakan benar oleh-Nya, memusuhi orang yang dibela-Nya dan membela orang yang dimusuhi oleh-Nya, mencintai apa yang dibenci-Nya dan membenci apa yang dicintai oleh-Nya, menyifati diri-Nya dnegan sesuatu yang tak layak untuk-Nya dalam Dzat, Sifat, firman dan perbuatan-Nya.


Berbicara terhadap Allah tanpa ilmu adalah sumber kesyirikan dan kekufuran. Dia juga menjadi sebab dari semua bentuk perbuatan bid’ah dan kesesatan. Setiap perkara bid’ah yang sesat dalam agama, asasnya adalah berkata terhadap Allah tanpa ilmu.

Firman Allah Ta’ala yang menyebutkan ancaman terhadap perbuatan dusta atas hukum-hukum Allah,


وَلَا تَقُولُوا لِمَا تَصِفُ أَلْسِنَتُكُمُ الْكَذِبَ هَذَا حَلَالٌ وَهَذَا حَرَامٌ لِتَفْتَرُوا عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ إِنَّ الَّذِينَ يَفْتَرُونَ عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ لَا يُفْلِحُونَ مَتَاعٌ قَلِيلٌ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ


Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta "Ini halal dan ini haram", untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung. (Itu adalah) kesenangan yang sedikit; dan bagi mereka azab yang pedih.” 
(QS. Al-Nahl: 116-117)


Dalam ayat di atas, Allah Subhanahu Wa Ta'ala menyampaikan kepada mereka ancaman berdusta atas Allah dalam hukum-Nya dan ucapan mereka terhadap perkara yang tidak diharamkannya: ini haram; dan terhadap perkara yang tidak dihalalkannya: ini halal. Ini adalah penjelasan dari Allah Subhanahu Wa Ta'ala, seorang hamba tidak boleh mengucapkan: ini halal dan ini haram kecuali dengan ilmu bahwa Allah Subhanahu Wa Ta'ala telah menghalalkan dan mengharamkannya. (I’lam al-Muwaqqi’in: I/38)


Sebagian ulama salaf berkata: Hendaknya salah seorang kalian takut mengatakan: Allah telah menghalalkan ini dan mengharamkan itu, lalu Allah berkata kepadanya: kamu dusta, Aku tidak halalkan ini dan tidak haramkan itu. Seseorang tidak boleh mengatakan terhadap perkara yang tidak ia ketahui keterangan wahyu yang jelas akan kehalalan dan keharamannya, Allah telah menghalalkannya dan Allah telah mengharamkannya karena hanya taqlid atau takwil.


Penutup

Bahasan ini merupakan peringatan atas tokoh dan pentolan umat agar tidak sembrono (ngawur) saat berbicara tentang Allah, Rasul-Nya dan agama-Nya. Hendaknya ia benar-benar bertakwa kepada Allah dalam menyampaikan ajaran Islam dan menjelaskan hukum-hukumnya. Janganlah kepentingan duniawi dan materi menjadikannya berani berbicara mengada-ngada tentang Allah dan agama-Nya. Jika tidak, maka Allah siapkan siksa yang sangat dahsyat di akhirat. Wallahu A’lam.

Siksa atas Pezina di Alam Kuburnya





Al-Hamdulillah, segala puji milik Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam atas Rasulullah –Shallallahu 'Alaihi Wasallam- keluarga dan para sahabatnya.

Zina nerupakan perbuatan dosa terburuk. Salah satu dosa besar yang paling besar. Dosa hina yang membuat Allah sangat murka. Terlebih kalau yang melakukannya sudah pernah menikah dan merasakan madu perkawinan.

Allah Subhanahu Wa Ta'ala telah menyediakan ancaman berat atas perbuatan zina. Allah menggandengkannya dengan ancaman atas perbuatan syirik dan pembunuhan. Ini menunjukkan status dosanya yang sangat berat dan termasuk bagian dari dosa besar yang paling besar.
Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman,

وَالَّذِينَ لَا يَدْعُونَ مَعَ اللَّهِ إِلَهًا آَخَرَ وَلَا يَقْتُلُونَ النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ وَلَا يَزْنُونَ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ يَلْقَ أَثَامًا يُضَاعَفْ لَهُ الْعَذَابُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَيَخْلُدْ فِيهِ مُهَانًا

“Dan orang-orang yang tidak menyembah tuhan yang lain beserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina, barang siapa yang melakukan demikian itu, niscaya dia mendapat (pembalasan) dosa (nya), (yakni) akan dilipat gandakan azab untuknya pada hari kiamat dan dia akan kekal dalam azab itu, dalam keadaan terhina.” 
(QS. Al-Furqan: 68-69)

Sejumlah mufassirin menyebutkan makna atsam. Yaitu lembah di jahannam. Ikrimah mengatakan, “Mendapatkan atsam: lembah-lembah di jahannam di mana para pezina disiksa di dalamnya.” [Lihat Tafsir Ibnu Katsir dalam tafsir ayat di atas].

Di mana siksa atas mereka diipatgandakan dan mereka kekal di dalamnya dalam kondisi dihinakan sejadi-jadinya. Ini siksa di akhirat pasca dibangkitkan manusia. Adapun sebelum itu, di alam kuburnya, Allah sediakan siksa atas pezina yang juga mengerikan dan menghinakan. Yaitu para pezina laki-laki dan perempuan dipanggang di atas tungku yang bawahnya luas sementara atasnya sempit. Saat api menyalak ke atas, maka mereka terangkat sambil berteriak dan menjerit sekeras-kerasnya. Namun saat itu api mengecil dan mereka kembali di atas tungku. Siksa itu berulang sampai kiamat tiba. Mereka tak bisa keluar darinya. Sebuah kesengsaraan akibat kenikmatan haram sesaat.

Keterangan siksa di atas tercantum dalam hadits yang sangat panjang di Shahih al-Bukhari. Berasal dari Samurah bin Jundab Radhiyallahu 'Anhu, ia berkata: “Pada suatu pagi Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam bercerita kepada kami:

إِنَّهُ أَتَانِي اللَّيْلَةَ آتِيَانِ وَإِنَّهُمَا ابْتَعَثَانِي وَإِنَّهُمَا قَالَا لِي انْطَلِقْ وَإِنِّي انْطَلَقْتُ مَعَهُمَا. . . فَانْطَلَقْنَا فَأَتَيْنَا عَلَى مِثْلِ التَّنُّورِ قَالَ فَأَحْسِبُ أَنَّهُ كَانَ يَقُولُ فَإِذَا فِيهِ لَغَطٌ وَأَصْوَاتٌ قَالَ فَاطَّلَعْنَا فِيهِ فَإِذَا فِيهِ رِجَالٌ وَنِسَاءٌ عُرَاةٌ وَإِذَا هُمْ يَأْتِيهِمْ لَهَبٌ مِنْ أَسْفَلَ مِنْهُمْ فَإِذَا أَتَاهُمْ ذَلِكَ اللَّهَبُ ضَوْضَوْا

“Tadi malam aku didatangi dua orang. Keduanya berkata kepadaku: berjalanlah. Kemudian aku pergi berjalan bersama keduanya. . . lalu kami mendatangi bangunan menyerupai tungku api. Tiba-tiba terdengar suara gaduh dan teriakan di dalamnya. Lalu kami melongok ke dalamnya. Ternyata di dalamnya terdapat beberapa laki-laki dan perempuan telanjang. Kobaran api dari bawah mereka menyalak ke mereka. Saat kobaran api itu mengenai mereka, maka mereka menjerit kesakitan."

Kemudian Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam bertanya kepada kedua orang yang pergi bersamanya tadi, “Siapa mereka itu?” kemudian dijawab di ujung hadits,

وَأَمَّا الرِّجَالُ وَالنِّسَاءُ العُرَاةُ الَّذِينَ فِي مِثْلِ بِنَاءِ التَّنُّورِ، فَإِنَّهُمُ الزُّنَاةُ وَالزَّوَانِي

“Adapun laki-laki dan perempuan telanjang yang berada di bangunan seperti tungku api adalah para laki-laki dan perempuan pezina.”
(HR. Al-Bukhari)

Inilah siksa yang disediakan bagi pezina di alam kuburnya yang berlangsung hingga tiba kiamat. Sedangkan siksa berikutnya jauh lebih buruk dan mengerikan. Adakah orang yang masih berani mengap kenikmatan sesaat untuk kesengsaar yang panjang. Wallahu A’lam.


Kekuatan Doa Seseorang




Ketakwaan mendatangkan pertolongan yang tak terduga dari Allah SWT.

Di tiap masa dan generasi, pastilah terdapat para wali Allah SWT. Mereka mendapat berbagai keistimewaan dan posisi yang mulia di sisi-Nya. Prestasi ini diraih, antara lain berkat proses penempaan spiritual dan pendekatan (taqarrub) yang intensif dan kontinu dalam menggapai ridha-Nya.

Manfaat yang paling nyata dari kedudukan terhormat di hadapan Tuhan tersebut, yakni para wali tidak memiliki rasa khawatir dan gelisah menghadapi persoalan apa pun. Ini tak lain karena seperti yang disebutkan sebuah hadis Qudsi, tiap penglihatan, pendengaran, dan doa para hamba yang telah memiliki kedekatan dengan Sang Khaliq, tak pernah jauh dari “sentuhan-sentuhan”-Nya.

أَلَا إِنَّ أَوْلِيَاءَ اللَّهِ لَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ
الَّذِينَ آمَنُوا وَكَانُوا يَتَّقُونَ

“Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa.” 
(QS Yunus [10]: 62-63). 


Para wali Allah tersebut ada pula yang berasal dari generasi sahabat, salah satunya ialah Abu Mu’allaq. Tidak dijelaskan secara pasti nama lengkap sahabat Rasulullah SAW tersebut. Sejumlah buku sejarah tidak menyebutkan secara pasti identitas asli tokoh yang dikenal sebagai saudagar sukses itu. Ia cukup dikenal dengan panggilan gelar (kunyah) saja.

Cerita yang banyak beredar dan diriwayatkan secara turun-menurun, Abu Mu’allaq, merupakan pedagang sukses. Ia menjalankan perniagaan, baik dari permodalan sendiri ataupun menjalankan investasi orang lain. Bisnis yang ia jalankan telah merambah ke berbagai daerah.

Sering kali ia mesti melangsungkan perjalanan jauh, ribuan kilometer, dan menaklukkan keganasan padang pasir untuk berdagang di wilayah tertentu.

Meski demikian, kesibukan berniaga sang sahabat tidak lantas membuatnya lalai akan perintah agama. Justru, gemerlap duniawi mampu ia redam dengan gelora ketaatan dan ketakwaan. Abu Mu’allaq terkenal ahli ibadah dan berhati-hati dalam urusan dunia dan agama (wara’).

Suatu ketika, di tengah-tengah perjalanan bisnisnya, Abu Mu’allaq melewati gurun di tengah malam nan gelap. Ia tidak ditemani siapa pun, seorang diri. Kali ini sekaligus ia tidak bersenjata. Tiba-tiba datanglah seorang penyamun yang mempersenjatai diri dengan sebilah pedang, lalu menghadang sang sahabat.

Sang perampok lantas menghunuskan pedangnya di leher Abu Mu’alaq. “Serahkan hartamu. Jika tidak, aku akan menebas lehermu,” kata perampok dengan nada tinggi dan menggertak. “Ambil saja hartaku dan biarkan aku pergi,” jawab Abu Mu’allaq. Si penyamun berkata, “Tidak bisa, harta akan aku ambil, tetapi aku akan tetap membunuhmu.”

Kondisi genting yang dihadapi Abu Mu’allaq tak membuatnya takut dan gentar. Ia tidak membalas ancaman fisik itu dengan kekerasaan.

Tetapi sebaliknya ia malah mengajukan permohonan kepada si perampok agar diizinkan shalat empat rakaat sebelum si perampok mengeksekusinya. “Izinkan saya shalat terlebih dahulu sebelum Anda membunuh saya,” pinta Abu Mu’allaq. Permintaannya pun dikabulkan.

Kemudian, Abu Mu’allaq berwudhu dan shalat empat rakaat. Di pengujung shalatnya, detik-detik akhir sujudnya, ia berdoa agar Allah melindungi keselamatan jiwanya dari si perampok. Tak selang berapa lama, datanglah pengendara kuda dengan tombak yang diletakkan lurus sejajar tepat di antara kedua telinga kuda yang ia kendarai.

Sadar akan kehadiran pengendara misterius itu, si perampok bersiap diri, tetapi apa boleh buat. Si pengendara kuda itu lebih lincah dan lihai. Perampok pun akhirnya terbunuh. Usai duel maut, pengendara itu mendekati Abu Mu’allaq. Dengan rasa penasaran dan penuh keheranan, ia bertanya kepada pengendara misterius, siapakah gerangan dirinya.

Pengendara misterius menjawab, “Berdirilah. Aku adalah malaikat dari langit keempat. Aku mendengar suara bisikan di pintu-pintu langit pascadoa pertama yang engkau panjatkan. Setelah doa keduamu, aku mendengar keributan di antara penghuni langit. Pada pamungkas doamu, aku menerima kabar bahwa itu adalah doa dari hamba yang meminta pertolongan. Lantas aku pun meminta Allah agar mengeksekusi si perampok.”

Ampuh

Seperti apakah redaksi doa yang dipanjatkan oleh Abu Mu’allaq? Berikut doanya, “Ya wadud ya wadud, ya dzal’arsyi al-majid, ya fa’alu lima turidu, as’aluka bi’izzikal ladzi la yuram, wa bimulkikalladzi la yudhamu, wa binurikal ladzi mala’a arkana ‘arsyika an takfiyani syarra hadza al-lissha, ya mughits aghitsni.”

(Wahai Maha Pengasih wahai Maha Pengasih, Wahai Pemilik ‘Arsy yang terhormat, wahai Pelaksana segala apa yang Engkau kehendaki, aku meminta kepadamu dengan kemuliaan-Mu yang tak terkurangi, lewat singgasanamu yang tak terbinasakan, dan atas cahaya-Mu yang menyinari sendi-sendi singgasana-Mu, hendaknya engkau jauhkan keburukan pencuri ini. Wahai Penolong, tolonglah hamba-Mu.)

Doa ini diucapkan sebanyak tiga kali oleh Abu Mu’allaq dan akhirnya terkabul berkat kewaliannya.


Republika


Istri Yang Menafkahi Suami Yang Menganggur



Seseorang yang memasuki gerbang rumah tangga otomatis diikuti dengan hak dan kewajiban masing-masing. Di antara kewajiban seorang suami adalah memberi nafkah lahir dan batin. Kewajiban sang suami juga menjadi hak seorang istri.

Pada era modern, khususnya di Indonesia, wanita mendapat akses penuh dalam pendidikan dan pekerjaan. Hasilnya istilah wanita karier sudah sangat akrab di telinga kita.

Saat menjumput takdir menikah, hak seorang wanita dibatasi oleh hak lelaki yang menjadi suaminya. Tuntutan bekerja tidak lagi wajib bagi seorang wanita. Seorang laki-laki mengambil tanggung jawab itu selepas akad nikah terucap.

Namun, karena situasi dan kondisi, seperti PHK, pendidikan rendah, atau bahkan faktor kemalasan, suami memilih tidak bekerja pada saat istri mapan dalam mencari nafkah. Bolehkah peran suami-istri tersebut ditukar?

Kewajiban suami dalam mencari nafkah tetap tidak berubah. Allah SWT berfirman dalam surah an-Nisaa’ ayat 34 :


الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ ۚ فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ ۚ وَاللَّاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ ۖ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا

الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ ۚ فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ ۚ وَاللَّاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ ۖ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا - See more at: http://www.alim.org/library/quran/ayah/compare/4/34/men-are-given-authority-over-women-and-corrective-measures-for-disobedient-women-and-arbitration-in-family-disputes#sthash.yD7vsnOf.dpuf
  “Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita). Dan karena mereka (laki-laki) menafkahkan sebagian harta mereka...”
(QS An-Nissa 34)

Dalam ayat ini jelas disebutkan jika kewajiban memberi nafkah ada di pundak laki-laki. Seorang suami harus berusaha sekuat kemampuannya untuk memberi nafkah kepada istrinya. Meski kondisi sedang sulit, kewajiban ini tidak lantas gugur dengan sendirinya. Bahkan, jika ia sengaja tidak bekerja maka beberapa ulama menggolongkan perbuatannya masuk dosa besar.

Rasulullah SAW bersabda, “Cukuplah seseorang itu dikatakan berdosa jika menahan makan (upah dan sebagainya) orang yang menjadi tanggungannya.” 
(HR Muslim).

Di sisi lain baik seorang laki-laki itu bekerja atau tidak, ia tetap pemimpin dari istrinya. Artinya meski memiliki penghasilan, seorang wanita tidak boleh merendahkan atau menolak taat kepada suaminya. Sepanjang perintah sang suami tidak dalam bentuk kemaksiatan.

Harta yang dihasilkan dari pekerjaan istri sepenuhnya milik istri. Jika ia menggunakannya untuk menafkahi keluarga maka itu termasuk sedekah dan kemuliaan.

 “Apabila seorang Muslim memberikan nafkah kepada keluarganya dan dia mengharap pahala darinya maka itu bernilai sedekah.”
 (HR Bukhari)

Mengenai hukum wanita bekerja, Syekh Yusuf Qaradhawi memandang hukumnya diperbolehkan. Bahkan, bisa menjadi sunah atau wajib jika wanita tersebut membutuhkannya. Seperti dalam kondisi ia seorang janda, sedangkan tidak ada anggota keluarganya yang mampu menanggung kebutuhan ekonomi.

Selain itu, dalam sebuah keluarga, kadang diperlukan seorang wanita membantu ekonomi suaminya yang masih kekurangan, menghidupi anak-anak atau ayahnya yang telah tua renta. Seperti dalam cerita yang termaktub dalam surah al-Qashash ayat 23 :


وَلَمَّا وَرَدَ مَاءَ مَدْيَنَ وَجَدَ عَلَيْهِ أُمَّةً مِنَ النَّاسِ يَسْقُونَ وَوَجَدَ مِنْ دُونِهِمُ امْرَأَتَيْنِ تَذُودَانِ ۖ قَالَ مَا خَطْبُكُمَا ۖ قَالَتَا لَا نَسْقِي حَتَّىٰ يُصْدِرَ الرِّعَاءُ ۖ وَأَبُونَا شَيْخٌ كَبِيرٌ


 “...kedua wanita itu menjawab, ‘Kami tidak dapat memberi minum ternak kami sebelum penggembala-penggembala itu memulangkan ternaknya, sedang bapak kami termasuk orang tua yang lanjut umurnya.”
(QS Al-Qashash 31)

Juga kisah Asma’ binti Abu Bakar biasa membantu suaminya, Zubair bin Awwam, mengurus kuda, menumbuk biji-bijian untuk dimasak, kadang ia memanggulnya di atas kepala dari kebun yang jauh dari Madinah.

Meski diperbolehkan bekerja, ada beberapa syarat, menurut Syekh Qaradhawi, yang wajib dipenuhi. Pertama, pekerjaan tersebut tidak melanggar syariat, seperti bekerja di bar-bar yang menghidangkan minuman keras, bekerja melayani lelaki bujang, atau pekerjaan yang mengharuskan ia berkhalwat dengan laki-laki.


وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا ۖ وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَىٰ جُيُوبِهِنَّ ۖ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ آبَائِهِنَّ أَوْ آبَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي أَخَوَاتِهِنَّ أَوْ نِسَائِهِنَّ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُنَّ أَوِ التَّابِعِينَ غَيْرِ أُولِي الْإِرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ أَوِ الطِّفْلِ الَّذِينَ لَمْ يَظْهَرُوا عَلَىٰ عَوْرَاتِ النِّسَاءِ ۖ وَلَا يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِينَ مِنْ زِينَتِهِنَّ ۚ وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَ الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ


Kedua, seorang wanita mestilah menaati adab-adab ketika keluar rumah jika pekerjaannya mengharuskan ia bepergian. Ia harus menahan pandangan dan tidak menampakkan perhiasaan  
 (QS an-Nur [24]:31).

Terakhir, ia tidak boleh mengabaikan tugas utamanya untuk mengurus keluarga. Jangan sampai kesibukan bekerja menyebabkan suami dan anak-anaknya telantar.

Dr Abd al-Qadr Manshur mengatakan bahwa wanita yang bekerja mestilah memperhatikan faktor fisik. Wanita dianjurkan tidak melakukan pekerjaan berat maupun yang berisiko.

Hal ini bukan untuk menghalangi atau membatasi. Anjuran itu terkait pula dengan tugas alamiah wanita, seperti melahirkan, menyusui, dan menjaga keluarga.

Bidang pekerjaan wanita akan menjadi haram jika mengandung tiga hal. Yakni, berduaan dengan laki-laki, terbukanya aurat, serta ada persentuhan anggota badan dengan laki-laki dan wanita. Namun, hukum haram ini tidak berlaku untuk mereka yang berprofesi sebagai tenaga kesehatan.


Republika