Dosa syirik (menyekutukan Allah) terkenal sebagai dosa
besar yang paling besar. Seorang musyrik, apabila meninggal di atas
kesyirikannya akan kekal di neraka. Status keislamannya batal. Seluruh amal
baiknya terhapus. Dan diharamkan ampunan Allah atasnya. Haruslah seorang muslim
takut dan khawatir terjerumus ke dalamnya.
Namun tahukah kita bila di sana ada dosa yang lebih
besar dosanya dari syirik. Ibnul Qayyim dalam I’lam Muwaqqi’in menyebutkan dosa
yang lebih besar dari Syirik tersebut, yaitu berbicara (mengada-ngada) tentang
Allah tanpa ilmu.
Beliau berkata: “Sungguh Allah Subhanahu Wa
Ta'ala telah
haramkan berbicara (mengada-ngada) terhadap Allah tanpa ilmu dalam fatwa dan
ketetapan hukum. Allah menjadikannya sebagai bagian dari perkara haram yang
paling besar. Bahkan menjadikannya pada tingkatan perkara haram yang paling
tinggi.” (I/38)
Beliau mendasarkan pendapatnya kepada firman Allah Subhanahu Wa
Ta'ala,
قُلْ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ
مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَالْإِثْمَ وَالْبَغْيَ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَأَنْ
تُشْرِكُوا بِاللَّهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَانًا وَأَنْ تَقُولُوا عَلَى
اللَّهِ مَا لَا تَعْلَمُونَ
“Katakanlah: "Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan
yang keji, baik yang nampak atau pun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa,
melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan
Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujah untuk itu dan
(mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui".”
(QS. Al-A’raf: 33)
Allah mengklasifikasi perkara-perkara haram pada empat
tingkatan. Dia memulainya dengan yang paling ringan, yaitu al-Fawahisy
(perbuatan keji). Lalu menempatkan pada urutan keduanya perbuatan yang lebih
haram darinya, yaitu dosa dan aniaya. Lalu menyusulkan diurutan ketiga: perkara
yang lebih tinggi tingkat keharamannya daripada kedua di awal, yaitu syirik
terhadap Allah (menyekutukan Allah) Subhanahu Wa Ta'ala. Kemudian menyusulkan dengan yang
keempat suatu perbuatan yang lebih dahsyat keharamannya daripada semuanya tadi,
yaitu berbicara (mengada-ngada) terhadap Allah tanpa ilmu.
Menurut Ibnul Qayyim, ditempatkannya pada urutan
keempat dari perkara-perkara haram yang disepakati syariat menunjukkan bahwa
berbicara tentang Allah tanpa ilmu adalah perkara haram yang paling haram dan
paling besar dosanya. Ia tidak pernah bisa menjadi halal dalam satu waktu atau
kondisi. Dalam kondisi apapun tetap haram. Ini berbeda dengan haramnya bangkai,
darah, dan babi yang bisa bisa dibolehkan dalam kondisi tertentu. (I’lam
al-Muwaqqi’in: I/372)
Perkara ini mencakup berdusta terhadap Allah dan
menisbatkannya kepada sesuatu yang tidak layak untuk-Nya, merubah dan mengganti
agama-Nya, meniadakan apa yang telah ditetapkan-Nya dan menetapkan apa yang ditiadakan
oleh-Nya, menganggap benar apa yang dibatilkan-Nya dan membatilkan apa yang
dinyatakan benar oleh-Nya, memusuhi orang yang dibela-Nya dan membela orang
yang dimusuhi oleh-Nya, mencintai apa yang dibenci-Nya dan membenci apa yang
dicintai oleh-Nya, menyifati diri-Nya dnegan sesuatu yang tak layak untuk-Nya
dalam Dzat, Sifat, firman dan perbuatan-Nya.
Berbicara terhadap Allah tanpa ilmu adalah sumber
kesyirikan dan kekufuran. Dia juga menjadi sebab dari semua bentuk perbuatan
bid’ah dan kesesatan. Setiap perkara bid’ah yang sesat dalam agama, asasnya
adalah berkata terhadap Allah tanpa ilmu.
Firman Allah Ta’ala yang menyebutkan ancaman terhadap
perbuatan dusta atas hukum-hukum Allah,
وَلَا تَقُولُوا لِمَا تَصِفُ أَلْسِنَتُكُمُ الْكَذِبَ
هَذَا حَلَالٌ وَهَذَا حَرَامٌ لِتَفْتَرُوا عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ إِنَّ
الَّذِينَ يَفْتَرُونَ عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ لَا يُفْلِحُونَ مَتَاعٌ قَلِيلٌ
وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
“Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang
disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta "Ini halal dan ini haram",
untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang yang
mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung. (Itu adalah)
kesenangan yang sedikit; dan bagi mereka azab yang pedih.”
(QS. Al-Nahl: 116-117)
Dalam ayat di atas, Allah Subhanahu Wa
Ta'ala menyampaikan
kepada mereka ancaman berdusta atas Allah dalam hukum-Nya dan ucapan mereka
terhadap perkara yang tidak diharamkannya: ini haram; dan terhadap perkara yang
tidak dihalalkannya: ini halal. Ini adalah penjelasan dari Allah Subhanahu Wa
Ta'ala, seorang
hamba tidak boleh mengucapkan: ini halal dan ini haram kecuali dengan ilmu
bahwa Allah Subhanahu Wa Ta'ala telah menghalalkan dan mengharamkannya. (I’lam
al-Muwaqqi’in: I/38)
Sebagian ulama salaf berkata: Hendaknya salah seorang
kalian takut mengatakan: Allah telah menghalalkan ini dan mengharamkan itu,
lalu Allah berkata kepadanya: kamu dusta, Aku tidak halalkan ini dan tidak
haramkan itu. Seseorang tidak boleh mengatakan terhadap perkara yang tidak ia
ketahui keterangan wahyu yang jelas akan kehalalan dan keharamannya, Allah
telah menghalalkannya dan Allah telah mengharamkannya karena hanya taqlid atau
takwil.
Penutup
Bahasan ini merupakan peringatan atas tokoh dan
pentolan umat agar tidak sembrono (ngawur) saat berbicara tentang Allah,
Rasul-Nya dan agama-Nya. Hendaknya ia benar-benar bertakwa kepada Allah dalam
menyampaikan ajaran Islam dan menjelaskan hukum-hukumnya. Janganlah kepentingan
duniawi dan materi menjadikannya berani berbicara mengada-ngada tentang Allah
dan agama-Nya. Jika tidak, maka Allah siapkan siksa yang sangat dahsyat di
akhirat. Wallahu A’lam.