رَبِّ اغْفِرْ لِي وَهَبْ لِي مُلْكًا لا يَنْبَغِي لأحَدٍ مِنْ بَعْدِي إِنَّكَ أَنْتَ الْوَهَّابُ


"Ya Rabb-ku, ampunilah aku, dan anugerahkanlah kepadaku kerajaan, yang tidak dimiliki oleh seorangpun juga sesudahku, sesungguhnya Engkaulah Yang Maha pemberi’."

Sabtu, 31 Oktober 2015

Tiga Alasan Bencana Menimpa Manusia


Hampir setiap hari kita disuguhi berita tentang bencana, mulai dari banjir, longsor, dan yang paling aktual adalah bencana asap di tanah Sumatra hingga bencana moral yang diwujudkan dalam tindakan-tindakan kriminal. Mungkin kita bertanya mengapa semua ini terus terjadi? Alquran sebagai petunjuk dan pedoman hidup telah memberikan setidaknya tiga alasan terkait dengan bencana yang menimpa manusia.

Pertama, adakalanya bencana itu datang sebagai "soal ujian" bagi seseorang atau sekelompok manusia. Bencana jenis ini adalah murni kehendak Allah SWT (QS at- Thagaabun [64]:11) yang didatangkan untuk menguji manusia. 

Banyak sekali teori yang diciptakan oleh manusia agar terhindar dari bencana atau musibah jenis ini. Dalam aktivitas perdagangan misalnya, untuk sukses dan terhindar dari kebangkrutan, manusia gencar merancang teori marketing dan promosi, tapi faktanya ada yang berkuasa mengatur arus rezeki. 

Sikap yang harus kita ambil untuk menyikapi bencana ini adalah bersabar dan bertawakal kepada-Nya. Bersabar artinya kita menerima dengan lapang dada. Berat dan ringan cobaan yang menimpa seseorang bukan selalu bergantung pada bentuk musibahnya, melainkan tergantung pula bagaimana dia menerimanya. Jika diterima dengan hati yang sempit, sekecil apa pun musibah akan terasa berat. Ibarat sekepal garam yang dituangkan ke dalam air semangkuk, tentu akan terasa asinnya jika dibandingkan dengan sekepal garam yang dituangkan ke danau.
 
Kemudian tawakal, yaitu menyerahkan segala urusan kepada Allah SWT, namun bukan berarti menyerahkan pekerjaan kepada-Nya. Artinya, manusia terus berusaha dan hasilnya terserah bagaimana Allah memberi ketetapan. Di samping itu, manusia juga senantiasa berprasangka baik kepada-Nya.

Kedua, adakalanya bencana itu datang disebabkan oleh kesalahan manusia (khatiiati an-naas) (QS ar-Rum [30]:41). Sifat serakah dan eksploitasi terhadap lingkungan hidup tentu berimplikasi terhadap datangnya bencana alam. Tidak jarang bencana yang ditimbulkan berdampak pula kepada mereka yang tidak terlibat dalam pengrusakan lingkungan. 

Jutaan manusia di Riau dan sekitarnya yang terpapar asap kebakaran hutan mayoritas justru adalah mereka yang tidak terkait sedikit pun dengan keuntungan dari pembakaran hutan yang dilakukan atas nama ekonomi itu. Maka yang harus dilakukan, yakni, pertama, mengintrospeksi diri dan menata kembali hubungan harmonis antara manusia dan alam. Dalam penataan ini jelas peran dan arahan pihak yang berwenang adalah yang terdepan. 

Kedua, mempertebal kembali humanitas yang mungkin sudah mulai meluntur agar tidak ada lagi korban akibat keserakahan dalam mencari keuntungan. Ketiga, adakalanya bencana itu datang disebabkan oleh dosa-dosa yang diperbuat oleh manusia (dzunubu an-naas). Jika bencana sebelumnya disebabkan oleh ketidakharmonisan hubungan manusia dengan alam, sedangkan jenis bencana yang satu ini disebabkan oleh ketidakharmonisan hubungan manusia dengan Tuhan. 

Terdapat banyak kisah dalam Alquran yang mengisahkan tentang bencana yang menimpa kaum-kaum terdahulu yang disebabkan oleh dosa-dosa mereka. Tentu tidaklah semata-mata kisah tersebut disajikan dalam Alquran melainkan agar menjadi pelajaran. Maka, tidak ada yang dapat dilakukan untuk menghindari bencana jenis ini kecuali dengan pertobatan.

Demikianlah Alquran menjawab pertanyaan mengapa bangsa ini terus dilanda bencana. Boleh jadi keimanan kita sedang diuji, namun tidak menutup kemungkinan semua ini akibat dari kesalahan dan dosa-dosa yang kita perbuat. Apa pun yang melatari semua bencana yang melanda negeri ini, berpegang teguh kepada ajaran agama adalah solusinya. Wallahu a'lam


Republika.co.id