رَبِّ اغْفِرْ لِي وَهَبْ لِي مُلْكًا لا يَنْبَغِي لأحَدٍ مِنْ بَعْدِي إِنَّكَ أَنْتَ الْوَهَّابُ


"Ya Rabb-ku, ampunilah aku, dan anugerahkanlah kepadaku kerajaan, yang tidak dimiliki oleh seorangpun juga sesudahku, sesungguhnya Engkaulah Yang Maha pemberi’."

Minggu, 09 Februari 2014

WANITA PERTAMA YANG MASUK SURGA



 


Wanita Sholihah merupakan dambaan setiap pria yang sholeh pula, banyak cerita-cerita para sholihin di jaman Rasulullah, sebelum dan sesudahnya yang bisa kita ambil Ibrohnya agar kita/kaum wanita di jaman ini dapat selamat dari fitnah dunia dan meninggalkan dunia yang fana ini dalam keadaan khusnul khotimah, amin.

Siapakah sebenarnya wanita yang pertama akan masuk surga sebelum Fatimah binti Rasulullah SAW?

Dalam sebuah hadist menceritakan, antara lain kegemaran Rasulullah adalah suka bergurau yang sopan untuk memberi pengajaran. Suatu hari ketika Rasulullah sedang melayani puteri kesayangannya, Fatimah, baginda bersabda, “Wahai anakku! Ketahuilah olehmu bahwa ada seorang perempuan yang akan masuk surga terlebih dahulu dari dirimu.”


Mendengar kata-kata ayahnya, serta merta berubahlah air muka Fatimah. Bertanya dia kepada baginda sambil menangis, “Siapakah perempuan itu wahai ayah? bagaimana keadaannya dan bagaimana pula amal ibadahnya sehingga dia terlebih dahulu masuk surga daripada anakmu? Kabarkanlah di mana dia sekarang, anakmu mau menemui dia.”

Lalu Rasulullah menjelaskan, “Dia adalah seorang wanita yang miskin, tinggal di sebuah kampung kawasan pedalaman dekat Jabal Uhud, kira-kira 3 mil dari Kota Madinah. Nama Perempuan itu ialah Muthi’ah.”

Tanpa membuang waktu, setelah mendapat izin ayahnya, Fatimah pun keluar mencari perempuan yang dikatakan oleh Rasulullah itu.

Setelah bertanya kepada penduduk setempat, banyak yang tidak tahu dan mengenali perempuan bernama Muthi’ah ini. Dia bukan perempuan yang terkenal. Masing-masing mengatakan tidak pernah mendengar dan tidak mengetahui perempuan ini.

Setelah berbagai usaha mencarinya, dengan izin Allah, akhirnya berjumpalah Fatimah dengan rumah perempuan yang dimaksudkan itu. Rumah Muthi’ah berada di kawasan pedalaman, jauh dari pemukiman orang-orang. Mungkin sebab itulah susah mencarinya.

Setelah memberi salam dan beberapa kali mengetuk pintu, ada suara kedengaran menjawab salam dari dalam sedangkan orangnya belum juga muncul. Setelah agak lama Fatimah menunggu, penghuni rumah itu pun mengintip dari jendela, sambil bertanya siapakah yang berada di luar dan ada keperluan apa. Dia tidak mempersilahkan tamunya itu masuk. Mereka hanya berbicara melalui jendela saja.

Fatimah memperkenalkan dirinya: “Saya Fatimah binti Rasulullah, maksud kedatangan saya ke sini karena ingin berjumpa dan berkenalan dengan anda.”

Mendengar tamu yang datang itu ialah putri Rasulullah, maka perempuan itu menjawab: “Terima kasih karena datang ke rumah saya, tetapi saya tidak dapat mengizinkan anda masuk karena suami saya tidak ada di rumah. Nanti saya minta izin dulu apabila dia kembali dari bekerja. Silakan datang besok saja lagi”

Dengan langkah yang amat berat, Fatimah pulang dengan perasaan yang sangat hampa karena tidak dapat berbicara panjang dan mengetahui rahasia amalannya.

Keesokan harinya, Fatimah datang lagi bersama-sama anaknya, Hasan. Segera setelah sampai dia memberi salam dan perempuan itu pun terus membuka pintu karena dia sudah mengetahui tamu yang datang itu ialah Fatimah.

Setelah ia mempersilakan masuk, tiba-tiba dia terlihat ada seorang anak kecil bersama-sama Fatimah lalu dia bertanya: “Fatimah, ini siapa?”
“Anak saya, Hasan,” sahut Fatimah.

Perempuan itu berkata, “Saya bersedih karena saya belum minta izin dari suami saya. Yang diizinkan hanyalah Fatimah seorang. Oleh karena itu saya perlu minta izin dahulu dari suami lagi. Silakan datang besok saja.”

Fatimah jadi serba salah. Akhirnya setelah berfikir panjang lebar, dia pun ambil keputusan untuk kembali.

Keesokan harinya, Fatimah datang pula dengan membawa kedua-dua anaknya yaitu Hasan dan Husein. Setelah memberi salam, mereka segera disambut oleh penghuni rumah itu.

“Fatimah dengan Hasankah?” Tanya perempuan itu minta kepastian.

Jawab Fatimah, “Kami datang bertiga karena anak saya yang satu ini (Husein) mau ikut juga.”
“Fatimah, saya minta maaf lagi karena anak yang satu ini (Husein) saya belum minta izin dari suami saya. Silakan datang esok hari,” tegas perempuan itu.

Mendengarkan kata-kata itu, Fatimah tersipu-sipu menyahut, “Baiklah kalau begitu besok saya datang lagi kemari.”

Dalam perjalanan pulang ke rumahnya, hatinya berkata-kata : “Perempuan ini takut benar akan suaminya, sehingga perkara yang sekecil begini pun dia tidak berani melakukannya. Jika dia benarkan aku masuk, tak mungkinlah suaminya marah. Tak perlulah pandang aku ini siapa, anak siapa dan dua anak ini cucu siapa, pandanglah (hormatilah) aku ini sebagai tamu yang datang dari jauh saja sudahlah,” bisik hatinya, kesal.

Sekembali Siti Fatimah meninggalkan rumahnya, kemudian suaminya pulang, perempuan itu pun memberitahu tentang anak Fatimah yang satu lagi. Suaminya terkejut dan heran, “Mengapa engkau ragu sekali? Bukankah Fatimah itu puteri Rasulullah SAW dan dua anaknya itu adalah cucu baginda? Tahukah engkau istriku keselamatan kita berdua kelak bergantung kepada keridloan Rasulullah. Jangan sekali-kali engkau berbuat seperti itu lagi. Jika mereka datang lagi ke sini dengan membawa apa pun dan siapa pun, terimalah dengan baik, dan hormatilah mereka semua sebagaimana yang pantas bagi derajat mereka.”

“Baiklah, tetapi ampunilah kesalahan saya karena saya mengerti bahawa apa yang saya tahu, keselamatan diri saya juga bergantung pada keridloan suamiku. Oleh karena itu, saya tidak berani membuat masalah yang akan membawa kemarahan atau menyakiti hati suamiku.”

“Terima kasih,” sahut suaminya. “Tapi jangan lagi sampai engkau tidak menerima tamu perempuan melainkan dengan izin aku, karena menghormati tamu perempuan itu wajib pada adat dan agama kita.”

Pada hari berikutnya, Sayyidatuna Fatimah pun datang seperti yang dijanjikan dengan membawa dua orang puteranya itu. Setelah dijemput masuk dan dijamu dengan sedikit buah kurma dan air, mereka pun berkenalan serta memulai perbincangan.

Pertanyaan Fatimah banyak berkisar mengenai rahasia amal ibadah yang menjadi penyebab Muthi’ah menjadi wanita pertama masuk surga menurut ayahnya. Setelah memperkenalkan dirinya, Muthi’ah menjawab semua pertanyaan Fatimah dengan ikhlas.

Katanya, “Tingkah laku saya biasa saja, tidak ada yang istimewa, amal ibadahpun biasa saja, malah Rasulullah lebih mengetahui akan segalanya. Saya hanya menuruti apa yang dianjurkan oleh baginda dalam hal kewajiban saya sebagai isteri. Antaranya:
1. Saya tidak boleh meninggalkan rumah tanpa izin suami jika suami saya keluar bekerja.
2. Saya tidak boleh menerima tamu (terutama lelaki) jika tidak ada izin suami.
3. Saya tidak akan berkeluh-kesah jika suami tidak mempunyai harta.
4. Saya berusaha agar suami saya senang dan cinta kepada saya.
5. Saya tidak cepat-cepat cemburu.
6. Saling mengerti dan menghargai antara kami berdua.

Soal berhias dan berdandan, menurut Mith’iah, dia hanya mengutamakan kecantikannya untuk suami, bukan untuk ditonton dan diperagakan kepada orang lain.
Sebagian riwayat menyatakan, Muth’iah mondar-mandir berjalan ke pintu rumahnya sambil memandang ke jalan seolah-olah sedang menantikan seseorang. Dia seolah-olah tidak begitu mempedulikan Fatimah.

Di tangannya terdapat tongkat dan sebuah wadah berisi air,
Melihat keadaan Muth’iah yang agak aneh, Fatimah merasa gelisah karena dia rasa tidak dipedulikan. Fatimah bertanya: “Mengapa begini?”
Sahut Muth’iah: “Fatimah, maafkan saya karena saya sedang menantikan suami saya pulang.”
“Mengapa ada wadah air itu?” Tanya Sayyidatuna Fatimah. Jawab Muthi’ah jujur: “Kiranya suami saya haus ketika dia pulang dari bekerja, saya akan segera memberikan air ini kepadanya supaya tidak terlambat. Jika terlambat nanti, khawatir dia akan marah kepada saya.”

Fatimah bertanya lagi: “Mengapa dengan rotan ini?” Jawab Muthi’ah, “Jika suami saya marah atau kurang layanan dari saya, mudahlah dia memukul saya dengan rotan ini.”
“Atas kehendak suamimukah kau bawa rotan itu” tanya Fatimah.
“Oh, sama sekali tidak. Suami saya seorang yang penyayang. Ini semata-mata kehendak saya agar jangan sampai menjadi isteri derhaka kepada suami.”

Fatimah termenung, Wajarlah menurut ayahnya, dia terlebih dahulu masuk surga daripada aku. Ternyata benarlah bahawa keselamatan wanita yang telah bersuami itu bergantung kepada ketaatan dan keridloan suami terhadapnya.”

Fatimah minta diri. Dia terus pulang menghadap ayahnya dan menceritakan segala yang terjadi.
“Wahai anakku, itulah rahasianya mengapa Muthi’ah wanita pertama masuk syurga,” kata baginda kepada Fatimah.

Melihat kesedihan puterinya itu, Rasululah tersenyum sambil berkata, “Wahai anakku, janganlah bersusah hati. Perempuan yang engkau jumpa itu (Muthi’ah) ialah perempuan yang akan memimpin dan memegang tali tungganganmu tatkala engkau masuk surga nanti. Jadi dialah yang akan masuk terlebih dahulu daripada engkau anakku.”

Setelah mendengar penjelasan ayahnya itu, barulah nampak Fatimah mulai gembira dan tersenyum.
Begitulah ganjaran yang Allah berikan kepada Muthi’ah. Semoga amalan yang dilakukannya itu sedikit sebanyak akan menjadi panduan dan dorongan kepada wanita-wanita terutama bagi mereka yang sudah berumahtangga.

Sumber :  www.sarkub.com

KEUTAMAAN BERBAKTI KEPADA ORANG TUA




 


"Bila kepada ibumu engkau berbakti, maka Allah yang paling bersyukur Dia membalas amal baktimu dengan pahala yang amat besar sekalipun amal yang kau lakukan minim, sangat sedikit "

 

Kami akan membahas topik bagaimana kita harus berbakti pada orangtua, karena berbakti kepada orangtua merupakan salahsatu sendi agama yang harus senantiasa diperhatikan karena berbakti pada orangtua bisa menjadi penebus dosa dan menambah keberkahan hidup.


                

               
               1. Sebagai Penebus Dosa

 
Imam Tirmidzi dan Ibnu Hibban menyuguhkan sebuah riwayat bersumber dari Abdullah bin Umar: Pada suatu ketika ada seorang lelaki datang menghadap Rasuluilah, seraya berkata: "Ya Rasulallah, aku telah melakukan dosa besar. Adakah taubatku masih bisa diterima?" Rasuluilah balik bertanya:" Adakah ibumu masih hidup?" Dalam riwayat lain diterangkan,bahwa Rasuluilah bertanya: "Adakah kamu masih memiliki kedua orangtua?" Jawabnya: "Tidak, aku sudah tidak memiliki orangtua." Lantas Rasulullah kembali bertanya: "Adakah kamu masih memiliki bibi (saudara perempuan ibu)?" Jawabnya: "Ya, masih." Kemudian Rasuluilah bersabda: "Sebagai tebusannya, berbaktilah kepada bibimu." Dalam pandangan Islam, khalah (bibi) kedudukannya adalah sama dengan ibu
Ibnu Abbas pada suatu ketika bercerita kepada Atha' bin Yasar, bahwa ada seorang lelaki datang menghadap kepadanya. Lelaki itu bertanya: "Ya Ibn Abbas, aku telah melamar seorang wanita jelita. Tetapi dia menolak lamaranku. Pada saat yang lain dia dilamar lelaki lain, dan lamaran itu diterima. Hal tersebut membuat hatiku kalut dan cemburu, sehingga wanita Itu aku bunuh. Ya Ibn Abbas, masihkah terbuka pintu taubat bagiku?" Ibnu Abbas lalu bertanya: "Adakah ibumu masih hidup?" Jawabnya: "Tidak, ibuku sudah meninggal." Selanjutnya Ibnu Abbas berkata: "Bertaubatlah kepada Allah dan bertaqarrublah kepada-Nya dengan semaksimal mungkin." 

Dalam kisah di atas ditegaskan, bahwa kemudian Atha' mengajukan pertanyaan kepada Ibnu Abbas: "Mengapa kamu menanyakan apakah ibunya masih hidup atau sudah meninggal?" Jawab Ibnu Abbas: "Aku belum pernah mengetahui suatu amalan pun yang lebih mendekatkan diri kepada Allah selain daripada berbakti kepada ibu." Keterangan ini juga diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalara kitab Al-Adahul-Mufrad, dan oleh Imam Baihaqi dalam kitab Syu 'abul-lman.
 
Jadi, "berbakti kepada orangtua, pada dasarnya dapat melebur dosa besar." Ini sejalan dengan riwayat yang dinuqil Imam Safarini dalam kitab Syarah Manzhumatil Adab yang bersumber dari Imam Ahmad. Yakni berbakti kepada orangtua dapat melebur dosa-dosa besar. Dan Imam Ahmad menegaskan, bahwa keterangan ini berdasarkan apa yang dituturkan oleh Imam Ibnu Abdil-Bar dari Makkhul.

2. Menambah Keberkahan Hidup
 
Rasulullah telah menghimbau dengan sabdanya: 

"Barangsiapa ingin panjang umur dan beroleh rizki melimpah ruah, maka hendaklah dia berbakti kepada orangtua dan menyambung tali persaudaraan." (HR Imam Ahmad dari Anas bin Malik).
 
Rasulullah telah menegaskan, bahwa barangsiapa berbakti kepada orangtua, maka dia akan memperoleh kebahagiaan panjang umur yang penuh keberkatan.(HR. Imam Abu Ya'la dan Thabrani bersumber dari Mu'adz bin Jabal) 

Imam Ibnu Majah dan Ibnu Hibban menyuguhkan sebuah riwayat bersumber dari Tsauban, bahwa Rasulullah pada suatu ketika pernah menegaskan bahwa seseorang adakalanya mendapat kesempitan ekonomi sebagai akibat dari dosa yang dilakukan. Dan tidak ada yang dapat menolak takdir Allah kecuali doa, serta tidak ada yang dapat menambah keberkatan umur kecuali dengan berbakti kepada orangtua. Jadi, dalam konteks ini Rasulullah menggariskan, bahwa kelapangan rizki serta keberkatan hidup dapat digapai dengan memperbanyak taubat dan meningkatkan birrul-walidain.
Imam Hakim juga mengetengahkan sebuah riwayat yang bersumber dari Abi Hurairah, bahwa Rasulullah telah berpesan, "Berbaktilah kepada kedua orangtuamu, tentu anak-anakmu kelak akan berbakti kepadamu. Barangsiapa dimintai maaf oleh saudaranya hendaklah dia memaafkannya, baik dia berada di pihak yang benar maupun di pihak yang salah. Apabila dia tidak melakukannya, maka kelak tidak akan dapat mendatangi telagaku di sorga." 

Imam Thabrani meriwayatkan sebuah hadis bersumber dari Abdullah bin Umar, bahwa Rasulullah pernah berpesan: "Berbaktilah kepada orangtuamu, niscaya anak-anakmu akan berbakti kepadamu. Peliharalah kehormatan istri orang lain, niscaya istrimu juga akan terpelihara dari perbuatan tercela." 

Jadi, orangtua adalah cermin masa depan anak. Bila dalam rumahtangga terbina hubungan yang harmonis antar anggota keluarga, saling memenuhi hak masing-masing serta saling menghormati, maka sudah barang tentu anak-anak pun pada masa mendatang akan selalu menjunjung tinggi perintah orangtua, memelihara dan menjaganya ketika sudah lanjut usia. Sebab pada awal mulanya orangtua tersebut telah memberikan contoh langsung dalam bentuk perbuatan berbakti kepada orangtua. Artinya, orangtua tersebut telah melakukan birrul walidain di hadapan anak-anak, sehingga mereka tidak merasa berkeberatan mengikuti jejak langkah orangtuanya. Kebiasaan dalam rumahtangga akan dibawa oleh anak-anak dalam mengarungi jenjang rumahtangga baru. Karena itu suasana damai, saling menghormati, dan penuh kasih harus diciptakan setiap saat. Cara yang paling tepat adalah dengan memelihara dan memenuhi hak masing-masing.
Imam Nasai menyuguhkan sebuah riwayat bersumber dari Aisyah, bahwa Rasulullah pernah bercerita: Ketika beliau memasuki sorga, mendengar sebuah qiraah (bacaan Al-Qur'an). Beliau bertanya: "Siapa dia?" Jawabnya: "Dia adalah Haritsah bin Nukman yang selalu berbakti kepada ibunya." Suara merdu alunan kalam Ilahi tersebut sebagai balasan atas kebaikannya dalam berbakti kepada orangtua. Dan memang Haritsah bin Nukman seorang yang paling berbakti kepada orangtua, sehingga memperoleh kedudukan serta derajat tinggi di sorga. 

Pada suatu ketika ada seorang lelaki datang kepada Abi Darda', lalu bercerita. Dalam ceritanya dia berkata: "Ayahku hingga kini masih selalu mengatur diriku, sekalipun aku sudah dinikahkan. Bahkan sekarang memerintahkan kepadaku agar menceraikan istriku." Abi Darda' mendengar pengaduan lelaki tersebut langsung berkata: "Aku bukan termasuk model orang yang akan menyuruh kamu mendurhakai orangtua, dan bukan pula orang yang memerintahkan kepadamu untuk menceraikan istri. Tetapi kalau kamu bersedia mendengarkan, aku akan menyampaikan sesuatu yang pernah aku dengar dari Rasulullah. Beliau pernah bersabda: "Ayah adalah pintu sorga yang paling tengah. Maka bila kamu mau, peliharalah pintu itu. Dan jika tidak, maka tinggalkanlah." Demikian Imam Ibnu Hibban meriwayatkan dalam kitab Shahihnya. 

Imam Baidhawi menjelaskan tentang maksud hadis di atas, bahwa amal perbuatan yang paling tepat untuk dijadikan sarana masuk sorga, serta jalan yang paling tepat untuk meraih derajat yang mulia dan kedudukan yang luhur di dalam sorga, adalah berbakti kepada kedua orangtua, menghormati, menyantuni, dan memelihara serta mengendalikan diri jangan sampai menyinggung apalagi menyakiti perasaan maupun badannya.
Imam Al-Hifni menegaskan, bahwa pengertian yang terkandung dalam hadis tersebut adalah bahwa taat dan berbakti kepada orangtua merupakan penyebab yang mengantar seseorang masuk pintu sorga yang paling utama, dan bersukaria di dalamnya. Jadi, yang dimaksud: Ayah adalah pintu sorga yang paling tengah bukanlah suatu pengertian kongkrit. Tetapi sejalan dengan sebuah riwayat hadis marfu'yang menegaskan: "Pintu sorga yang paling tengah selalu terbuka bagi mereka yang berbakti kepada kedua orangtua. 

Barangsiapa berbakti kepada kedua orangtua, baginya dibukakan pintu sorga. Dan barangsiapa durhaka kepada kedua orangtua, maka pintu sorga tertutup buatnya." Jadi, sorga hanya diberikan kepada seseorang yang berbakti kepada orangtua. Dan pintu neraka terbuka luas bagi mereka yang mendurhakainya. Demikian Ibnu Syahin mengetengahkan sebuah riwayat dalam kitab At-Targhib, dan Imam Dailami dalam kitab Musnadul-Firdaus.
Keberkatan hidup, kebahagiaan lahir batin bagi seseorang sangat tergantung pada bagaimana dia menyikapi terhadap orangtua. Semakin tinggi tingkat ketaatan dan kebaktiannya, maka keberkatan hidup yang semakin luas pun menyertainya.
Semoga kita semua dapat memahami dan mengamalkan teladan dari kisah-kisah sahabat yang semuanya diriwayatkan dalam hadist Nabi SAW, Aamiin Yaa Robbal 'aalamiin


Sumber : http://www.sarkub.com