"Ya Rabb-ku, ampunilah aku, dan anugerahkanlah kepadaku kerajaan, yang tidak dimiliki oleh seorangpun juga sesudahku, sesungguhnya Engkaulah Yang Maha pemberi’."
Rabu, 09 Juli 2014
Akhlak Mulia, Antara Tabiat dan Kebiasaan
REPUBLIKA.CO.ID, Para ulama berbeda pendapat mengenai dasar-dasar akhlak mulia. Ada ulama yang mengatakan bahwa akhlak mulia adalah tabiat alamai seseorang yang tidak bisa dibuat-buat karena merupakan karunia dari Allah.
Namun, ada pula ulama yang beranggapan, akhlak mulia adalah watak yang terbentuk, sehingga dapat diraih dengan cara giat berlatih dan membiasakan diri secara intens.
Mahmud al-Mishri dalam karyanya Ensiklopedia Akhlak Muhammad SAW berpendapat, tabiat dan kebiasaan sesungguhnya saling mendukung. Menurutnya, ini adalah opini yang paling mendekati kebenaran.
Sebagian akhlak mulia, kata dia, bisa saja disebut sebagai tabiat alami yang dianugerahkan Allah kepada seseorang. Pada kasus ini, seseorang mungkin tidak perlu lagi berlatih atau membiasakan diri untuk ‘menjadi baik’.
“Karena itu, orang yang tidak dikaruniai kelabihan ini dituntut untuk melawan hawa nafsunya dan melatih diri untuk berakhlak mulia,” tulis al-Mishri.
Pada dasarnya, lanjut al-Mishri, jiwa manusia itu mudah sekali menyerap dan menerima akhlak mulia. Hal ini seperti yang diungkapkan Abu Dzu’aib Al Hudzli dalam syairnya, “Nafsu manusia selalu berkeinginan jika dituruti, dan akan berhenti jika ditahan.”
Salah satu bukti bahwa akhlak merupakan tabiat sekaligus hasil latihan dan pembiasaan adalah sabda Rasulullah SAW kepada Asyaj Abdul Qais: “Sungguh, kamu memiliki dua sifat yang dicintai Allah, yaitu murah hati dan sabar,” kata nabi kepada sahabatnya itu.
Asyaj pun lantas bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah kedua sifat itu sudah menjadi tabiatku sejak aku diciptakan, atau apakah Allah yang membentukku seperti itu (dalam proses yang aku jalani)?”
Rasul menjawab, “Allah-lah yang membentuk watakmu sedemikian rupa.”
Asyaj lalu berkata lagi, “Segala puji bagi Allah yang telah membentukku dengan dua akhlak yang dicintai Allah dan Rasul-Nya itu.” (HR Abu Dawud, Ahmad, dan Muslim dengan sanad sahih).
Syekh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin berpendapat, hadis di atas menunjukkan bahwa sebagian akhlak merupakan tabiat dan sebagian lainnya adalah hasil latihan dan pembiasaan diri. Akhlak karena tabiat menurutnya lebih baik kualitasnya daripada akhlak yang diperoleh dari hasil latihan.
“Bila akhlak mulia telah menjadi tabiat seseorang, maka itu akan menjadi pembawaan dan perangai baginya, sehingga pelaksanaannya tidak lagi memerlukan latihan yang melelahkan. Ini adalah kelebihan yang Allah karuniakan kepada orang-orang yang dikehendakinya, ” kata Utsaimin.
Di sisi lain, kata dia, orang yang telah berusaha membentuk dan melatih diri untuk berakhlak mulia tentu saja mendapat tempat tersendiri di sisi Allah SWT.
“Allah tidak akan menyia-nyiakan amalnya karena upaya dan kerja kerasnya. Pada poin ini, dia dapat dikatakan lebih utama daripada orang yang dikaruniai tabiat akhlak mulia. Akan tetapi, dia tetap tidak lebih sempurna dalam hal penciptaan,” katanya.
“Jika ada seorang hamba yang dikaruniai dua bentuk akhlak mulia sekaligus (tabiat alami dan hasil latihan), maka sungguh ia sosok yang paling sempurna,” ujar al-Utsaimin lagi.