رَبِّ اغْفِرْ لِي وَهَبْ لِي مُلْكًا لا يَنْبَغِي لأحَدٍ مِنْ بَعْدِي إِنَّكَ أَنْتَ الْوَهَّابُ


"Ya Rabb-ku, ampunilah aku, dan anugerahkanlah kepadaku kerajaan, yang tidak dimiliki oleh seorangpun juga sesudahku, sesungguhnya Engkaulah Yang Maha pemberi’."

Selasa, 10 April 2012

Orang Kaya Berjiwa Pejuang

 
الَّذِينَ يَسْتَحِبُّونَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا عَلَى الآخِرَةِ وَيَصُدُّونَ عَن سَبِيلِ اللّهِ وَيَبْغُونَهَا عِوَجاً أُوْلَـئِكَ فِي ضَلاَلٍ بَعِيدٍ
“(Yaitu) orang-orang yang lebih menyukai kehidupan dunia daripada akhirat dan menghalang-halangi dari jalan Allah dan menginginkan menjadi bengkok. Mereka itu berada dalam kesesatan yang jauh.” (Ibrahim 3)

Ayat di atas menjelaskan tentang orang-orang yang sepenuh hati mencintai kehidupan dunia dibanding kehidupan akhirat. Mereka adalah orang yang memperturutkan nafsu untuk memuaskan kehidupan dunianya dan mengorbankan kehidupan akhiratnya. Mereka pulalah yang menghalang-halangi manusia dari jalan Allah yang lurus.

Pasti, mereka bakal mengalami siksa yang pedih dari Allah Subhana wa Ta’ala.

Dalam kehidupan manusia seperti sekarang ini, memang sangat sulit membelokkan kecenderungan dari cinta dunia kepada cinta akhirat. Cinta akhirat memerlukan petunjuk dari Allah Subhana wa Ta’ala, yang harus diupayakan dengan sungguh-sunguh dan penuh mujahadah. Cara itu perlu dilakukan, karena kemewahan dunia begitu mempesona dan penuh daya tarik.

Tidak heran, bila kehidupan orang kaya-raya yang dapat memenuhi semua keinginanannya, menjadi dambaan hampir semua orang. Apalagi orang yang sedang dibelit persoalan materi, biasanya di dalam hatinya selalu bebisik, “Alangkah bahagianya orang yang mempunyai banyak harta dan uang.” Kalau seorang tidak memiliki pemahaman tentang hakekat hidup, wajar sekali kalau apa yang disaksikan pada kehidupan orang-orang kaya menjadi cita-cita dan harapannya.
Namun, kalau sudah diberikan petunjuk oleh Allah Swt sehingga memiliki pemahaman terhadap apa arti sebenarnya kehidupan dunia dan akhirat, pandangannya akan lain.

Dia akan mengambil pelajaran berharga dari sandiwara kehidupan dunia yang tengah berjalan. Ada seorang berupaya keras untuk dapat duduk di atas tahta yang bergelimang kemewahan. Lalu kemewahan itu dipertontonkan kepada orang-orang yang selalu ngiler pada kehidupan seperti itu. Namun tidak lama sesudah itu, sungguh tragis nasibnya. Dia diperiksa gara-gara terlibat tindak pidana korupsi. Dan masuklah dia ke dalam kerangkeng besi. Dia menjalani kehidupan seperti maling yang melakukan pencurian, dia bagai preman yang berbuat kejahatan karena akibat pengangguran.

Dalam keadaan seperti itu, barulah dia mensyukuri keberadaannya yang serba kekurangan namun bahagia dan tentram jiwanya karena selalu beribadah dan dekat kepada Allah Swt. Orang seperti ini, hanya iri kepada orang kaya yang dermawan, seperti yang disampaikan Nabi Muhammad Shallallah ‘alaihi wasallam dalam hadits yang diriwawayatkan oleh Bukhari dan Muslim:

Abu Hurairah berkata, “Orang-orang fakir miskin dari kaum Muhajirin datang kepada Rasulullah, lalu menyampaikan kepada Nabi: ‘Orang-orang kaya telah meninggal dunia dengan menduduki derajat yang tinggi dan kenikmatan yang abadi.

Nabi bertanya, ‘Apa itu?’

Mereka menjawab, ‘Mereka shalat sebagaimana kami shalat, mereka berpuasa sebagaimana kami berpuasa, mereka berzakat tetapi kami tidak berzakat, mereka memerdekakan budak tapi kami tidak memerdekakan budak.’

Rasullah bersabda, ‘Maukah kalian saya ajari sesuatu yang dapat menjadikan kalian sederajat dengan orang-orang yang mendahului kalian; menjadikan kalian lebih mulia dibandingkan kaum sesudah kalian, dan tidak seorangpun yang lebih utama dari kalian kecuali orang melakukan perbuatan seperti yang kalian lakukan.’

Mereka menjawab, ‘Kami mau ya Rasulallah!’

Beliau bersabda, ‘Bacalah tasbih, tahmid dan takbir sesudah shalat 33 X.’

Selang beberapa hari orang-orang itu datang lagi kepada Rasulullah dan berkata, ‘Teman-teman kami dari kalangan orang-orang kaya mendengar apa yang kami perbuat, lalu mereka juga melakukannya.’

Rasullah menjawab, ‘Itu adalah karunia Allah yang diberikan kepada siapa yang dikehendaki.” (Muttafaqun ‘Alaih)

Orang kaya seperti yang diceritakan orang-orang fakir itulah yang semestinya diiri. Memang Rasulullah pernah juga bersabda, “Tidak ada sifat iri melainkan kepada dua hal. Pertama, orang yang diberi hafalan Al-Qur’an lalu dia baca dalam shalat pada malam hari. Kedua, orang yang diberi Allah rezeki lalu dia infakkan pada malam dan siang harinya.” Seperti kehidupan beberapa sahabat di zaman Nabi. Mereka sangat giat beribadah, melakukan semua shalat sunnah tapi hartanya juga melimpah.

Seperti Abdurrahman bin ‘Auf yang pernah menyumbang perjuangan sebesar 40.000 dinar. Jumlah itu, bila dirupiahkan sekarang sama dengan Rp 34.000.000.000 (tiga puluh empat miliar rupiah).

Dilain waktu lagi, ia menyumbang 1500 ekor kuda. Ia juga penah menyumbang kepada veteran Badar yang masih hidup sejumlah 100 orang. Masing-masing orang diberi 50.000 dinar, yang kalau dirupaihkan sama dengan Rp 42.500.000.000!
Kalau dipikir, bagaimana caranya Abdurrahman bin ‘Auf mencari rezeki sementara ibadah-ibadah mahdoh tetap dijalankan dengan baik. Tidak ada ibadah sunah yang ditanggalkan.

Itu membuktikan bahwa memang ada berkah di balik usaha yang mereka giatkan. Karena sebelum meraih keuntungan, mereka sudah berniat akan mengeluarkan sebagian dari keuntungan itu untuk fie sabilillah.

Dan bukan sekedar berniat, tapi langsung menemui Nabi menanyakan jumlah yang semestinya dikeluarkan sebelum dibawa pulang kepada keluarganya. Demikianlah halnya Usman bin Affan dan sahabat-sahabat lain. Subhanallah.

Itulah yang membuat perjuangan Nabi tidak pernah kehabisan dana. Dari pundi-pundi para miliarder di kalangan para sahabat inilah semua manuver yang dilakukan Nabi tidak pernah macet karena persoalan dana.

Manusia-manusia seperti inilah yang sangat diperlukan sekarang untuk menyukseskan perjuangan Islam. Harta berlimpah, tapi semangat juang juga tak pernah lemah.