رَبِّ اغْفِرْ لِي وَهَبْ لِي مُلْكًا لا يَنْبَغِي لأحَدٍ مِنْ بَعْدِي إِنَّكَ أَنْتَ الْوَهَّابُ


"Ya Rabb-ku, ampunilah aku, dan anugerahkanlah kepadaku kerajaan, yang tidak dimiliki oleh seorangpun juga sesudahku, sesungguhnya Engkaulah Yang Maha pemberi’."

Selasa, 10 April 2012

Menjadi “Sahabat” Allah

TAK satu pun manusia bisa hidup tanpa seorang sahabat. Selama masih ada kehidupan sepanjang itu setiap manusia memerlukan yang namanya sahabat. Jadi benar juga ungkapan yang mengatakan bahwa satu musuh itu sudah cukup banyak dan seribu sahabat itu masih kurang. Apalagi kita ingin mewujudkan cita-cita mulia demi agama. Tentu kita sangat membutuhkan sahabat.
Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wassalamsaw pun memiliki banyak sahabat, yang empat di antaranya adalah sahabat yang paling utama. Mereka adalah Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib.
Sebagai seorang Muslim tentu kita memerlukan sahabat untuk mencapai visi dan tujuan hidup di dunia ini. Dalam sejarah pun dijabarkan bahwa ada di antara para nabi yang dalam dakwahnya ditemani oleh seorang sahabat. Lihatlah seperti Nabi Musa bersama Nabi Harun, Nabi Isa dengan Hawariyyun, dan Nabi Muhammad dengan empat sahabat utamanya.
Namun demikian, terkadang sebagian manusia keliru dalam memilih sahabat. Hal itu karena di antaranya ada yang masih belum memiliki tujuan hidup yang jelas. Makanya ada yang terlibat pergaulan bebas, narkoba, bahkan bunuh diri, yang semua itu dikarenakan peran besar sahabatnya sendiri.
Karena begitu besarnya peran seorang sahabat dalam diri seseorang, sudah selayaknya kita mencari sahabat yang baik, setia, abadi selamanya. Mungkinkah itu? Ya, menurut Abu A’la Al-Maududi itu sangat mungkin, dan sahabat itu telah lama menantikan kehadiran kita. Siapa dia? Dialah Allah Subhanahu wa-ta'ala (سبحانه و تعالى‎).
Menjadi sahabat Allah, wah luar biasa. Itulah yang hari ini mesti kita upayakan secara bersama-sama. Bayangkan bila sebagian besar umat Islam di negeri ini berhasil menjadi sahabat Allah, pasti sangat luar biasa. Tapi apakah mungkin kita bisa menjadi sahabat Allah Subhanahu wa-ta'ala (سبحانه و تعالى‎)?
Dalam bukunya "Let Us be Muslims", intelektual Muslim asal Pakistan itu memberikan beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh setiap Muslim untuk bisa menjadi sahabat Allah.
Pertama, jadilah Muslim yang berjiwa besar. Dalam konteks ini Abu A’la menjabarkan agar seorang Muslim menghindar dari sifat kikir dan pelit. Muslim yang mampu memelihara diri dari sifat tercela itu maka dia telah layak disebut sebgai sahabat Allah yang akan mendapat keuntungan.

مَنْ هَاجَرَ إِلَيْهِمْ وَلَا يَجِدُونَ فِي صُدُورِهِمْ حَاجَةً مِّمَّا أُوتُوا وَيُؤْثِرُونَ عَلَى أَنفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ وَمَن يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُوْلَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

“Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang orang yang beruntung.” (QS. 59 : 9).
Kedua, jadilah Muslim yang memiliki sifat murah hati. Menurutnya setiap Muslim harus murah hati. Kebesaran hati akan mengatasi perasaan diri kita, mengatasi kebencian terhadap borok-borok dan penghinaan. Jika seseorang membuat kita sedih atau merugikan kita, jangan sampai perbuatannya itu menyebabkan kita menolak untuk memberinya makanan atau pakaian. Juga jangan sampai hal itu membuat kita ragu-ragu memberikan bantuan kepadanya ketika ia berada dalam kesulitan.

وَلَا يَأْتَلِ أُوْلُوا الْفَضْلِ مِنكُمْ وَالسَّعَةِ أَن يُؤْتُوا أُوْلِي الْقُرْبَى وَالْمَسَاكِينَ وَالْمُهَاجِرِينَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلْيَعْفُوا وَلْيَصْفَحُوا أَلَا تُحِبُّونَ أَن يَغْفِرَ اللَّهُ لَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَّحِيمٌ

“Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa mereka (tidak) akan memberi (bantuan) kepada kaum kerabat(nya), orang-orang yang miskin dan orang-orang yang berhijrah pada jalan Allah, dan hendaklah mereka mema'afkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS 24 : 22).

Ketiga
, jangan egois. Sikap egois harus dihindari dan dibuang jauh dalam diri setiap Muslim. Egois itu menurut Abu A’la Al-Maududi adalah suka berharap imbalan dan senang membebani orang lain.

وَيُطْعِمُونَ الطَّعَامَ عَلَى حُبِّهِ مِسْكِيناً وَيَتِيماً وَأَسِيراً
إِنَّمَا نُطْعِمُكُمْ لِوَجْهِ اللَّهِ لَا نُرِيدُ مِنكُمْ جَزَاء وَلَا شُكُوراً


“Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim dan orang yang ditawan. Sesungguhnya kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridhaan Allah, kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan) terima kasih”. (QS. 76 : 8 – 9).

Sifat egois sangat dilarang dalam Islam. Dalam ayat yang lain Allah
berfirman, “Dan janganlah kamu memberi (dengan maksud) memperoleh (balasan) yang lebih banyak.” (QS. 74 : 6). Dalam konteks modern sifat egois ini banyak dipraktikkan oleh para koruptor, dan mereka yang gemar melakukan praktik suap. Suka memberi asal bisa mendapat balasan yang lebih besar. Naudzubillahi min dzalik.

Keempat, memiliki hati yang suci. Dengan hati suci setiap Muslim akan mampu memberikan yang paling berharga dari apa yang dimilikinya, sebagai bukti bahwa harta itu benar-benar dibelanjakan sebagaimana ketentan Allah.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَنفِقُواْ مِن طَيِّبَاتِ مَا كَسَبْتُمْ وَمِمَّا أَخْرَجْنَا لَكُم مِّنَ الأَرْضِ وَلاَ تَيَمَّمُواْ الْخَبِيثَ مِنْهُ تُنفِقُونَ وَلَسْتُم بِآخِذِيهِ إِلاَّ أَن تُغْمِضُواْ فِيهِ وَاعْلَمُواْ أَنَّ اللّهَ غَنِيٌّ حَمِيدٌ
“Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memincingkan mata terhadapnya. Dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.” (QS. 2 : 267).

Kelima, memberi ketika dalam kesusahan. Memberi adalah sifat Muslim sejati. Bahkan dalam kondisi kesusahan pun seorang Muslim tidak boleh berhenti untuk bisa menafkahkan apa yang dimiliki dan memberikan bantuan kepada orang lain.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَنفِقُواْ مِن طَيِّبَاتِ مَا كَسَبْتُمْ وَمِمَّا أَخْرَجْنَا لَكُم مِّنَ الأَرْضِ وَلاَ تَيَمَّمُواْ الْخَبِيثَ مِنْهُ تُنفِقُونَ وَلَسْتُم بِآخِذِيهِ إِلاَّ أَن تُغْمِضُواْ فِيهِ وَاعْلَمُواْ أَنَّ اللّهَ غَنِيٌّ حَمِيدٌ
“(yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema'afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.” (QS. 3 : 134).

Keenam, memberi ketika kaya. Jika dalam kondisi susah kita dilarang berhenti memberi apalagi dalam kondisi kaya. Ketika kaya kita tidak boleh lupa kepada Tuhan.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُلْهِكُمْ أَمْوَالُكُمْ وَلَا أَوْلَادُكُمْ عَن ذِكْرِ اللَّهِ وَمَن يَفْعَلْ ذَلِكَ فَأُوْلَئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ
“Hai orang-orang beriman, janganlah hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barangsiapa yang berbuat demikian maka mereka itulah orang-orang yang merugi.” (QS. 63 : 9).

Ketujuh, memberi hanya demi ridho Allah SWT. sebagaimana firman-Nya,

لَّيْسَ عَلَيْكَ هُدَاهُمْ وَلَـكِنَّ اللّهَ يَهْدِي مَن يَشَاءُ وَمَا تُنفِقُواْ مِنْ خَيْرٍ فَلأنفُسِكُمْ وَمَا تُنفِقُونَ إِلاَّ ابْتِغَاء وَجْهِ اللّهِ وَمَا تُنفِقُواْ مِنْ خَيْرٍ يُوَفَّ إِلَيْكُمْ وَأَنتُمْ لاَ تُظْلَمُونَ


“Bukanlah kewajibanmu menjadikan mereka mendapat petunjuk, akan tetapi Allah-lah yang memberi petunjuk (memberi taufiq) siapa yang dikehendaki-Nya. Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (di jalan allah), maka pahalanya itu untuk kamu sendiri. Dan janganlah kamu membelanjakan sesuatu melainkan karena mencari keridhaan Allah. Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan, niscaya kamu akan diberi pahalanya dengan cukup sedang kamu sedikitpun tidak akan dianiaya (dirugikan).” (QS. 2 : 272).

Menurut Abu A’la, tujuh kualitas di atas sangat penting diperhatikan dan dimiliki oleh setiap Muslim, jika benar-benar ingin menjadi sahabat Allah Subhanahu wa-ta'ala (سبحانه و تعالى‎) atau masuk dalam kelompok Allah.

Tanpa ketujuh kualitas tersebut, kita tidak bisa berharap menjadi sahabat-Nya. Karena ketujuh perkara di atas sebenarnya adalah cara Allah menguji kualitas keimanan setiap Muslim.

Dengan demikian mari kita bersama-sama berusaha menjadi sahabat Allah untuk bisa masuk dalam Ahlullah. Semoga Allah memberikan kemampuan kepada kita semua. Amin.*