رَبِّ اغْفِرْ لِي وَهَبْ لِي مُلْكًا لا يَنْبَغِي لأحَدٍ مِنْ بَعْدِي إِنَّكَ أَنْتَ الْوَهَّابُ


"Ya Rabb-ku, ampunilah aku, dan anugerahkanlah kepadaku kerajaan, yang tidak dimiliki oleh seorangpun juga sesudahku, sesungguhnya Engkaulah Yang Maha pemberi’."

Selasa, 10 April 2012

Mencari Kebahagiaan


“MENGEJAR MIMPI”, atau “mencari kebahagiaan”, begitu kalimat atau perkataan yang sering familiar terdengar selama ini. Ada yang mencari dan mengejar kebahagian dengan cara bekerja keras menumpuk harta, karena pada harta yang berlimpah itulah mereka yakin terdapat kebahagiaan. Ada pula dari mereka yang mengejar kebahagiaan melalui tahta dan kekuasaan. Sehingga beragam cara pun kemudian mereka lakukan untuk memperoleh tahta dan kekuasaan tersebut, dengan anggapan bahwa melalui kekuasaan seseorang dapat berbuat banyak hal, sehingga kekuasaan kemudian diidentikkan dengan kebahagiaan dan kenikmatan dalam hidup.
Bahkan ada yang lari dari rumah dan menghindar dari ikatan keluarga dengan alasan mencari kebahagiaan dan kebebasan. Serta masih banyak lagi sangkaan-sangkaan lain mengenai kebahagiaan hakiki, yang mana sesungguhnya semua itu hanyalah daya khayali—akal fikir mereka semata tentang kebahagian. Lantas, apa sebenarnya yang disebut dengan bahagia (sa’adah)?

Kebahagiaan dalam Islam
Pembahasan semacam ini menjadi sangat penting, sebab, ungkapan “mencari” atau “mengejar” kebahagiaan menggambarkan kepada kita bahwa kebahagiaan itu seolah-olah tidak menetap dan selalu berubah-ubah. Paham yang sedemikian juga menggambarkan bahwa kebahagiaan yang ingin dialami itu bagaikan sesuatu yang berada di luar dan terpisah dari diri manusia itu sendiri sehingga manusia harus berusaha untuk mendapatkannya.

Yang cukup menarik, banyak yang beralasan, kebahagiaan itu dicari, diperjuangkan dan kemudian dinikmati hasilnya. Inilah yang menyebabkan arti kebahagiaan bagi setiap orang menjadi tidak selalu sama, karena kebahagiaan sering dipersepsikan sebagai ketercapaian atas sesuatu yang diinginkan, kesuksesan atau kesempurnaan.
Mengenai makna kebahagiaan,  sebenarnya telah banyak dibahas oleh para ulama dan cerdik-pandai.  Sebut saja Prof. Dr Al-Attas, dalam karyanya “The Meaning and Experience of Happiness in Islam” mengemukakan bahwa kebahagiaan yang sesungguhnya tidaklah merujuk pada entitias jasmani manusia, bukan pada jiwa hewani dan badan manusia, dan bukan pula ia suatu keadaan akal-fikir manusia yang akali belaka. Akan tetapi kebahagiaan itu merujuk kepada keyakinan diri akan hakikat terakhir yang Mutlak, yakni keyakinan kepada Allah ta’ala.
Di sini tampak dengan tegas bahwa Al-Attas menyatakan bahwa kebahagiaan itu bersifat ruhani, artinya tidak jasmani dan duniawi belaka, melainkan kebahagiaan itu hanya dapat dicapai melalui iman. Hal ini sama dengan apa yang disampaikan oleh Al-Kindi. (baca: Ad-Dirasat an-Nafsiyyah ‘inda al-Ulama’ al-muslimin).
Al-Kindi mengemukakan bahwa kebahagiaan sejati bagi manusia bukanlah kenikmatan yang bersifat inderawi ataupun duniawi belaka. Tetapi berupa kenikmatan yang bersifat Ilahiah dan ruhaniah, yang dapat dicapai manusia jika dalam keadaan suci dari noda syahwat serta mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu Wa ta’ala.
Di samping makna kebahagiaan yang disampaikan oleh Al-Attas dan Al-Kindi di atas, Ibnu Thufail secara lebih tegas lagi mengemukakan pendapatnya mengenai kebahagiaan hakiki tersebut. Ia menyatakan bahwa kebahagiaan terbesar adalah melihat wajib al-wujud, pencipta segala yang ada, yakni Allah Subhanahu Wata’ala, yang kesempurnaan-Nya tidak berakhir, dan keindahan-Nya tidak berujung. Dialah di atas segala kesempurnaan dan keindahan. Semua kesempurnaan dan keindahan di dalam wujud bersumber dari-Nya dan terpancar dari sisi-Nya. (baca: Hayy bin Yaqdzan). Tegasnya, bahwa terdapat pertalian yang sangat erat antara kebahagiaan hakiki dengan iman atau keyakinan seseorang. Sehingga disebutkan dalam rumusan Al-Attas bahwa iman di sini merujuk kepada 'perjanjian azali' yang telah dimaterai oleh manusia dengan penciptanya pada Hari Alastu sebagaimana yang telah diabadikan dalam al-Qur’an, surat al-A’raf, 7:172.

وَإِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِن بَنِي آدَمَ مِن ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ عَلَى أَنفُسِهِمْ أَلَسْتَ بِرَبِّكُمْ قَالُواْ بَلَى شَهِدْنَا أَن تَقُولُواْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّا كُنَّا عَنْ هَذَا غَافِلِينَ
“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuban kami), kami menjadi saksi". (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengata kan: "Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)."
Dengan demikian, dapat ditarik kesimpulan bahwa apa yang disampaikan oleh Al-Attas, Al-Kindi maupun Ibnu Thufail mengenai kebahagiaan memiliki makna yang sama, yakni kebahagiaan tidaklah merujuk kepada kenikmatan inderawi atau jasmani manusia yang bersifat duniawi belaka. Akan tetapi kebahagiaan adalah suatu kenikmatan abadi di atas segala kenikmatan duniawi yang diperoleh melalui iman, keyakinan diri akan Hak Allah Ta’ala. Ia juga tidak berubah dalam kalbu manusia. Ia merupakan hakikat spiritual yang kekal, keyakinan pada hal-hal mutlak tentang hakikat alam, identitas diri dan tujuan hidup, yang kesemuanya bermula dari ilmu dan bersumbu pada satu poros yaitu cinta Allah (mahabbah)