رَبِّ اغْفِرْ لِي وَهَبْ لِي مُلْكًا لا يَنْبَغِي لأحَدٍ مِنْ بَعْدِي إِنَّكَ أَنْتَ الْوَهَّابُ


"Ya Rabb-ku, ampunilah aku, dan anugerahkanlah kepadaku kerajaan, yang tidak dimiliki oleh seorangpun juga sesudahku, sesungguhnya Engkaulah Yang Maha pemberi’."

Selasa, 10 April 2012

Cara Pandang Para Sahabat Nabi

Membaca sejarah umat manusia yang penuh dengan intrik dan tendensi rasanya sulit sekali menyimpulkan kebenarannya seratus persen. Disamping itu, ketika kita membaca sejarah, kita di ajak untuk menelusuri zona “spekulasi” antara asbab al-waqi’ dan motif sang pelakon. Disinilah dibutuhkan kearifan dan ketelitian dalam menelusuri lembaran-lembaran sejarah apalagi sejarah pertikaian awal umat Islam. Pada akhirnya, sejarah itu akan bertutur tentang hikmah dan pelajaran berharga untuk umat selanjutnya.

Saqifah Bani Sa’idah

Bermula dari tragedi di Saqifah bani Sa’idah, semangat kesukuan di kalangan Anshar, antara Khazraj dan ‘Aus, yang pada masa Nabi bisa disatukan berpotensi bangkit kembali. Gelagat yang tidak sehat ini dapat dibaca oleh sayyidina Umar, maka ia mengajak sayyidina Abu Bakar dan Abu Ubaidah bin al-Jarrah untuk datang ke balairung tersebut. Silang sengketa pun semakin melebar menjadi perseteruan antara Muhajirin dan Anshar.
Terjadilah dialog panjang yang pada akhirnya terpilihlah Abu Bakar sebagai khalifah pertama. Dari sinilah kemudian benih-benih penyelewengan sejarah umat Islam dimulai. bermula dari tuduhan sebagian kalangan syi’ah bahwa Abu Bakar dan Umar adalah perampok kekuasaan karena telah mengambil hak sayyidina Ali. Ali-lah menurut mereka yang berhak menggantikan Nabi. Ali ketika itu tidak bisa hadir karena sibuk mengurusi pemandian dan persiapan penguburan Nabi. Tuduhan-tuduhan itu terkesan semakin beralasan ketika dibenturkan dengan waktu itu dimana umat Islam masih dalam keadaan berkabung dengan wafatnya Nabi bahkan ketika itu Nabi belum dikuburkan. Sebuah pemandangan yang mengherankan ketika sahabat setia Nabi (Abu Bakar dan Umar) meninggalkan beliau demi sebuah kekuasaan. Lalu pertanyaannya, benarkah Abu Bakar dan Umar ambisi kekuasaan?.
Tidak ada yang menyangsikan kesetiaan dua sahabat Nabi ini, Abu Bakar dan Umar. Mereka berdua adalah termasuk sahabat-sahabat garda depan yang menjadi benteng pertahanan umat Islam. Kecintaan mereka kepada Nabi melebihi kecintaan mereka kepada dirinya sendiri. Abu bakarlah yang menemani Nabi saat dikejar-kejar kafir Quraisy pada waktu hijrah. Ia yang menggendong Nabi saat Nabi tak beralas kaki. Ia yang dalam perjalanan menuju gua tsur terkadang berada di depan Nabi dan terkadang dibelakangnya hanya karena takut ada musuh yang akan melukai Nabi. Ia yang masuk duluan ke dalam gua tsur hanya karena takut ada hewan buas yang akan mencelakakan Nabi. Dan sejarahpun mencatat bagaimana pengorbanannya demi Islam. Demikian juga dengan Umar, kecintaannya kepada Nabi luar biasa. Saat mendengar Nabi telah wafat, ia menghunuskan pedangnya dan akan memenggal siapa saja yang mengatakan Nabi telah wafat. Ia yang paling tidak siap untuk ditinggal Nabi. Ambruklah ia ketika tahu bahwa Nabi telah wafat. Ia tidak pernah terima jika Nabinya disakiti. Lalu bagaimana mungkin mereka berdua akan meninggalkan Nabi sebelum beliau dikuburkan jika bukan karena adanya bahaya besar yang sedang mengancam umat Islam. Nabi memang telah wafat tapi agama Islam harus tetap tegak. Umat Islam harus tetap bersatu. Dan kekhawatiran itu beralasan mengingat semangat kesukuan orang Arab sudah terkenal sejak zaman jahiliyah. Maka tidak mengherankan jika Abu Bakar dan Umar sebagai sahabat yang sangat berpengaruh di kalangan umat Islam turun tangan. Dan sangat tidak beralasan jika mereka dianggap ambisi kekuasaan. Karena sebetulnya sebagaimana diceritakan sejarawan Ibn Ishaq bahwa pada waktu itu, Abu Bakar memegang tangan Umar dan Abu Ubaidah sembari berseru: “Bila kalian rela memilih di antara kedua orang ini, maka bai’atlah salah satu dari keduanya!”
Melihat tidak ada jawaban spontan dan melihat gelagat yang mengkhawatirkan, Umar segera berseru lantang: “Hai Abu Bakar, ulurkanlah tanganmu!” Abu Bakar lalu mengulurkan tangan-nya dan Umar segera membai’atnya dengan menyebut-nyebut keutamaannya.
Andai Abu Bakar mempunyai ambisi kekuasaan tentunya dia tidak akan menawarkan Umar maupun Abu Ubaidah untuk dibai’at. Demikian juga dengan Umar, ia tidak mungkin langsung membai’at Abu Bakar jika ia punya ambisi kekuasaan. Sekali lagi, mereka melakukan hal itu semata-mata demi terjaganya keutuhan umat Islam.

Tragedi Pembunuhan Khalifah Utsman
Sebuah demo besar-besaran terjadi pada zaman khalifah Utsman yang berending pada terbunuhnya Utsman. Berawal dari ketidak-puasan umat Islam melihat kesewenang-wenangan pemerintah di Mesir, hingga pada akhirnya terpilihlah Muhammad bin Abu Bakar untuk menggantikan gubernur Mesir tersebut. Usai demo, Muhammad bin Abu Bakar dan kelompoknya kembali lagi ke Mesir. Namun malangnya, ditengah perjalanan mereka menjumpai budak hitam yang mengaku budak marwan sedang memegang surat gelap yang ditujukan kepada gubernur Mesir. Surat itu berisikan perintah untuk membunuh kelompok Muhammad bin Abu Bakar yang ditandatangani oleh Utsman. Mereka pun menjadi marah dan kembali lagi ke Madinah. Terjadilah demo besar-besaran yang tergabung dari aliansi kufah, bashrah dan Mesir. Mereka menuntut Utsman turun dari jabatannya. Di situlah akhirnya terungkap siapa sebenarnya yang menulis surat itu, yaitu Marwan bin Hakam. Mereka pun menuntut Ustman menyerahkan Marwan untuk diadili tapi Utsman menolaknya.
Lalu pertanyannya, kenapa Ustman mempertahankan Marwan? Teka-teki ini terjawab ketika Utsman telah terbunuh. Kala itu, Talhah berkata kepada Ali, “Andai saja Marwan diserahkan kepada para pendemo, niscaya mereka tidak akan membunuh Sayyidina Ustman. Ali-pun menjawab; “Andai Ustman menyerahkan Marwan kepada mereka, niscaya Marwan akan dibunuh sebelum adanya pembuktian dan keputusan hukumnya. Padahal dalam Islam, tidak diperbolehkan memberi sanksi orang yang belum terbukti membunuh”.( Siyar al-Khulafa’: 143)
Dalam kasus Marwan, ia memang menyuruh membunuh dengan surat gelap tersebut, namun ia tidak boleh di bunuh (Qishas) hanya karena surat tersebut selama pembunuhan itu tidak terlaksana. Utsman mengetahui hal itu, dan ia berani mati demi mempertahankan kebenaran. Betapa luhurnya kepribadian Khalifah Utsman.

Menurut Imam Nawawi, perpecahan dan pertikaian yang terjadi pada masa khalifah Ustman dan khalifah Ali adalah terletak pada perbedaan ijtihad umat Islam. Gerak Ijtihad itu menyebabkan umat Islam terpecah menjadi tiga golongan. Golongan Pertama, beranggapan bahwa ada golongan yang benar dan harus ditolong sedang yang menentang golongan ini harus diperangi. Golongan kedua, beranggapan sebaliknya. Yang benar ada di pihak yang dianggap golongan pertama salah sehingga harus di tolong dan golongan pertama harus diperangi. Dan golongan ketiga, mereka yang masih bingung, tidak bisa membedakan mana yang benar antara yang di dukung golongan pertama maupun golongan yang kedua. golongan ini lebih memilih keluar.(al-Nawawi dalam “Syarh Shahih Muslim”, juz 15/1).

Dalam buku “Tahqiq Mawaqif al-Sahabah fi al-Fitnah” dinyatakan bahwa tujuan Talhah, Zubair, Aisyah dan Muawiyah ketika men-demo khalifah Ali tiada lain hanyalah untuk menuntut agar sanksi (Qishas) terhadap pembunuh Ustman disegerakan.( dalam Minhaj al-Sunnah li Ibn Taimiyyah, 2/219-220). Mereka menganggap bahwa Ali tidak tegas. Sebaliknya, Ali berada pada posisi dilematis antara menyegerakan atau menunda. Ia pun memilih menunda untuk menjaga stabilitas Negara yang masih kacau. Hal ini sangat beralasan karena  pelaku pembunuhan Utsman dapat dipastikan adalah kelompok dari para pendemo, yang jika disegerakan akan menimbulkan konflik berkepanjangan di dalam internal kepemimpinannya.

Pada akhirnya, perang saudarapun tak dapat dihindari antara kubu Ali dengan kubu Ummul Mu’miniin, Aisyah, yang dikenal dengan perang Jamal, dan perang Shiffin antara kubu Ali dan dan kubu Muawiyah.

Pasca perang Shiffin terjadilah apa yang dikenal dengan Tahkim (arbitrase) untuk mendamaikan kedua belah pihak (pihak Ali dan pihak Mu’awiyah), yang dalam hal ini kubu Ali merasa dirugikan. Maka sejarah pertikaian umat Islam pun semakin kelam. Umat Islam semakin terpecah-belah. Semangat fanatisme meraja-lela hingga pada akhirnya bermunculan hadist-hadist palsu untuk mendukung kelompoknya masing-masing.

Mu’awiyah pun diserang habis-habisan. Pada masa kepemimpinannya, ia dianggap telah menyuruh rakyatnya untuk mencaci maki Ali. Umat Islam disodori dengan kisah-kisah yang penuh hasutan bahwa yang meracuni Hasan bin Ali, cucu Rasulullah, adalah Mu’awiyah atau putranya, Yazid bin Mu’awiyah.

Bahkan bukan hanya itu, Yazid bin Mua’wiyah dianggap aktor dibalik pembataian berdarah di padang karbala yang menyebabkan cucu Nabi, Husein bin Ali terbunuh dengan cara yang sangat keji, dan lain sebagainya. Tuduhan ini sama sekali tidak berdasar, dan banyak ulama yang membantahnya seperti Ibn al-‘Arabi, Ibn Taimiyyah, al-Dzahabi, Ibn Katsir, Ibn Khaldun dan lain sebagainya. (dalam al-Daulah al-Umawiyyah: Tarikh wa Hadharah)

Bagaimana seharusnya kita bersikap?

Ulama salafuna-shaleh mengajarkan kita dengan penuh kearifan, bagaimana seharusnya kita menyikapi sejarah kelam (fitnah kubra) pertikaian para sahabat?

Ada adegium “al-Sukutu ‘Amma Syajara baina Ashab Rasulillah Shallahu 'Alaihi Wassalam.” yang menjadi pegangan Ahlus-Sunnah wal-Jamaah, yaitu apa yang terjadi di antara sahabat hendaknya kita diam, tidak boleh ikut mencaci-maki dan tidak boleh ber-negative thinking kepada para sahabat. (baca  “Ma’arij al-Qabul syarh sullam al-Ushul Ila ‘ilm al-Ushul fi ‘ilm Tawhid”)

Dalam kasus pertikaian antara Khalifah Ali dan Mu’awiyah, ahlus-Sunnah beranggapan bahwa dua golongan tersebut sama-sama dibenarkan (demikian juga dengan kasus perang Jamal). Mereka adalah orang-orang yang ikhlas dalam memperjuangkan Islam.

Perbedaan mereka terletak pada perbedaan ijtihad. Dan dalam keikhlasan dalam ijtihad mereka, mereka akan diganjar (mendapatkan pahala), baik yang benar ijtihad-nya maupun yang salah. Dan pahala ijtihad yang benar lebih besar dari pada pahala yang Ijtihad yang salah.

Tulisan ini akan penulis tutup dengan falsafah fikihnya Syaikh Yusuf Qardawi dalam bukunya “Syaikh al-Gazali kama ‘araftu” bahwa “Air yang sudah mencapai dua kullah, tidak akan kotor hanya karena kemasukan najis (yang sedikit)”. Dalam artian, sahabat memang bukan manusia ma’sum yang terbebas dari kesalahan, namun sangat tidak bijak jika karena kesalahan yang sedikit itu akan menghapus kebaikan-kebaikan yang luasnya laksana lautan.

Apa yang terjadi di antara mereka jadikan sebagai pelajaran, karena di dalam tragedi itu ada hikmah dan rahasia yang luar biasa. Dan hendaknya kebaikan-kebaikan para sahabat menjadi uswah bagi kita untuk diteladani. Wallahu ‘alam.*