رَبِّ اغْفِرْ لِي وَهَبْ لِي مُلْكًا لا يَنْبَغِي لأحَدٍ مِنْ بَعْدِي إِنَّكَ أَنْتَ الْوَهَّابُ


"Ya Rabb-ku, ampunilah aku, dan anugerahkanlah kepadaku kerajaan, yang tidak dimiliki oleh seorangpun juga sesudahku, sesungguhnya Engkaulah Yang Maha pemberi’."

Jumat, 12 September 2014

Waspadai Dukun Bersorban



Bila kita pahami ada sebagian pemahaman masyarakat kita bahwa seorang sosok kyai ideal atau bahkan wali menurut sebagian orang adalah seperti para pemburu hantu yang lama ditayangkan di TV itu. Tampilan pakaian yang ‘Ustadz abis’ menimbulkan kesan sebagai ilmu putih. Ditambah dengan aksinya yang memukau. Memagari jin secara gaib, menggiringnya, hingga memasukan jin ke dalam botol.

Tentang kemungkinan apakah team itu melihat jin yang berada di setiap rumah yang dikunjungi, sebelumnya perlu diketahui bahwa pada asalnya jin itu tidak bisa dilihat mata. Ibnu Uqail rahimahulah menyebutkan: ‘Tiada dikatakan ‘jin’ melainkan karena sifatnya yang istijnan yakni istitar (terhalang) dari pandangan mata.’ Pendapat tersebut sejalan dengan firman Allah:

يا بني آدم لا يفتننكم الشيطان كما أخرج أبويكم من الجنة ينزع عنهما لباسهما ليريهما سوآتهما إنه يراكم هو وقبيله من حيث لا ترونهم إنا جعلنا الشياطين أولياء للذين لا يؤمنون

“.....Sesungguhnya ia (iblis) dan pengikut-pengikutnya melihat kamu dari suatu tempat yang kamu tidak bisa melihat mereka.”  
(QS Al-A’raf 27).

Ada perbedaan pendapat dikalangan para ulama, apakah jin memungkinkan untuk dilihat manusia ataukah tidak. Imam Safi’I termasuk yang berpendapat tidak mungkin dengan dasar ayat di atas, seperti yang beliau katakana: “barangsiapa mengklaim bahwa dirinya dapat melihat jin, maka kami menganggap syahadatnya batal, kecuali jika dia seorang nabi.”

Jika benar pendapat Imam Syafi’I ini, maka yang beliau maksud adalah melihat jin dalam wujud yang asli, sedangkan melihat jin dalam bentuk tasyakkul (malih rupa) itu memungkinkan dalam kondisi tertentu. Seperti dijelaskan Ibnu Hajar ketika mengomentari pendapat Imam Syafi’I, “Yang beliau katakana ini sangat mungkin bagi orang yang mengklaim melihat jin dalam bentuk aslinya sebagaimana dia diciptakan. Sedangkan orang-orang yang melihat jin dalam bentuk yang telah melakukan penyerupaan dalam bentuk hewan misalnya, maka hal itu tidak mengapa. Karena berbagai riwayat telah menyebutkan tentang tasyakkul jin.”

Jin (meski dalam bentuk tasyakkul) bisa dilihat dalam tiga kondisi.

Pertama, jin menampakkan diri atas kemauannya sendiri. Seperti setan yang menampakkan diri dalam wujud Suraqah bin Malik bin Ju-stam ketika perang badar, juga sahabat anshor yang bertemu dengan ular  di ranjang yang ternyata adalah jin, keduannya bergulat hingga semuanya mati dan tidak diketahui mana yang lebih dulu mati, seperti yang diriwayatkan oleh Abu Sa’id Al-Khurdi dalam shahih Muslim.

Kedua, dengan mantera, ritual syirik atau diminumi air mantera. Hal ini seperti yang dilakukan oleh orang-orang yang memiliki khadam dari golongan jin. Dia bisa memanggil maupun melihat jin yang menjadi piaraannya meski dalam wujud yang bukan wujud aslinya.

Ketiga, orang yang kesurupan terkadang melihat jin. Dari ketiga kemungkinan tersebut, yang paling dekat dengan aksi para pemburu hantu adalah yang kedua, wallahu a’lam. Karena dia (mengaku) bisa melihat jin, sehingga mampu memagarinya dengan ‘pagar gaib’ agar jin tidak kabur . tetapi, tidak mungkin seseorang mengetahui yang gaib di segala tempat yang diinginkannya, karena Allah berfirman :

عالم الغيب فلا يظهر على غيبه أحدا

إلا من ارتضى من رسول فإنه يسلك من بين يديه ومن خلفه رصدا

“(Dialah Allah) Yang Mengetahui yang gaib, maka Dia tidak memperlihatkan kepada seorang pun tentang yang gaib itu. Kecuali kepada Rasul yang diridhainya, maka sesungguhnya Dia mengadakan penjaga-penjaga (malaikat) di muka dan di belakangnya.” 
(QS Al-Jin 26-27).

Untuk itulah para ulama menyebutkan bahwa di antara yang disebut sebagai thaghut adalah mereka yang mengaku melihat yang gaib.

Yang aneh, banyak orang ngantri untuk melakukan pembuktian gaib. Yakni dengan cara menyediakan dirinya sebagai mediator, jasad yang dirasuki oleh jin. Mengherankan, mengapa orang banyak menyediakan diri sebagai orang yang dirasuki setan. Padahal Nabi banyak mengajarkan kepada kita kiat untuk mencegah diri dari gangguan setan. Orang yang bersedia dijadikan mediator sama saja menyetujui tindakan orang yang mengundang jin untuk masuk ke jasadnya.

Sedangkan jin diundang dengan mantra-mantra syirik (meski dicampur dengan ayat-ayat Al-Qur’an), atau ada unsure berdo’a kepadanya. Karena pengertian do’a adalah memohon kepada pihak lain yang gaib. Padahal do’a adalah ibadah, barangsiapa yang mengalamatkan kepada selain Allah berarti dia telah melakukan syirik.

Di sisi lain, orang yang rela dijadikan mediator tawakalnya kepada orang yang memasukkan jin ke jasadnya. Yakni dia yakin bahwa si paranormal kuasa menyembuhkan dia dari kesurupan sebagaimana dia mampu mengundang jin dan memasukkan ke tubuhnya. Dan aksi memasukkan setan ke dalam tubuh manusia hanya dilakukan oleh dukun dan tukang sihir, tak satupun ulama Islam apalagi Nabi, sahabat, tabi’in maupun imam empat madzhab yang pernah melakukannya.


Islampos