رَبِّ اغْفِرْ لِي وَهَبْ لِي مُلْكًا لا يَنْبَغِي لأحَدٍ مِنْ بَعْدِي إِنَّكَ أَنْتَ الْوَهَّابُ


"Ya Rabb-ku, ampunilah aku, dan anugerahkanlah kepadaku kerajaan, yang tidak dimiliki oleh seorangpun juga sesudahku, sesungguhnya Engkaulah Yang Maha pemberi’."

Selasa, 13 September 2016

Husien Bin Ali Bin Abi Thalib, Cucu Rasulullah SAW yang Syahid di Karbala



Sayyidina Husien dan keluarganya syahid di Karbala pada 10 Muharam 61 hijriyah. Tragedi ini selalu dikenang oleh kaum muslimin sebagai noda hitam dalam sejarah Islam. Tragedi Karbala.

Mungkin saja tak ada peristiwa kemanusiaan yang melebihi kedahsyatan Tragedi Karbala pada 14 abad silam. Ketika itulah cucu Rasulullah SAW, Husien dan segenap keluarganya dibunuh tanpa ampun. Sayyidina Husien sendiri dipancung. Inilah noda hitam dalam sejarah Islam yang hingga kini selalu diratapi umat Islam di seluruh dunia. Tapi tragedi ini juga merupakan ungkapan suatu pengorbanan luar biasa para syahid di jalan kebenaran dan keadilan Allah SWT.


Sayyidina Husien

Sayyidina Husien dilahirkan di Madinah, pada Selasa 14 Sya`ban 4 H / 584 M. Ibunya Siti Fatimah adalah putri kesayangan Rasulullah SAW, sedangkan ayahandanya adalah Ali bin Abi Thalib – salah seorang sahabat Nabi dan tokoh terkemuka di awal dakwah Islam. Beliau dibesarkan oleh pasangan sejoli yang menerima asuhan langsung dari Rasulullah SAW. Nama Husien merupakan Tasghir (pengecilan) dari nama abangnya, Hasan, yang dua-duanya berarti “bahagia”. Beliau adalah cucu tersayang Nabi.

Pernah suatu hari Rasulullah menunaikan shalat dan sangat lama melakukan sujud. Bukan hanya karena ingin lebih dekat dengan Allah SWT, melainkan juga karena menjaga agar Husien dan abangnya Hasan, tidak terjatuh dari punggung beliau. Ketika itu kedua cucunda tengah bermain-main di punggung Rasulullah yang mulia. Sungguh kasih sayang yang sangat luar biasa.
Nabi sangat mencintai kedua cucunda, sehingga kehidupan mereka bak kehidupan malaikat yang berada di bawah naungan Allah SWT. Pada masa kanak-kanak mereka mendapatkan ucapan-ucapan wahyu di lingkungan kenabian. Rasulullah memberi mereka pelajaran dan cara hidup Islami. Sementara dari lingkungan kedua orang tuanya, mereka mengambil suri tauladan yang mulia. Dalam lingkungan yang mulia seperti itulah Hasan dan Husien dibesarkan.

Abu Hurairah bercerita, “Rasulullah datang kepada kami dengan kedua cucunya, Hasan dan Husien, yang pertama, di bahu beliau yang satu, yang kedua di bahu beliau yang lain. Sesekali Rasulullah menciumi mereka, sampai berhenti di tempat kami berada. Kemudian beliau bersabda, “Barangsiapa mencintai keduanya (Hasan dan Husien) berarti juga mencintai aku, barangsiapa membenci keduanya berarti juga membenci aku.”

Pada hari ketujuh kelahiran Husien, Rasulullah menyembelih dua ekor kambing gibas berwarna putih keabu-abuan sebagai aqiqah. Kemudian beliau memberikan dua paha kambing itu kepada hadirin, lalu mencukur rambut Husien dan menimbangnya dengan perak, selanjutnya perak itu disedekahkan kepada fakir miskin. Lalu beliau mengurapi kepala cucunda dengan pacar, sebagaimana yang beliau lakukan kepada Hasan.

Sejak kecil Husien sudah menunjukkan bakat sebagai ilmuan, prajurit dan orang shaleh. Bersama abangnya, bakat sang adik semakin berkembang. Selama masa pemerintahan empat khalifah yang pertama. Sifat mereka yang luhur mendapat penghargaan dan perhatian besar dari para khalifah.

Saat Perpecahan Muncul

Kesulitan timbul justru di masa kekhalifahan sang ayah, Ali bin Abi Thalib, terutama ketika Muawiyah yang memberontak. Akibat peristiwa ini, kekhalifahan Islam terbagi dua. Satu dipimpin oleh Sayyidina Ali, lainnya di bawah Muawiyah.

Muawiyah adalah keluarga dari Khalifah Usman bin Afan yang sebelumnya menjabat sebagai Gubernur Damaskus. Ia, sebagaimana keluarga Usman yang lain, mencurigai Ali terlibat dalam komplotan pembunuh Utsman.
Ketika Imam Ali meninggal, terbukalah peluang bagi Muawiyah untuk menuju ke jenjang kekuasaan. Demi keutuhan umat Islam, Hasan yang menggantikan ayahandanya, berkompromi atau lebih tepatnya mengalah – dengan menyerahkan kekuasaan kepada Muawiyah. Tapi belakangan Imam Hasan justru konon diracun hingga wafat.

Pada tahun-tahun terakhir kekuasaannya sebagai khalifah, Muawiyah merobohkan sendi-sendi demokrasi. Ia banyak mengikuti saran Mughirah, Gubernur Basrah, ia mengangkat Yazid sebagai penggantinya. Dengan pengangkatan ini, demokrasi dalam Islam menjadi monarkhi. Sedangkan Yazid tiada lain adalah anak Muawiyah. Tindakan itu juga melanggar perjanjian yang telah disepakati dengan Imam Husien bahwa pengangkatan seorang khalifah harus melalui pemilihan yang demokratis.

Ada dua orang yang telah menimbulkan kekacauan di kalangan kaum muslimin, yaitu Amr bin Ash yang menyarankan Muawiyah mengangkat Al-Qur`an di ujung tombak ketika hendak berunding dengan Iman Hasan. Orang yang kedua adalah Mughirah yang menyarankan kepada Muawiyah agar mengangkat Yazid sebagai khalifah. Jika tidak, tentu akan terbentuk sebuah dewan pemilihan, demikian kata Imam Hasan dari Basrah.

Yazid naik tahta pada April 683 M. Para sejarawan menilai bahwa Yazid ini sama sekali tidak pantas diangkat sebagai khalifah, bukan hanya karena terlalu mementingkan kehidupan duniawi, tetapi juga karena dia tidak dekat dengan para ulama. Namun dengan licik dia berusaha memperkuat kekuasaannya dengan minta sumpah setia dari para ulama, termasuk dari Imam Husien. Akan tetapi Husien yang mewarisi kesalehan dan kekesatriaan ayahandanya, Ali, tidak mudah dipaksa atau dibujuk dengan berbagai hadiah.

Melalui Walid bin Utbah, Gubernur Madinah, Yazid berusaha membujuk Imam Husien untuk bersumpah setia kepadanya. Namun sebaliknya, Imam Husien didesak oleh warga Kufah di Irak agar membebaskan mereka dari kekuasaan Yazid. Maka diapun lalu mengutus kemenakannya, Muslim bin Akil ke Kufah, yang disambut ribuan pendukung Imam Husien.

Tapi Yazid tak tinggal diam, ia menekan warga Kufah, sehingga semuanya meninggalkan Husien, dan Muslim sang utusan dipasung di jalan raya.

Rupanya peristiwa di Kufah itu belum terdengar oleh Husien. Ia berangkat ke Kufah bersama serombongan besar pengikut dan keluarga. Semuanya berjumlah 72 orang. Ketika mendekati perbatasan Irak, ia terkejut karena tidak bertemu dengan pasukan pendukungnya, apalagi setelah mendengar Muslim dipancung.

Ketika itulah ia dihadang oleh pasukan Yazid di bawah pimpinan Al-Hur. Atas perintah Gubernur Kufah Ubaidillah ibnu Ziyad, ia menggiring Imam Husien ke Karbala, sekitar 25 mil sebelah timur laut Kufah.

Ketika Husien mendirikan tenda di tepi sungai Efrat, pasukan Yazid yang berjumlah sekitar 4.000 serdadu di bawah komando Amr bin Sa`ad mengepung perkemahan itu dengan pagar besi di sekelilingnya. Tak lama kemudian Ubaidillah membujuk Husien agar menyerah, semantara semua jalur jalan ke dan dari Sungai Efrat ditutup untuk menyetop suplai air bagi rombongan Husien.
Selama 4 hari (7-10 Muharom) rombongan Imam Husien sangat kehausan. Itulah awal masa kesengsaraan cucu mulia Rasulullah SAW. Sampai-sampai hal itu membuat Al-Hur , salah seorang komandan pasukan Yazid terharu. Pada 10 Muharam 61 H / 641 M, ia menyaksikan Imam Husien yang sangat sengsara, lunglai karena kehausan dan kelaparan. Melihat kenyataan itu, Al-Hur dan 30 prajuritnya membelot, tapi mereka bisa dilumpuhkan oleh pasukan Yazid di bawah pimpinan Amr bin Sa`ad.
Di lain pihak pasukan Yazid tidak berani berhadapan langsung dengan rombongan Husien. Mereka hanya melepas anak panah dari kejauhan. Meski begitu karena kekuatan sama sekali tidak seimbang, satu demi satu, sahabat, saudara, sepupu, kemenakan Imam Husien, wafat sebagai syuhada dengan tubuh tertancap anak panah. Tinggallah Imam Husien dengan bayinya, Ali Al-Asghar.

Suatu saat Asghar berteriak-teriak kehausan, minta minum, sambil menggendong anaknya, Husien mendekati lawan lalu menyampaikan beberapa nasihat. Pasukan Yazid bukannya memberikan seteguk air, mereka justru memanah sang bayi yang tak berdosa itu, sehingga syahid seketika. Dengan perasaan campur aduk, sedih dan marah, Imam Husien menggendong Asghar yang berdarah-darah ke pangkuan ibundanya, Syahr Banu, ketika itulah ia tahu, ajalnya menjelang.

Meski begitu ia masih sempat menunjukkan keluhuran akhlak dengan mendoakan para prajurit yang telah membunuh sahabat dan keluarganya. Setelah itu ia segera keluar dari tenda, lalu menyerang dengan penuh semangat. Sebagian prajurit lawan sempat lari terbirit-birit, tapi Imam Husien hanya seorang diri, sudah terlalu lemah karena lapar dan dahaga, dengan puluhan tusukan pedang dan tancapan anak panah di sekujur tubuhnya.

Dengan lunglai Imam Husien turun dari kudanya, lalu shalat dua rakaat. Ketika ia sedang bersujud, Saren Ibn Uns – salah seorang prajurit Yazid yang keji dan pengecut – menyerang, menginjak-injak tubuhnya, lalu memancung kepala sang Imam. Sementara jasad tubuhnya dimakamkan di Padang Karbala, sedangkan kepalanya dibawa ke istana Yazid.

Menurut riwayat, ada enam dari tujuh anak-anak Imam Husien yang syahid di padang Karbala, juga istri tercintanya, Syahr Banu (seorang putri Khasru Yasdajid II dari dinasti Sasanid II, Persia — sekarang Iran). Empat putranya, Ali Al-Akbar, Ali Ausath, Ali Al-Asghar, Abdullah, sedangkan tiga putrinya, Zainab, Sakinah dan Fatimah. Seluruh anak Husien terbunuh, kecuali Ali Ausath, yang di kemudian hari terkenal sebagai wali, yaitu Ali Zainal Abidin. Dialah satu-satunya keturunan Rasulullah SAW yang selamat dari pembantaian keji padang Karbala.

Ketika pertempuran tak seimbang itu terjadi, Ali Zainal Abidin tengah tergolek sakit di tenda. Ia hanya ditunggui oleh bibinya, Zainab binti Ali, yang dengan gigih melindunginya ketika beberapa orang pasukan musuh menerobos masuk ke dalam tenda yang hanya ditunggui kaum wanita dan anak-anak.
Zainab berteriak lantang, “Apakah kalian tidak menyisakan satu laki-laki pun dari keluarga kami?” Prajurit itu pun tertegun sebentar, kemudian berbalik meninggalkan tenda tersebut tanpa mengucapkan sepatah kata pun.