رَبِّ اغْفِرْ لِي وَهَبْ لِي مُلْكًا لا يَنْبَغِي لأحَدٍ مِنْ بَعْدِي إِنَّكَ أَنْتَ الْوَهَّابُ


"Ya Rabb-ku, ampunilah aku, dan anugerahkanlah kepadaku kerajaan, yang tidak dimiliki oleh seorangpun juga sesudahku, sesungguhnya Engkaulah Yang Maha pemberi’."

Selasa, 07 Oktober 2014

Kesaksian Taurat Dan Injil Mengenai Rasulullah SAW





Padang pasir Sahara kering kerontang. Sejauh mata memandang cuma lautan pasir tandus berbatu-batu, hanya satu-dua pohon kurma berdebu. Terik matahari membakar tubuh. Peluh yang berlelehan segera kering, lenyap menguap. Angin kering yang bertiup menambah rasa haus. Senyap. Sudah berhari-hari kafilah itu menempuh perjalanan yang meletihkan. Tapi, remaja kecil dalam rombongan kafilah tersebut tetap saja tangkas dan riang. Tak tampak rasa letih di wajahnya.

Lebih-lebih ketika kafilah dagang pimpinan Abu Thalib itu sampai di perbatasan dekat Bashra, antara Jazirah Arab dan Syam. Entah mengapa, anak kecil itu kelihatan sangat bahagia. Agaknya ada sesuatu yang menunggunya, yang bakal memantapkan martabatnya di masa depan, karena itu sangat berharga bagi masa depannya. Anak itu tiada lain adalah Muhammad (Shallallhu ‘alaihi wasallam), yang kala itu berusia 12 tahun.

Siang itu, Abu Thalib memutuskan untuk beristirahat dan berkemah di luar Bashra. Maka segenap anggota rombongan pun menambatkan tali pengikat unta dan menurunkan semua beban, baik barang dagangan maupun bekal makanan. Abu Thalib duduk di sebuah batu, bersandar di sepokok pohon kurma, ditemani si kecil Muhammad(Shallallhu ‘alaihi wasallam), kemenakannya. Belum lama mereka beristirahat meluruskan kaki, seorang laki-laki mendatangi mereka. Dari pakaiannya, tampaknya ia seorang pendeta Nasrani. Sejak tadi ia memang memperhatikan dan mengawasi kemenakan Abu Thalib tersebut.

Tanpa ditanya, pendeta tua berjenggot dan berjubah lusuh itu memperkenalkan diri, “Nama saya Buhaira, saya pengikut ajaran Isa Almasih. Apakah betul anak ini bernama Yang Terpuji?”

Abu Thalib yang ternganga keheranan, mengangguk. “Dari mana Tuan tahu namanya? Namanya Muhammad, artinya memang Yang Terpuji,” katanya keheranan.

“Bukankah ada tanda semacam cap di punggungnya?” tanya pendeta itu lagi seperti penasaran. Sekali lagi Abu Thalib mengangguk, dan sekali lagi ia tercengang.

“Bukankah dia dilahirkan dalam keadaan yatim, kemudian ibunya juga meninggal dunia?” tanya pendeta itu lagi.

“Betul,” jawab Abu Thalib kebingungan.

Akhirnya dengan tenang pendeta Buhaira berkata, “Kalau demikian halnya, jagalah dia baik-baik. Sebaiknya Tuan jangan terlalu lama berada di negeri Syam. Sebab, namanya sudah dijelaskan dalam kitab suci kaum Yahudi, Taurat. Jika mengetahui siapa kemenakanmu yang sebenarnya, mereka pasti akan menyakiti dan membunuhnya.”

Bukan Fiksi

Tentu saja Abu Thalib sangat cemas. Namun, Buhaira malah tersenyum bahagia sambil berkata, “Dari wajahnya, saya yakin, dialah yang namanya sudah dijelaskan dalam kitab Injil. Ia datang dari Jazirah Arab, berarti ia keturunan Nabi Ismail‘Alaihissalam.”

Melihat Abu Thalib terpana tak percaya, Buhaira berusaha meyakinkan, “Tuan, saya percaya, semua yang termaktub dalam Kitab Suci tertuju kepada kemenakan Tuan ini, yang bernama Yang Terpuji.”

Ini bukanlah fiksi, melainkan fakta sejarah yang menjelaskan bahwa, sebelum Nabi Muhammad Shallallhu ‘alaihi wasallam diangkat sebagai rasul oleh Allah Ta’ala, kaum Yahudi dan Nasrani sedang menunggu-nunggu kedatangannya. Banyak rahib Yahudi dan pendeta Nasrani, bahkan raja-raja, mengakui dan bersaksi bahwa Muhammad, Yang Terpuji, adalah sosok yang dijanjikan Allah Ta’ala sebagaimana dijelaskan dalam Taurat dan Injil. Namanya disebut dalam kitab kaum Yahudi dan Nasrani itu dalam bahasa Ibrani maupun Yunani, yang semuanya berarti “yang terpuji”.

Misalnya dalam kitab Ulangan (pasal 18, ayat 17-22), Nabi Musa bersabda, “Maka pada masa itu berfirmanlah Allah kepadaku, ‘Benarlah kata mereka, Bani Israil itu, bahwa Aku, Allah, akan menjadikan bagi mereka seorang nabi dari antara segala saudaranya, yakni dari Bani Ismail, yang seperti engkau, hai Musa. Dan Aku akan memberi segala firman-Ku dalam mulutnya, dan dia pun akan mengatakan kepadanya segala yang Aku suruh’.”

 Berita mengenai bakal datangnya nabi baru yang dijanjikan oleh Allah Ta’ala itu antara lain sudah disebutkan dalam kita-kitab suci terdahulu, misalnya dalam Injil Yahya (Perjanjian Baru) pasal 14, ayat 16-17, yang menyebut-nyebut perihal “Roh Kebenaran”, yang dalam bahasa Yunani disebut Paraclet atau Para-Cletos atau Paracletos, yang bermakna Yang Terpuji. Dan dalam bahasa Arab, Muhammad memang berarti Yang Terpuji (lihat: Paracletos, Siapa Dia?).

Sekitar 30 tahun kemudian, ketika Rasulullah Shallallhu ‘alaihi wasallam berusia 40 tahun, dan menerima wahyu pertama surah Al-‘Alaq di Gua Hira, kenabiannya pun diakui dan diimani oleh Waraqah bin Naufal, pendeta Nasrani yang juga paman Khadijah, istri Nabi. Menurut Waraqah, ketika itu Muhammad telah menerima “Namus Besar” sebagaimana yang juga pernah diterima oleh Musa. Oleh karena itu dia adalah utusan Allah.

Menurut para sejarawan, “Namus Besar” dimaknai sebagai Malaikat Jibril. Sementara menurut orientalis Montgomery Watt, kata namus diambil dari bahasa Yunani noms, yang berarti “undang-undang” atau kitab suci yang diwahyukan.

Turunnya wahyu pertama kepada Rasulullah Shallallhu ‘alaihi wasallam yang ummi (buta huruf) yang diawali dengan kalimat Iqra bismi rabbikal ladzi khalaq (Bacalah dengan asma Tuhanmu yang menciptakan) itu jauh sebelumnya sudah disebut dalam Injil Yesaya (pasal 29:12), “Dan kitab itu diberikan kepada seorang yang tiada tahu membaca dengan mengatakan, ‘Bacalah ini,’ maka ia akan menjawab, ‘Aku tiada dapat membaca’.”

Ayat tersebut persis sama dengan kejadian di Gua Hira ketika Malaikat Jibril menyuruh Rasulullah Shallallhu ‘alaihi wasallam membaca, “Bacalah!”, dan Rasulullah, yang ummi, menjawab dengan gemetar, “Ma ana bi qari! (Aku tidak dapat membaca!).” Setelah dialog singkat itu berlangsung tiga kali, Jibril pun menyampaikan wahyu Allah SWT yang pertama, sebagaimana tertulis dalam Al-Quran surah Al-‘Alaq.

Bukan hanya rahib Yahudi dan pendeta Nasrani, ada pula para raja yang mengetahui (secara samar-samar) kedatangan seorang nabi akhir zaman. Seorang di antaranya adalah Raja Najasyi dari Habasyah alias Negus (kini Ethiopia). Setelah mendengar penjelasan Ja’far bin Abu Thalib, sepupu RasulullahShallallhu ‘alaihi wasallam, mengenai ajaran Muhammad, sang raja, yang tadinya Nasrani taat itu, pun akhirnya mengakui kenabian RasulullahShallallhu ‘alaihi wasallam.

Kisahnya, pada tahun ke-7 Hijriah, Rasulullah Shallallhu ‘alaihi wasallam mengirim surat kepada Raja Najasyi, mengajak memeluk Islam. Ketika menerima surat itu, sang raja berkata, “Aku bersaksi, sesungguhnya dialah (Muhammad) nabi yang ditunggu-tunggu Ahli Kitab.” Lalu ia menulis surat jawaban, “Saya mengakui bahwa Tuan adalah utusan Allah yang benar dan dibenarkan. Sesungguhnya saya telah berbai’at kepada Tuan dan telah berbai’at kepada sepupu Tuan. Dan saya telah memeluk Islam di hadapannya karena Allah, Tuhan semesta alam.”

Surat bernada sama dikirimkan oleh Nabi Muhammad Shallallhu ‘alaihi wasallam kepada Muqauqis, gubernur Mesir, pemeluk Nasrani Qibti. Dalam surat balasannya Muqauqis menulis, meskipun tidak memeluk Islam ia mengakui kenabian Rasulullah Shallallhu ‘alaihi wasallam. “Setelah membaca surat Tuan dan memahami apa yang Tuan sebutkan, sebenarnya saya mengetahui bahwa seorang nabi akan datang. Saya menduga, ia muncul di Syam, dan saya menghormati utusan Tuan.”
  
Tanpa Keraguan

Memang, kala itu, siapa pun yang benar-benar beriman kepada Nabi Musa ‘Alahissalam  dan Nabi Isa ‘Alahissalam, tentulah merindukan kedatangan seorang nabi yang dijanjikan Allah. Setelah menyaksikan sang nabi yang ditunggu-tunggu itu benar-benar datang, tanpa ragu mereka pun mengimaninya.

Ramalan mengenai kedatangan Rasulullah Shallallhu ‘alaihi wasallam juga santer di kalangan kaum Yahudi. Bukan hanya para rahib, bahkan orang awam pun sering mendiskusikannya. Ketika Rasulullah Shallallhu ‘alaihi wasallam hijrah ke Madinah, beliau didatangi Abdullah bin Salam, seorang tokoh rahib Yahudi. Setelah berdialog mengenai beberapa hal, rahib itu yakin bahwa Muhammad adalah Rasulullah Shallallhu ‘alaihi wasallam yang telah lama dijanjikan.

Maka, tanpa ragu, ia pun mengakui kerasulan Muhammad Shallallhu ‘alaihi wasallam. Lalu katanya, “Saya bersaksi bahwa Tuan adalah Rasulullah yang datang membawa kebenaran. Saya adalah rahib Yahudi dan anak rahib besar Yahudi. Harap Tuan tanyakan kepada siapa saja, sebelum mereka mengetahui bahwa saya telah masuk Islam. Sebab, jika nanti mereka tahu saya telah masuk Islam, pasti perkataan mereka mengenai saya bakal macam-macam.”

Lalu NabiShallallhu ‘alaihi wasallam memanggil tokoh-tokoh masyarakat Yahudi, sementara Abdullah bin Salam bersembunyi. Nabi minta mereka agar beriman kepada Allah dan bersaksi bahwa sebenarnya mereka tahu Muhammad Shallallhu ‘alaihi wasallam adalah utusan Allah.

“Kami tidak mengetahui tentang hal itu.”

Lalu Rasulullah bertanya, “Bagaimana kedudukan Abdullah bin Salam di antara kalian?”

“Dia adalah rahib kami dan anak rahib besar kami. Dia orang yang paling alim di antara yang alim.”

“Bagaimana jika ia telah masuk Islam?” tanya Rasulullah lagi.

“Tidak, tidak mungkin. Tidak mungkin ia masuk Islam!”

Sejurus kemudian NabiShallallhu ‘alaihi wasallam mempersilakan Abdullah bin Salam keluar dari persembunyiannya.

Maka Abdullah, yang telah menjadi muslim, pun muncul lalu berkata, “Wahai kaum Yahudi, takutlah kalian kepada Allah. Demi Allah, yang tidak ada Tuhan selain Dia, dialah Rasul Allah yang kamu juga ketahui itu. Dia telah datang membawa kebenaran.”

Meski sudah mendengar ucapan Abdullah bin Salam yang sangat dihormati itu, tetap saja mereka membangkang. “Tidak, Tuan telah berdusta!”

Di belakang hari, Abdullah bin Salam termasuk sahabat Nabi Shallallhu ‘alaihi wasallam yang terkemuka.

Berita mengenai kedatangan nabi baru – sekitar dua abad setelah wafatnya Nabi Isa‘Alaihissalam – memang menjadi bahan diskusi dan pergunjingan di kalangan kaum Yahudi. Bukan hanya di kalangan rahib atau rabi, bahkan juga di kalangan awam.

Suatu hari, di musim haji, enam orang Arab asal Madinah buru-buru menuju ke Makkah untuk menyampaikan kabar mengenai kenabian Muhammad, yang sudah lama dan sering mereka dengar dari komunitas Yahudi. Sampai di Makkah, mereka menyaksikan Rasulullah Shallallhu ‘alaihi wasallam yang dengan fasih dan bijak berdakwah.
  
Berlipat Ganda

“Inilah nabi yang selalu disebut-sebut oleh orang Yahudi Madinah itu. Ia membawa ajaran kebenaran. Mari kita menjadi pengikutnya, jangan sampai kedahuluan orang-orang Yahudi itu,” ujar salah seorang di antara mereka. Hebatnya, bahkan sebelum menyatakan beriman, mereka pulang kembali ke Madinah untuk berdakwah.

Pada musim haji tahun berikutnya, mereka kembali menunaikan haji ke Makkah. Kali itu bersama sejumlah kaum muslimin, yang ingin bertemu Rasulullah untuk menyatakan keimanan. Dalam musim haji tahun berikutnya lagi, jumlah kaum muslimin asal Madinah yang menunaikan ibadah haji di Makkah berlipat ganda, sehingga Islam tersiar luas di Madinah Al-Munawwarah, kota Nabi yang bercahaya terang benderang.

Berita akan datangnya nabi baru itu juga didengar oleh kalangan Majusi, kaum penyembah matahari di Persia (kini Iran). Di antara mereka terdapat seorang pemuda, Salman Al-Farisi, yang gelisah mencari kebenaran Ilahiah. Dari penganut Majusi, mula-mula ia memeluk Nasrani. Pada suatu hari ia diutus oleh gurunya, seorang pendeta Nasrani, untuk berangkat ke Makkah mencari informasi mengenai nabi baru yang dijanjikan Tuhan.

Ciri-cirinya, antara lain, ia berasal dari Tanah Arab, membawa agama Nabi Ibrahim‘Alaihissalam, akan hijrah ke suatu tempat di antara dua tanah berbatu-batu dan banyak pepohonan kurma, tidak mau menerima zakat, di antara dua bahunya terdapat cap kenabian. Maka berangkatlah Salman sehingga bertemu Rasulullah Shallallhu ‘alaihi wasallam.

Bahkan sampai belasan abad kemudian, Rasulullah Shallallhu ‘alaihi wasallam tetap dikenang sebagai “raksasa sejarah” – setidaknya oleh Will Durant, seorang cendekiawan dan orientalis Barat. Dalam bukunya, The Story of Civilization, antara lain ia menulis, “Jika kita mengukur kebesaran dan pengaruhnya, dia seorang raksasa sejarah. Dia berjuang meningkatkan tahap ruhaniah dan moral sebuah bangsa yang tenggelam dalam kebiadaban karena panas dan kegersangan gurun. Dia berhasil lebih sempurna dari pembaharu mana pun. Belum pernah ada orang yang begitu berhasil mewujudkan harapan-harapannya seperti dia.”

Sementara Thomas Carlyle, cendekiawan yang lain, menulis dalam On Heroes and Hero Worship, “Dia datang bagaikan sepercik sinar dari langit, jatuh ke padang pasir yang tandus, kemudian meledakkan butir-butir debu menjadi mesiu yang membakar angkasa, dari Delhi hingga ke Granada.” Padahal, kedua orientalis Barat itu belum pernah berjumpa dengan Rasulullah Shallallhu ‘alaihi wasallam, bahkan mereka sama sekali tidak beriman kepadanya!

Michael H. Hart bahkan seorang Nasrani. Namun dalam bukunya – yang diterjemahkan oleh kolumnis H. Mahbub Djunaidi dengan judul Seratus Tokoh Paling Berpengaruh dalam Sejarah – menempatkan beliau pada urutan pertama dari 100 tokoh dunia. Michael H. Hart bukan sembarang intelektual. Ia memiliki gelar doktor dalam empat bidang ilmu: matematika, hukum, kimia, angkasa luar, dari empat universitas terkemuka di Amerika Serikat.

Mengapa dia memilih Rasulullah Shallallhu ‘alaihi wasallam sebagai tokoh pada urutan pertama? Inilah antara lain alasannya, “... saya berpegang pada keyakinan saya, dialah satu-satunya manusia dalam sejarah yang berhasil meraih sukses-sukses luar biasa, baik ditilik dari ukuran agama maupun ruang lingkup duniawi.”