Suatu hari Nasrudina mengeluh pada istrinya, Shakila: “Dulu, waktu
baru nikah, setiap kali saya pulang ke rumah, kau membawakan sandal saya
dan anjing kita menyambut dengan gonggongan. Kini terbalik, anjing kita
yang membawakan sandal, dar kau yang menggonggong.”
Mendengar kegusaran suaminya, Shakila tak kalah tangkas
menangkis: “Jangan mengeluh suamiku, bagaimanapun engkau tetap
mendapatkar pelayanan yang sama: ada yang membawakan sandal dan ada yang
menggonggong.”
Menyelaraskan keinginan memang tak mudah. Ada unsur waktu, ada
rasa pakewuh. Tapi, begitu watak asli terkuak seiring dengan rasa bosan
yang muncul kecerewetan, ketidaksabaran, dan ketidak bersahajaannya pun
mencuat. Begitulah manusia. Cenderung menyukai mengenakan topeng
khususnya bila urusan duniawi jadi tujuan pokok.
Mungkin, topeng itu pula yang membuat kita sering terkecoh. Kita
suka melihat yang tampak, bukan bagian yang “dalam”. Kita cenderung
mencuatkan ego.
Begitulah jika manusia menekankan keinginan sendiri tanpa
menimbang perasaan orang lain. Hatinya kopong. Kesetiaan, penghormatan,
perhatian kepedulian, keadilan, kejujuran, semua ditentukan melalui
kualitas hati. Tanpa hati yang jernih, seseorang akan sulit menyatakan
terima kasih, apalag berbagi kasih.