"Ya Rabb-ku, ampunilah aku, dan anugerahkanlah kepadaku kerajaan, yang tidak dimiliki oleh seorangpun juga sesudahku, sesungguhnya Engkaulah Yang Maha pemberi’."
Selasa, 10 April 2012
Membalik Logika
Seorang yang filsuf dogmatis sedang meyampaikan ceramah. Nasrudin mengamati bahwa jalan pikiran sang filsuf terkotak-kotak, dan sering menggunakan aspek intelektual yang tidak realistis.
Setiap masalah didiskusikan dengan menyitir buku-buku dan kisah-kisah klasik, dianalogikan dengan cara yang tidak semestinya.
Akhirnya, sang penceramah mengacungkan buku hasil karyanya sendiri. Nasrudin segera mengacungkan tangan untuk menerimanya pertama kali. Sambil memegangnya dengan serius, Nasrudin membuka halaman demi halaman, berdiam diri. Lama sekali.
Sang penceramah mulai kesal. "Engkau bahkan membaca bukuku terbalik!"
"Aku tahu," jawab Nasrudin acuh, "Tapi karena cuma ini satu-satunya hasil karyamu, rasanya, ya memang begini caranya mempelajari jalan pikiranmu."
Membedakan Kelamin
Seorang tetangga Nasrudin telah lama bepergian ke negeri jauh. Ketika pulang, ia menceritakan pengalaman-pengalamannya yang aneh di negeri orang.
"Kau tahu," katanya pada Nasrudin, "Ada sebuah negeri yang aneh. Di sana udaranya panas bukan main. Sehingga tak seorang pun yang mau memakai pakaian, baik lelaki maupun perempuan."
Nasrudin senang dengan lelucon itu. Katanya, "Kalau begitu, bagaimana cara kita membedakan mana orang yang lelaki dan mana yang perempuan?"
Sembunyi
Suatu malam seorang pencuri memasuki rumah Nasrudin. Kabetulan Nasrudin sedang melihatnya.
Karena ia sedang sendirian aja, Nasrudin cepat-cepat bersembunyi di dalam peti. Sementara itu pencuri memulai aksi menggerayangi rumah.
Sekian lama kemudian, pencuri belum menemukan sesuatu yang berharga. Akhirnya ia membuka peti besar, dan memergoki Nasrudin yang bersembunyi.
"Aha!" kata si pencuri, "Apa yang sedang kau lakukan di sini, ha?"
"Aku malu, karena aku tidak memiliki apa-apa yang bisa kau ambil. Itulah sebabnya aku bersembunyi di sini."
Muslim Bertambah, Tapi Masjid Justru Kurang
Di suatu hari yang dingin di bulan Maret, ribuan umat Muslim melakukan sholat Jumat di luar masjid tertua di jalan Bolshaya Tatarskaya pusat kota Moskow. Mereka melaksanakan sholat di jalanan yang tertutup salju.
Suara klakson mobil terdengar di jalan tersebut dan masyarakat lokal berupaya untuk melintasi jalur tersebut.
Pemandangan yang sama terjadi di seluruh masjid yang ada di Moskow yang berjumlah empat buah, ketika puluhan ribu umat Muslim melaksanakan sholat Jumat.
Lebih dari dua juta Muslim saat ini tinggal dan bekerja di Moskow. Dan menjadi salah satu negara dengan komunitas muslim terbesar di Eropa dan tak lagi dapat ditampung masjid yang ada di kota tersebut.
Para Muslim yang sebagian besar adalah pemuda imigran dari negara bekas Uni Soviet, Asia Tengah dan Kaukakus.
Kemiskinan dan konflik memaksa mereka untuk mengadu nasib di Rusia, mereka sebagian besar berasal dari Uzbekistan, Tajikistan dan Kirgistan yang bekerja dan mendapatkan tempat tinggal baru di Moskow.
"Ada banyak sekali dari (negara) kami," kata Ulugbek, seorang migran dari Uzbekistan. "Kami harus bersyukur bahwa ada masjid di Moskow. Kota yang tidak disiapkan dengan kedatangan jutaan dari kami yang secara tiba-tiba," ujarnya dikutip BBC, Kamis (22/03/2012).
Tetapi yang lain berpikir bahwa otoritas mengabaikan kebutuhan penduduk Muslim.
Hasan Fakhritdinov, imam masjid bersejarah di Moskow, mengatakan bahwa fasilitas yang ada tidak cukup.
"Kami meminta kepada otoritas untuk mengijinkan kami membangun masjid baru, tetapi mereka mengabaikan keinginan kami," kata dia. "Sekarang orang harus sholat di luar di tengah hujan atau salju."
Masjid Tatar yang merupakan tertua di Moskow sudah berubah menjadi bangunan baru. Tetapi meski demikian tetap tidak dapat menampung orang yang beribadah.
"Moskow-abad"
Pendapat masyarakat di Moskow akan kebutuhan masjid untuk penduduk Muslim pun terpecah.
"Moskow berkembang dan itu menarik lebih banyak migran yang menjadi Muslim," seperti disampaikan dua perempuan muda yang berjalan dekat masjid tua."Rusia membangun gereja dan tidak boleh seorang pun menghentikan Muslim untuk membangun masjid mereka".
Tetapi warga lainnya khawatir jika terlalu banyak pendatang akan mengubah budaya dan gaya hidup Rusia.
"Orang melontarkan gurauan Moskow telah menjadi Moskow-abad," kata Yuri Gorsky, seorang aktivis dari kelompok nasionalis Russovet, yang meminta kedatangan imigran diperketat.
"Saat ini tidak banyak wajah Slavik yang anda lihat di jalanan. Saya tidak keberatan imigran dari negara Slavik tetapi kita harus menyetop Muslim ini."
Dulu pernah terjadi serangan xenophobia (ketakutan terhadap orang asing) terhadap imigran muslim di Rusia, tetapi jumlah itu menurun secara drastis selama beberapa tahun terakhir.
Kelompok HAM Rusia, Sova Center melaporkan tujuh orang tewas dan 28 lain terluka akibat serangan pada tahun 2011, sementara pada tahun 2008 jumlah korban tewas mencapai 57 dan 196 mengalami luka pada 2008.
Kota Samosa
Samosa yang berasal dari Asia Tengah menjadi makanan yang populer di Moskow.
Banyaknya jumlah imigran di Moskow, juga memberikan perubahan dan pekerjaan baru.
Sejumlah toko Halal dan cafe dibuka di sejumlah wilayah di kota tersebut, dari restoran mahal dimana anda dapat menghabiskan US$200 untuk makan siang, sampai toko yang menjual makanan murah untuk dibawa pulang.
Penjualan panganan khas Asia Tengah juga marak, seperti roti dan samosa.
Samosa halal menjadi makanan yang populer di Moskow. Tetapi bukan hanya makanan halal dan masjid yang penuh yang menunjukan kehadiran Islam disana.
Kehidupan masyarakat di ibukota Rusia pun berubah.
Zarif, yang berasal dari Tajikistan, dan istrinya yang orang Rusia Yelena tinggal di sebuah apartemen tanpa kamar di bagian utara Moskow.
Seperti keluarga lainnya, keduanya memiliki pekerjaan dan berupaya untuk pindah ke tempat tinggal yang lebih besar.
Zarif yang Muslim dan Yelena yang berasal dari keluarga Kristen Ortodoks, mengatakan awalnya pernikahan mereka sulit untuk mendapatkan dukungan, tetapi sekarang semua sudah berubah.
Muslim meningkat
Jumlah orang Rusia yang menganut Islam pun meningkat, di antara mereka adalah Ali Vyacheslav Polosin, mantan pendeta Ortodok dan politisi.
Dia merupakan salah seorang yang berada di garis depan dalam mengkampanyekan agar Hari Natal Ortodok menjadi hari libur nasional di Rusia.
Tetapi 12 tahun yang lalu, dia pindah agama dan sekarang menjalankan pusat dukungan Muslim di Moskow, mengajar dan memberikan nasihat kepada orang Rusia yang baru menganut Islam atau Mualaf.
Ayesha Larisa, yang bekerja untuk pusat dukungan itu, mengatakan telah memiliki anggota sebanyak 10.000 orang perempuan mualaf.
"Mereka butuh bantuan dan nasihat kami," kata Ayesha. "Kami mengajari mereka cara beribadah, atau membantu mereka jika memiliki masalah dengan anggota keluarganya."
Islam menjadi agama terbesar kedua di Rusia, tetapi tidak pernah terlihat di Moskow seperti saat ini.
Kondisi itu tampaknya akan berkembang, karena penduduk Rusia semakin terlihat sedikit dengan meningkatnya imigran dari negara Muslim bekas Uni Soviet.
Mereka datang dan membawa budaya, tradisi dan keyakinannya. Kasus banyaknya orang memiliih Islam juga terjadi di Inggris. Bahkan para wanita sudah berbodong-bondong memakai jilbab
Mencari Kebahagiaan
“MENGEJAR MIMPI”, atau “mencari kebahagiaan”, begitu kalimat atau perkataan yang sering familiar terdengar selama ini. Ada yang mencari dan mengejar kebahagian dengan cara bekerja keras menumpuk harta, karena pada harta yang berlimpah itulah mereka yakin terdapat kebahagiaan. Ada pula dari mereka yang mengejar kebahagiaan melalui tahta dan kekuasaan. Sehingga beragam cara pun kemudian mereka lakukan untuk memperoleh tahta dan kekuasaan tersebut, dengan anggapan bahwa melalui kekuasaan seseorang dapat berbuat banyak hal, sehingga kekuasaan kemudian diidentikkan dengan kebahagiaan dan kenikmatan dalam hidup.
Bahkan ada yang lari dari rumah dan menghindar dari ikatan keluarga dengan alasan mencari kebahagiaan dan kebebasan. Serta masih banyak lagi sangkaan-sangkaan lain mengenai kebahagiaan hakiki, yang mana sesungguhnya semua itu hanyalah daya khayali—akal fikir mereka semata tentang kebahagian. Lantas, apa sebenarnya yang disebut dengan bahagia (sa’adah)?
Kebahagiaan dalam Islam
Pembahasan semacam ini menjadi sangat penting, sebab, ungkapan “mencari” atau “mengejar” kebahagiaan menggambarkan kepada kita bahwa kebahagiaan itu seolah-olah tidak menetap dan selalu berubah-ubah. Paham yang sedemikian juga menggambarkan bahwa kebahagiaan yang ingin dialami itu bagaikan sesuatu yang berada di luar dan terpisah dari diri manusia itu sendiri sehingga manusia harus berusaha untuk mendapatkannya.
Yang cukup menarik, banyak yang beralasan, kebahagiaan itu dicari, diperjuangkan dan kemudian dinikmati hasilnya. Inilah yang menyebabkan arti kebahagiaan bagi setiap orang menjadi tidak selalu sama, karena kebahagiaan sering dipersepsikan sebagai ketercapaian atas sesuatu yang diinginkan, kesuksesan atau kesempurnaan.
Mengenai makna kebahagiaan, sebenarnya telah banyak dibahas oleh para ulama dan cerdik-pandai. Sebut saja Prof. Dr Al-Attas, dalam karyanya “The Meaning and Experience of Happiness in Islam” mengemukakan bahwa kebahagiaan yang sesungguhnya tidaklah merujuk pada entitias jasmani manusia, bukan pada jiwa hewani dan badan manusia, dan bukan pula ia suatu keadaan akal-fikir manusia yang akali belaka. Akan tetapi kebahagiaan itu merujuk kepada keyakinan diri akan hakikat terakhir yang Mutlak, yakni keyakinan kepada Allah ta’ala.
Di sini tampak dengan tegas bahwa Al-Attas menyatakan bahwa kebahagiaan itu bersifat ruhani, artinya tidak jasmani dan duniawi belaka, melainkan kebahagiaan itu hanya dapat dicapai melalui iman. Hal ini sama dengan apa yang disampaikan oleh Al-Kindi. (baca: Ad-Dirasat an-Nafsiyyah ‘inda al-Ulama’ al-muslimin).
Al-Kindi mengemukakan bahwa kebahagiaan sejati bagi manusia bukanlah kenikmatan yang bersifat inderawi ataupun duniawi belaka. Tetapi berupa kenikmatan yang bersifat Ilahiah dan ruhaniah, yang dapat dicapai manusia jika dalam keadaan suci dari noda syahwat serta mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu Wa ta’ala.
Di samping makna kebahagiaan yang disampaikan oleh Al-Attas dan Al-Kindi di atas, Ibnu Thufail secara lebih tegas lagi mengemukakan pendapatnya mengenai kebahagiaan hakiki tersebut. Ia menyatakan bahwa kebahagiaan terbesar adalah melihat wajib al-wujud, pencipta segala yang ada, yakni Allah Subhanahu Wata’ala, yang kesempurnaan-Nya tidak berakhir, dan keindahan-Nya tidak berujung. Dialah di atas segala kesempurnaan dan keindahan. Semua kesempurnaan dan keindahan di dalam wujud bersumber dari-Nya dan terpancar dari sisi-Nya. (baca: Hayy bin Yaqdzan). Tegasnya, bahwa terdapat pertalian yang sangat erat antara kebahagiaan hakiki dengan iman atau keyakinan seseorang. Sehingga disebutkan dalam rumusan Al-Attas bahwa iman di sini merujuk kepada 'perjanjian azali' yang telah dimaterai oleh manusia dengan penciptanya pada Hari Alastu sebagaimana yang telah diabadikan dalam al-Qur’an, surat al-A’raf, 7:172.
وَإِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِن بَنِي آدَمَ مِن ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ عَلَى أَنفُسِهِمْ أَلَسْتَ بِرَبِّكُمْ قَالُواْ بَلَى شَهِدْنَا أَن تَقُولُواْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّا كُنَّا عَنْ هَذَا غَافِلِينَ
“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuban kami), kami menjadi saksi". (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengata kan: "Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)."
Dengan demikian, dapat ditarik kesimpulan bahwa apa yang disampaikan oleh Al-Attas, Al-Kindi maupun Ibnu Thufail mengenai kebahagiaan memiliki makna yang sama, yakni kebahagiaan tidaklah merujuk kepada kenikmatan inderawi atau jasmani manusia yang bersifat duniawi belaka. Akan tetapi kebahagiaan adalah suatu kenikmatan abadi di atas segala kenikmatan duniawi yang diperoleh melalui iman, keyakinan diri akan Hak Allah Ta’ala. Ia juga tidak berubah dalam kalbu manusia. Ia merupakan hakikat spiritual yang kekal, keyakinan pada hal-hal mutlak tentang hakikat alam, identitas diri dan tujuan hidup, yang kesemuanya bermula dari ilmu dan bersumbu pada satu poros yaitu cinta Allah (mahabbah)
Orang Kaya Berjiwa Pejuang
الَّذِينَ يَسْتَحِبُّونَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا عَلَى الآخِرَةِ وَيَصُدُّونَ عَن سَبِيلِ اللّهِ وَيَبْغُونَهَا عِوَجاً أُوْلَـئِكَ فِي ضَلاَلٍ بَعِيدٍ
“(Yaitu) orang-orang yang lebih menyukai kehidupan dunia daripada akhirat dan menghalang-halangi dari jalan Allah dan menginginkan menjadi bengkok. Mereka itu berada dalam kesesatan yang jauh.” (Ibrahim 3)
Ayat di atas menjelaskan tentang orang-orang yang sepenuh hati mencintai kehidupan dunia dibanding kehidupan akhirat. Mereka adalah orang yang memperturutkan nafsu untuk memuaskan kehidupan dunianya dan mengorbankan kehidupan akhiratnya. Mereka pulalah yang menghalang-halangi manusia dari jalan Allah yang lurus.
Pasti, mereka bakal mengalami siksa yang pedih dari Allah Subhana wa Ta’ala.
Dalam kehidupan manusia seperti sekarang ini, memang sangat sulit membelokkan kecenderungan dari cinta dunia kepada cinta akhirat. Cinta akhirat memerlukan petunjuk dari Allah Subhana wa Ta’ala, yang harus diupayakan dengan sungguh-sunguh dan penuh mujahadah. Cara itu perlu dilakukan, karena kemewahan dunia begitu mempesona dan penuh daya tarik.
Tidak heran, bila kehidupan orang kaya-raya yang dapat memenuhi semua keinginanannya, menjadi dambaan hampir semua orang. Apalagi orang yang sedang dibelit persoalan materi, biasanya di dalam hatinya selalu bebisik, “Alangkah bahagianya orang yang mempunyai banyak harta dan uang.” Kalau seorang tidak memiliki pemahaman tentang hakekat hidup, wajar sekali kalau apa yang disaksikan pada kehidupan orang-orang kaya menjadi cita-cita dan harapannya.
Namun, kalau sudah diberikan petunjuk oleh Allah Swt sehingga memiliki pemahaman terhadap apa arti sebenarnya kehidupan dunia dan akhirat, pandangannya akan lain.
Dia akan mengambil pelajaran berharga dari sandiwara kehidupan dunia yang tengah berjalan. Ada seorang berupaya keras untuk dapat duduk di atas tahta yang bergelimang kemewahan. Lalu kemewahan itu dipertontonkan kepada orang-orang yang selalu ngiler pada kehidupan seperti itu. Namun tidak lama sesudah itu, sungguh tragis nasibnya. Dia diperiksa gara-gara terlibat tindak pidana korupsi. Dan masuklah dia ke dalam kerangkeng besi. Dia menjalani kehidupan seperti maling yang melakukan pencurian, dia bagai preman yang berbuat kejahatan karena akibat pengangguran.
Dalam keadaan seperti itu, barulah dia mensyukuri keberadaannya yang serba kekurangan namun bahagia dan tentram jiwanya karena selalu beribadah dan dekat kepada Allah Swt. Orang seperti ini, hanya iri kepada orang kaya yang dermawan, seperti yang disampaikan Nabi Muhammad Shallallah ‘alaihi wasallam dalam hadits yang diriwawayatkan oleh Bukhari dan Muslim:
Abu Hurairah berkata, “Orang-orang fakir miskin dari kaum Muhajirin datang kepada Rasulullah, lalu menyampaikan kepada Nabi: ‘Orang-orang kaya telah meninggal dunia dengan menduduki derajat yang tinggi dan kenikmatan yang abadi.
Nabi bertanya, ‘Apa itu?’
Mereka menjawab, ‘Mereka shalat sebagaimana kami shalat, mereka berpuasa sebagaimana kami berpuasa, mereka berzakat tetapi kami tidak berzakat, mereka memerdekakan budak tapi kami tidak memerdekakan budak.’
Rasullah bersabda, ‘Maukah kalian saya ajari sesuatu yang dapat menjadikan kalian sederajat dengan orang-orang yang mendahului kalian; menjadikan kalian lebih mulia dibandingkan kaum sesudah kalian, dan tidak seorangpun yang lebih utama dari kalian kecuali orang melakukan perbuatan seperti yang kalian lakukan.’
Mereka menjawab, ‘Kami mau ya Rasulallah!’
Beliau bersabda, ‘Bacalah tasbih, tahmid dan takbir sesudah shalat 33 X.’
Selang beberapa hari orang-orang itu datang lagi kepada Rasulullah dan berkata, ‘Teman-teman kami dari kalangan orang-orang kaya mendengar apa yang kami perbuat, lalu mereka juga melakukannya.’
Rasullah menjawab, ‘Itu adalah karunia Allah yang diberikan kepada siapa yang dikehendaki.” (Muttafaqun ‘Alaih)
Orang kaya seperti yang diceritakan orang-orang fakir itulah yang semestinya diiri. Memang Rasulullah pernah juga bersabda, “Tidak ada sifat iri melainkan kepada dua hal. Pertama, orang yang diberi hafalan Al-Qur’an lalu dia baca dalam shalat pada malam hari. Kedua, orang yang diberi Allah rezeki lalu dia infakkan pada malam dan siang harinya.” Seperti kehidupan beberapa sahabat di zaman Nabi. Mereka sangat giat beribadah, melakukan semua shalat sunnah tapi hartanya juga melimpah.
Seperti Abdurrahman bin ‘Auf yang pernah menyumbang perjuangan sebesar 40.000 dinar. Jumlah itu, bila dirupiahkan sekarang sama dengan Rp 34.000.000.000 (tiga puluh empat miliar rupiah).
Dilain waktu lagi, ia menyumbang 1500 ekor kuda. Ia juga penah menyumbang kepada veteran Badar yang masih hidup sejumlah 100 orang. Masing-masing orang diberi 50.000 dinar, yang kalau dirupaihkan sama dengan Rp 42.500.000.000!
Kalau dipikir, bagaimana caranya Abdurrahman bin ‘Auf mencari rezeki sementara ibadah-ibadah mahdoh tetap dijalankan dengan baik. Tidak ada ibadah sunah yang ditanggalkan.
Itu membuktikan bahwa memang ada berkah di balik usaha yang mereka giatkan. Karena sebelum meraih keuntungan, mereka sudah berniat akan mengeluarkan sebagian dari keuntungan itu untuk fie sabilillah.
Dan bukan sekedar berniat, tapi langsung menemui Nabi menanyakan jumlah yang semestinya dikeluarkan sebelum dibawa pulang kepada keluarganya. Demikianlah halnya Usman bin Affan dan sahabat-sahabat lain. Subhanallah.
Itulah yang membuat perjuangan Nabi tidak pernah kehabisan dana. Dari pundi-pundi para miliarder di kalangan para sahabat inilah semua manuver yang dilakukan Nabi tidak pernah macet karena persoalan dana.
Manusia-manusia seperti inilah yang sangat diperlukan sekarang untuk menyukseskan perjuangan Islam. Harta berlimpah, tapi semangat juang juga tak pernah lemah.
Cara Pandang Para Sahabat Nabi
Membaca
sejarah umat manusia yang penuh dengan intrik dan tendensi rasanya
sulit sekali menyimpulkan kebenarannya seratus persen. Disamping itu,
ketika kita membaca sejarah, kita di ajak untuk menelusuri zona
“spekulasi” antara asbab al-waqi’ dan motif sang pelakon. Disinilah
dibutuhkan kearifan dan ketelitian dalam menelusuri lembaran-lembaran
sejarah apalagi sejarah pertikaian awal umat Islam. Pada akhirnya,
sejarah itu akan bertutur tentang hikmah dan pelajaran berharga untuk
umat selanjutnya.
Saqifah Bani Sa’idah
Bermula dari tragedi di Saqifah bani Sa’idah, semangat kesukuan di kalangan Anshar, antara Khazraj dan ‘Aus, yang pada masa Nabi bisa disatukan berpotensi bangkit kembali. Gelagat yang tidak sehat ini dapat dibaca oleh sayyidina Umar, maka ia mengajak sayyidina Abu Bakar dan Abu Ubaidah bin al-Jarrah untuk datang ke balairung tersebut. Silang sengketa pun semakin melebar menjadi perseteruan antara Muhajirin dan Anshar.
Terjadilah dialog panjang yang pada akhirnya terpilihlah Abu Bakar sebagai khalifah pertama. Dari sinilah kemudian benih-benih penyelewengan sejarah umat Islam dimulai. bermula dari tuduhan sebagian kalangan syi’ah bahwa Abu Bakar dan Umar adalah perampok kekuasaan karena telah mengambil hak sayyidina Ali. Ali-lah menurut mereka yang berhak menggantikan Nabi. Ali ketika itu tidak bisa hadir karena sibuk mengurusi pemandian dan persiapan penguburan Nabi. Tuduhan-tuduhan itu terkesan semakin beralasan ketika dibenturkan dengan waktu itu dimana umat Islam masih dalam keadaan berkabung dengan wafatnya Nabi bahkan ketika itu Nabi belum dikuburkan. Sebuah pemandangan yang mengherankan ketika sahabat setia Nabi (Abu Bakar dan Umar) meninggalkan beliau demi sebuah kekuasaan. Lalu pertanyaannya, benarkah Abu Bakar dan Umar ambisi kekuasaan?.
Tidak ada yang menyangsikan kesetiaan dua sahabat Nabi ini, Abu Bakar dan Umar. Mereka berdua adalah termasuk sahabat-sahabat garda depan yang menjadi benteng pertahanan umat Islam. Kecintaan mereka kepada Nabi melebihi kecintaan mereka kepada dirinya sendiri. Abu bakarlah yang menemani Nabi saat dikejar-kejar kafir Quraisy pada waktu hijrah. Ia yang menggendong Nabi saat Nabi tak beralas kaki. Ia yang dalam perjalanan menuju gua tsur terkadang berada di depan Nabi dan terkadang dibelakangnya hanya karena takut ada musuh yang akan melukai Nabi. Ia yang masuk duluan ke dalam gua tsur hanya karena takut ada hewan buas yang akan mencelakakan Nabi. Dan sejarahpun mencatat bagaimana pengorbanannya demi Islam. Demikian juga dengan Umar, kecintaannya kepada Nabi luar biasa. Saat mendengar Nabi telah wafat, ia menghunuskan pedangnya dan akan memenggal siapa saja yang mengatakan Nabi telah wafat. Ia yang paling tidak siap untuk ditinggal Nabi. Ambruklah ia ketika tahu bahwa Nabi telah wafat. Ia tidak pernah terima jika Nabinya disakiti. Lalu bagaimana mungkin mereka berdua akan meninggalkan Nabi sebelum beliau dikuburkan jika bukan karena adanya bahaya besar yang sedang mengancam umat Islam. Nabi memang telah wafat tapi agama Islam harus tetap tegak. Umat Islam harus tetap bersatu. Dan kekhawatiran itu beralasan mengingat semangat kesukuan orang Arab sudah terkenal sejak zaman jahiliyah. Maka tidak mengherankan jika Abu Bakar dan Umar sebagai sahabat yang sangat berpengaruh di kalangan umat Islam turun tangan. Dan sangat tidak beralasan jika mereka dianggap ambisi kekuasaan. Karena sebetulnya sebagaimana diceritakan sejarawan Ibn Ishaq bahwa pada waktu itu, Abu Bakar memegang tangan Umar dan Abu Ubaidah sembari berseru: “Bila kalian rela memilih di antara kedua orang ini, maka bai’atlah salah satu dari keduanya!”
Melihat tidak ada jawaban spontan dan melihat gelagat yang mengkhawatirkan, Umar segera berseru lantang: “Hai Abu Bakar, ulurkanlah tanganmu!” Abu Bakar lalu mengulurkan tangan-nya dan Umar segera membai’atnya dengan menyebut-nyebut keutamaannya.
Andai Abu Bakar mempunyai ambisi kekuasaan tentunya dia tidak akan menawarkan Umar maupun Abu Ubaidah untuk dibai’at. Demikian juga dengan Umar, ia tidak mungkin langsung membai’at Abu Bakar jika ia punya ambisi kekuasaan. Sekali lagi, mereka melakukan hal itu semata-mata demi terjaganya keutuhan umat Islam.
Tragedi Pembunuhan Khalifah Utsman
Sebuah demo besar-besaran terjadi pada zaman khalifah Utsman yang berending pada terbunuhnya Utsman. Berawal dari ketidak-puasan umat Islam melihat kesewenang-wenangan pemerintah di Mesir, hingga pada akhirnya terpilihlah Muhammad bin Abu Bakar untuk menggantikan gubernur Mesir tersebut. Usai demo, Muhammad bin Abu Bakar dan kelompoknya kembali lagi ke Mesir. Namun malangnya, ditengah perjalanan mereka menjumpai budak hitam yang mengaku budak marwan sedang memegang surat gelap yang ditujukan kepada gubernur Mesir. Surat itu berisikan perintah untuk membunuh kelompok Muhammad bin Abu Bakar yang ditandatangani oleh Utsman. Mereka pun menjadi marah dan kembali lagi ke Madinah. Terjadilah demo besar-besaran yang tergabung dari aliansi kufah, bashrah dan Mesir. Mereka menuntut Utsman turun dari jabatannya. Di situlah akhirnya terungkap siapa sebenarnya yang menulis surat itu, yaitu Marwan bin Hakam. Mereka pun menuntut Ustman menyerahkan Marwan untuk diadili tapi Utsman menolaknya.
Lalu pertanyannya, kenapa Ustman mempertahankan Marwan? Teka-teki ini terjawab ketika Utsman telah terbunuh. Kala itu, Talhah berkata kepada Ali, “Andai saja Marwan diserahkan kepada para pendemo, niscaya mereka tidak akan membunuh Sayyidina Ustman. Ali-pun menjawab; “Andai Ustman menyerahkan Marwan kepada mereka, niscaya Marwan akan dibunuh sebelum adanya pembuktian dan keputusan hukumnya. Padahal dalam Islam, tidak diperbolehkan memberi sanksi orang yang belum terbukti membunuh”.( Siyar al-Khulafa’: 143)
Dalam kasus Marwan, ia memang menyuruh membunuh dengan surat gelap tersebut, namun ia tidak boleh di bunuh (Qishas) hanya karena surat tersebut selama pembunuhan itu tidak terlaksana. Utsman mengetahui hal itu, dan ia berani mati demi mempertahankan kebenaran. Betapa luhurnya kepribadian Khalifah Utsman.
Saqifah Bani Sa’idah
Bermula dari tragedi di Saqifah bani Sa’idah, semangat kesukuan di kalangan Anshar, antara Khazraj dan ‘Aus, yang pada masa Nabi bisa disatukan berpotensi bangkit kembali. Gelagat yang tidak sehat ini dapat dibaca oleh sayyidina Umar, maka ia mengajak sayyidina Abu Bakar dan Abu Ubaidah bin al-Jarrah untuk datang ke balairung tersebut. Silang sengketa pun semakin melebar menjadi perseteruan antara Muhajirin dan Anshar.
Terjadilah dialog panjang yang pada akhirnya terpilihlah Abu Bakar sebagai khalifah pertama. Dari sinilah kemudian benih-benih penyelewengan sejarah umat Islam dimulai. bermula dari tuduhan sebagian kalangan syi’ah bahwa Abu Bakar dan Umar adalah perampok kekuasaan karena telah mengambil hak sayyidina Ali. Ali-lah menurut mereka yang berhak menggantikan Nabi. Ali ketika itu tidak bisa hadir karena sibuk mengurusi pemandian dan persiapan penguburan Nabi. Tuduhan-tuduhan itu terkesan semakin beralasan ketika dibenturkan dengan waktu itu dimana umat Islam masih dalam keadaan berkabung dengan wafatnya Nabi bahkan ketika itu Nabi belum dikuburkan. Sebuah pemandangan yang mengherankan ketika sahabat setia Nabi (Abu Bakar dan Umar) meninggalkan beliau demi sebuah kekuasaan. Lalu pertanyaannya, benarkah Abu Bakar dan Umar ambisi kekuasaan?.
Tidak ada yang menyangsikan kesetiaan dua sahabat Nabi ini, Abu Bakar dan Umar. Mereka berdua adalah termasuk sahabat-sahabat garda depan yang menjadi benteng pertahanan umat Islam. Kecintaan mereka kepada Nabi melebihi kecintaan mereka kepada dirinya sendiri. Abu bakarlah yang menemani Nabi saat dikejar-kejar kafir Quraisy pada waktu hijrah. Ia yang menggendong Nabi saat Nabi tak beralas kaki. Ia yang dalam perjalanan menuju gua tsur terkadang berada di depan Nabi dan terkadang dibelakangnya hanya karena takut ada musuh yang akan melukai Nabi. Ia yang masuk duluan ke dalam gua tsur hanya karena takut ada hewan buas yang akan mencelakakan Nabi. Dan sejarahpun mencatat bagaimana pengorbanannya demi Islam. Demikian juga dengan Umar, kecintaannya kepada Nabi luar biasa. Saat mendengar Nabi telah wafat, ia menghunuskan pedangnya dan akan memenggal siapa saja yang mengatakan Nabi telah wafat. Ia yang paling tidak siap untuk ditinggal Nabi. Ambruklah ia ketika tahu bahwa Nabi telah wafat. Ia tidak pernah terima jika Nabinya disakiti. Lalu bagaimana mungkin mereka berdua akan meninggalkan Nabi sebelum beliau dikuburkan jika bukan karena adanya bahaya besar yang sedang mengancam umat Islam. Nabi memang telah wafat tapi agama Islam harus tetap tegak. Umat Islam harus tetap bersatu. Dan kekhawatiran itu beralasan mengingat semangat kesukuan orang Arab sudah terkenal sejak zaman jahiliyah. Maka tidak mengherankan jika Abu Bakar dan Umar sebagai sahabat yang sangat berpengaruh di kalangan umat Islam turun tangan. Dan sangat tidak beralasan jika mereka dianggap ambisi kekuasaan. Karena sebetulnya sebagaimana diceritakan sejarawan Ibn Ishaq bahwa pada waktu itu, Abu Bakar memegang tangan Umar dan Abu Ubaidah sembari berseru: “Bila kalian rela memilih di antara kedua orang ini, maka bai’atlah salah satu dari keduanya!”
Melihat tidak ada jawaban spontan dan melihat gelagat yang mengkhawatirkan, Umar segera berseru lantang: “Hai Abu Bakar, ulurkanlah tanganmu!” Abu Bakar lalu mengulurkan tangan-nya dan Umar segera membai’atnya dengan menyebut-nyebut keutamaannya.
Andai Abu Bakar mempunyai ambisi kekuasaan tentunya dia tidak akan menawarkan Umar maupun Abu Ubaidah untuk dibai’at. Demikian juga dengan Umar, ia tidak mungkin langsung membai’at Abu Bakar jika ia punya ambisi kekuasaan. Sekali lagi, mereka melakukan hal itu semata-mata demi terjaganya keutuhan umat Islam.
Tragedi Pembunuhan Khalifah Utsman
Sebuah demo besar-besaran terjadi pada zaman khalifah Utsman yang berending pada terbunuhnya Utsman. Berawal dari ketidak-puasan umat Islam melihat kesewenang-wenangan pemerintah di Mesir, hingga pada akhirnya terpilihlah Muhammad bin Abu Bakar untuk menggantikan gubernur Mesir tersebut. Usai demo, Muhammad bin Abu Bakar dan kelompoknya kembali lagi ke Mesir. Namun malangnya, ditengah perjalanan mereka menjumpai budak hitam yang mengaku budak marwan sedang memegang surat gelap yang ditujukan kepada gubernur Mesir. Surat itu berisikan perintah untuk membunuh kelompok Muhammad bin Abu Bakar yang ditandatangani oleh Utsman. Mereka pun menjadi marah dan kembali lagi ke Madinah. Terjadilah demo besar-besaran yang tergabung dari aliansi kufah, bashrah dan Mesir. Mereka menuntut Utsman turun dari jabatannya. Di situlah akhirnya terungkap siapa sebenarnya yang menulis surat itu, yaitu Marwan bin Hakam. Mereka pun menuntut Ustman menyerahkan Marwan untuk diadili tapi Utsman menolaknya.
Lalu pertanyannya, kenapa Ustman mempertahankan Marwan? Teka-teki ini terjawab ketika Utsman telah terbunuh. Kala itu, Talhah berkata kepada Ali, “Andai saja Marwan diserahkan kepada para pendemo, niscaya mereka tidak akan membunuh Sayyidina Ustman. Ali-pun menjawab; “Andai Ustman menyerahkan Marwan kepada mereka, niscaya Marwan akan dibunuh sebelum adanya pembuktian dan keputusan hukumnya. Padahal dalam Islam, tidak diperbolehkan memberi sanksi orang yang belum terbukti membunuh”.( Siyar al-Khulafa’: 143)
Dalam kasus Marwan, ia memang menyuruh membunuh dengan surat gelap tersebut, namun ia tidak boleh di bunuh (Qishas) hanya karena surat tersebut selama pembunuhan itu tidak terlaksana. Utsman mengetahui hal itu, dan ia berani mati demi mempertahankan kebenaran. Betapa luhurnya kepribadian Khalifah Utsman.
Menurut
Imam Nawawi, perpecahan dan pertikaian yang terjadi pada masa khalifah
Ustman dan khalifah Ali adalah terletak pada perbedaan ijtihad umat Islam. Gerak Ijtihad itu menyebabkan umat Islam terpecah menjadi tiga golongan. Golongan Pertama, beranggapan bahwa ada golongan yang benar dan harus ditolong sedang yang menentang golongan ini harus diperangi. Golongan kedua, beranggapan
sebaliknya. Yang benar ada di pihak yang dianggap golongan pertama
salah sehingga harus di tolong dan golongan pertama harus diperangi. Dan
golongan ketiga, mereka yang masih bingung, tidak bisa
membedakan mana yang benar antara yang di dukung golongan pertama maupun
golongan yang kedua. golongan ini lebih memilih keluar.(al-Nawawi dalam “Syarh Shahih Muslim”, juz 15/1).
Dalam buku “Tahqiq Mawaqif al-Sahabah fi al-Fitnah” dinyatakan
bahwa tujuan Talhah, Zubair, Aisyah dan Muawiyah ketika men-demo
khalifah Ali tiada lain hanyalah untuk menuntut agar sanksi (Qishas)
terhadap pembunuh Ustman disegerakan.( dalam Minhaj al-Sunnah li Ibn Taimiyyah, 2/219-220). Mereka menganggap bahwa Ali tidak tegas. Sebaliknya,
Ali berada pada posisi dilematis antara menyegerakan atau menunda. Ia
pun memilih menunda untuk menjaga stabilitas Negara yang masih kacau.
Hal ini sangat beralasan karena pelaku pembunuhan Utsman dapat
dipastikan adalah kelompok dari para pendemo, yang jika disegerakan akan
menimbulkan konflik berkepanjangan di dalam internal kepemimpinannya.
Pada akhirnya, perang saudarapun tak dapat dihindari antara kubu Ali
dengan kubu Ummul Mu’miniin, Aisyah, yang dikenal dengan perang Jamal,
dan perang Shiffin antara kubu Ali dan dan kubu Muawiyah.
Pasca perang Shiffin terjadilah apa yang dikenal dengan Tahkim (arbitrase) untuk mendamaikan kedua belah pihak (pihak Ali dan pihak Mu’awiyah), yang dalam hal ini kubu Ali merasa dirugikan. Maka sejarah pertikaian umat Islam pun semakin kelam. Umat Islam semakin terpecah-belah. Semangat fanatisme meraja-lela hingga pada akhirnya bermunculan hadist-hadist palsu untuk mendukung kelompoknya masing-masing.
Pasca perang Shiffin terjadilah apa yang dikenal dengan Tahkim (arbitrase) untuk mendamaikan kedua belah pihak (pihak Ali dan pihak Mu’awiyah), yang dalam hal ini kubu Ali merasa dirugikan. Maka sejarah pertikaian umat Islam pun semakin kelam. Umat Islam semakin terpecah-belah. Semangat fanatisme meraja-lela hingga pada akhirnya bermunculan hadist-hadist palsu untuk mendukung kelompoknya masing-masing.
Mu’awiyah pun diserang habis-habisan. Pada masa kepemimpinannya, ia
dianggap telah menyuruh rakyatnya untuk mencaci maki Ali. Umat Islam
disodori dengan kisah-kisah yang penuh hasutan bahwa yang meracuni Hasan
bin Ali, cucu Rasulullah, adalah Mu’awiyah atau putranya, Yazid bin
Mu’awiyah.
Bahkan bukan hanya itu, Yazid bin Mua’wiyah dianggap aktor dibalik
pembataian berdarah di padang karbala yang menyebabkan cucu Nabi, Husein
bin Ali terbunuh dengan cara yang sangat keji, dan lain sebagainya.
Tuduhan ini sama sekali tidak berdasar, dan banyak ulama yang
membantahnya seperti Ibn al-‘Arabi, Ibn Taimiyyah, al-Dzahabi, Ibn
Katsir, Ibn Khaldun dan lain sebagainya. (dalam al-Daulah al-Umawiyyah: Tarikh wa Hadharah)
Bagaimana seharusnya kita bersikap?
Ulama salafuna-shaleh mengajarkan kita dengan penuh kearifan, bagaimana seharusnya kita menyikapi sejarah kelam (fitnah kubra) pertikaian para sahabat?
Bagaimana seharusnya kita bersikap?
Ulama salafuna-shaleh mengajarkan kita dengan penuh kearifan, bagaimana seharusnya kita menyikapi sejarah kelam (fitnah kubra) pertikaian para sahabat?
Ada adegium “al-Sukutu ‘Amma Syajara baina Ashab Rasulillah Shallahu 'Alaihi Wassalam.” yang menjadi pegangan Ahlus-Sunnah wal-Jamaah, yaitu apa yang terjadi di antara sahabat hendaknya kita diam, tidak boleh ikut mencaci-maki dan tidak boleh ber-negative thinking kepada para sahabat. (baca “Ma’arij al-Qabul syarh sullam al-Ushul Ila ‘ilm al-Ushul fi ‘ilm Tawhid”)
Dalam kasus pertikaian antara Khalifah Ali dan Mu’awiyah, ahlus-Sunnah beranggapan bahwa dua golongan tersebut sama-sama dibenarkan (demikian juga dengan kasus perang Jamal). Mereka adalah orang-orang yang ikhlas dalam memperjuangkan Islam.
Dalam kasus pertikaian antara Khalifah Ali dan Mu’awiyah, ahlus-Sunnah beranggapan bahwa dua golongan tersebut sama-sama dibenarkan (demikian juga dengan kasus perang Jamal). Mereka adalah orang-orang yang ikhlas dalam memperjuangkan Islam.
Perbedaan mereka terletak pada perbedaan ijtihad. Dan dalam keikhlasan dalam ijtihad mereka, mereka akan diganjar (mendapatkan pahala), baik yang benar ijtihad-nya maupun yang salah. Dan pahala ijtihad yang benar lebih besar dari pada pahala yang Ijtihad yang salah.
Tulisan ini akan penulis tutup dengan falsafah fikihnya Syaikh Yusuf Qardawi dalam bukunya “Syaikh al-Gazali kama ‘araftu” bahwa “Air yang sudah mencapai dua kullah, tidak akan kotor hanya karena kemasukan najis (yang sedikit)”. Dalam artian, sahabat memang bukan manusia ma’sum yang terbebas dari kesalahan, namun sangat tidak bijak jika karena kesalahan yang sedikit itu akan menghapus kebaikan-kebaikan yang luasnya laksana lautan.
Tulisan ini akan penulis tutup dengan falsafah fikihnya Syaikh Yusuf Qardawi dalam bukunya “Syaikh al-Gazali kama ‘araftu” bahwa “Air yang sudah mencapai dua kullah, tidak akan kotor hanya karena kemasukan najis (yang sedikit)”. Dalam artian, sahabat memang bukan manusia ma’sum yang terbebas dari kesalahan, namun sangat tidak bijak jika karena kesalahan yang sedikit itu akan menghapus kebaikan-kebaikan yang luasnya laksana lautan.
Apa yang terjadi di antara mereka jadikan sebagai pelajaran, karena
di dalam tragedi itu ada hikmah dan rahasia yang luar biasa. Dan
hendaknya kebaikan-kebaikan para sahabat menjadi uswah bagi kita untuk
diteladani. Wallahu ‘alam.*
Kisah Seorang Yahudi yang Mengislamkan Jutaan Orang
SI SUATU tempat di Prancis sekitar lima puluh tahun yang lalu, ada seorang berkebangsaan Turki berumur 50 tahun bernama Ibrahim. Ia adalah orangtua yang menjual makanan di sebuah toko makanan. Toko tersebut terletak di sebuah apartemen di mana salah satu penghuninya adalah keluarga Yahudi yang memiliki seorang anak bernama "Jad" berumur 7 tahun.
Jad, si anak Yahudi Hampir setiap hari mendatangi toko tempat di mana Ibrahim bekerja untuk membeli kebutuhan rumah. Setiap kali hendak keluar dari toko –dan Ibrahim dianggapnya lengah– Jad selalu mengambil sepotong cokelat milik Ibrahim tanpa seizinnya.
Pada suatu hari usai belanja, Jad lupa tidak mengambil cokelat ketika mau keluar, kemudian tiba-tiba Ibrahim memanggilnya dan memberitahu kalau ia lupa mengambil sepotong cokelat sebagaimana kebiasaannya. Jad kaget, karena ia mengira bahwa Ibrahim tidak mengetahui apa yang ia lakukan selama ini. Ia pun segera meminta maaf dan takut jika saja Ibrahim melaporkan perbuatannya tersebut kepada orangtuanya.
"Tidak apa, yang penting kamu berjanji untuk tidak mengambil sesuatu tanpa izin, dan setiap saat kamu mau keluar dari sini, ambillah sepotong cokelat, itu adalah milikmu”, ujar Jad sebagai tanda persetujun.
Waktu berlalu, tahun pun berganti dan Ibrahim yang seorang Muslim kini menjadi layaknya seorang ayah dan teman akrab bagi Jad si anak Yahudi
Sudah menjadi kebiasaan Jad saat menghadapi masalah, ia selalu datang dan berkonsultasi kepada Ibrahim. Dan setiap kali Jad selesai bercerita, Ibrahim selalu mengambil sebuah buku dari laci, memberikannya kepada Jad dan kemudian menyuruhnya untuk membukanya secara acak. Setelah Jad membukanya, kemudian Ibrahim membaca dua lembar darinya, menutupnya dan mulai memberikan nasehat dan solusi dari permasalahan Jad.
Beberapa tahun pun berlalu dan begitulah hari-hari yang dilalui Jad bersama Ibrahim, seorang Muslim Turki yang tua dan tidak berpendidikan tinggi.
14 Tahun Berlalu
Jad kini telah menjadi seorang pemuda gagah dan berumur 24 tahun, sedangkan Ibrahim saat itu berumur 67 tahun.
Alkisah, Ibrahim akhirnya meninggal, namun sebelum wafat ia telah menyimpan sebuah kotak yang dititipkan kepada anak-anaknya di mana di dalam kotak tersebut ia letakkan sebuah buku yang selalu ia baca setiap kali Jad berkonsultasi kepadanya. Ibrahim berwasiat agar anak-anaknya nanti memberikan buku tersebut sebagai hadiah untuk Jad, seorang pemuda Yahudi.
Jad baru mengetahui wafatnya Ibrahim ketika putranya menyampaikan wasiat untuk memberikan sebuah kotak. Jad pun merasa tergoncang dan sangat bersedih dengan berita tersebut, karena Ibrahim-lah yang selama ini memberikan solusi dari semua permasalahannya, dan Ibrahim lah satu-satunya teman sejati baginya.
Hari-haripun berlalu, Setiap kali dirundung masalah, Jad selalu teringat Ibrahim. Kini ia hanya meninggalkan sebuah kotak. Kotak yang selalu ia buka, di dalamnya tersimpan sebuah buku yang dulu selalu dibaca Ibrahim setiap kali ia mendatanginya.
Jad lalu mencoba membuka lembaran-lembaran buku itu, akan tetapi kitab itu berisikan tulisan berbahasa Arab sedangkan ia tidak bisa membacanya. Kemudian ia pergi ke salah seorang temannya yang berkebangsaan Tunisia dan memintanya untuk membacakan dua lembar dari kitab tersebut. Persis sebagaimana kebiasaan Ibrahim dahulu yang selalu memintanya membuka lembaran kitab itu dengan acak saat ia datang berkonsultasi.
Teman Tunisia tersebut kemudian membacakan dan menerangkan makna dari dua lembar yang telah ia tunjukkan. Dan ternyata, apa yang dibaca oleh temannya itu, mengena persis ke dalam permasalahan yang dialami Jad kala itu. Lalu Jad bercerita mengenai permasalahan yang tengah menimpanya, Kemudian teman Tunisianya itu memberikan solusi kepadanya sesuai apa yang ia baca dari kitab tersebut.
Jad pun terhenyak kaget, kemudian dengan penuh rasa penasaran ini bertanya, "Buku apa ini?"
Ia menjawab, "Ini adalah Al-Qur'an, kitab sucinya orang Islam!"
Jad sedikit tak percaya, sekaligus merasa takjub,
Jad lalu kembali bertanya, "Bagaimana caranya menjadi seorang muslim?"
Temannya menjawab, "Mengucapkan syahadat dan mengikuti syariat!"
Setelah itu, dan tanpa ada rasa ragu, Jad lalu mengucapkan Syahadat, ia pun kini memeluk agama Islam!
Islamkan 6 juta orang
Kini Jad sudah menjadi seorang Muslim, kemudian ia mengganti namanya menjadi Jadullah Al-Qur'ani sebagai rasa takdzim atas kitab Al-Qur'an yang begitu istimewa dan mampu menjawab seluruh problema hidupnya selama ini. Dan sejak saat itulah ia memutuskan akan menghabiskan sisa hidupnya untuk mengabdi menyebarkan ajaran Al-Qur'an.
Mulailah Jadullah mempelajari Al-Qur'an serta memahami isinya, dilanjutkan dengan berdakwah di Eropa hingga berhasil mengislamkan enam ribu Yahudi dan Nasrani.
Suatu hari, Jadullah membuka lembaran-lembaran Al-Qur'an hadiah dari Ibrahim itu. Tiba-tiba ia mendapati sebuah lembaran bergambarkan peta dunia. Pada saat matanya tertuju pada gambar benua Afrika, nampak di atasnya tertera tanda tangan Ibrahim dan dibawah tanda tangan itu tertuliskan ayat :
((اُدْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ...!!))
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik!!...” [QS. An-Nahl; 125]
Iapun yakin bahwa ini adalah wasiat dari Ibrahim dan ia memutuskan untuk melaksanakannya.
Beberapa waktu kemudian Jadullah meninggalkan Eropa dan pergi berdakwah ke negara-negara Afrika yang di antaranya adalah Kenya, Sudan bagian selatan (yang mayoritas penduduknya adalah Nasrani), Uganda serta negara-negara sekitarnya. Jadullah berhasil mengislamkan lebih dari 6.000.000 (enam juta) orang dari suku Zulu, ini baru satu suku, belum dengan suku-suku lainnya.
Akhir Hayat Jadullah
Jadullah Al-Qur'ani, seorang Muslim sejati, da'i hakiki, menghabiskan umur 30 tahun sejak keislamannya untuk berdakwah di negara-negara Afrika yang gersang dan berhasil mengislamkan jutaan orang.
Jadullah wafat pada tahun 2003 yang sebelumnya sempat sakit. Kala itu beliau berumur 45 tahun, beliau wafat dalam masa-masa berdakwah.
Kisah pun belum selesai
Ibu Jadullah Al-Qur'ani adalah seorang wanita Yahudi yang fanatik, ia adalah wanita berpendidikan dan dosen di salah satu perguruan tinggi. Ibunya baru memeluk Islam pada tahun 2005, dua tahun sepeninggal Jadullah yaitu saat berumur 70 tahun.
Sang ibu bercerita bahwa –saat putranya masih hidup– ia menghabiskan waktu selama 30 tahun berusaha sekuat tenaga untuk mengembalikan putranya agar kembali menjadi Yahudi dengan berbagai macam cara, dengan segenap pengalaman, kemapanan ilmu dan kemampuannya, akan tetapi ia tidak dapat mempengaruhi putranya untuk kembali menjadi Yahudi. Sedangkan Ibrahim, seorang Muslim tua yang tidak berpendidikan tinggi, mampu melunakkan hatinya untuk memeluk Islam, hal ini tidak lain karena Islamlah satu-satunya agama yang benar.
Yang menjadi pertanyaannya, "Mengapa Jad si anak Yahudi memeluk Islam?"
Jadullah Al-Qur'ani bercerita bahwa Ibrahim yang ia kenal selama 17 tahun tidak pernah memanggilnya dengan kata-kata: "Hai orang kafir!" atau "Hai Yahudi!" bahkan Ibrahim tidak pernah untuk sekedar berucap: "Masuklah agama Islam!"
Bayangkan, selama 17 tahun Ibrahim tidak pernah sekalipun mengajarinya tentang agama, tentang Islam ataupun tentang Yahudi. Seorang tua Muslim sederhana itu tak pernah mengajaknya diskusi masalah agama. Akan tetapi ia tahu bagaimana menuntun hati seorang anak kecil agar terikat dengan akhlak Al-Qur’an.
Kemudian dari kesaksian Dr. Shafwat Hijazi (salah seorang dai kondang Mesir) yang suatu saat pernah mengikuti sebuah seminar di London dalam membahas problematika Darfur serta solusi penanganan dari kristenisasi, beliau berjumpa dengan salah satu pimpinan suku Zolo. Saat ditanya apakah ia memeluk Islam melalui Jadullah Al-Qur’ani?, ia menjawab; tidak! namun ia memeluk Islam melalui orang yang diislamkan oleh Jadullah Al-Qur'ani.
Subhanallah, akan ada berapa banyak lagi orang yang akan masuk Islam melalui orang-orang yang diislamkan oleh Jadullah Al-Qur’ani. Dan Jadullah Al-Qur'ani sendiri memeluk Islam melalui tangan seorang muslim tua berkebangsaan Turki yang tidak berpendidikan tinggi, namun memiliki akhlak yang jauh dan jauh lebih luhur dan suci.
Begitulah hikayat tentang Jadullah Al-Qur'ani, kisah ini merupakan kisah nyata yang penulis dapatkan kemudian penulis terjemahkan dari catatan Almarhum Syeikh Imad Iffat yang dijuluki sebagai "Syaikh Kaum Revolusioner Mesir". Beliau adalah seorang ulama Al-Azhar dan anggota Lembaga Fatwa Mesir yang ditembak syahid dalam sebuah insiden di Kairo pada hari Jumat, 16 Desember 2011 silam.
Kisah nyata ini layak untuk kita renungi bersama di masa-masa penuh fitnah seperti ini. Di saat banyak orang yang sudah tidak mengindahkan lagi cara dakwah Qur'ani. Mudah mengkafirkan, fasih mencaci, mengklaim sesat, menyatakan bid'ah, melaknat, memfitnah, padahal mereka adalah sesama muslim.
Dulu da'i-da'i kita telah berjuang mati-matian menyebarkan Tauhid dan mengislamkan orang-orang kafir, namun kenapa sekarang orang yang sudah Islam malah justru dikafir-kafirkan dan dituduh syirik? Bukankah kita hanya diwajibkan menghukumi sesuatu dari yang tampak saja? Sedangkan masalah batin biarkan Allah yang menghukumi nanti. Kita sama sekali tidak diperintahkan untuk membelah dada setiap manusia agar mengetahui kadar iman yang dimiliki setiap orang.
Mari kita renungi kembali surat Thaha ayat 44 yaitu Perintah Allah swt. kepada Nabi Musa dan Harun –'alaihimassalam– saat mereka akan pergi mendakwahi fir'aun. Allah berfirman,
((فَقُولاَ لَهُ قَوْلاً لَّيِّناً لَّعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَى))
“Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, Mudah-mudahan ia ingat atau takut.”
Bayangkan, Fir'aun yang jelas-jelas kafir laknatullah, namun saat dakwah dengan orang seperti ia pun harus tetap dengan kata-kata yang lemah lembut, tanpa menyebut dia Kafir Laknatullah! Lalu apakah kita yang hidup di dunia sekarang ini ada yang lebih Islam dari Nabi Musa dan Nabi Harun? Atau adakah orang yang saat ini lebih kafir dari Fir'aun, di mana Al-Qur'an pun merekam kekafirannya hingga kini?
Lantas alasan apa bagi kita untuk tidak menggunakan dahwah dengan metode Al-Qur'an? Yaitu dengan Hikmah, Nasehat yang baik, dan Diskusi menggunakan argumen yang kuat namun tetap sopan dan santun?
Maka dalam dakwah yang perlu kita perhatikan adalah bagaimana cara kita agar mudah menyampaikan kebenaran Islam ini.
Oleh karenanya, jika sekarang kita dapati ada orang yang kafir, bisa jadi di akhir hayatnya Allah akan memberi hidayah kepadanya sehingga ia masuk Islam.
Bukankah Umar bin Khattab dulu juga pernah memusuhi Rasulullah? Namun Allah berkehendak lain, sehingga Umar pun mendapat hidayah dan akhirnya memeluk Islam. Lalu jika sekarang ada orang muslim, bisa jadi di akhir hayatnya Allah mencabut hidayah darinya sehingga ia mati dalam keadaan kafir. Na'udzubillah tsumma Na'udzubillahi min Dzalik.
Karena sesungguhnya dosa pertama yang dilakukan iblis adalah sombong dan angkuh serta merasa diri sendiri paling suci sehingga tak mau menerima kebenaran Allah dengan sujud hormat kepada nabi Adam –'alaihissalam–. Oleh karena itu, bisa jadi Allah mencabut hidayah dari seorang muslim yang tinggi hati lalu memberikannya kepada seorang kafir yang rendah hati. Segalanya tiada yang mustahil bagi Allah!
Marilah kita pertahankan akidah Islam yang telah kita peluk ini, dan jangan pernah mencibir ataupun "menggerogoti" akidah orang lain yang juga telah memeluk Islam serta bertauhid. Kita adalah saudara seislam seagama. Saling mengingatkan adalah baik, saling melindungi akidah sesama muslim adalah baik. Marilah kita senantiasa berjuang bahu-membahu demi perkara yang baik-baik saja. Wallahu Ta'ala A'la Wa A'lam Bis-Shawab.*
Istiqomah Lebih Mulia dari Seribu Karomah
Orang yang istiqamah selalu menjadikan ilmu sebagai makanan hati dan ruh
Allah Subhanahu wa Ta`ala berfirman:
إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا تَتَنَزَّلُ عَلَيْهِمُ الْمَلَائِكَةُ أَلَّا تَخَافُوا وَلَا تَحْزَنُوا وَأَبْشِرُوا بِالْجَنَّةِ الَّتِي كُنْتُمْ تُوعَدُون
“Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: “Tuhan kami ialah Allah” kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka dengan mengatakan: “Janganlah kamu takut dan janganlah merasa sedih, dan gembirakanlah mereka dengan jannah yang telah dijanjikan Allah kepadamu.” (QS. Fusshilat: 30)
Al Wahidi dalam Asbaab Nuzuul Al-Qur`an menulis, Atha` menerima riwayat dari Abdullah bin Abbas radhiyallahu `anhuma yang mengatakan bahwa ayat ini turun berkenaan dengan Sayidina Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiyallahu `anhu yang memberikan bantahan atas ucapan Kaum Musyrik dan Yahudi.
Kaum Musyrik berkata, “Allah adalah Tuhan kami, sementara para malaikat adalah anak-anak-Nya.” Kemudian orang-orang Yahudi berkata, “Allah adalah Tuhan kami dan Uzair adalah anak-Nya, sementara Muhammad bukanlah seorang Nabi.” Baik ucapan kaum musyrik maupun yahudi menunjukkan kebodohan dan tidak istiqamah.
Mendengar ucapan dari dua golongan tersebut, Abu Bakar mengatakan dengan tegas, “Allah adalah Tuhan Kami Yang Mahaesa tiada sekutu bagi-Nya dan Muhammad Shallahu ‘alaihi Wassalam adalah hamba sekaligus utusan-Nya.” Selanjutnya turun ayat, “Inna al-ladziina qaaluu rabbunal-Lah.”
Konteks Istiqamah
Kata istiqamah bisa dimaknai dalam berbagai situasi dan kondisi. Istiqamah dalam konteks akidah, amal, keikhlasan, ketakwaan, persaksian, dan ilmu. Konteks istiqamah telah banyak dijabarkan oleh sahabat-sahabat nabi yang menunjukkan kedalaman mereka dalam memandang jauh makna istiqamah.
Sayidina Abu Bakar radhiyallahu `anhu, contohnya, memberikan pengertian istiqamah sebagai teguh dalam beriman, memurnikan sesembahan, dan menjauhi kesyirikan. Imam Thabari meriwayatkan, Abu Bakar pernah ditanya tentang istiqamah yang terkandungan dalam bunyi ayat innalladziina Qaalu Rabbuna Allah Tsummas Taqaamuu,” kata beliau, “(Istiqamah adalah) kamu tidak menyekutukan Allah dengan suatu apapun.”
Di sisi lain, Sahabat Umar bin Khathtab radhiyallahu `anhu menegaskan makna istiqamah sebagai sebuah sikap teguh dalam, “melaksanakan perintah dan menjauhi larangan, serta tidak berpaling seperti berpalingnya musang.”
Sementara, Sayidina Utsman bin Affan radhiyallahu `anhu memaknai istiqamah sebuah suatu sikap untuk memurnikan segala tindak-tanduk kita yang berkaitan dengan ibadah hanya untuk Allah, bukan selain-Nya. Beliau berkata tentang istiqamah, “Ikhlaskan (bersihkan) amal karena Allah semata.”
Adapun, Imam Ali bin Abi Thalib radhiyallahu `anhu memahami istiqamah sebagai bentuk ketegasan sikap dalam menjalankan kewajiban. Beliau mengatakan, “Kerjakanlah kewajiban-kewajiban.”
Dalam konteks yang berbeda, Al-Hasan menuturkan, “Mereka meneguhkan pendirian (istiqamah) di atas jalan perintah Allah Subhanahu Wata’ala, sehingga mereka melakukan perbuatan untuk taat kepada-Nya dan menjauhi kemaksiatan di jalan-Nya.”
Mujahid dan Ikrimah berujar, “Mereka meneguhkan pendirian dalam bersaksi bahwa tiada Tuhan kecuali Allah sampai mereka bertemu dengan Allah.” Muqatil berkata, “Mereka meneguhkan pendirian dalam ilmu dan tidak keluar dari Islam.”
Imam Nawawi dalam salah satu karya populernya, Syarh Matn Al-Arba`in Al-Nawawiyyah, mengetengahkan sebuah hadits dengan judul Al-Istiqamah. Hadits ini jatuh pada urutan kedua puluh satu. Bunyinya, “Dari Abu ‘Amrah Sufyan bin ‘Abdullah Al-Tsaqafiy radhiyallahu anhu, ia berkata : “Aku telah berkata : ‘Wahai Rasulullah, katakanlah kepadaku tentang Islam, suatu perkataan yang aku tak akan dapat menanyakannya kepada seorang pun kecuali kepadamu.’ Bersabdalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam : ‘Katakanlah : Aku telah beriman kepada Allah, kemudian beristiqamalah kamu." (HR. Muslim).
Imam Nawawi mengatakan yang dimaksud ungkapan Nabi, Qul Aamantu Bil-Laah Tsummas-Taqim,” (Katakanlah, ‘Aku telah beriman kepada Allah, kemudian beristiqamalah kamu’) adalah, “Beristiqamahlah sebagaimana kamu telah diperintahkan dan dilarang mengerjakan suatu perbuatan.” Menurut Imam Nawawi, Istiqamah adalah, “Menetapi sebuah jalan dengan mengerjakan kewajiban-kewajiban dan meninggalkan larangan-larangan.”
Makna istiqamah yang dibawakan oleh Imam Nawawi itu selaras dengan firman Allah Subhanahu wa Ta`ala, “Maka tetaplah kamu pada jalan yang benar, sebagaimana diperintahkan kepadamu dan (juga) orang yang telah taubat besertamu.” (QS. Huud: 112). Ayat inilah yang membuat uban tumbuh lebih cepat di kepala Rasulullah. karena begitu beratnya perintah yang terkandung di dalamnya, yaitu istiqamah. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam besabda: “Aku menjadi beruban karena turunnya Surat Hud dan sejenisnya.”
Sikap Muslim dalam Istiqamah
Lewat pengetahuan pemaparan makna istiqamah dalam berbagai konteksnya seperti diungkap oleh para sahabat dan ulama, kita dapat mengetahui bahwa istiqamah adalah suatu sikap konsisten, ajeg, dalam berbagai aspek kehidupan.
Seorang muslim, kapanpun dan di manapun, ia dituntut untuk bersikap teguh, tidak maju mundur, tetap berpendirian teguh dalam memurnikan iman dan akidah dari segala bentuk kesyirikan dan kekufuran.
Teguh dalam iman berarti memegang erat-erat dalam hati bahwa tiada tuhan yang layak disembah selain Allah Subhanahu wa Ta`ala. Segala bentuk penyembahan kepada selain Allah Subhanahu wa Ta`ala merupakan sikap tidak istiqamah.
Seorang Muslim, tentunya juga bersikap teguh berdiri dalam ketakwaan, melaksakan perintah Allah Subhanahu wa Ta`ala dan menjauhi larangannya. Bertakwa tidak hanya saat berada di bulan Ramadhan saja, atau pada momen-momen tertentu, namun harus dilaksanakan dalam segala kondisi. Tujuannya, membangun jiwa dan pribadi yang muttaqin yang bercirikhaskan : beriman kepada yang ghaib, mendirikan shalat, menafkahkan sebagian harta, beriman kepada Al Qur`an dan kitab-kitab yang telah diturunkan sebelumnya, dan yakin akan adanya kehidupan akhirat. (Qs. Al-Baqarah : 3-4).
Selain itu, ciri lain ketakwaan yang Allah Subhanahu wa Ta`ala paparkan adalah, mereka istiqamah dalam menafkahkan harta baik di waktu lapang maupun sempit, cerdas dalam meluapkan emosi, mudah memaafkan, dan bergegas memohon ampunan kepada Allah di tiap perbuatan dosa yang dilakukan. (QS. Ali Imran : 134-135).
Seorang Muslim, kapanpun dan di manapun, dituntut untuk beristiqamah dalam mencari ilmu sebagai landasan perkataan dan perbuatan kita. Artinya, orang yang istiqamah tidak akan melakukan dan melepas suatu ucapan seleum diketahui sumber ilmu guna menegaskan kebenaran dari perbuatan dan ucapannya.
Orang yang istiqamah selalu menjadikan ilmu sebagai makanan hati dan ruh. Jika tubuh menjadi lunglai dan lemas akibat tidak mengonsumsi makanan dan minuman, maka hati kita akan mati, sunyi, berselimut kegelapan, ketika ia kosong dari asupan ilmu yang bermanfaat.
Karenanya, ilmu mestilah diprioritaskan sebelum berbuat dan berkata. Istiqamah berarti berpendirian teguh, konsisten dalam belajar, mencari ilmu, menghadiri kajian ilmu, majlis-majlis ta`lim, demi terwujudnya istiqamah yang sebaik-baiknya.*
Cara Mencegah Lunturnya Iman!
Bagi seorang Muslim, iman adalah segalanya. Iman adalah aset paling berharga dan menjadi kriteria pertama diterima atau tidaknya amal di hadapan Allah. Akan tetapi, sebagaimana lazimnya setiap aset berharga di dunia ini, ia selalu terancam bahaya. Banyak pihak yang mengintai dan ingin mencurinya. Maka, tidak sedikit orang yang imannya lenyap, lalu mati dalam keadaan tidak memilikinya lagi. Tentu kita tidak ingin mengalaminya. Tetapi, bagaimana menjaga iman supaya tidak hilang?
Dalam Al-Qur’an, ketiadaan iman disebut juga dengan ketersesatan (dholal). Dan, pada dasarnya tidak ada manusia yang disesatkan oleh Allah, kecuali orang-orang yang fasiq. Dengan kata lain, bila manusia telah menjadi fasiq, ia pasti akan tersesat. Allah berfirman;
مَاذَا أَرَادَ اللَّهُ بِهَـذَا مَثَلاً يُضِلُّ بِهِ كَثِيراً وَيَهْدِي بِهِ كَثِيراً وَمَا يُضِلُّ بِهِ إِلاَّ الْفَاسِقِينَ
الَّذِينَ يَنقُضُونَ عَهْدَ اللَّهِ مِن بَعْدِ مِيثَاقِهِ وَيَقْطَعُونَ مَا أَمَرَ اللَّهُ بِهِ أَن يُوصَلَ وَيُفْسِدُونَ فِي الأَرْضِ أُولَـئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ
“…dan, tidak ada yang disesatkan dengannya kecuali orang-orang yang fasiq. (Yaitu) orang-orang yang melanggar perjanjian Allah sesudah perjanjian itu teguh, memutuskan apa yang diperintahkan Allah (kepada mereka) untuk menghubungkannya, dan membuat kerusakan di muka bumi. Mereka itulah orang-orang yang merugi.” (Qs. al-Baqarah: 26-27).
Menurut Imam Ibnu Jarir ath-Thabari, ayat diatas menunjukkan bahwa tidak ada yang disesatkan kecuali orang-orang yang meninggalkan ketaatan kepada Allah, tidak mau menuruti perintah maupun larangan-Nya, dan melanggar perjanjian yang telah Allah buat dengan mereka. Dalam Tafsir Zadul Masir dinyatakan, bahwa diantara sifat orang fasiq adalah menyalahi isi Al-Qur’an, memutuskan hubungan silaturrahim, dan melakukan kemaksiatan-kemaksiatan.
Jelas bahwa kefasikan adalah kondisi ketika seseorang menelantarkan imannya, memperturutkan hawa nafsu, dan tidak memperdulikan hukum-hukum Allah. Ketika itulah imannya menjadi rapuh, lalu syetan merampasnya.
Maka, dalam al-Fiqh al-Akbar, Imam Abu Hanifah berkata, “Tidak boleh kita katakan bahwa syetan merampas iman dari hati seorang hamba yang mukmin secara paksa dan sewenang-wenang. Namun, kita katakan bahwa seorang hamba itu meninggalkan imannya sehingga pada saat itulah syetan merampasnya.”
Dalam kitab Ihya’ ‘Ulumiddin, Imam al-Ghazali menunjukkan bahwa keimanan sangat mudah goyah pada awal mula pertumbuhannya, apalagi di kalangan anak kecil dan kaum awam. Oleh karenanya, iman harus selalu diperkokoh. Selanjutnya beliau berkata,
“Jalan untuk menguatkan dan meneguhkan iman bukanlah dengan mempelajari kemahiran berdebat dan teologi (ilmu kalam), akan tetapi dengan (1) menyibukkan diri membaca al-Qur'an berikut tafsirnya, (2) membaca hadits disertai maknanya, dan (3) menyibukkan diri dengan menunaikan berbagai tugas ibadah. Dengan demikian kepercayaannya senantiasa bertambah kokoh oleh dalil dan hujjah al-Qur'an yang mengetuk pendengarannya, juga oleh dukungan hadits-hadits beserta faidahnya yang ia temukan, kemudian oleh pendar cahaya ibadah dan tugas-tugasnya. Hal itu juga diiringi dengan (4) menyaksikan kehidupan orang-orang shalih, bergaul dengan mereka, memperhatikan tindak-tanduk mereka, mendengar petuah-petuah mereka, juga melihat perilaku mereka dalam ketundukannya kepada Allah, rasa takut mereka kepada-Nya, serta kemantapan mereka kepada-Nya.”
Imam al-Ghazali kemudian mengibaratkan awal mula keimanan dengan menabur benih, sementara seluruh amal tersebut diatas merupakan upaya menyiram dan merawatnya, sehingga akhirnya ia tumbuh berkembang, menjadi kuat dan meninggi sebagai pohon yang baik dan kokoh, akarnya teguh sedangkan cabang-cabangnya menjulang ke angkasa. Kelak, buahnya pasti lebat dan menguntungkan, dengan seizin Allah.
Pernyataan di atas dapat kita pahami pula dari sisi sebaliknya. Bahwa, ketika seseorang mulai menjauh dari Al-Qur’an, tidak mengenal hadits Nabi, kocar-kacir ibadahnya, dan memiliki lingkungan maupun teman bergaul yang rusak, berarti ia tengah menelantarkan imannya. Maka sangat boleh jadi, seperti kata Imam Abu Hanifah, syetan pun akan merampasnya. Na’udzu billah!
Bila seseorang menjauhi Al-Qur’an dan hadits, maka akar-akar iman di hatinya pun mulai goyah. Rasulullah bersabda, “Sungguh telah aku tinggalkan di tengah-tengah kalian – selama kalian selalu berpegang teguh kepadanya – maka kalian tidak akan tersesat, yaitu Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya.” (Riwayat al-Hakim, dari Ibnu ‘Abbas. Hadits shahih).
Bila tugas-tugas ibadahnya berantakan dan ia lalaikan, maka Allah pun akan mengacaukan hati dan kehidupannya, hingga terasa sempit dan menggelisahkan. Allah berfirman, “Barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada Hari Kiamat dalam keadaan buta.” (Qs. Thaha: 124).
Bila hanya ada orang-orang jahat di sekitarnya, maka masing-masing cuma perduli pada urusan perut dan syahwat, lalu satu sama lain akan menghalangi dari akhirat. Dikisahkan oleh al-Hafizh Ibnu Abi ad-Dunya dalam kitab al-Ikhwan, bahwa 'Atha' al-Khurasani pernah bertanya kepada Muhammad bin Wasi’, "Amal apakah yang paling utama di dunia ini?" Dijawab, "Menemani teman dan bercakap-cakap dengan saudara, apabila mereka saling bersahabat diatas kebajikan dan taqwa." Beliau melanjutkan, "Ketika itulah Allah akan menghadirkan kemanisan diantara mereka, sehingga mereka terhubung dan saling menyambungkan hubungan. Tiada kebaikan dalam menemani teman dan bercakap-cakap dengan saudara jika mereka menjadi budak dari perutnya masing-masing, sebab jika mereka seperti ini maka satu sama lain akan saling menghalangi dari akhirat.”
Oleh karenanya, Allah mengajari kita sebuah doa, agar iman dan hidayah senantiasa tertanam di hati dan tidak dilenyapkan-Nya.
رَبَّنَا لاَ تُزِغْ قُلُوبَنَا بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَنَا وَهَبْ لَنَا مِن لَّدُنكَ رَحْمَةً إِنَّكَ أَنتَ الْوَهَّابُ
“Wahai Tuhan kami, janganlah Engkau menjadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau memberi petunjuk kepada kami, dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi-Mu; Sesungguhnya Engkau Maha Pemberi (karunia).” (Qs. Ali ‘Imran: 8).
Mengikis Iman, Amalan Tertolak, Doa Tak Terkabul
TAK heran jika umat Islam generasi awal dan para ulama sangat bersungguh-sungguh mencegah agar tidak mengkonsumusi makanan haram dan menggunakan harta haram. Itu semua disebabkan karena hal-hal yang diharamkan, kalau sampai ”tertelan” dapat menyebabkan timbulnya dampak yang amat buruk terhadap pelakunya.
Berikut ini, pengaruh menggunakan dan memakan barang haram, bagi keimanan pelaku, ”nasib” amalan, dan lainnya. Semoga kita terjauhkan dari kebururkan itu semuanya.
Penyebab Tidak Diterima AmalanRasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda,”Ketahuilah, bahwa suapan haram jika masuk dalam perut salah satu dari kalian, maka amalannya tidak diterima selama 40 hari.” (Riwayat At Thabrani).
Haji dari Harta Haram TertolakRasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda,”Jika seorang keluar untuk melakukan haji dengan nafaqah haram, kemudian ia mengendarai tunggangan dan mengatakan,”Labbaik, Allahumma labbaik!” Maka, yang berada di langit menyeru,” Tidak labbaik dan kau tidak memperoleh kebahagiaan! Bekalmu haram, kendaraanmu haram dan hajimu mendatangan dosa dan tidak diterima." (Riwayat At Thabrani).
Sedekah dari Harta Haram TertolakRasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda, ”Barangsiapa mengumpulkan harta haram, kemudian menyedekahkannya, maka tidak ada pahala dan dosanya untuknya.” (Riwayat Ibnu Huzaimah).
Tidak Terkabulnya DoaSa’ad bin Abi Waqash bertanya kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam, ”Ya Rasulullah, doakan saya kepada Allah agar doa saya terkabul.” Rasulullah menjawab, ”Wahai Sa’ad, perbaikilah makananmu, maka doamu akan terkabulkan.” (Riwayat At Thabrani).
Disebutkan juga dalam hadits lain bahwa Rasulullah bersabda, ”Seorang lelaki melakukan perjalanan jauh, rambutnya kusut, mukanya berdebu, menengadahkan kedua tangannya ke langit dan mengatakan,’Wahai Rabbku! Wahai Rabbku!’ Padahal makanannya haram dan mulutnya disuapkan dengan yang haram, maka bagaimanakah akan diterima doa itu?” (Riwayat Muslim).
Mengikis Keimanan PelakunyaRasulullah Shallallahu Alaih Wasallam Bersabda,”Tidaklah peminum khamr, ketika ia meminum khamr termasuk seorang Mukmin.” (Riwayat Bukhari Muslim)
Jelas, peminum khamr (minuman memabukkan, seperti alkohol) saat dia minum khamr, maka keimanannya terkikis saat itu.
Mencampakkan Pelakunya ke NerakaRasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda,”Tidaklah tumbuh daging dari makanan haram, kecuali nereka lebih utama untuknya.” (Riwayat At Tirmidzi)
Mengeraskan Hati PelakuImam Ahmad pernah ditanya, apa yang harus dilakukan, agar hati mudah menerima kebenaran, maka beliau menjawab,”Dengan memakan makanan halal.” Hal ini termaktub dalam Thabaqat Al Hanabilah (1/219).
At Tustari, seorang mufassir juga pernah mengatakan, ”Barangsiapa ingin disingkapkan tentang tanda-tanda orang-orang jujur (shiddiqun), hendaknya tidak makan, kecuali yang halal dan mengamalkan Sunnah.” sebagaimana dikutip dalam Ar Risalah Al Mustarsyidin (hal. 216).
Pendapat di atas bisa dimaklumi, setelah dilihat nash-nash sebelumnya, bahwa mengkonsumsi makanan haram memasukkan pelakunya kapada pelaku maksiat yang mendapatkan ancaman neraka dan saat itu pula keimanannya tergerus. Tentu dalam kondisi demikian, bisa membuat hati pelakunya semakin keras dan enggan menerima kebenaran.*
Manusia "Berwajah Buruk" Menurut Nabi
SELAIN menyebutkan beberapa kriteria manusia-manusia terbaik menurut pandangan Islam, hadits-hadits Rasulullah ternyata juga menyitir kriteria manusia-manusia terburuk. Tentu saja, maksudnya cukup jelas. Beliau mendorong kita untuk meniru kebaikan kelompok pertama, dan menjauhi keburukan kelompok kedua. Mungkin sudah cukup banyak dikupas tentang siapa saja sebaik-baik manusia (khairun-naas) itu, maka kini giliran kita mengetahui siapa saja seburuk-buruk manusia (syarrun-naas). Mengapa demikian?
Sebab, mengetahui keburukan adalah salah satu cara untuk bisa menghindarinya.
Seorang Sahabat Nabi, yaitu Hudzaifah bin Yaman pernah berkata, “Dulu orang-orang bertanya kepada Rasulullah tentang kebaikan, namun saya bertanya kepada beliau tentang keburukan, karena saya khawatir jika terjerumus ke dalamnya.”
Jadi, siapa sajakah manusia-manusia terburuk itu, sehingga kita bisa mendidik diri kita sendiri agar tidak seperti mereka?
Pertama, orang yang bermuka dua. Rasulullah bersabda, “Kalian akan mendapati seburuk-buruk manusia adalah orang-orang yang bermuka dua. Dia mendatangi kelompok yang ini dengan satu wajah, dan mendatangi kelompok lainnya dengan wajah lain pula.” (Riwayat Bukhari-Muslim, dari Abu Hurairah).
Yang dimaksud “orang bermuka dua” adalah kaum munafik. Dia tidak memiliki pendirian dan keteguhan dalam imannya. Maka, bila berkumpul dengan kaum Muslimin, seolah-olah ia bagian dari mereka. Namun, jika bersama-sama kaum kafir, bisa jadi ia lebih dahsyat kekafirannya dibanding kaum kafir itu sendiri.
Padahal, Allah mengancam kaum munafik akan dimasukkan ke dasar neraka yang terdalam.
إِنَّ الْمُنَافِقِينَ فِي الدَّرْكِ الأَسْفَلِ مِنَ النَّارِ وَلَن تَجِدَ لَهُمْ نَصِيراً
“Sesungguhnya orang-orang munafik itu (ditempatkan) pada tingkatan yang paling bawah dari neraka. Dan kamu sekali-kali tidak akan mendapat seorang penolongpun bagi mereka.” (QS. an-Nisa’: 145)
Kedua, orang yang ditakuti sesama manusia karena kejahatannya
Suatu ketika, ada seseorang yang minta izin untuk bertamu kepada Rasulullah. Tatkala melihatnya, beliau berkata, “Izinkah dia masuk. Dia ini seburuk-buruk keturunan – atau: anggota – suatu kabilah!” Tatkala dia telah masuk, ternyata Rasulullah bersikap sangat lembut dan bahkan tertawa-tawa bersamanya. Setelah ia pergi, ‘Aisyah bertanya, “Wahai Rasulullah, Anda telah menyatakan apa yang Anda nyatakan tadi (tentang orang itu), lalu mengapa Anda berbicara secara lemah lembut kepadanya?” Beliau menjawab, “Wahai ‘Aisyah, sungguh manusia yang paling buruk kedudukannya di sisi Allah adalah seseorang yang ditinggalkan – atau: dijauhi – oleh sesamanya semata-mata mereka takut kepada kejahatannya.” (Riwayat Bukhari-Muslim, dari ‘Aisyah).
Ketiga, orang yang tidak bisa disadarkan oleh pesan-pesan Al-Qur’an. Rasulullah bersabda, “Di antara manusia yang terburuk adalah seorang pendurhaka lagi kurang ajar, yang membaca Kitab Allah namun tidak tersadarkan oleh satu pun darinya.” (Riwayat Ahmad, dengan sanad hasan).
Jadi, apakah yang bisa diharapkan dari seseorang yang tidak mempan oleh nasihat dari Allah? Hatinya telah terkunci mati, sehingga ia akan lebih sesat dibanding seekor hewan ternak sekalipun.
سَاء مَثَلاً الْقَوْمُ الَّذِينَ كَذَّبُواْ بِآيَاتِنَا وَأَنفُسَهُمْ كَانُواْ يَظْلِمُونَ
مَن يَهْدِ اللّهُ فَهُوَ الْمُهْتَدِي وَمَن يُضْلِلْ فَأُوْلَـئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ
وَلَقَدْ ذَرَأْنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيراً مِّنَ الْجِنِّ وَالإِنسِ لَهُمْ قُلُوبٌ لاَّ يَفْقَهُونَ بِهَا وَلَهُمْ أَعْيُنٌ لاَّ يُبْصِرُونَ بِهَا وَلَهُمْ آذَانٌ لاَّ يَسْمَعُونَ بِهَا أُوْلَـئِكَ كَالأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ أُوْلَـئِكَ هُمُ الْغَافِلُون
“Amat buruklah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat- ayat Kami dan kepada diri mereka sendirilah mereka berbuat zalim.
“Barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka dialah yang mendapat petunjuk; dan barangsiapa yang disesatkan Allah [583], maka merekalah orang-orang yang merugi.”
“Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai. Kedatangan azab Allah kepada orang-orang yang mendustakan ayat- ayat-Nya dengan cara istidraj.” (QS. al-A’raf: 177-179)
أَمْ تَحْسَبُ أَنَّ أَكْثَرَهُمْ يَسْمَعُونَ أَوْ يَعْقِلُونَ إِنْ هُمْ إِلَّا كَالْأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ سَبِيلاً
“Atau apakah kamu mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar atau memahami. Mereka itu tidak lain, hanyalah seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat jalannya (dari binatang ternak itu).” (QS: al-Furqan:44).
Keempat, orang yang mengalami Hari Kiamat dan menjadikan kuburan sebagai masjid. Rasulullah bersabda, “Di antara manusia terburuk adalah mereka yang mendapati Hari Kiamat dan orang-orang yang menjadikan kuburan sebagai masjid.” (Riwayat Ibnu Hibban. Isnad-nya hasan).
Hadits ini berhubungan dengan pernyataan beliau lainnya, bahwa Hari Kiamat tidak akan terjadi kecuali jika sudah tidak ada seorang pun yang menyeru nama Allah di muka bumi. Tentu saja, zaman di mana nama Allah tidak lagi dikenal pastilah merupakan zaman terburuk, dan berisi manusia-manusia terburuk. Adapun menjadikan kuburan sebagai masjid, maka cukup banyak hadits lain yang melarangnya, di antaranya karena hal itu meniru-niru atau menyamai perbuatan kaum Yahudi dan Kristen.
Kelima, orang yang merusak akhiratnya demi meraih dunia milik orang lain.
Rasulullah bersabda, “Di antara orang yang paling buruk kedudukannya pada Hari Kiamat adalah seseorang hamba yang menghancurkan akhiratnya demi merebut dunia milik orang lain.” (Riwayat Ibnu Majah. Menurut al-Bushiri: sanad-nya hasan).
Yang dimaksud adalah orang yang membunuh sesamanya demi merampok hartanya, sehingga karena ambisi dunia itulah dia merebut hak milik orang lain dan menghancurkan akhiratnya sendiri. Atau, dia bersedia membantu orang zhalim demi meraih iming-iming duniawi, sehingga agamanya pun hancur.
Keenam, orang yang panjang umurnya, tapi jelek amal perbuatannya. Abu Bakrah bercerita, bahwa suatu kali seseorang bertanya kepada Rasulullah, “Orang seperti apakah yang paling baik?” Beliau menjawab, “Orang yang panjang umurnya dan baik amalnya.” Dia bertanya lagi, “Lalu, orang seperti apa yang paling buruk?” Beliau menjawab, “Orang yang panjang umurnya, tapi jelek amal perbuatannya.” (Riwayat Tirmidzi. Hadits shahih li ghairihi).
Ketujuh, orang yang tidak bisa diharapkan kebaikannya dan justru tidak bisa dirasa aman dari keburukannya. Abu Hurairah bercerita, bahwa suatu kali Rasulullah berdiri di dekat beberapa orang yang duduk-duduk, lalu bertanya, “Maukah kalian aku beritahu siapa orang terbaik dibandingkan orang terburuk di antara kalian?” Mereka pun terdiam (tidak menjawab). Beliau mengulangi pertanyaannya tiga kali, lalu ada seseorang yang menjawab, “Mau, wahai Rasulullah. Beritahu kami siapa orang terbaik dibanding orang terburuk di antara kami.” Beliau bersabda, “Yang terbaik di antara kalian adalah orang yang bisa diharapkan kebaikannya dan dirasa aman dari keburukannya. Sedangkan orang terburuk di antara kalian adalah orang yang tidak bisa diharapkan kebaikannya dan justru tidak bisa dirasa aman dari keburukannya.” (Riwayat Tirmidzi. Hadits hasan-shahih).
Menjadi “Sahabat” Allah
TAK
satu pun manusia bisa hidup tanpa seorang sahabat. Selama masih ada
kehidupan sepanjang itu setiap manusia memerlukan yang namanya sahabat.
Jadi benar juga ungkapan yang mengatakan bahwa satu musuh itu sudah
cukup banyak dan seribu sahabat itu masih kurang. Apalagi kita ingin
mewujudkan cita-cita mulia demi agama. Tentu kita sangat membutuhkan
sahabat.
Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wassalamsaw pun memiliki banyak sahabat, yang empat di antaranya adalah sahabat yang paling utama. Mereka adalah Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib.
Sebagai seorang Muslim tentu kita memerlukan sahabat untuk mencapai visi dan tujuan hidup di dunia ini. Dalam sejarah pun dijabarkan bahwa ada di antara para nabi yang dalam dakwahnya ditemani oleh seorang sahabat. Lihatlah seperti Nabi Musa bersama Nabi Harun, Nabi Isa dengan Hawariyyun, dan Nabi Muhammad dengan empat sahabat utamanya.
Namun demikian, terkadang sebagian manusia keliru dalam memilih sahabat. Hal itu karena di antaranya ada yang masih belum memiliki tujuan hidup yang jelas. Makanya ada yang terlibat pergaulan bebas, narkoba, bahkan bunuh diri, yang semua itu dikarenakan peran besar sahabatnya sendiri.
Karena begitu besarnya peran seorang sahabat dalam diri seseorang, sudah selayaknya kita mencari sahabat yang baik, setia, abadi selamanya. Mungkinkah itu? Ya, menurut Abu A’la Al-Maududi itu sangat mungkin, dan sahabat itu telah lama menantikan kehadiran kita. Siapa dia? Dialah Allah Subhanahu wa-ta'ala (سبحانه و تعالى).
Menjadi sahabat Allah, wah luar biasa. Itulah yang hari ini mesti kita upayakan secara bersama-sama. Bayangkan bila sebagian besar umat Islam di negeri ini berhasil menjadi sahabat Allah, pasti sangat luar biasa. Tapi apakah mungkin kita bisa menjadi sahabat Allah Subhanahu wa-ta'ala (سبحانه و تعالى)?
Dalam bukunya "Let Us be Muslims", intelektual Muslim asal Pakistan itu memberikan beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh setiap Muslim untuk bisa menjadi sahabat Allah.
Pertama, jadilah Muslim yang berjiwa besar. Dalam konteks ini Abu A’la menjabarkan agar seorang Muslim menghindar dari sifat kikir dan pelit. Muslim yang mampu memelihara diri dari sifat tercela itu maka dia telah layak disebut sebgai sahabat Allah yang akan mendapat keuntungan.
مَنْ هَاجَرَ إِلَيْهِمْ وَلَا يَجِدُونَ فِي صُدُورِهِمْ حَاجَةً مِّمَّا أُوتُوا وَيُؤْثِرُونَ عَلَى أَنفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ وَمَن يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُوْلَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
“Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang orang yang beruntung.” (QS. 59 : 9).
Kedua, jadilah Muslim yang memiliki sifat murah hati. Menurutnya setiap Muslim harus murah hati. Kebesaran hati akan mengatasi perasaan diri kita, mengatasi kebencian terhadap borok-borok dan penghinaan. Jika seseorang membuat kita sedih atau merugikan kita, jangan sampai perbuatannya itu menyebabkan kita menolak untuk memberinya makanan atau pakaian. Juga jangan sampai hal itu membuat kita ragu-ragu memberikan bantuan kepadanya ketika ia berada dalam kesulitan.
وَلَا يَأْتَلِ أُوْلُوا الْفَضْلِ مِنكُمْ وَالسَّعَةِ أَن يُؤْتُوا أُوْلِي الْقُرْبَى وَالْمَسَاكِينَ وَالْمُهَاجِرِينَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلْيَعْفُوا وَلْيَصْفَحُوا أَلَا تُحِبُّونَ أَن يَغْفِرَ اللَّهُ لَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَّحِيمٌ
“Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa mereka (tidak) akan memberi (bantuan) kepada kaum kerabat(nya), orang-orang yang miskin dan orang-orang yang berhijrah pada jalan Allah, dan hendaklah mereka mema'afkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS 24 : 22).
Ketiga, jangan egois. Sikap egois harus dihindari dan dibuang jauh dalam diri setiap Muslim. Egois itu menurut Abu A’la Al-Maududi adalah suka berharap imbalan dan senang membebani orang lain.
وَيُطْعِمُونَ الطَّعَامَ عَلَى حُبِّهِ مِسْكِيناً وَيَتِيماً وَأَسِيراً
إِنَّمَا نُطْعِمُكُمْ لِوَجْهِ اللَّهِ لَا نُرِيدُ مِنكُمْ جَزَاء وَلَا شُكُوراً
“Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim dan orang yang ditawan. Sesungguhnya kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridhaan Allah, kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan) terima kasih”. (QS. 76 : 8 – 9).
Sifat egois sangat dilarang dalam Islam. Dalam ayat yang lain Allah
berfirman, “Dan janganlah kamu memberi (dengan maksud) memperoleh (balasan) yang lebih banyak.” (QS. 74 : 6). Dalam konteks modern sifat egois ini banyak dipraktikkan oleh para koruptor, dan mereka yang gemar melakukan praktik suap. Suka memberi asal bisa mendapat balasan yang lebih besar. Naudzubillahi min dzalik.
Keempat, memiliki hati yang suci. Dengan hati suci setiap Muslim akan mampu memberikan yang paling berharga dari apa yang dimilikinya, sebagai bukti bahwa harta itu benar-benar dibelanjakan sebagaimana ketentan Allah.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَنفِقُواْ مِن طَيِّبَاتِ مَا كَسَبْتُمْ وَمِمَّا أَخْرَجْنَا لَكُم مِّنَ الأَرْضِ وَلاَ تَيَمَّمُواْ الْخَبِيثَ مِنْهُ تُنفِقُونَ وَلَسْتُم بِآخِذِيهِ إِلاَّ أَن تُغْمِضُواْ فِيهِ وَاعْلَمُواْ أَنَّ اللّهَ غَنِيٌّ حَمِيدٌ
“Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memincingkan mata terhadapnya. Dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.” (QS. 2 : 267).
Kelima, memberi ketika dalam kesusahan. Memberi adalah sifat Muslim sejati. Bahkan dalam kondisi kesusahan pun seorang Muslim tidak boleh berhenti untuk bisa menafkahkan apa yang dimiliki dan memberikan bantuan kepada orang lain.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَنفِقُواْ مِن طَيِّبَاتِ مَا كَسَبْتُمْ وَمِمَّا أَخْرَجْنَا لَكُم مِّنَ الأَرْضِ وَلاَ تَيَمَّمُواْ الْخَبِيثَ مِنْهُ تُنفِقُونَ وَلَسْتُم بِآخِذِيهِ إِلاَّ أَن تُغْمِضُواْ فِيهِ وَاعْلَمُواْ أَنَّ اللّهَ غَنِيٌّ حَمِيدٌ
“(yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema'afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.” (QS. 3 : 134).
Keenam, memberi ketika kaya. Jika dalam kondisi susah kita dilarang berhenti memberi apalagi dalam kondisi kaya. Ketika kaya kita tidak boleh lupa kepada Tuhan.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُلْهِكُمْ أَمْوَالُكُمْ وَلَا أَوْلَادُكُمْ عَن ذِكْرِ اللَّهِ وَمَن يَفْعَلْ ذَلِكَ فَأُوْلَئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ
“Hai orang-orang beriman, janganlah hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barangsiapa yang berbuat demikian maka mereka itulah orang-orang yang merugi.” (QS. 63 : 9).
Ketujuh, memberi hanya demi ridho Allah SWT. sebagaimana firman-Nya,
لَّيْسَ عَلَيْكَ هُدَاهُمْ وَلَـكِنَّ اللّهَ يَهْدِي مَن يَشَاءُ وَمَا تُنفِقُواْ مِنْ خَيْرٍ فَلأنفُسِكُمْ وَمَا تُنفِقُونَ إِلاَّ ابْتِغَاء وَجْهِ اللّهِ وَمَا تُنفِقُواْ مِنْ خَيْرٍ يُوَفَّ إِلَيْكُمْ وَأَنتُمْ لاَ تُظْلَمُونَ
“Bukanlah kewajibanmu menjadikan mereka mendapat petunjuk, akan tetapi Allah-lah yang memberi petunjuk (memberi taufiq) siapa yang dikehendaki-Nya. Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (di jalan allah), maka pahalanya itu untuk kamu sendiri. Dan janganlah kamu membelanjakan sesuatu melainkan karena mencari keridhaan Allah. Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan, niscaya kamu akan diberi pahalanya dengan cukup sedang kamu sedikitpun tidak akan dianiaya (dirugikan).” (QS. 2 : 272).
Menurut Abu A’la, tujuh kualitas di atas sangat penting diperhatikan dan dimiliki oleh setiap Muslim, jika benar-benar ingin menjadi sahabat Allah Subhanahu wa-ta'ala (سبحانه و تعالى) atau masuk dalam kelompok Allah.
Tanpa ketujuh kualitas tersebut, kita tidak bisa berharap menjadi sahabat-Nya. Karena ketujuh perkara di atas sebenarnya adalah cara Allah menguji kualitas keimanan setiap Muslim.
Dengan demikian mari kita bersama-sama berusaha menjadi sahabat Allah untuk bisa masuk dalam Ahlullah. Semoga Allah memberikan kemampuan kepada kita semua. Amin.*
Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wassalamsaw pun memiliki banyak sahabat, yang empat di antaranya adalah sahabat yang paling utama. Mereka adalah Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib.
Sebagai seorang Muslim tentu kita memerlukan sahabat untuk mencapai visi dan tujuan hidup di dunia ini. Dalam sejarah pun dijabarkan bahwa ada di antara para nabi yang dalam dakwahnya ditemani oleh seorang sahabat. Lihatlah seperti Nabi Musa bersama Nabi Harun, Nabi Isa dengan Hawariyyun, dan Nabi Muhammad dengan empat sahabat utamanya.
Namun demikian, terkadang sebagian manusia keliru dalam memilih sahabat. Hal itu karena di antaranya ada yang masih belum memiliki tujuan hidup yang jelas. Makanya ada yang terlibat pergaulan bebas, narkoba, bahkan bunuh diri, yang semua itu dikarenakan peran besar sahabatnya sendiri.
Karena begitu besarnya peran seorang sahabat dalam diri seseorang, sudah selayaknya kita mencari sahabat yang baik, setia, abadi selamanya. Mungkinkah itu? Ya, menurut Abu A’la Al-Maududi itu sangat mungkin, dan sahabat itu telah lama menantikan kehadiran kita. Siapa dia? Dialah Allah Subhanahu wa-ta'ala (سبحانه و تعالى).
Menjadi sahabat Allah, wah luar biasa. Itulah yang hari ini mesti kita upayakan secara bersama-sama. Bayangkan bila sebagian besar umat Islam di negeri ini berhasil menjadi sahabat Allah, pasti sangat luar biasa. Tapi apakah mungkin kita bisa menjadi sahabat Allah Subhanahu wa-ta'ala (سبحانه و تعالى)?
Dalam bukunya "Let Us be Muslims", intelektual Muslim asal Pakistan itu memberikan beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh setiap Muslim untuk bisa menjadi sahabat Allah.
Pertama, jadilah Muslim yang berjiwa besar. Dalam konteks ini Abu A’la menjabarkan agar seorang Muslim menghindar dari sifat kikir dan pelit. Muslim yang mampu memelihara diri dari sifat tercela itu maka dia telah layak disebut sebgai sahabat Allah yang akan mendapat keuntungan.
مَنْ هَاجَرَ إِلَيْهِمْ وَلَا يَجِدُونَ فِي صُدُورِهِمْ حَاجَةً مِّمَّا أُوتُوا وَيُؤْثِرُونَ عَلَى أَنفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ وَمَن يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُوْلَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
“Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang orang yang beruntung.” (QS. 59 : 9).
Kedua, jadilah Muslim yang memiliki sifat murah hati. Menurutnya setiap Muslim harus murah hati. Kebesaran hati akan mengatasi perasaan diri kita, mengatasi kebencian terhadap borok-borok dan penghinaan. Jika seseorang membuat kita sedih atau merugikan kita, jangan sampai perbuatannya itu menyebabkan kita menolak untuk memberinya makanan atau pakaian. Juga jangan sampai hal itu membuat kita ragu-ragu memberikan bantuan kepadanya ketika ia berada dalam kesulitan.
وَلَا يَأْتَلِ أُوْلُوا الْفَضْلِ مِنكُمْ وَالسَّعَةِ أَن يُؤْتُوا أُوْلِي الْقُرْبَى وَالْمَسَاكِينَ وَالْمُهَاجِرِينَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلْيَعْفُوا وَلْيَصْفَحُوا أَلَا تُحِبُّونَ أَن يَغْفِرَ اللَّهُ لَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَّحِيمٌ
“Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa mereka (tidak) akan memberi (bantuan) kepada kaum kerabat(nya), orang-orang yang miskin dan orang-orang yang berhijrah pada jalan Allah, dan hendaklah mereka mema'afkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS 24 : 22).
Ketiga, jangan egois. Sikap egois harus dihindari dan dibuang jauh dalam diri setiap Muslim. Egois itu menurut Abu A’la Al-Maududi adalah suka berharap imbalan dan senang membebani orang lain.
وَيُطْعِمُونَ الطَّعَامَ عَلَى حُبِّهِ مِسْكِيناً وَيَتِيماً وَأَسِيراً
إِنَّمَا نُطْعِمُكُمْ لِوَجْهِ اللَّهِ لَا نُرِيدُ مِنكُمْ جَزَاء وَلَا شُكُوراً
“Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim dan orang yang ditawan. Sesungguhnya kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridhaan Allah, kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan) terima kasih”. (QS. 76 : 8 – 9).
Sifat egois sangat dilarang dalam Islam. Dalam ayat yang lain Allah
berfirman, “Dan janganlah kamu memberi (dengan maksud) memperoleh (balasan) yang lebih banyak.” (QS. 74 : 6). Dalam konteks modern sifat egois ini banyak dipraktikkan oleh para koruptor, dan mereka yang gemar melakukan praktik suap. Suka memberi asal bisa mendapat balasan yang lebih besar. Naudzubillahi min dzalik.
Keempat, memiliki hati yang suci. Dengan hati suci setiap Muslim akan mampu memberikan yang paling berharga dari apa yang dimilikinya, sebagai bukti bahwa harta itu benar-benar dibelanjakan sebagaimana ketentan Allah.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَنفِقُواْ مِن طَيِّبَاتِ مَا كَسَبْتُمْ وَمِمَّا أَخْرَجْنَا لَكُم مِّنَ الأَرْضِ وَلاَ تَيَمَّمُواْ الْخَبِيثَ مِنْهُ تُنفِقُونَ وَلَسْتُم بِآخِذِيهِ إِلاَّ أَن تُغْمِضُواْ فِيهِ وَاعْلَمُواْ أَنَّ اللّهَ غَنِيٌّ حَمِيدٌ
“Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memincingkan mata terhadapnya. Dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.” (QS. 2 : 267).
Kelima, memberi ketika dalam kesusahan. Memberi adalah sifat Muslim sejati. Bahkan dalam kondisi kesusahan pun seorang Muslim tidak boleh berhenti untuk bisa menafkahkan apa yang dimiliki dan memberikan bantuan kepada orang lain.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَنفِقُواْ مِن طَيِّبَاتِ مَا كَسَبْتُمْ وَمِمَّا أَخْرَجْنَا لَكُم مِّنَ الأَرْضِ وَلاَ تَيَمَّمُواْ الْخَبِيثَ مِنْهُ تُنفِقُونَ وَلَسْتُم بِآخِذِيهِ إِلاَّ أَن تُغْمِضُواْ فِيهِ وَاعْلَمُواْ أَنَّ اللّهَ غَنِيٌّ حَمِيدٌ
“(yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema'afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.” (QS. 3 : 134).
Keenam, memberi ketika kaya. Jika dalam kondisi susah kita dilarang berhenti memberi apalagi dalam kondisi kaya. Ketika kaya kita tidak boleh lupa kepada Tuhan.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُلْهِكُمْ أَمْوَالُكُمْ وَلَا أَوْلَادُكُمْ عَن ذِكْرِ اللَّهِ وَمَن يَفْعَلْ ذَلِكَ فَأُوْلَئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ
“Hai orang-orang beriman, janganlah hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barangsiapa yang berbuat demikian maka mereka itulah orang-orang yang merugi.” (QS. 63 : 9).
Ketujuh, memberi hanya demi ridho Allah SWT. sebagaimana firman-Nya,
لَّيْسَ عَلَيْكَ هُدَاهُمْ وَلَـكِنَّ اللّهَ يَهْدِي مَن يَشَاءُ وَمَا تُنفِقُواْ مِنْ خَيْرٍ فَلأنفُسِكُمْ وَمَا تُنفِقُونَ إِلاَّ ابْتِغَاء وَجْهِ اللّهِ وَمَا تُنفِقُواْ مِنْ خَيْرٍ يُوَفَّ إِلَيْكُمْ وَأَنتُمْ لاَ تُظْلَمُونَ
“Bukanlah kewajibanmu menjadikan mereka mendapat petunjuk, akan tetapi Allah-lah yang memberi petunjuk (memberi taufiq) siapa yang dikehendaki-Nya. Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (di jalan allah), maka pahalanya itu untuk kamu sendiri. Dan janganlah kamu membelanjakan sesuatu melainkan karena mencari keridhaan Allah. Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan, niscaya kamu akan diberi pahalanya dengan cukup sedang kamu sedikitpun tidak akan dianiaya (dirugikan).” (QS. 2 : 272).
Menurut Abu A’la, tujuh kualitas di atas sangat penting diperhatikan dan dimiliki oleh setiap Muslim, jika benar-benar ingin menjadi sahabat Allah Subhanahu wa-ta'ala (سبحانه و تعالى) atau masuk dalam kelompok Allah.
Tanpa ketujuh kualitas tersebut, kita tidak bisa berharap menjadi sahabat-Nya. Karena ketujuh perkara di atas sebenarnya adalah cara Allah menguji kualitas keimanan setiap Muslim.
Dengan demikian mari kita bersama-sama berusaha menjadi sahabat Allah untuk bisa masuk dalam Ahlullah. Semoga Allah memberikan kemampuan kepada kita semua. Amin.*
Imam Nawawi, Ulama Berjuluk “Penghidup Agama”
MALAM
sudah larut. Banyak orang-orang yang telah terlelap merangkai mimpi.
Namun, ada seorang pemuda yang masih terlihat menikmati bacaannya.
Ketika rasa kantuk menyerang, ia sandarkan tubuh dan kepalanya pada buku
sebentar, lalu terbangun kembali. Tanpa merebahkan punggungnya di
tempat tidur, ia lalu meneruskan aktifitas yang menjadi hobinya, yaitu
membaca. Begitu seterusnya, hingga ia menunaikan sholat tahajjud.
Menjelang sholat subuh, ia meraih roti yang ia simpan dan memakannya sebagai sahur yang sekaligus menjadi makan malam serta makan siangnya. Ia sudah terbiasa berpuasa dan makan sekali dalam sehari semalam.
Kemudian pada keesokan harinya, ia semakin “gila” mengejar ilmu. Ia pelajari 12 cabang ilmu pada guru-gurunya. Tak sedikit-pun waktunya yang tersia-sia. Bahkan ketika berjalan pun ia terus mengulang-ulang ilmu yang telah dihafalnya, atau membaca buku yang ditelaahnya.
Itulah sosok Imam Nawawi, ulama yang dalam usia muda sudah menghasilkan karya-karya mendunia. Kitab-kitabnya tersebar di berbagai belahan dunia. Bahkan, sebagian dari kitab-kitab yang ditulisnya masih menjadi rujukan utama di kalangan para penuntut ilmu hingga saat ini, termasuk di berbagai pondok pesantren di Indonesia.
Rihlah Ilmiah
Imam Nawawi bernama lengkap Yahya bin Syarf bin Muriy bin Hasan bin Husain bin Muhammad bin Jam’ah bin Hizaam An-Nawawi Ad-Dimasyqiy. Ia disebut juga sebagai Abu Zakariya, padahal ia tidak mempunyai anak yang bernama Zakariya. Karena ia belum sempat menikah dan membujang hingga akhir hayatnya. Selain itu, orang-orang memberinya gelar "Muhyiddin" (orang yang menghidupkan agama). Padahal ia tidak menyukai gelar ini. Bahkan diriwayatkan ia pernah berkata: “Aku tidak akan memaafkan orang yang menggelariku Muhyiddin.” Ucapan itu tidak akan lahir lain kecuali karena sikap ketawaddu’annya.
Ulama kebanggan umat ini lahir di desa Nawa, dekat kota Damaskus (yang sekarang menjadi ibu kota Suriah) pada bulan Muharram tahun 631 H (1233 M). Kedua tempat tersebut kemudian menjadi nisbat namanya, yaitu an-Nawawi ad-Dimasyqi.
Sejak kecil Imam Nawawi dikenal sebagai anak yang cerdas dan tidak suka bermain. Pernah suatu ketika ia dipaksa bermain oleh teman-teman sebayanya. Namun ia menolak dan menangis karena paksaan tersebut. Ia lebih suka menghafalkan Al-Quran daripada memenuhi ajakan teman-temannya. Maka tidak mengherankan, sebelum baligh ia sudah hafal Al-Quran 30 juz.
Ketika Syeikh Yasin bin Yusuf Az-Zarkasyi, salah satu ulama di zamannya mengetahui hal itu, ia pun mendatangi orang tuanya. Ia berpesan bahwa anak ini diharapkan akan menjadi orang paling pintar dan paling zuhud pada masanya dan bisa memberikan manfaat yang besar kepada umat Islam. Orangtua dan gurunya pun semakin memberikan perhatian lebih kepada Imam Nawawi kecil.
Pada tahun 649 H (1251 M), yaitu ketika usianya mencapai 19 tahun, Imam Nawawi melakukan rihlah ilmiah ke kota damaskus. Di sana ia “mondok” di lembaga pendidikan al-Ruwahiyyah atas beasiswa dari lembaga tersebut. Lembaga pendidikan ini dekat dengan masjid termegah pertama di dunia, yaitu masjid Al-Jami’ Al-Umawy. Di sana ia memulai perjalanannya menuntut ilmu. Ia menghabiskan seluruh waktunya untuk menuntut ilmu sehingga ilmu pun memberikan kepadanya sebagian darinya.
Guru dan Muridnya
Imam Nawawi memiliki banyak guru dan murid. Guru-gurunya merupakan ulama yang ahli di bidangnya. Sedangkan di antara murid-muridnya banyak yang kemudian menjadi ulama besar.
Dalam bidang fiqih dan ushul fiqih, sang Imam berguru pada Ishaq bin Ahmad bin ’Utsman al-Maghribi (w. 650 H), Abdurrahman bin Nuh bin Muhammad al-Maqdisi (w. 654 H), Sallar bin aI-Hasan al-Irbali (w. 670 H), Umar bin Bandar bin Umar at-Taflisi asy-Syafi’I (w. 672 H), dan Abdurrahman bin Ibrahim bin Dhiya’ al-Fazari (w. 690 H.)
Sementara dalam bidang ilmu hadits, ia berguru pada Abdurrahman bin Salim bin Yahya al-Anbari (w. 661 H), Abdul ’Aziz bin Muhammad bin Abdul Muhsin al-Anshari (w. 662 H), Khalid bin Yusuf an-Nablusi (w. 663 H), Ibrahim bin ’Isa al-Muradi (w. 668 H), Isma’il bin Abi Ishaq at-Tanukhi (w.672 H), dan Abdurrahman bin Abi Umar al-Maqdisi (w. 682 H).
Lalu dalam bidang nahwu dan bahasa, guru-gutrunya adalah Syaikh Ahmad bin Salim al-Mishri (w. 664 H), dan juga al-’Izz al-Maliki.
Adapun murid-muridnya yang kemudian menjadi ulama besar, di antaranya adalah Sulaiman bin Hilal al-Ja’fari, Ahmad Ibnu Farah al-Isybili, Muhammad bin Ibrahim bin Sa’dullah bin Jama’ah, , Syamsuddin bin an-Naqib, dan Syamsuddin bin Ja’wan, ’Ala-uddin ’Ali Ibnu Ibrahim dan masih banyak yang lainnya.
Pujian Ulama
Banyak ulama yang memberikan apresiasi tinggi kepada Imam Nawawi. Adz-Dzahabi, misalnya pernah berkata: "Imam Nawawi adalah profil manusia yang berpola hidup sangat sederhana dan anti kemewahan. Ia merupakan sosok manusia yang bertaqwa, qana’ah, wara,' memiliki muraqabatullah baik di saat sepi maupun ramai.
Ia tidak menyukai kesenangan pribadi seperti berpakaian indah, makan minum lezat, dan tampil mentereng. Makanannya hanyalah roti dengan lauk seadanya. Pakaiannya adalah pakaian yang sangat sederhana, dan alas tidurnya hanyalah kulit yang disamak. Ia selalu berusaha untuk melakukan amar ma’ruf dan nahi munkar sekalipun terhadap penguasa. Tidak jarang ia mengirimi surat para penguasa yang berisi nasihat agar berlaku adil dalam mengemban amanah kekuasaan, menghapus cukai, dan mengembalikan hak kepada ahlinya.
Adapun Abul Abbas bin Faraj pernah bertutur: "Syeikh (An-Nawawi) telah berhasil meraih 3 tingkatan yang mana 1 tingkatannya saja jika orang biasa berusaha untuk meraihnya, tentu akan merasa sulit. Tingkatan pertama adalah ilmu (yang dalam dan luas). Tingkatan kedua adalah zuhud. Dan tingkatan ketiga adalah keberanian dan kepiawaiannya dalam beramar ma’ruf nahi munkar."
Cinta Ilmu
Kalau berbicara tentang kecintaan terhadap ilmu, Imam Nawawi adalah sosok yang bisa dijadikan teladan utama. Atas kecintaannya terhadap ilmu, ia menghindari kenikmatan-kenikmatan duniawi yang secara umum manusia cenderung kepadanya .
Kenikmatan berupa makanan, misalnya. Ia tak mau aktifitas makan mengganggu kegiatan belajarnya. Dalam sehari semalam ia tidak makan kecuali sekali setelah waktu akhir isya' dan tidak minum kecuali sekali pada waktu sahur.
Ia makan roti yang dibawakan oleh ayahnya dari desa Nawa yang dibuat sendiri dan cukup untuk persediaan selama satu minggu. Ia juga tidak pernah memakan kecuali satu macam makanan seperti madu, cuka, atau minyak. Sedangkan daging, Imam Nawawi memakannya sekali dalam sebulan, dan hampir tidak pernah ia memakan makanan dengan dua lauk selama hidupnya. Baginya, makan tidak lain hanyalah untuk sekedar menjaga kesehatan tubuhnya.
Kenikmatan lain yang ia hindari dan lebih memilih belajar adalah tidur. Ia tidak pernah menyengaja tidur. Biasanya ia tertidur ketika sedang membaca buku. Itu pun setelah bangun langsung membaca lagi. Ia pernah berkata, “Apabila kantuk mengalahkan diriku maka aku bersandar pada buku sebentar lalu aku terbangun”.
Pernah suatu ketika, salah seorang temannya datang dengan membawa makanan yang masih ada kulitnya, namun ia tidak bersedia memakannya. Ia berkata, “Saya khawatir tubuh saya lembab sehingga saya tertidur”.
Bahkan, yang membuat orang terkagum-kagum atas kegigihannya dalam menuntut ilmu, yaitu ketika muridnya yang bernama ‘Ala-uddin Ibnill ‘Aththar menuturkan bahwa selama 2 tahun penuh ia tidak merebahkan badannya ke bumi, melainkan tidur bersandar pada bukunya.
Selain itu, kenikmatan lain yang ia hindari adalah menikah. Ia sebenarnya bukan tidak mau menikah apalagi menolak syariat nikah. Bahkan, dalam kitab-kitabnya juga banyak yang menyinggung masalah pernikahan. Hanya saja, ia tidak sempat memikirkannya karena besarnya rasa cinta terhadap ilmu. Oleh karena itu, ketika meninggal pada umur 45 tahun ia tetap membujang.
Karya-karyanya
Imam Nawawi merupakan ulama yang dalam usia muda, yaitu sejak berusia 30, sudah menghasilkan karya besar lintas negara dan lintas zaman. Buah karyanya tersebut hingga saat ini selalu menjadi bahan perhatian dan diskusi setiap Muslim serta selalu digunakan sebagai rujukan di hampir seluruh belantara dunia Islam.
Di dalam karya-karyanya didapati kemudahan dalam mencernanya, keunggulan dalam argumentasinya, kejelasan dalam kerangka berfikirnya serta keobjektifan dalam memaparkan pendapat-pendapat para fuqaha’.
Di antara karyanya yang berjumlah sekitar 40 tersebut ada yang telah ia selesaikan dan ada pula yang belum terselesaikan. Di antara yang telah terselesaikan adalah kitab al-Arba’in Nawawi, Syarh Shahih Muslim, ar-Raudhah (Raudhatut Thalibin), al-Minhaj, Riyadhus Shalihin, al-Adzkar, at-Tibyan, Tahir Tanbih wa Tashhth, Tahdibul Asma’ wal Lughat, Thabaqatul Fuqaha’ dan lain-lain.
Adapun yang belum terselesaikan – andaikatan ia menyelesaikannya, maka tidak ada yang bisa menandingi kitab tersebut, yakni Syarh Muhadzdzab yang bernama al-Majmu’. Ia baru menyelesaikan sampai bab riba saja. Susunannya bagus dan sangat bermanfaat serta kritis. Dalam kitab tersebut, ia mengupas fiqih madzhab Syafi’i dan yang lainnya, menerangkan hadits dengan baik, menjelaskan kalimat-kalimat asing dan perkara-perkara penting yang hanya dijumpai dalam kitab tersebut”.
Demikianlah profil Imam Nawawi, salah satu ulama kebanggan umat. Ulama yang dalam usia muda sudah menghasilkan karya-karya mendunia. Semoga kita bisa meneladaninya dalam kehidupan kita
Menjelang sholat subuh, ia meraih roti yang ia simpan dan memakannya sebagai sahur yang sekaligus menjadi makan malam serta makan siangnya. Ia sudah terbiasa berpuasa dan makan sekali dalam sehari semalam.
Kemudian pada keesokan harinya, ia semakin “gila” mengejar ilmu. Ia pelajari 12 cabang ilmu pada guru-gurunya. Tak sedikit-pun waktunya yang tersia-sia. Bahkan ketika berjalan pun ia terus mengulang-ulang ilmu yang telah dihafalnya, atau membaca buku yang ditelaahnya.
Itulah sosok Imam Nawawi, ulama yang dalam usia muda sudah menghasilkan karya-karya mendunia. Kitab-kitabnya tersebar di berbagai belahan dunia. Bahkan, sebagian dari kitab-kitab yang ditulisnya masih menjadi rujukan utama di kalangan para penuntut ilmu hingga saat ini, termasuk di berbagai pondok pesantren di Indonesia.
Rihlah Ilmiah
Imam Nawawi bernama lengkap Yahya bin Syarf bin Muriy bin Hasan bin Husain bin Muhammad bin Jam’ah bin Hizaam An-Nawawi Ad-Dimasyqiy. Ia disebut juga sebagai Abu Zakariya, padahal ia tidak mempunyai anak yang bernama Zakariya. Karena ia belum sempat menikah dan membujang hingga akhir hayatnya. Selain itu, orang-orang memberinya gelar "Muhyiddin" (orang yang menghidupkan agama). Padahal ia tidak menyukai gelar ini. Bahkan diriwayatkan ia pernah berkata: “Aku tidak akan memaafkan orang yang menggelariku Muhyiddin.” Ucapan itu tidak akan lahir lain kecuali karena sikap ketawaddu’annya.
Ulama kebanggan umat ini lahir di desa Nawa, dekat kota Damaskus (yang sekarang menjadi ibu kota Suriah) pada bulan Muharram tahun 631 H (1233 M). Kedua tempat tersebut kemudian menjadi nisbat namanya, yaitu an-Nawawi ad-Dimasyqi.
Sejak kecil Imam Nawawi dikenal sebagai anak yang cerdas dan tidak suka bermain. Pernah suatu ketika ia dipaksa bermain oleh teman-teman sebayanya. Namun ia menolak dan menangis karena paksaan tersebut. Ia lebih suka menghafalkan Al-Quran daripada memenuhi ajakan teman-temannya. Maka tidak mengherankan, sebelum baligh ia sudah hafal Al-Quran 30 juz.
Ketika Syeikh Yasin bin Yusuf Az-Zarkasyi, salah satu ulama di zamannya mengetahui hal itu, ia pun mendatangi orang tuanya. Ia berpesan bahwa anak ini diharapkan akan menjadi orang paling pintar dan paling zuhud pada masanya dan bisa memberikan manfaat yang besar kepada umat Islam. Orangtua dan gurunya pun semakin memberikan perhatian lebih kepada Imam Nawawi kecil.
Pada tahun 649 H (1251 M), yaitu ketika usianya mencapai 19 tahun, Imam Nawawi melakukan rihlah ilmiah ke kota damaskus. Di sana ia “mondok” di lembaga pendidikan al-Ruwahiyyah atas beasiswa dari lembaga tersebut. Lembaga pendidikan ini dekat dengan masjid termegah pertama di dunia, yaitu masjid Al-Jami’ Al-Umawy. Di sana ia memulai perjalanannya menuntut ilmu. Ia menghabiskan seluruh waktunya untuk menuntut ilmu sehingga ilmu pun memberikan kepadanya sebagian darinya.
Guru dan Muridnya
Imam Nawawi memiliki banyak guru dan murid. Guru-gurunya merupakan ulama yang ahli di bidangnya. Sedangkan di antara murid-muridnya banyak yang kemudian menjadi ulama besar.
Dalam bidang fiqih dan ushul fiqih, sang Imam berguru pada Ishaq bin Ahmad bin ’Utsman al-Maghribi (w. 650 H), Abdurrahman bin Nuh bin Muhammad al-Maqdisi (w. 654 H), Sallar bin aI-Hasan al-Irbali (w. 670 H), Umar bin Bandar bin Umar at-Taflisi asy-Syafi’I (w. 672 H), dan Abdurrahman bin Ibrahim bin Dhiya’ al-Fazari (w. 690 H.)
Sementara dalam bidang ilmu hadits, ia berguru pada Abdurrahman bin Salim bin Yahya al-Anbari (w. 661 H), Abdul ’Aziz bin Muhammad bin Abdul Muhsin al-Anshari (w. 662 H), Khalid bin Yusuf an-Nablusi (w. 663 H), Ibrahim bin ’Isa al-Muradi (w. 668 H), Isma’il bin Abi Ishaq at-Tanukhi (w.672 H), dan Abdurrahman bin Abi Umar al-Maqdisi (w. 682 H).
Lalu dalam bidang nahwu dan bahasa, guru-gutrunya adalah Syaikh Ahmad bin Salim al-Mishri (w. 664 H), dan juga al-’Izz al-Maliki.
Adapun murid-muridnya yang kemudian menjadi ulama besar, di antaranya adalah Sulaiman bin Hilal al-Ja’fari, Ahmad Ibnu Farah al-Isybili, Muhammad bin Ibrahim bin Sa’dullah bin Jama’ah, , Syamsuddin bin an-Naqib, dan Syamsuddin bin Ja’wan, ’Ala-uddin ’Ali Ibnu Ibrahim dan masih banyak yang lainnya.
Pujian Ulama
Banyak ulama yang memberikan apresiasi tinggi kepada Imam Nawawi. Adz-Dzahabi, misalnya pernah berkata: "Imam Nawawi adalah profil manusia yang berpola hidup sangat sederhana dan anti kemewahan. Ia merupakan sosok manusia yang bertaqwa, qana’ah, wara,' memiliki muraqabatullah baik di saat sepi maupun ramai.
Ia tidak menyukai kesenangan pribadi seperti berpakaian indah, makan minum lezat, dan tampil mentereng. Makanannya hanyalah roti dengan lauk seadanya. Pakaiannya adalah pakaian yang sangat sederhana, dan alas tidurnya hanyalah kulit yang disamak. Ia selalu berusaha untuk melakukan amar ma’ruf dan nahi munkar sekalipun terhadap penguasa. Tidak jarang ia mengirimi surat para penguasa yang berisi nasihat agar berlaku adil dalam mengemban amanah kekuasaan, menghapus cukai, dan mengembalikan hak kepada ahlinya.
Adapun Abul Abbas bin Faraj pernah bertutur: "Syeikh (An-Nawawi) telah berhasil meraih 3 tingkatan yang mana 1 tingkatannya saja jika orang biasa berusaha untuk meraihnya, tentu akan merasa sulit. Tingkatan pertama adalah ilmu (yang dalam dan luas). Tingkatan kedua adalah zuhud. Dan tingkatan ketiga adalah keberanian dan kepiawaiannya dalam beramar ma’ruf nahi munkar."
Cinta Ilmu
Kalau berbicara tentang kecintaan terhadap ilmu, Imam Nawawi adalah sosok yang bisa dijadikan teladan utama. Atas kecintaannya terhadap ilmu, ia menghindari kenikmatan-kenikmatan duniawi yang secara umum manusia cenderung kepadanya .
Kenikmatan berupa makanan, misalnya. Ia tak mau aktifitas makan mengganggu kegiatan belajarnya. Dalam sehari semalam ia tidak makan kecuali sekali setelah waktu akhir isya' dan tidak minum kecuali sekali pada waktu sahur.
Ia makan roti yang dibawakan oleh ayahnya dari desa Nawa yang dibuat sendiri dan cukup untuk persediaan selama satu minggu. Ia juga tidak pernah memakan kecuali satu macam makanan seperti madu, cuka, atau minyak. Sedangkan daging, Imam Nawawi memakannya sekali dalam sebulan, dan hampir tidak pernah ia memakan makanan dengan dua lauk selama hidupnya. Baginya, makan tidak lain hanyalah untuk sekedar menjaga kesehatan tubuhnya.
Kenikmatan lain yang ia hindari dan lebih memilih belajar adalah tidur. Ia tidak pernah menyengaja tidur. Biasanya ia tertidur ketika sedang membaca buku. Itu pun setelah bangun langsung membaca lagi. Ia pernah berkata, “Apabila kantuk mengalahkan diriku maka aku bersandar pada buku sebentar lalu aku terbangun”.
Pernah suatu ketika, salah seorang temannya datang dengan membawa makanan yang masih ada kulitnya, namun ia tidak bersedia memakannya. Ia berkata, “Saya khawatir tubuh saya lembab sehingga saya tertidur”.
Bahkan, yang membuat orang terkagum-kagum atas kegigihannya dalam menuntut ilmu, yaitu ketika muridnya yang bernama ‘Ala-uddin Ibnill ‘Aththar menuturkan bahwa selama 2 tahun penuh ia tidak merebahkan badannya ke bumi, melainkan tidur bersandar pada bukunya.
Selain itu, kenikmatan lain yang ia hindari adalah menikah. Ia sebenarnya bukan tidak mau menikah apalagi menolak syariat nikah. Bahkan, dalam kitab-kitabnya juga banyak yang menyinggung masalah pernikahan. Hanya saja, ia tidak sempat memikirkannya karena besarnya rasa cinta terhadap ilmu. Oleh karena itu, ketika meninggal pada umur 45 tahun ia tetap membujang.
Karya-karyanya
Imam Nawawi merupakan ulama yang dalam usia muda, yaitu sejak berusia 30, sudah menghasilkan karya besar lintas negara dan lintas zaman. Buah karyanya tersebut hingga saat ini selalu menjadi bahan perhatian dan diskusi setiap Muslim serta selalu digunakan sebagai rujukan di hampir seluruh belantara dunia Islam.
Di dalam karya-karyanya didapati kemudahan dalam mencernanya, keunggulan dalam argumentasinya, kejelasan dalam kerangka berfikirnya serta keobjektifan dalam memaparkan pendapat-pendapat para fuqaha’.
Di antara karyanya yang berjumlah sekitar 40 tersebut ada yang telah ia selesaikan dan ada pula yang belum terselesaikan. Di antara yang telah terselesaikan adalah kitab al-Arba’in Nawawi, Syarh Shahih Muslim, ar-Raudhah (Raudhatut Thalibin), al-Minhaj, Riyadhus Shalihin, al-Adzkar, at-Tibyan, Tahir Tanbih wa Tashhth, Tahdibul Asma’ wal Lughat, Thabaqatul Fuqaha’ dan lain-lain.
Adapun yang belum terselesaikan – andaikatan ia menyelesaikannya, maka tidak ada yang bisa menandingi kitab tersebut, yakni Syarh Muhadzdzab yang bernama al-Majmu’. Ia baru menyelesaikan sampai bab riba saja. Susunannya bagus dan sangat bermanfaat serta kritis. Dalam kitab tersebut, ia mengupas fiqih madzhab Syafi’i dan yang lainnya, menerangkan hadits dengan baik, menjelaskan kalimat-kalimat asing dan perkara-perkara penting yang hanya dijumpai dalam kitab tersebut”.
Demikianlah profil Imam Nawawi, salah satu ulama kebanggan umat. Ulama yang dalam usia muda sudah menghasilkan karya-karya mendunia. Semoga kita bisa meneladaninya dalam kehidupan kita
Umar bin Khaththab, Khalifah Penjaga Pasar
HARGA-harga
komoditi pangan di Indonesia sering tak terkontrol. Suatu saat
melambung tinggi, di saat lain anjlok mencapai titik terendah. Bawang
merah misalnya, harganya pernah mencapai puluhan ribu per kilo, tapi
saat tiba waktu panen turun drastis. Saking rendahnya harga itu, para
petani di Nganjuk, Jawa Timur pernah lebih memilih membakar barangnya
daripada menjualnya.
Tidak terkontrolnya harga-harga tersebut karena begitu lemahnya peran pemerintah. Saking lemahnya, adanya pemerintah itu seperti tidak ada. Sebagian orang bilang, peran pemerintah memang dibatasi. Pemerintah tidak boleh intervensi soal harga. Harga lebih diserahkan kepada mekanisme pasar. Namun bila harga-harga melangit sehingga mencekik rakyat, pemerintah mestinya punya kewenangan mengontrol harga.
Seperti pendapat sebagian besar ulama, dalam kasus tertentu -walau mereka berpendapat sebaiknya harga memang ditentukan oleh pasar- pemerintah berhak mengontrol harga, demi melindungi rakyat. Karena dalam banyak kasus, melambungkan harga-harga itu bukan semata mekanisme pasar, melainkan lantaran ulah para tengkulak.
Dalam sejarah Islam, orang yang pertama kali turut campur menentukan harga di pasar adalah ‘Umar bin Khaththab, saat beliau menjabat khalifah. Sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang dikenal tegas ini punya perhatian besar kepada pasar. Sebab, pasar adalah jantung ekonomi suatu masyarakat (negara). Berangkat dari kepentingan ini, sekalipun khalifah, ‘Umar merasa perlu turun sendiri ke pasar-pasar melakukan pengawasan. Bila melihat penyimpangan beliau langsung meluruskan.
Dari Sa’id bin Al-Musayyib diriwayatkan, ‘Umar bertemu Hathib bin Abi Balta’ah yang sedang menjual kismis di pasar. ‘Umar berkata, “Kamu tambah harganya atau angkat dari pasar kami.”
Riwayat lain, dari Yahya bin Abdul Rahman bin Hathib. Dia berkata, “Ayahku dan ‘Utsman bin ‘Affan adalah dua sekutu yang mengambil kurma dari Al-Aliyah ke pasar. Mereka kemudian bertemu dengan ‘Umar. “Wahai Ibnu Abi Balta’ah, tambahlah harganya, apabila tidak, maka keluarlah dari pasar kami,” kata Umar.
Riwayat di atas menunjukkan bahwa ‘Umar begitu peduli dengan harga-harga yang berkembang di pasar. Beliau melarang menurunkan harga. Harga yang terlalu murah sepintas memang menguntungkan konsumen. Namun sesungguhnya dalam jangka panjang itu bakal menghancurkan kepentingan yang lebih besar, yakni kepentingan penjual maupun kepentingan pembeli itu sendiri.
Harga yang terlalu murah, membuat para pedagang enggan berjualan karena keuntungannya terlalu sedikit. Tidak sepadan dengan jerih payah dan modal yang dikeluarkan. Bila pedagang enggan berjualan, pada akhirnya tentu bakal mempengaruhi persedian barang. Saat persedian barang sedikit, sementara di sisi lain permintaan bertambah, yang terjadi kemudian harga melambung tinggi. Nah, ini tentu tidak menguntungkan bagi masyarakat banyak.
Karena itu, di samping melarang menurunkan harga, ‘Umar memerintahkan pedagang menjual sesuai harga pasar. Ada riwayat yang menunjukkan hal tersebut. Diriwayatkan, seorang laki-laki datang membawa kismis dan menaruhnya di pasar. Lalu dia menjual tidak dengan harga pasar. Tidak jelas di riwayat ini apakah pria itu menjual di bawah harga pasar atau justru di atasnya. Yang jelas ‘Umar berkata, “Juallah dengan harga pasar atau kamu pergi dari pasar kami. Sesungguhnya kami tidak memaksamu dengan satu harga.”
Sebagian ulama menganggap apa yang dilakukan ‘Umar tersebut bertentangan dengan ketentuan Rasulullah. Abu Dawud dan At-Tirmidzi mengisahkan, suatu hari harga-harga barang naik. Sebagian umat Islam lalu mendatangi Rasulullah, minta beliau menentukan harga. Tapi Nabi tidak bersedia. Beliau hanya berdoa, “Aku berdoa agar Allah menghilangkan mahalnya harga dan meluaskan rezeki.” Rasulullah memberi alasan kenapa menolak menentukan harga, “Sesungguhnya Allah, Dialah yang menentukan harga, yang Maha Menahan, Maha Meluaskan lagi Maha Memberi rezeki. Dan aku berharap bertemu Allah dan tidak ada seorang dari kalian meminta pertanggungjawabanku atas kezaliman dalam darah dan harta.”
Ulama lain, seperti Jaribah bin Ahmad Al-Haritsi berpendapat sebaliknya. Seperti ditulis dalam bukunya, Al Fiqh Al Iqtishadi Lil Amiril Mukminin Umar ibnu Al Khathab (diterjemahkan penerbit Khalifa dengan judul Fiqih Ekonomi Umar bin Khathab), menurut Jaribah apa yang dilakukan Umar tidak bertentangan dengan Hadits Nabi di atas. Jaribah punya dua alasan.
Pertama, naiknya harga pada zaman Nabi tersebut akibat fluktuasi dari persediaan dan permintaan barang. Artinya, harga naik karena persediaan barang sedikit sementara permintaan banyak. Karena itu Rasulullah enggan menetapkan harga. Memperkuat pendapatnya, Jaribah mengutip pendapatnya Ibnu Taimiyah. Syaikhul Islam ini berpendapat, membuat dalil berdasarkan Hadits yang menunjukkan keengganan Nabi menentukan harga, untuk membuktikan dilarangnya penentuan harga secara mutlak adalah kesalahan. “Ini adalah kasus khusus, bukan umum,” kata Ibnu Taimiyah.
Kedua, masih kata Jaribah, ‘Umar tidak membatasi harga tertentu, misalnya dengan nominal tertentu. ‘Umar hanya minta pedagang menjual dengan harga pasar. Di antara dalil yang menunjukkan ‘Umar benar-benar menjaga harga pasar adalah saat beliau memerintahkan Hathib untuk masuk ke rumahnya dan menjual kismisnya sebagaimana kehendaknya. Sebab, berjualan di rumah jauh dari penglihatan penjual dan pembeli, sehingga tidak mempengaruhi harga di pasar.
Sekalipun sikap ‘Umar tegas dalam menjaga harga pasar, namun beliau tidak kaku. Pada kasus tertentu pedagang boleh menjual barangnya di luar harga pasar.
Itu pernah dialami Al-Miswar bin Makhramah. Ia menjual makanan dengan harga modalnya atau tanpa keuntungan. ‘Umar heran dengan apa yang dilakukan Miswar tersebut, “Apakah kamu gila, wahai Miswar?”
Miswar menjawab, “Demi Allah, tidak wahai Amirul Mukminin. Tetapi aku melihat mendung musim gugur. Aku benci menahan apa yang bermanfaat bagi manusia.” Mendengar jawaban Miswar tersebut, ‘Umar segera menyahut, “Semoga Allah membalasmu dengan kebaikan.”
Tetapi jika penyimpangan harga, baik turun maupun naik yang terlalu ekstrim karena ulah pedagang, misalnya monopoli, maka menurut Jaribah, negara mesti bertindak demi kemaslahatan semua orang.
Kesimpulannya, bila terjadi pergerakan harga, baik naik maupun turun, akibat fluktuasi persediaan dan permintaan barang dalam keadaan normal, maka penentuan harga dalam keadaan seperti ini tidak diperbolehkan. Penetapan harga di saat keadaan normal, dianggap sebagai kezaliman kepada rakyat yang menyebabkan penguasa harus mempertanggungjawabkan pada Hari Kiamat kelak. */Bambang Subagyo
Tidak terkontrolnya harga-harga tersebut karena begitu lemahnya peran pemerintah. Saking lemahnya, adanya pemerintah itu seperti tidak ada. Sebagian orang bilang, peran pemerintah memang dibatasi. Pemerintah tidak boleh intervensi soal harga. Harga lebih diserahkan kepada mekanisme pasar. Namun bila harga-harga melangit sehingga mencekik rakyat, pemerintah mestinya punya kewenangan mengontrol harga.
Seperti pendapat sebagian besar ulama, dalam kasus tertentu -walau mereka berpendapat sebaiknya harga memang ditentukan oleh pasar- pemerintah berhak mengontrol harga, demi melindungi rakyat. Karena dalam banyak kasus, melambungkan harga-harga itu bukan semata mekanisme pasar, melainkan lantaran ulah para tengkulak.
Dalam sejarah Islam, orang yang pertama kali turut campur menentukan harga di pasar adalah ‘Umar bin Khaththab, saat beliau menjabat khalifah. Sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang dikenal tegas ini punya perhatian besar kepada pasar. Sebab, pasar adalah jantung ekonomi suatu masyarakat (negara). Berangkat dari kepentingan ini, sekalipun khalifah, ‘Umar merasa perlu turun sendiri ke pasar-pasar melakukan pengawasan. Bila melihat penyimpangan beliau langsung meluruskan.
Dari Sa’id bin Al-Musayyib diriwayatkan, ‘Umar bertemu Hathib bin Abi Balta’ah yang sedang menjual kismis di pasar. ‘Umar berkata, “Kamu tambah harganya atau angkat dari pasar kami.”
Riwayat lain, dari Yahya bin Abdul Rahman bin Hathib. Dia berkata, “Ayahku dan ‘Utsman bin ‘Affan adalah dua sekutu yang mengambil kurma dari Al-Aliyah ke pasar. Mereka kemudian bertemu dengan ‘Umar. “Wahai Ibnu Abi Balta’ah, tambahlah harganya, apabila tidak, maka keluarlah dari pasar kami,” kata Umar.
Riwayat di atas menunjukkan bahwa ‘Umar begitu peduli dengan harga-harga yang berkembang di pasar. Beliau melarang menurunkan harga. Harga yang terlalu murah sepintas memang menguntungkan konsumen. Namun sesungguhnya dalam jangka panjang itu bakal menghancurkan kepentingan yang lebih besar, yakni kepentingan penjual maupun kepentingan pembeli itu sendiri.
Harga yang terlalu murah, membuat para pedagang enggan berjualan karena keuntungannya terlalu sedikit. Tidak sepadan dengan jerih payah dan modal yang dikeluarkan. Bila pedagang enggan berjualan, pada akhirnya tentu bakal mempengaruhi persedian barang. Saat persedian barang sedikit, sementara di sisi lain permintaan bertambah, yang terjadi kemudian harga melambung tinggi. Nah, ini tentu tidak menguntungkan bagi masyarakat banyak.
Karena itu, di samping melarang menurunkan harga, ‘Umar memerintahkan pedagang menjual sesuai harga pasar. Ada riwayat yang menunjukkan hal tersebut. Diriwayatkan, seorang laki-laki datang membawa kismis dan menaruhnya di pasar. Lalu dia menjual tidak dengan harga pasar. Tidak jelas di riwayat ini apakah pria itu menjual di bawah harga pasar atau justru di atasnya. Yang jelas ‘Umar berkata, “Juallah dengan harga pasar atau kamu pergi dari pasar kami. Sesungguhnya kami tidak memaksamu dengan satu harga.”
Sebagian ulama menganggap apa yang dilakukan ‘Umar tersebut bertentangan dengan ketentuan Rasulullah. Abu Dawud dan At-Tirmidzi mengisahkan, suatu hari harga-harga barang naik. Sebagian umat Islam lalu mendatangi Rasulullah, minta beliau menentukan harga. Tapi Nabi tidak bersedia. Beliau hanya berdoa, “Aku berdoa agar Allah menghilangkan mahalnya harga dan meluaskan rezeki.” Rasulullah memberi alasan kenapa menolak menentukan harga, “Sesungguhnya Allah, Dialah yang menentukan harga, yang Maha Menahan, Maha Meluaskan lagi Maha Memberi rezeki. Dan aku berharap bertemu Allah dan tidak ada seorang dari kalian meminta pertanggungjawabanku atas kezaliman dalam darah dan harta.”
Ulama lain, seperti Jaribah bin Ahmad Al-Haritsi berpendapat sebaliknya. Seperti ditulis dalam bukunya, Al Fiqh Al Iqtishadi Lil Amiril Mukminin Umar ibnu Al Khathab (diterjemahkan penerbit Khalifa dengan judul Fiqih Ekonomi Umar bin Khathab), menurut Jaribah apa yang dilakukan Umar tidak bertentangan dengan Hadits Nabi di atas. Jaribah punya dua alasan.
Pertama, naiknya harga pada zaman Nabi tersebut akibat fluktuasi dari persediaan dan permintaan barang. Artinya, harga naik karena persediaan barang sedikit sementara permintaan banyak. Karena itu Rasulullah enggan menetapkan harga. Memperkuat pendapatnya, Jaribah mengutip pendapatnya Ibnu Taimiyah. Syaikhul Islam ini berpendapat, membuat dalil berdasarkan Hadits yang menunjukkan keengganan Nabi menentukan harga, untuk membuktikan dilarangnya penentuan harga secara mutlak adalah kesalahan. “Ini adalah kasus khusus, bukan umum,” kata Ibnu Taimiyah.
Kedua, masih kata Jaribah, ‘Umar tidak membatasi harga tertentu, misalnya dengan nominal tertentu. ‘Umar hanya minta pedagang menjual dengan harga pasar. Di antara dalil yang menunjukkan ‘Umar benar-benar menjaga harga pasar adalah saat beliau memerintahkan Hathib untuk masuk ke rumahnya dan menjual kismisnya sebagaimana kehendaknya. Sebab, berjualan di rumah jauh dari penglihatan penjual dan pembeli, sehingga tidak mempengaruhi harga di pasar.
Sekalipun sikap ‘Umar tegas dalam menjaga harga pasar, namun beliau tidak kaku. Pada kasus tertentu pedagang boleh menjual barangnya di luar harga pasar.
Itu pernah dialami Al-Miswar bin Makhramah. Ia menjual makanan dengan harga modalnya atau tanpa keuntungan. ‘Umar heran dengan apa yang dilakukan Miswar tersebut, “Apakah kamu gila, wahai Miswar?”
Miswar menjawab, “Demi Allah, tidak wahai Amirul Mukminin. Tetapi aku melihat mendung musim gugur. Aku benci menahan apa yang bermanfaat bagi manusia.” Mendengar jawaban Miswar tersebut, ‘Umar segera menyahut, “Semoga Allah membalasmu dengan kebaikan.”
Tetapi jika penyimpangan harga, baik turun maupun naik yang terlalu ekstrim karena ulah pedagang, misalnya monopoli, maka menurut Jaribah, negara mesti bertindak demi kemaslahatan semua orang.
Kesimpulannya, bila terjadi pergerakan harga, baik naik maupun turun, akibat fluktuasi persediaan dan permintaan barang dalam keadaan normal, maka penentuan harga dalam keadaan seperti ini tidak diperbolehkan. Penetapan harga di saat keadaan normal, dianggap sebagai kezaliman kepada rakyat yang menyebabkan penguasa harus mempertanggungjawabkan pada Hari Kiamat kelak. */Bambang Subagyo
Langganan:
Postingan (Atom)