RASULULLAH
Shalallahu 'alaihi wa sallam pernah berkata bahwa orang-orang yang
paling pertama dan utama masuk Islam ada empat. Pertama, Rasullulah
sendiri, sebagai tokoh dari Arab. Kedua, Shuhaib bin Sinan sebagai tokoh
dari Romawi. Ketiga, Bilal sebagai tokoh dari Abyssina. Dan keempat,
Salman al-Farisi sebagai tokoh dari Farsi.
Shuhaib bin Sinan
memang berasal dari Romawi. Bahkan, nama al-Rumi yang kerap digandengkan
kepada namanya berasal dari kata Romawi. Namun, catatan sejarah
menunjukkan, nenek moyang Shuhaib sebetulnya berasal dari Arab, dan
merupakan keluarga terhormat.
Nenek moyang Shuhaib pindah ke
Iraq jauh sebelum datangnya Islam. Di negeri ini, ayah Shuhaib diangkat
menjadi hakim dan walikota oleh Kisra, Raja Persia . Shuhaib dan
orangtuanya tinggal di istana yang terletak di pinggir sungai Eufrat ke
arah hilir Jazirah dan Mosul . Mereka hidup dalam keadaan senang dan
bahagia.
Suatu ketika datang orang-orang Romawi menyerbu dan
menawan sejumlah penduduk, termasuk Shuhaib. Setelah ditawan, Shuhaib
dijualbelikan sebagai budak dari satu saudagar ke saudagar lain. Ia
menghabiskan masa kanak-kanak dan permulaan masa remaja di Romawi
sebagai budak. Akibatnya, dialeknya pun sudah seperti orang Romawi.
Pengembaraannya
yang panjang sebagai budak akhirnya berakhir di Makkah. Majikannya yang
terakhir membebaskan Shuhaib karena melihat kecerdasan, kerajinan, dan
kejujuran Shuhaib. Bahkan, sang majikan memberikan kesempatan kepadanya
untuk berniaga bersama.
Memeluk Islam
Perihal keislaman
Shuhaib, diceritakan oleh sahabatnya, 'Ammar bin Yasir. Suatu ketika,
'Ammar berjumpa Shuhaib di muka pintu rumah Arqam bin Abu Arqam. Saat
itu Rasulullah masih berdakwah secara sembunyi-sembunyi di rumah
tersebut.
“Kamu mau kemana?” tanya `Amar.
Shuhaib balik bertanya, “Dan kamu hendak kemana?”
“Aku mau menjumpai Rasulullah untuk mendengarkan ucapannya,” jawab 'Ammar.
“Aku juga mau menjumpainya,” ujar Shuhaib pula.
Lalu
mereka masuk ke dalam rumah Arqam menemui Rasulullah. Keduanya
mendengar secara khidmat penjelasan tentang aqidah Islam hingga petang
hari. Setelah itu, keduanya menyatakan diri memeluk Islam. Secara
sembunyi-sembunyi mereka kemudian keluar dari rumah itu.
Hijrah
Ketika
Rasulullah hendak berhijrah ke Madinah, Shuhaib ikut serta. Ada yang
mencatat bahwa Shuhaib telah menyembunyikan segala emas, perak, dan
kekayaan yang dimilikinya sebagai hasil perniagaan bertahun-tahun di
Makkah sebelum pergi hijrah. Catatan lain menyebutkan bahwa harta
tersebut hendak ia bawa ke Madinah.
Rencananya, Shuhaib akan
menjadi orang ketiga yang akan berangkat ke Madinah setelah Rasulullah
dan Abu Bakar. Namun, orang-orang Quraisy telah mengetahui rencana
tersebut. Mereka mengatur segala persiapan guna menggagalkannya.
Ketika
hijrah akan dilakukan, pasukan Quraisy menyerbu. Malang nasib Shuhaib.
Ia masuk perangkap dan tertawan. Akibatnya, kepergian Shuhaib ke Madinah
tertunda, sementara para sahabat yang lain bisa meloloskan diri.
Saat
orang-orang Quraisy lengah, Shuhaib langsung naik ke punggung unta dan
memacu sekencang-kencangnya menuju gurun yang luas. Tentara Quraisy
segera memburu dan hampir berhasil menyusulnya. Tiba-tiba Shuhaib
berhenti dan berteriak:
“Hai orang-orang Quraisy, kalian
mengetahui bahwa aku adalah ahli panah yang paling mahir. Demi Allah,
kalian tak akan berhasil mendekatiku sebelum kulepaskan semua anak panah
yang berada dalam kantong ini. Dan setelah itu aku akan menggunakan
pedang untuk menebas kalian sampai senjata di tangan ini habis semua.
Nah, majulah ke sini kalau kalian berani! Tetapi kalau kalian setuju,
aku akan tunjukkan tempat penyimpanan harta benda milikku asal kalian
membiarkan aku pergi.”
Ibnu Mardaweh meriwayatkan dari Utsman
an-Nahdiy dari Shuhaib bahwa pasukan Quraisy saat itu berkata, “Hai
Shuhaib, dulu kamu datang kepada kami tanpa harta. Sekarang kamu hendak
pergi hijrah sambil membawa pergi hartamu? Hal ini tidak boleh terjadi.”
“Apakah kalian menerima tawaranku?”
Tentara
Quraisy akhirnya tertarik dan sepakat untuk melepaskan Shuhaib
sekaligus menerima imbalan harta. Reputasi Shuhaib sebagai orang jujur
selama ini telah membuat tentara Quraisy itu percaya bahwa Shuhaib tak
akan berbohong.
Setelah kaum Quraisy balik arah, lalu
melanjutkan perjalanan seorang diri hingga menyusul Rasulullah yang
sedang berada di Quba’.
Waktu itu Rasulullah sedang duduk
dikelilingi para sahabat. Ketika mendengar salam dari Shuhaib, Nabi
langsung berseru gembira, “Beruntung perdaganganmu, hai Abu Yahya!”
Ucapan itu diulangnya sampai dua kali.
Beberapa saat kemudian
turunlah Surat Al-Baqarah ayat 207. Ibnu Abbas, Anas bin Musayyab, Abu
Utsman an-Nahdiy, Ikrimah, dan yang lain berkata, ayat ini diturunkan
Allah Subhanahu wa Ta’ala berkenaan dengan peristiwa yang menimpa
Shuhaib. Sementara kebanyakan ulama berpendapat, ayat ini umum untuk
setiap mujahid yang berperang di jalan Allah, seperti halnya fiman Allah
dalam Surat at-Taubah ayat 111: “Sesungguhnya Allah telah membeli dari
orang-orang mukmin diri dan harta mereka. Mereka berperang pada jalan
Allah; lalu mereka membunuh atau terbunuh. (Itu telah menjadi) janji
benar Allah dalam Taurat, Injil, dan Al-Qur`an. Dan siapakah yang lebih
menepati janjinya (selain Allah)? Maka bergembiralah dengan jual-beli
yang kamu lakukan itu, dan itulah kemenangan yang besar.”
Sebuah
catatan menunjukkan, Shuhaib baru mengetahui turunnya ayat mengenai
dirinya setelah bertemu Umar bin Khattab dan kawan-kawannya di Tharf
al-Hurrah. Mereka berkata pada Shuhaib, “Perniagaanmu beruntung.”
“Kalian
sendiri bagaimana? Saya tidak merugikan perniagaanmu di jalan Allah.
Apa yang kalian maksud dengan perniagaanku beruntung?” tanya Shuhaib.
Para sahabat kemudian memberitahu bahwa Allah telah menurunkan ayat yang berkaitan dengan dia.
Pendamping Setia
Setelah hijrah, Shuhaib menjadi pendamping setia Rasulullah. Ia dikenal berani dan andal menggunakan lembing dan panah.
Shuhaib
pernah berkata, “Tidak ada sesuatu peperangan yang dilakukan Rasulullah
dengan pihak lain yang aku tidak ada di sampingnya. Tidak pernah suatu
perjanjian yang dibuat Rasulullah dengan pihak lain yang aku tidak ada
di sampingnya. Tidak pernah suatu angkatan perang yang disiapkan oleh
Rasulullah untuk pergi bertempur yang aku tidak ada di dalamnya. Tidak
ada sesuatu peperangan yang sedang berkecamuk yang aku tidak ada di
kanan kiri baginda. Tidak pernah terjadi sesuatu persiapan untuk
mengirim bantuan yang aku tidak hadir di tempat itu. Pendek kata, aku
adalah orang yang berdiri di tengah-tengah antara musuh dan Rasulullah.”
Setelah
Rasulullah wafat, Shuhaib menyumbangkan baktinya kepada Sayyidina Abu
Bakar dan Sayyidina Umar bin Khaththab ketika keduanya menjadi khalifah.
Ketika Umar ditikam dari belakang saat memimpin shalat Shubuh, Shuhaib
langsung ditunjuk sebagai pengganti imam.
Kata Umar, “Shalatlah
kalian bersama Shuhaib.” Padahal saat itu kaum Muslimin belum memutuskan
siapakah yang bakal menggantikan Umar sebagai khalifah.
Selanjutnya,
Umar berkata, “Jangan kalian takut kepada Shuhaib karena dia seorang
maula (hamba yang dimerdekakan). Dia tidak akan memperebutkan jabatan
khalifah ini.”*