DALAM Islam, tidak ada satupun aspek yang tidak terkait dengan ketuhanan. Termasuk dalam etika pertemanan (al-suhbah). Imam al-Ghazali menyebutnya -- pertemanan yang baik -- sebagai salah satu rukun agama. Dikatakannya, bahwa agama (al-din) itu sesungguhnya safar (berpergian) menuju Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dan salah satu pilar ber-safar adalah berbaik hati ketika berteman (Al-Ghazali, al-Arba’in fi Ushul al-Din,84).
Karena menjadi rukun agama, maka pertemanan yang baik (husnu al-suhbah)
itu termasuk menjadi faktor baik tidaknya kualitas keberagamaan seorang
muslim. Oleh sebab, itu ia --husnu al-suhbah -- menjadi tanda pengenal
seorang mu’min.
Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Bukan dari golongan kami orang yang tidak mengasihi anak-anak kecil kami dan tidak menghormati orang-orang yang tua kami.” (HR. Bukhori).
Artinya,
Rasulullah mendiskualifikasi orang-orang yang tidak berbuat baik
terhadap anak-anak kecil dan orang yang tua. Bukan mendiskualifikasi
keluar dari keislamannya, akan tetapi keluar dari akhlak sebagai seorang
yang menyatakan diri umat Rasulullah. Seorang muslim sejati itu pasti
berbuat baik kepada mereka. Jika tidak, keislamanya belum sempurna.
Sebagai
salah satu rukun agama, maka perintah husnu al-suhbah itu tidak
sembarangan. Ada aturan dan etikanya. Agar supaya pilar itu kokoh, tidak
rapuh. Kuat dan tidak mudah digoyang godaan. Maka, pilar itu mesti
diisi dengan sesuatu yang menguatkannya.
Sehingga hunsnu al-suhbah itu wajib dijalin kerena Allah bukan yang lain. Rasulullah bersabda: “7
golongan yang akan mendapatkan naungan pada saat di mana tidak ada
naungan kecuali naungan Allah : Pemimpin yang adil, pemuda yang tumbuh
dalam ibadah kepada Allah, seseorang yang hatinya senantiasa terkait
dengan masjid, dua orang yang saling cinta karena Allah, bersatu dan
berpisah di atasnya, seseorang yang diajak berzina oleh seorang wanita
yang memiliki kedudukan dan kecantikan namun pemuda tersebut berkata,
‘Aku takut kepada Allah, seseorang yang bersedekah dan ia menyembunyikan
sedekahnya hingga tangan kirinya tidak mengetahui apa yang diinfaqkan
tangan kanannya, serta seseorang yang berdzikir kepada Allah sendirian
hingga meneteskan air mata.” (HR.Bukhari Muslim).
Sahabat
Mu’adz bin Jabal pernah mendengar nasihat dari Nabi tentang keutamaan
menyambung persahabatan karena Allah. Diceritakan Mu’adz, bahwa
orang-orang muslim yang mengikat persahabatan dan silaturahmi karena
Allah dan saling mencintai di antara mereka akan mendapatkan cinta Allah
di akhirat kelak. (HR. Ahmad).
Ini menjunjukkan memang husnu al-suhbah itu ajaran yang cukup agung dalam Islam. Betapa tidak, ia menjadi rukun agama, tanda keimanan dan faktor kebahagiaan di akhirat.
Maka,
persahabatan yang baik sesama Muslim itu dibangun bukan untuk
tujuan-tujuan yang sifatnya materialis dan sementara. Bukan untuk
mendapatkan manfaat dunia, materi, jabatan atau sejenisnya. Persahabatan
untuk tujuan-tujuan ini sifatnya rapuh dan mudah runtuh. Karena
sifatnya sementara dan sekedar memenuhi hasrat nafsu pribadi. Jika --
dalam persahbatan itu -- kepuasannya habis, maka persahabatannya
terancam putus. Makanya persahabatan dengan niat yang ini bukan disebut husnu al-suhbah. Husnu al-Suhbah itu persahabatan yang dijalin dengan iman.
Jalinan dalam husnu al-suhbah itu
merupakan jalinan rabbaniyyah, maka janganlah memilih teman secara
sembarangan. Pilihlah yang bisa membimbing iman. Rasulullah telah
memberi petunjuk agar tidak berteman duduk kecuali dengan teman yang
memberi manfaat agama. Dan diperintah untuk berhati-hati berkawan dengan
orang yang mengabaikan perintah agama (ahl al-ghoflah).
Rasulullah bersabda: “Bersendirian
itu lebih baik daripada berteman duduk dengan orang jahat. Berteman
dengan orang sholih itu lebih baik daripada bersendirian.” (HR. al-Hakim dan Baihaqi).
Dijelaskan
oleh Imam al-Ghazali bahwa hadis tersebut di atas melarang untuk
berkawan dengan orang yang melalaikan perintah agama. Bahwa
sering-sering duduk-duduk bersama mereka bisa mengerus agama.
Rasulullah bersabda: “Seseorang tergantung atas agama temannya, maka hendaknya salah seorang kalian meneliti siapa yang dijadikan sebagai temannya.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud).
Imam
al-Ghazali menggambarkan seseorang yang berkawan akrab dengan mereka
sama dengan orang yang benang bajunya terlepas satu persatu. Atau
digamparkan seperti bulu jenggotnya terlepas satu persatu. Jika
terus-terusan, maka bajunya sudah tidak berbentuk lagi kerena benangnya
habis, atau bulu jenggotnya hilang seperti dicukur habis. Orang yang
melepas benang dan mencabut bulu itu digambarkan sebagai teman yang ahl
al-ghoflah. Artinya, jika terus-menerus berkawan akrab dengan mereka,
maka iman kita akan luntur.
Karena begitu penting, maka menjalin husnu al-suhbah ada etikanya. Di antaranya, hendaklah tawadlu dengan teman sesama Muslim, jangan menunjukkan sikap bangga diri, sombong dan hasud, sebab akan merusak jalinan bersahabatan. Jangan sampai tidak menyapa lebih dari tiga hari. Rasulullah memperingatkan: “Tidak dihalalkan bagi seorang muslim tidak menyapa saudara (sesama muslim) lebih dari tiga hari.” (HR. Bukhari Muslim).
Hidari sikap menghibah apalagi mengadu domba. Rasulullah bersabda, “Jangan
kalian saling dengki, saling benci, saling menjerumuskan, saling
membelakangi dan jangan sebagian kalian menggunjing sebagian yang lain.
Jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara.” (HR Bukhari dan Muslim).
Kepada
teman, juga disunnahkan untuk selalu mengucapkan salam dan bersalaman
ketika bertemu. Dan diutamakan kita memulai dulu mengucapkannya. Jika
sakit, kita jenguk. Mendoakan dan memberi hadiah.
Mendoakan teman
dianjurkan tidak didepannya, tapi yang utama mendoakannya ketika tidak
dihadapan teman. Saling menasihati dengan kata santun dan penuh
kecintaan.
Jika melakukan kesalahan, maka ingatkan dengan baik tanpa rasa membenci. Allah berfirman:
فَاصْفَحِ الصَّفْحَ الْجَمِيلَ
“Maka maafkanlah (mereka) dengan cara yang baik.” (QS. Al-Hijr: 85).
Jadi, pertemanan itu menjadi nilai ibadah jika diniati dan dijalin
sesuai dengan perintah agama. Pertemanan akan sia-sia jika sekedar untuk
mencari kesenangan sementara atau kepuasan sesaat. Jalinan ini akan
menjadi penguat iman kita bila dijalin berdasarkan ilmu bukan nafsu.
Oleh sebab itu, jangan sembarangan teman, pilihlah yang beriman.*/Kholili Hasib