TAK
satu pun manusia bisa hidup tanpa seorang sahabat. Selama masih ada
kehidupan sepanjang itu setiap manusia memerlukan yang namanya sahabat.
Jadi benar juga ungkapan yang mengatakan bahwa satu musuh itu sudah
cukup banyak dan seribu sahabat itu masih kurang. Apalagi kita ingin
mewujudkan cita-cita mulia demi agama. Tentu kita sangat membutuhkan
sahabat.
Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wassalamsaw pun memiliki
banyak sahabat, yang empat di antaranya adalah sahabat yang paling
utama. Mereka adalah Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, dan
Ali bin Abi Thalib.
Sebagai seorang Muslim tentu kita memerlukan sahabat untuk mencapai
visi dan tujuan hidup di dunia ini. Dalam sejarah pun dijabarkan bahwa
ada di antara para nabi yang dalam dakwahnya ditemani oleh seorang
sahabat. Lihatlah seperti Nabi Musa bersama Nabi Harun, Nabi Isa dengan
Hawariyyun, dan Nabi Muhammad dengan empat sahabat utamanya.
Namun demikian, terkadang sebagian manusia keliru dalam memilih
sahabat. Hal itu karena di antaranya ada yang masih belum memiliki
tujuan hidup yang jelas. Makanya ada yang terlibat pergaulan bebas,
narkoba, bahkan bunuh diri, yang semua itu dikarenakan peran besar
sahabatnya sendiri.
Karena begitu besarnya peran seorang sahabat dalam diri seseorang,
sudah selayaknya kita mencari sahabat yang baik, setia, abadi selamanya.
Mungkinkah itu? Ya, menurut Abu A’la Al-Maududi itu sangat mungkin, dan
sahabat itu telah lama menantikan kehadiran kita. Siapa dia? Dialah
Allah Subhanahu wa-ta'ala (سبحانه و تعالى).
Menjadi sahabat Allah, wah luar biasa. Itulah yang hari ini mesti
kita upayakan secara bersama-sama. Bayangkan bila sebagian besar umat
Islam di negeri ini berhasil menjadi sahabat Allah, pasti sangat luar
biasa. Tapi apakah mungkin kita bisa menjadi sahabat Allah Subhanahu
wa-ta'ala (سبحانه و تعالى)?
Dalam bukunya "Let Us be Muslims", intelektual Muslim asal
Pakistan itu memberikan beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh setiap
Muslim untuk bisa menjadi sahabat Allah.
Pertama, jadilah Muslim yang berjiwa besar. Dalam
konteks ini Abu A’la menjabarkan agar seorang Muslim menghindar dari
sifat kikir dan pelit. Muslim yang mampu memelihara diri dari sifat
tercela itu maka dia telah layak disebut sebgai sahabat Allah yang akan
mendapat keuntungan.
مَنْ
هَاجَرَ إِلَيْهِمْ وَلَا يَجِدُونَ فِي صُدُورِهِمْ حَاجَةً مِّمَّا
أُوتُوا وَيُؤْثِرُونَ عَلَى أَنفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ
وَمَن يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُوْلَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
“Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang orang yang beruntung.” (QS. 59 : 9).
Kedua, jadilah Muslim yang memiliki sifat murah
hati. Menurutnya setiap Muslim harus murah hati. Kebesaran hati akan
mengatasi perasaan diri kita, mengatasi kebencian terhadap borok-borok
dan penghinaan. Jika seseorang membuat kita sedih atau merugikan kita,
jangan sampai perbuatannya itu menyebabkan kita menolak untuk memberinya
makanan atau pakaian. Juga jangan sampai hal itu membuat kita ragu-ragu
memberikan bantuan kepadanya ketika ia berada dalam kesulitan.
وَلَا
يَأْتَلِ أُوْلُوا الْفَضْلِ مِنكُمْ وَالسَّعَةِ أَن يُؤْتُوا أُوْلِي
الْقُرْبَى وَالْمَسَاكِينَ وَالْمُهَاجِرِينَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ
وَلْيَعْفُوا وَلْيَصْفَحُوا أَلَا تُحِبُّونَ أَن يَغْفِرَ اللَّهُ لَكُمْ
وَاللَّهُ غَفُورٌ رَّحِيمٌ
“Dan janganlah orang-orang
yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa
mereka (tidak) akan memberi (bantuan) kepada kaum kerabat(nya),
orang-orang yang miskin dan orang-orang yang berhijrah pada jalan Allah,
dan hendaklah mereka mema'afkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak
ingin bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang.” (QS 24 : 22).
Ketiga,
jangan egois. Sikap egois harus dihindari dan dibuang jauh dalam diri
setiap Muslim. Egois itu menurut Abu A’la Al-Maududi adalah suka
berharap imbalan dan senang membebani orang lain.
وَيُطْعِمُونَ الطَّعَامَ عَلَى حُبِّهِ مِسْكِيناً وَيَتِيماً وَأَسِيراً
إِنَّمَا نُطْعِمُكُمْ لِوَجْهِ اللَّهِ لَا نُرِيدُ مِنكُمْ جَزَاء وَلَا شُكُوراً
“Dan
mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak
yatim dan orang yang ditawan. Sesungguhnya kami memberi makanan kepadamu
hanyalah untuk mengharapkan keridhaan Allah, kami tidak menghendaki
balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan) terima kasih”. (QS. 76 : 8 – 9).
Sifat egois sangat dilarang dalam Islam. Dalam ayat yang lain Allah
berfirman, “Dan janganlah kamu memberi (dengan maksud) memperoleh (balasan) yang lebih banyak.”
(QS. 74 : 6). Dalam konteks modern sifat egois ini banyak dipraktikkan
oleh para koruptor, dan mereka yang gemar melakukan praktik suap. Suka
memberi asal bisa mendapat balasan yang lebih besar. Naudzubillahi min dzalik.
Keempat,
memiliki hati yang suci. Dengan hati suci setiap Muslim akan mampu
memberikan yang paling berharga dari apa yang dimilikinya, sebagai bukti
bahwa harta itu benar-benar dibelanjakan sebagaimana ketentan Allah.
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَنفِقُواْ مِن طَيِّبَاتِ مَا كَسَبْتُمْ
وَمِمَّا أَخْرَجْنَا لَكُم مِّنَ الأَرْضِ وَلاَ تَيَمَّمُواْ الْخَبِيثَ
مِنْهُ تُنفِقُونَ وَلَسْتُم بِآخِذِيهِ إِلاَّ أَن تُغْمِضُواْ فِيهِ
وَاعْلَمُواْ أَنَّ اللّهَ غَنِيٌّ حَمِيدٌ
“Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan allah)
sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang
Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang
buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya, padahal kamu sendiri
tidak mau mengambilnya melainkan dengan memincingkan mata terhadapnya.
Dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.” (QS. 2 : 267).
Kelima,
memberi ketika dalam kesusahan. Memberi adalah sifat Muslim sejati.
Bahkan dalam kondisi kesusahan pun seorang Muslim tidak boleh berhenti
untuk bisa menafkahkan apa yang dimiliki dan memberikan bantuan kepada
orang lain.
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُواْ أَنفِقُواْ مِن طَيِّبَاتِ مَا كَسَبْتُمْ وَمِمَّا
أَخْرَجْنَا لَكُم مِّنَ الأَرْضِ وَلاَ تَيَمَّمُواْ الْخَبِيثَ مِنْهُ
تُنفِقُونَ وَلَسْتُم بِآخِذِيهِ إِلاَّ أَن تُغْمِضُواْ فِيهِ
وَاعْلَمُواْ أَنَّ اللّهَ غَنِيٌّ حَمِيدٌ
“(yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu
lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan
mema'afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat
kebajikan.” (QS. 3 : 134).
Keenam, memberi ketika kaya. Jika
dalam kondisi susah kita dilarang berhenti memberi apalagi dalam
kondisi kaya. Ketika kaya kita tidak boleh lupa kepada Tuhan.
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُلْهِكُمْ أَمْوَالُكُمْ وَلَا
أَوْلَادُكُمْ عَن ذِكْرِ اللَّهِ وَمَن يَفْعَلْ ذَلِكَ فَأُوْلَئِكَ هُمُ
الْخَاسِرُونَ
“Hai orang-orang beriman, janganlah hartamu dan
anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barangsiapa yang
berbuat demikian maka mereka itulah orang-orang yang merugi.” (QS. 63 :
9).
Ketujuh, memberi hanya demi ridho Allah SWT. sebagaimana firman-Nya,
لَّيْسَ
عَلَيْكَ هُدَاهُمْ وَلَـكِنَّ اللّهَ يَهْدِي مَن يَشَاءُ وَمَا
تُنفِقُواْ مِنْ خَيْرٍ فَلأنفُسِكُمْ وَمَا تُنفِقُونَ إِلاَّ ابْتِغَاء
وَجْهِ اللّهِ وَمَا تُنفِقُواْ مِنْ خَيْرٍ يُوَفَّ إِلَيْكُمْ وَأَنتُمْ
لاَ تُظْلَمُونَ
“Bukanlah kewajibanmu menjadikan
mereka mendapat petunjuk, akan tetapi Allah-lah yang memberi petunjuk
(memberi taufiq) siapa yang dikehendaki-Nya. Dan apa saja harta yang
baik yang kamu nafkahkan (di jalan allah), maka pahalanya itu untuk kamu
sendiri. Dan janganlah kamu membelanjakan sesuatu melainkan karena
mencari keridhaan Allah. Dan apa saja harta yang baik yang kamu
nafkahkan, niscaya kamu akan diberi pahalanya dengan cukup sedang kamu
sedikitpun tidak akan dianiaya (dirugikan).” (QS. 2 : 272).
Menurut
Abu A’la, tujuh kualitas di atas sangat penting diperhatikan dan
dimiliki oleh setiap Muslim, jika benar-benar ingin menjadi sahabat
Allah Subhanahu wa-ta'ala (سبحانه و تعالى) atau masuk dalam kelompok Allah.
Tanpa
ketujuh kualitas tersebut, kita tidak bisa berharap menjadi
sahabat-Nya. Karena ketujuh perkara di atas sebenarnya adalah cara Allah
menguji kualitas keimanan setiap Muslim.
Dengan demikian mari
kita bersama-sama berusaha menjadi sahabat Allah untuk bisa masuk dalam
Ahlullah. Semoga Allah memberikan kemampuan kepada kita semua. Amin.*