رَبِّ اغْفِرْ لِي وَهَبْ لِي مُلْكًا لا يَنْبَغِي لأحَدٍ مِنْ بَعْدِي إِنَّكَ أَنْتَ الْوَهَّابُ


"Ya Rabb-ku, ampunilah aku, dan anugerahkanlah kepadaku kerajaan, yang tidak dimiliki oleh seorangpun juga sesudahku, sesungguhnya Engkaulah Yang Maha pemberi’."

Selasa, 07 Oktober 2014

Berniaga dengan Allah SWT



 إِنَّ اللَّهَ اشْتَرَى مِنَ الْمُؤْمِنِينَ أَنْفُسَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ بِأَنَّ لَهُمُ الْجَنَّةَ يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَيَقْتُلُونَ وَيُقْتَلُونَ وَعْدًا عَلَيْهِ حَقًّا فِي التَّوْرَاةِ وَالإنْجِيلِ وَالْقُرْآنِ وَمَنْ أَوْفَى بِعَهْدِهِ مِنَ اللَّهِ فَاسْتَبْشِرُوا بِبَيْعِكُمُ الَّذِي بَايَعْتُمْ بِهِ وَذَلِكَ هُوَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ

Sesungguhnya Allah membeli dari orang-orang mukmin, baik diri maupun harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka 
(QS. At Taubah: 111)

DALAM hadits riwayat Ibnu Jarir dikisahkan, seorang sahabat, namanya Abdullah bin Rawahah RA bertanya kepada Rasulullah SAW. Apa saja kewajiban terhadap Tuhanmu dan dirimu yang kamu tetapkan atas diriku? Rasulullah SAW menjawab: Aku telah menetapkan agar selalu beribadah kepada Tuhan dan tidak syirik dengan apapun. Sedangkan terhadapku, agar selalu menjagaku sebagaimanan kamu menjaga diri dan hartamu”. Ia bertanya lagi: Apa balasanku, jika aku melaksanakan semuanya? Rasulullah SAW menjawab:Surga balasannya”. Ia lalu berkata: Itu merupakan jual beli yang menguntungkan. Kami takkan membatalkannya (Dr. Ahmad Hatta, MA., Tafsir Alqur’an Perkata, 2009).

Dialog antara Abdullah dengan Rasulullah SAW di atas menjadi sebab turunnya (asbabul al nuzul) firman Allah SWT:  


 إِنَّ اللَّهَ اشْتَرَى مِنَ الْمُؤْمِنِينَ أَنْفُسَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ بِأَنَّ لَهُمُ الْجَنَّةَ يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَيَقْتُلُونَ وَيُقْتَلُونَ وَعْدًا عَلَيْهِ حَقًّا فِي التَّوْرَاةِ وَالإنْجِيلِ وَالْقُرْآنِ وَمَنْ أَوْفَى بِعَهْدِهِ مِنَ اللَّهِ فَاسْتَبْشِرُوا بِبَيْعِكُمُ الَّذِي بَايَعْتُمْ بِهِ وَذَلِكَ هُوَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ
"Sesungguhnya Allah membeli dari orang-orang mukmin, baik diri maupun harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka"
(QS. At Taubah: 111)

Potongan ayat ini menjelaskan tentang penghargaan Allah SWT terhadap para syuhada. Namun bila dimaknai dalam konteks kehidupan, ayat tersebut menjelaskan proses transaksi atau jual beli antara orang-orang mukmin dengan Allah SWT.

Rukun jual beli dalam ayat tersebut terpenuhi. Pertama, penjual yakni orang-orang mukmin. Kedua, pembeli yakni Allah SWT. Ketiga, barang yang diperjual-belikan. Ayat di atas menjelaskan dua barang yang diperjual-belikan, yaitu diri (anfusahum) dan harta (amwaalahum). Keempat, harganya yaitu surga (jannah). Dan Keenam, harus ada ijab-qabulnya. Melalui ayat 111 surat At Taubah tersebut, sesungguhnya merupakan tawaran dari Allah SWT kepada orang mukmin untuk menjual diri dan harta mereka dengan rela (ikhlas).

Menjual diri kepada Allah SWT adalah dengan cara beribadah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya. Menjual harta kepada Allah SWT maksudnya membelanjakan atau memanfaatkan harta di jalan Allah SWT seperti berinfak, bersedekah, dan membayar zakat. Semua amalan yang melibatkan diri dan harta ini akan mendatangkan pahala berbalaskan surga. Inilah bentuk bisnis seorang mukmin dalam hidupnya dengan Allah SWT.

Menariknya, dalam jual beli yang menentukan harga barang biasanya penjual dan pembeli yang menawar. Namun, jual beli dengan Allah SWT sebaliknya, pembelilah yang menentukan harga barang dan penjual tidak boleh lari dari harga yang ditawar. Mengapa? Karena pembeli yaitu Allah SWT, telah menawar diri dan harta orang Mukmin dengan harga yang sangat tinggi di dunia dan akhirat, yaitu surga. Orang yang beriman tidak mungkin menawar harga diri dan hartanya dengan harga yang sangat murah berupa neraka.

Ingatlah, tidak semua diri dan harta manusia akan dibeli oleh Allah SWT. Sebagaimana tidak semua barang yang dijual di pasar akan dibeli oleh pengunjung. Diri dan harta yang akan dibeli dengan harga surga adalah, diri dan harta yang suci. Allah SWT mengingatkan: 

قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاهَا
 وَقَدْ خَابَ مَنْ دَسَّاهَا

"Sungguh beruntung orang-orang yang mensucikan dirinya, dan sungguh rugi orang yang mengotorinya"
(QS. Asy Syams: 9-10)

Allah SWT menyeru:  

 وَسَارِعُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَاوَاتُ وَالأرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ
"Bersegeralah menuju ampunan Tuhanmu dan mendapatkan surga yang luasnya seluas langit dan bumi"
(QS. Ali Imran: 133)
Dan,  

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا تُوبُوا إِلَى اللَّهِ تَوْبَةً نَصُوحًا عَسَى رَبُّكُمْ أَنْ يُكَفِّرَ عَنْكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ وَيُدْخِلَكُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الأنْهَارُ يَوْمَ لا يُخْزِي اللَّهُ النَّبِيَّ وَالَّذِينَ آمَنُوا مَعَهُ نُورُهُمْ يَسْعَى بَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَبِأَيْمَانِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا أَتْمِمْ لَنَا نُورَنَا وَاغْفِرْ لَنَا إِنَّكَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ

"Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubat yang semurni-murninya, mudah-mudahan Rabb-kamu akan menutupi kesalahan-kesalahanmu, dan memasukkan kamu ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, pada hari, ketika Allah tidak menghinakan Nabi, dan orang-orang yang beriman bersama dengan dia; sedang cahaya mereka memancar di hadapan dan di sebelah kanan mereka, sambil mereka mengatakan: 'Ya Rabb-kami, sempurnakanlah bagi kami cahaya kami dan ampunilah kami; sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu'."
(QS. At Tahrim: 8)

Rasulullah SAW bersabda:

 "Setiap anak Adam (manusia) bersalah, sebaik-baik yang bersalah adalah yang bertobat kepada Allah SWT "
(HR. Ahmad)

Sedangkan menyangkut harta, Rasulullah SAW mengingatkan: 

 ”Barangsiapa yang mengumpulkan harta haram lalu menyedekahkannya, ia tidak akan mendapatkan pahala darinya dan dosanya dibebankan kepadanya”  
(HR. Ibnu Hibban)


Artinya, harta yang dikumpulkan melalui pekerjaan haram meskipun disedekahkan tidak akan dibeli atau diterima oleh Allah SWT. Sebab, tidak ada konsep kebatilan dicampur dengan kebajikan dalam Islam. Harta yang dibeli oleh Allah SWT adalah harta yang bersih dan suci, alias halal. Halal cara mendapatkannya dan halal dalam pemanfaatannya.

Hamzah bin Abdul Muthalib, Paman Nabi Yang Sangat Pemberani


Ilustrasi

SANGAT panjang perjalanan Hamzah hingga gugur di medan uhud. Tentunya menarik kisah hidup beliau, Pernah mendengar sahabat yang dibunuh dan dimakan hatinya oleh seorang perempuan? Beliaulah Hamzah bin Abdul muthalib paman nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam.

Hamzah bin Abdul Muthalib bin Hasyim, seorang paman Nabi dan saudara sepersusuannya. Dia memeluk Islam pada tahun kedua kenabian, Pada tahun tiga hijriah, tepatnya di pertengahan bulan syawal, berkecamuklah perang Uhud, antara kaum muslim yang dipimpin oleh Rasulullah Shalallahu alaihi wa salam dengan kaum kuffar Mekkah.

Dalam peperangan menegakkan kalimatulhaq ini, banyak dari kalangan shahabat Nabi Shalallahu alaihi wa salam yang mendapatkan anugerah Syahaadah. Menurut perhitungan ulama sirah, Ibnu Ishaq rahimahullah, tercatat 65 shahabat Rasulullah yang menemui syahid. Peperangan ini disulut oleh kaum musyrikin Mekkah yang ingin menuntaskan dendam kekalahan mereka atas kaum muslimin di perang Badr yang terjadi pada tahun sebelumnya.

Adapun pada perang Uhud ini Allah Ta’ala menakdirkan kekalahan bagi kaum muslimin, setelah sebelumnya kemenangan sudah di depan mata. Hamzah Ikut Hijrah bersama Rasulullah shallallahu alaihi wassalam dan ikut dalam perang Badar, dan meninggal pada saat perang Uhud, Rasulullah menjulukinya dengan “Asadullah” (Singa Allah) dan menamainya sebagai “Sayidus Syuhada”. Ibnu Atsir berkata dalam kitab Usud al Ghabah, “Dalam perang Uhud, Hamzah berhasil membunuh 31 orang kafir Quraisy, sampai pada suatu saat beliau tergelincir sehingga ia terjatuh kebelakang dan tersingkaplah baju besinya, dan pada saat itu ia langsung ditombak dan dirobek perutnya . lalu hatinya dikeluarkan oleh Hindun kemudian dikunyahnya hati Hamzah tetapi tidak tertelan dan segera dimuntahkannya.

“Ketika Rasulullah melihat keadaan tubuh pamannya Hamzah bin Abdul Muthalib, Beliau sangat marah dan Allah menurunkan firmannya, ‘Dan jika kamu memberikan balasan, maka balaslah dengan balasan yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu. Akan tetapi jika kamu bersabar, sesungguhnya itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang sabar’,” (Qs; an Nahl 126)·

Hamzah memiliki fisik yang kuat. Ia pun terkenal sebagai penunggang kuda yang cekatan, ahli pedang, dan bela diri di seantero Makkah. Hamzah merupakan manusia padang pasir yang lebih suka menyendiri. Ia juga dikenal sebagai seorang pemburu rusa yang mumpuni.

Pada salah satu kisah perburuan rusa, Hamzah dikejutkan dengan suatu keributan. Ternyata, seekor singa telah memasuki kemahnya. Setelah menurunkan rusa yang baru saja di burunya, ia kemudian menghadapi singa itu seorang diri. Berbekal keahliannya, akhirnya, ia berhasil mengakhiri keganasan binatang buas tersebut.

Lalu ia pun menguliti singa tersebut, dan melemparkan kulitnya ke atas pelana kudanya. Orang-orang Makkah melihat kulit singa di pelana kuda Hamzah mafhum dengan keberanian dan kepiawaian Hamzah. Kegagahannya itu, membuat lawan-lawannya merasa gentar meski hanya mendengar namanya.


Islampos

Delapan Macam Najis Dan Cara Membersihkannya





DALAM Islam, ada yang dikenal dengan najis. Najis sendiri adalah suatu perkara yang dianggap kotor oleh syara’ yang dapat mencegah keabsahan sholat, seperti darah, air air seni, kotoran manusia atau hewan dll. Dari definisi tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa barang kotor yang ada disekitar kita, belum tentu dihukumi najis karena tidak semuanya mencegah keabsahan sholat, seperti tanah, lumpur, sampah dll.
Apa saja najis-najis itu dan bagaimana cara membersihkannya?

1. Air seni.

Dari Anas ra., “Seorang Arab Badui buang air di Mesjid, lalu segolongan orang menghampirinya. Rasulullah SAW lantas bersabda, ‘Biarkanlah ia jangan kalian hentikan kencingnya’”. Lalu Anas ra. melanjutkan, “Tatkala ia sudah menyelesaikan kencingnya, beliau SAW memerintahkan agar dibawakan setimba air lalu diguyurkan di atasnya” (HR. Al Bukhari no. 6025 dan Muslim no. 284)
 [Secara umum, zat untuk membersihkan diri dari najis adalah dengan menggunakan air, kecuali syariat membolehkan membersihkannya dengan selain air, seperti menggunakan tanah]
 Adapun cara menyucikan pakaian yang terkena kencing bayi yang masih menyusu adalah sebagaimana sabda Rasulullah SAW, “Air kencing bayi perempuan dicuci, sedangkan air kencing bayi diperciki” (HR. An Nasa’i I/158 dan Abu Dawud no. 372, dishahihkan oleh Syaikh Albani dalam Shahih Sunan an Nasa’i no. 293)

2. Kotoran manusia.

Dari Hudzaifah ra., Rasulullah SAW bersabda, “Jika salah seorang diantara kalian menginjak al adzaa dengan sandalnya, maka tanah adalah penyucinya” (HR. Abu Dawud no. 381, dishahihkan oleh Syaikh Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud no. 834)
Al Adzaa adalah segala sesuatu yang engkau merasa tersakiti olehnya, seperti najis, kotoran dan sebagainya (‘Aunul Ma’buud II/44).

3. Madzi.

Madzi adalah cairan bening, encer dan lengket yang keluar ketika naiknya syahwat. Dialami pria maupun wanita.
Ali ra. berkata, “Aku adalah laki – laki yang sering keluar madzi. Aku malu menanyakannya pada Nabi SAW karena kedudukan putri beliau. Lalu kusuruh al Miqdad bin al Aswad untuk menanyakannya. Beliau SAW bersabda, ‘Dia harus membasuh kemaluannya dan berwudhu’” (HR Al Bukhari no. 132 dan Muslim no. 303)

4. Wadi.

Wadi adalah cairan bening dan kental yang keluar setelah buang air. Dari Ibnu Abbas ra., ia berkata, “Mani, wadi dan madzi. Adapun mani maka wajib mandi. Sedangkan untuk wadi dan madzi beliau SAW bersabda,
‘Basulah dzakar atau kemaluanmu dan wudhulah sebagaimana engkau berwudhu untuk shalat’” (HR. Abu Dawud dan Al Baihaqi I/115, dishahihkan oleh Syaikh Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud no. 190)

5. Kotoran hewan yang tidak halal dimakan dagingnya.

Dari Abdullah ra., ia berkata, “Ketika Nabi SAW hendak buang hajat, beliau berkata, ‘Bawakan aku 3 batu’. Aku menemukan dua batu dan sebuah kotoran keledai. Lalu beliau mengambil kedua batu itu dan membuang kotoran tadi lalu berkata, ‘(Kotoran) itu najis’” (HR. Ibnu Majah, dishahihkan oleh Syaikh Albani dalam Shahih Sunan Ibnu Majahno. 2530)

6. Darah haidh.

Dari Asma’ binti Abi Bakar ra. ra, ia berkata, “Seorang wanita datang kepada kepada Nabi SAW lalu berkata, ‘Baju seorang diantara kami terkena darah haidh, apa yang ia lakukan ?’
Beliau SAW bersabda, “Keriklah, kucek dengan air, lalu guyurlah. Kemudian shalatlah dengan (baju) itu’” (HR. Al Bukhari no. 307 dan Muslim no. 291)

7. Air liur anjing.

Dari Abu Hurairah ra., Rasulullah SAW bersabda, “(Cara) menyucikan bejana salah seorang diantara kalian jika dijilat anjing adalah membasuhnya tujuh kali. Yang pertama dengan tanah” (HR. Muslim no. 276)

8. Bangkai

Yaitu segala sesuatu yang mati tanpa disembelih secara syar’i. Dasarnya adalah sabda Rasulullah SAW, “Kulit bangkai apa saja jika disamak, maka ia suci” (HR. Ibnu Majah, Ahmad dalam Al Fathur Rabbanino. 49, At Tirmidzi no. 1782, Ibnu Majah no. 3609 dan An Nasa’iVII/173, dari Ibnu Abbas ra., dishahihkan oleh Syaikh Albani dalam Shahih Sunan Ibni Majah no. 2907)


Islampos

Bentuk Penghormatan terhadap Wanita Dalam Islam




WANITA merupakan sosok makhluk yang memiliki keistimewaan tersendiri. Dia merupakan sosok yang begitu lembut, namun memiliki tingkat kekuatan yang cukup tinggi. Dia sangat berperan dalam mendidik anak-anak keturunannya, yang nantinya akan menjadi penerus bangsa.
Sungguh al-Qur’an telah menunjukkan agar kita berbuat baik dan memuliakan kaum wanita, di antara contoh-contohnya adalah:

1. Perintah agar mempergauli wanita dengan baik.

Yaitu dengan memperhatikan hak mereka dan melarang siapa pun menyakiti kaum wanita. Di antaranya dalam masalah perceraian, Allah سبحانه و تعالى berfirman:

الطَّلاَقُ مَرَّتَانِ فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ وَلاَ يَحِلُّ لَكُمْ أَن تَأْخُذُواْ مِمَّا آتَيْتُمُوهُنَّ شَيْئاً إِلاَّ أَن يَخَافَا أَلاَّ يُقِيمَا حُدُودَ اللّهِ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ يُقِيمَا حُدُودَ اللّهِ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْهِمَا فِيمَا افْتَدَتْ بِهِ تِلْكَ حُدُودُ اللّهِ فَلاَ تَعْتَدُوهَا وَمَن يَتَعَدَّ حُدُودَ اللّهِ فَأُوْلَـئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ

“Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami istri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka itulah orang-orang yang zalim,” 
(QS. al-Baqarah [2]: 229)

2. Mewajibkan suami agar memberikan mahar.

Berdasarkan firman Allah عزّوجلّ yang berbunyi.

وَآتُواْ النَّسَاء صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً فَإِن طِبْنَ لَكُمْ عَن شَيْءٍ مِّنْهُ نَفْساً فَكُلُوهُ هَنِيئاً مَّرِيئاً

“Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerah-kan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya,” 
(QS. an-Nisa’ [4]: 4)

3. Berhak mendapat warisan.

Wanita berhak mendapat warisan sebagai-mana kaum laki-laki. Allah عزّوجلّ berfirman:

لِّلرِّجَالِ نَصيِبٌ مِّمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَالأَقْرَبُونَ وَلِلنِّسَاء نَصِيبٌ مِّمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَالأَقْرَبُونَ مِمَّا قَلَّ مِنْهُ أَوْ كَثُرَ نَصِيباً مَّفْرُوضاً

“Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetap-kan,” 
(QS. an-Nisa’ [4]: 7)

4. ALLAH menggandengkan wanita dengan laki-laki dalam hal ketaatan.

Wanita juga diperintah untuk mengerjakan ketaatan sebagaimana halnya lelaki. Keduanya akan mendapat pahala sesuai dengan usaha dan kesungguhan masing-masing. Perhatikan firman Allah عزّوجلّ berikut ini:

إِنَّ الْمُسْلِمِينَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَالْقَانِتِينَ وَالْقَانِتَاتِ وَالصَّادِقِينَ وَالصَّادِقَاتِ وَالصَّابِرِينَ وَالصَّابِرَاتِ وَالْخَاشِعِينَ وَالْخَاشِعَاتِ وَالْمُتَصَدِّقِينَ وَالْمُتَصَدِّقَاتِ وَالصَّائِمِينَ وَالصَّائِمَاتِ وَالْحَافِظِينَ فُرُوجَهُمْ وَالْحَافِظَاتِ وَالذَّاكِرِينَ اللَّهَ كَثِيراً وَالذَّاكِرَاتِ أَعَدَّ اللَّهُ لَهُم مَّغْفِرَةً وَأَجْراً عَظِيماً

“Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyu’, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar,” 
(QS. al-Ahzab [33]: 35)

5. Allah mencela orang yang benci jika mendapat anak wanita.

Sebagaimana kebiasaan orang-orang musyrik yang tidak senang bila memperoleh anak wanita. Allah عزّوجلّ menyebutkan dalam firman-Nya:

وَإِذَا بُشِّرَ أَحَدُهُمْ بِالأُنثَى ظَلَّ وَجْهُهُ مُسْوَدّاً وَهُوَ كَظِيمٌ. يَتَوَارَى مِنَ الْقَوْمِ مِن سُوءِ مَا بُشِّرَ بِهِ أَيُمْسِكُهُ عَلَى هُونٍ أَمْ يَدُسُّهُ فِي التُّرَابِ أَلاَ سَاء مَا يَحْكُمُونَ

“Dan apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak perempuan, hitamlah (merah padamlah) mukanya, dan dia sangat marah. Ia menyembunyikan dirinya dari orang banyak, disebabkan buruknya berita yang disampaikan kepadanya. Apakah dia akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan ataukah akan menguburkannya ke dalam tanah (hidup-hidup)? Ketahuilah, alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan itu,” 
(QS. an-Nahl [16]: 58-59)

6. Melarang keras orang yang menuduh wanita muslimah yang suci.

Tuduhan dusta berupa perzinahan kepada wanita muslimah adalah pelanggaran berat. Allah عزّوجلّ berfirman:

وَالَّذِينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ ثُمَّ لَمْ يَأْتُوا بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاء فَاجْلِدُوهُمْ ثَمَانِينَ جَلْدَةً وَلَا تَقْبَلُوا لَهُمْ شَهَادَةً أَبَداً وَأُوْلَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ

“Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. Dan mereka itulah orang-orang yang fasik,”  
(QS. an-Nur [24]: 4)

Inilah sebagian petunjuk al-Qur’an yang berhubungan dengan wanita dan cara berbuat baik kepada mereka; sebuah petunjuk yang penuh hikmah karena dari al-Qur’an yang diturunkan oleh Rabbul ‘alamin. Petunjuk inilah yang selayaknya kita tempuh.



Islampos

Hari Yang Panjang Dimasa Dajjal




Dari beberapa hadis dapat di jelaskan bahwa dalam masa kehidupan dajjal nantinya ada tiga hari yang panjang seperti hadis berikut ini.

“Kami bertanya kepada Rasulullah: ‘Wahai Rasulullah, berapa lama ia hidup dan tinggal di muka bumi?’. Beliau bersabda: ‘Selama empat puluh hari. Sehari seperti satu tahun, sehari seperti laksana satu bulan, sehari seperti satu pekan, lalu seluruh hari harinya seperti hari hari kalian’. Kami  kemudian bertanya kepada Rasulullah: ‘Wahai Rasulullah, sehari yang seperti satu tahun itu, apakah kita cukup shalat sehari saja?’. Jawab Rasul: ‘Tidak, tapi ukurlah seperti hari hari biasa’,” 
(HR Muslim).

Hadis tersebut sudah sedemikian jelasnya, hanya saja sebagian mereka mereka menolak hadis tersebut dikarenakan dianggap tidak masuk akal. Dalam masa hidup dajjal yang hanya 40 hari, ada tiga hari yang panjang, ada satu hari yang panjang seperti satu tahun, ada yang seperti satu bulan dan ada yang seperti satu minggu. Panjang di sini tentu panjang yang hakiki, dan bukan panjang secara kiasan, apalagi mengingkari hadis tersebut.

Jika seandainya bukan secara lahiriah yang harus dipahami, maka artinya apa pertayaan sahabat tersebut? Bahwasanya pertayaan itu lahir atas keyakinan sahabat terhadap apa yang Rasulullah katakan. Dan jawaban beliau membuktikan bahwa memang secara lahiriahlah yang Allah maksudkan. Jika bukan, tentunya beliau tidak akan menjawab seperti itu, dan pastinya akan menjelaskan kepada mereka bahwa pemahaman mereka salah.

Lantas, bagaimana satu contoh hari yang panjang seperti satu tahun? Mengenai hal ini ada dua kemungkinan. Pertama, matahari berjalan lambat sehingga untuk mencapai titik yang sama diperlukan waktu satu tahun. Kedua, matahari berhenti berputar mengelilingi bumi hingga berputar kembali setelah masa yang dijelaskan Rasulullah. Jika kita lihat hadis-hadis  shahih, maka sepertinya kita tak akan menjumpainya. Sedangkan jika dilihat dari hadis hadis yang dhaif, maka matahari berhenti berputar. Terlepas dari semua itu, yang jelas Rasulullah memerintahkan kita agar shalat disesuaikan.

Begitu juga terlepas dari itu semua, apakah matahari berhenti berputar atau matahari berjalan lambat, yang jelas itu semua jauh lebih mengerikan daripada sekadar matahari terbit dari barat. oleh karena itulah ada beberapa hadis shahih yang menjelaskan bahwa yang pertama kali terjadi dari sepuluh tanda kiamat besar adalah terbitnya matahari dari barat. Oleh karena itu pula Rasulullah menjelaskan bahwa ada tiga hal yang apabila hal itu terjadi, maka tidak akan diterima orang yang baru beriman dan yang belum sempat mengusahakan kebaikan dalam masa imannya. Wallahu a’lam.


Islampos

Abu hurairah, Sahabat Nabi Yang Memiliki Ingatan Kuat




ABU Hurairah adalah salah satu sahabat Nabi yang masuk Islam sesudah masa hijrah. Kecintaannya pada kebenaran telah membawanya kepada Islam setelah perang khaibar, pada tahun 7 Hijriyah sehingga menuntunya untuk bersahadat dihadapan Nabi Muhammad SAW.

Abu Hurairah berjumpa dengan Rasulullah hanya dalam kurun waktu yang cukup singkat. Selama empat tahun. Namun empat tahun ini tidak disia-siakannya. Ia pergunakan waktu tersebut untuk menjadi pelayan Rasulullah SAW dan dengan setia mengikuti kemana saja Rasulullah pergi.

Abu Hurairah tak pernah absen dari majlis yang Rasulullah laksanakan. Abu Hurairah tidak hanya belajar langsung dari sumbernya, namun juga merekam kata demi kata yang terucap dari mulut Nabi SAW. Ia juga menyimpan setiap momen persoalan yang Rasulullah selesaikan. Dimana nantinya akan berguna jika terjadi permasalahan yang sama.

Sebenarnya ada satu keistimewaan yang dimiliki oleh Abu Hurairah tetapi tidak dimiliki oleh sahabat yang lain. Abu Hurairah terkenal dengan ingatannya yang kuat. Abu Hurairah bisa mengingat dengan mudah, termasuk semua perkataan dengan detil betapapun panjangnya. Dan ingatan itu bisa ia pertahankan hingga akhir hayatnya. Subhanallah sungguh karunia yang patut disyukuri oleh siapapun yang memperolehnya.

Abu Hurairah sadar bahwa ia amat tertinggal oleh sahabat lain yang sudah masuk Islam lebih dulu. Padahal ia begitu mencinai kebenaran, begitu mencinti Nabi SAW dan begitu mencintai dakwah. Ia ingin memberi andil dalam perjuangan Islam sesuai dengan apa yang ia mampu. Namun, kesempatan berjihad di jalan Allah tidak selalu tersedia, lagipula semua sahabatpun mampu melakukannya. Berinfak dijalan Allah pun tidak selalu bisa ia lakukan karena ia hanya seorang yang miskin yang tidak memiliki kebun, ternak maupun perniagaan.

Maka ia memutuskan untuk menjadi jalan dakwah dengan menjadi penyambung dakwah Nabi. Ia akan menyampaikan segala sesuatu yang didengar, dilihat dan dipahaminya dari segala sisi kehidupan Rasulullah SAW.

“Aku bukan lelaki yang kaya yang memiliki banyak kebun, pertanian dan peternakan sebagaimana kebanyakan lelaki dari kaum Anshor,” kata Abu Hurairah pada suatu ketika. “Dan aku bukanlah seorang lelaki kaya yang memiliki banyak bisnis perniagaan seperti yang dimiliki oleh kebanyakan kaum muhajirin,” lanjutnya.

“Maka aku memiliki waktu yang lebih banyak dari mereka untuk bisa menghadiri majlis-majlis Nabi, selalu ada di dekat Nabi, di saat mereka sedang absent atau sedang dalam kesibukan. Dan aku bisa mengingat dengan sangat baik apa-apa yang Rasul tunjukan, katakan dan jelaskan,” jawab Abu Hurairah ketika ada orang yang mempertanyakan bagaimana bisa ia memiliki perbendaharaan hadits yang begitu banyak, hingga melebihi apa yang dimiliki oleh mereka yang masuk Islam lebih dulu.

Pada suatu ketika, bertahun-tahun setelah Rasul wafat dan kekhalifahan telah diganti oleh beberapa sahabat Nabi, Marwan bin Hakam yang hidup pada masa kekhalifahan Bani Umayyah bermaksud menguji ingatan Abu Hurairah. Ia diminta untuk menyebutkan beberapa Hadits yang diketahuinya, dan tanpa sepengetahuan Abu Hurairah seseorang pencatat menuliskan apa yang ia ucapkan.

Setelah setahun berlalu, Marwan kembali memanggil Abu Hurairah dan memintanya untuk menyampaikan sejumlah hadits yang sama seperti tahun lalu. Ternyata, Abu Hurairah menyebutkan hadits hadits itu dalam susunan kata yang sama persis dengan yang ia sampaikan setahun lalu. Maka Marwan pun semakin yakin bahwa Abu Hurairah memiliki ingatan yang sangat kuat.

Abu Hurairah tidak hanya dikaruniai ingatan yang kuat, tetapi Allah juga memberinya umur yang panjang, yaitu kurang lebih 78 tahun. Dia hidup hampir 50 tahun selepas wafatnya Nabi dan melewati berbagai macam masa pemerintahan Islam. Tetapi satu yang tak pernah berubah. Ia terus memberikan andil bagi umat Islam yaitu dengan menyampaikan hadits-hadits Rasulullah SAW. Semoga Allah meridhainya.


Islampos

Di Akhirat Setiap Orang Akan Disatukan Dengan Orang Yang Dicintainya






  

Islam mengarahkan kepada umatnya agar mencintai sesuatu karena Allah dan membenci juga karena Allah. Sehingga ia mencintai setiap apa yang dicintai Allah. Juga membenci apa-apa yang Allah benci. Cinta dan bencinya mengikuti kecintaan Allah Subhanahu Wa Ta'ala. Semua ini bertujuan agar mendapat ridha dan cinta Allah Subhanahu Wa Ta'ala.

Dari sahabat Abdullah bin ‘Abbas Radhiyallahu 'Anhu, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda,

أَوْثَقُ عُرَى اْلإِيْمَانِ: الْمُوَالاَةُ فِي اللهِ، وَالْمُعَادَاةُ فِي اللهِ، وَالْحُبُّ فِي اللهِ، وَالْبُغْضُ فِي اللهِ


“Tali keimanan yang paling kokoh adalah berloyal karena Allah dan memusuhi karena Allah, cinta karena Allah dan benci karena Allah.”
(HR. Al-Thabrani dalam Al-Mu’jamul Kabir no. 11.537 dan Dihassankan oleh Al-Syaikh Al-Albani dalam Al-Shahihah no. 1.728)

Dalam sabda beliau Shallallahu 'Alaihi Wasallam yang lain, dari hadits Abu Umamah Radhiyallahu 'Anhu,


مَنْ أَحَبَّ لِلَّهِ وَأَبْغَضَ لِلَّهِ وَأَعْطَى لِلَّهِ وَمَنَعَ لِلَّهِ فَقَدِ اسْتَكْمَلَ الْإِيْمَانُ

"Siapa yang cinta karena Allah, benci karena Allah, memberi karena Allah, dan menahan pemberian karena Allah, benar-benar telah menyempurnakan imannya." 
(HR. Abu Dawud dan dishahihkan oleh al-Albani)

Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda, "Tiga hal jika ada dalam diri seseorang, ia akan merasakan manisnya iman; apabila Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai daripada selainnya, mencintai seseorang hanya karena Allah, dan benci kembali kapada kekufuran setelah diselamatkan oleh Allah darinya, sebagaimana bencinya jika dilempar ke dalam api neraka." (HR. Muslim)

Ibnu Abbas rahimahullah berkata, "siapa yang mencintai karena Allah dan membenci karena Allah, loyal (membela) karena Allah dan memusuhi karena Allah, telah mendapatkan wilayah (perwalian) dari Allah dengan itu. Dan seseorang tak akan mendapatkan manisnya iman sehingga bersikap seperti itu walaupun shalat dan puasanya banyak."

Dalam mencari kawan karib dan teman dekat, haruslah juga didasarkan di atas prinsip ini. Karena siapa yang dijadikan kawan karib dan teman dekat pasti mendapat kecintaan sesuai kadarnya. Terlebih seorang kawab karib –biasanya- akan memberikan pengaruh kepada teman dekatnya. Karenanya, Islam memberikan arahan agar tidak sembarangan memilih kawan karib dan teman dekat.

Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda, "seseorang bersama siapa yang dicintainya." (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

اَلْمَرْءُ عَلَى دِيْنِ خَلِيْلِهِ
"Seseorang berada di atas agama kekasihnya."
(HR. Ahmad dengan sanad yang shahih)

Imam Thabrani meriwayatkan satu hadits dari Ali Radhiyallahu 'Anhu, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda,

وَلَا يُحِبُّ رَجُلٌ قَوْمًا إِلَّا حُشِرَ مَعَهُمْ
“Tidaklah seseorang mencintai suatu kaum kecuali ia akan dibangkitkan bersama mereka.”
(Al-Mundziri berkata: isnadnya bagus. Dinilai shahih oleh Al-Albani dalam Shahih al-Targhib wa al-Tarhib: 3/96)

Diriwayatkan dari Anas Radhiyallahu 'Anhu, ia berkata: ada seseorang bertanya kepada Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam tentang hari kiamat. Ia berkata, “Kapankah kiamat itu?” beliau menjawab, “Apa yang sudah engkau siapakan untuknya?” ia menjawab, “Tidak ada, kecuali aku mencintai Allah dan Rasul-Nya.” Kemudian Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda,


أَنْتَ مَعَ مَنْ أَحْبَبْتَ
“Engkau bersama dengan siapa yang engkau cintai.”

Anas bin Malik berkata: "Kami tidak pernah merasa gembira seperti kegembiraan kami dengan ucapan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam:

أَنْتَ مَعَ مَنْ أَحْبَبْتَ
“Engkau akan bersama dengan orang yang engkau cintai (di akhirat kelak).”

Kemudian Anas melanjutkan: “Sungguh saya mencintai Nabi Shallallahu'alaihi Wasallam, Abu Bakar dan Umar dan berharap agar saya bisa bersama mereka (di akhirat kelak) disebabkan cintaku terhadap mereka, walaupun saya tidak beramal seperti amalan mareka.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Tetapi pecinta sejati yang akan mendapatkan kemuliaan ini adalah mereka yang menempuh jalan orang yang dicintainya, mengikuti langkah-langkahnya, berada di atas manhajnya, dan mengambil petunjuknya. Ingat, Yahudi dan Nasrani mengaku mencintai para nabi mereka tetapi tidak mendapatkan nikmat menemani mereka di akhirat dikarenakan mereka menyalahi petunjuk para nabinya.

Kita lihat Abu Thalib sangat mencintai keponakannya namun tidak bisa membersamainya di akhirat karena ia tidak mengikuti Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam dalam keimanan dan petunjuk. Siapa yang ingin bersama orang yang dicintainya ia harus menempuh jalan orang tersebut. Wallahu A’lam




Kesaksian Taurat Dan Injil Mengenai Rasulullah SAW





Padang pasir Sahara kering kerontang. Sejauh mata memandang cuma lautan pasir tandus berbatu-batu, hanya satu-dua pohon kurma berdebu. Terik matahari membakar tubuh. Peluh yang berlelehan segera kering, lenyap menguap. Angin kering yang bertiup menambah rasa haus. Senyap. Sudah berhari-hari kafilah itu menempuh perjalanan yang meletihkan. Tapi, remaja kecil dalam rombongan kafilah tersebut tetap saja tangkas dan riang. Tak tampak rasa letih di wajahnya.

Lebih-lebih ketika kafilah dagang pimpinan Abu Thalib itu sampai di perbatasan dekat Bashra, antara Jazirah Arab dan Syam. Entah mengapa, anak kecil itu kelihatan sangat bahagia. Agaknya ada sesuatu yang menunggunya, yang bakal memantapkan martabatnya di masa depan, karena itu sangat berharga bagi masa depannya. Anak itu tiada lain adalah Muhammad (Shallallhu ‘alaihi wasallam), yang kala itu berusia 12 tahun.

Siang itu, Abu Thalib memutuskan untuk beristirahat dan berkemah di luar Bashra. Maka segenap anggota rombongan pun menambatkan tali pengikat unta dan menurunkan semua beban, baik barang dagangan maupun bekal makanan. Abu Thalib duduk di sebuah batu, bersandar di sepokok pohon kurma, ditemani si kecil Muhammad(Shallallhu ‘alaihi wasallam), kemenakannya. Belum lama mereka beristirahat meluruskan kaki, seorang laki-laki mendatangi mereka. Dari pakaiannya, tampaknya ia seorang pendeta Nasrani. Sejak tadi ia memang memperhatikan dan mengawasi kemenakan Abu Thalib tersebut.

Tanpa ditanya, pendeta tua berjenggot dan berjubah lusuh itu memperkenalkan diri, “Nama saya Buhaira, saya pengikut ajaran Isa Almasih. Apakah betul anak ini bernama Yang Terpuji?”

Abu Thalib yang ternganga keheranan, mengangguk. “Dari mana Tuan tahu namanya? Namanya Muhammad, artinya memang Yang Terpuji,” katanya keheranan.

“Bukankah ada tanda semacam cap di punggungnya?” tanya pendeta itu lagi seperti penasaran. Sekali lagi Abu Thalib mengangguk, dan sekali lagi ia tercengang.

“Bukankah dia dilahirkan dalam keadaan yatim, kemudian ibunya juga meninggal dunia?” tanya pendeta itu lagi.

“Betul,” jawab Abu Thalib kebingungan.

Akhirnya dengan tenang pendeta Buhaira berkata, “Kalau demikian halnya, jagalah dia baik-baik. Sebaiknya Tuan jangan terlalu lama berada di negeri Syam. Sebab, namanya sudah dijelaskan dalam kitab suci kaum Yahudi, Taurat. Jika mengetahui siapa kemenakanmu yang sebenarnya, mereka pasti akan menyakiti dan membunuhnya.”

Bukan Fiksi

Tentu saja Abu Thalib sangat cemas. Namun, Buhaira malah tersenyum bahagia sambil berkata, “Dari wajahnya, saya yakin, dialah yang namanya sudah dijelaskan dalam kitab Injil. Ia datang dari Jazirah Arab, berarti ia keturunan Nabi Ismail‘Alaihissalam.”

Melihat Abu Thalib terpana tak percaya, Buhaira berusaha meyakinkan, “Tuan, saya percaya, semua yang termaktub dalam Kitab Suci tertuju kepada kemenakan Tuan ini, yang bernama Yang Terpuji.”

Ini bukanlah fiksi, melainkan fakta sejarah yang menjelaskan bahwa, sebelum Nabi Muhammad Shallallhu ‘alaihi wasallam diangkat sebagai rasul oleh Allah Ta’ala, kaum Yahudi dan Nasrani sedang menunggu-nunggu kedatangannya. Banyak rahib Yahudi dan pendeta Nasrani, bahkan raja-raja, mengakui dan bersaksi bahwa Muhammad, Yang Terpuji, adalah sosok yang dijanjikan Allah Ta’ala sebagaimana dijelaskan dalam Taurat dan Injil. Namanya disebut dalam kitab kaum Yahudi dan Nasrani itu dalam bahasa Ibrani maupun Yunani, yang semuanya berarti “yang terpuji”.

Misalnya dalam kitab Ulangan (pasal 18, ayat 17-22), Nabi Musa bersabda, “Maka pada masa itu berfirmanlah Allah kepadaku, ‘Benarlah kata mereka, Bani Israil itu, bahwa Aku, Allah, akan menjadikan bagi mereka seorang nabi dari antara segala saudaranya, yakni dari Bani Ismail, yang seperti engkau, hai Musa. Dan Aku akan memberi segala firman-Ku dalam mulutnya, dan dia pun akan mengatakan kepadanya segala yang Aku suruh’.”

 Berita mengenai bakal datangnya nabi baru yang dijanjikan oleh Allah Ta’ala itu antara lain sudah disebutkan dalam kita-kitab suci terdahulu, misalnya dalam Injil Yahya (Perjanjian Baru) pasal 14, ayat 16-17, yang menyebut-nyebut perihal “Roh Kebenaran”, yang dalam bahasa Yunani disebut Paraclet atau Para-Cletos atau Paracletos, yang bermakna Yang Terpuji. Dan dalam bahasa Arab, Muhammad memang berarti Yang Terpuji (lihat: Paracletos, Siapa Dia?).

Sekitar 30 tahun kemudian, ketika Rasulullah Shallallhu ‘alaihi wasallam berusia 40 tahun, dan menerima wahyu pertama surah Al-‘Alaq di Gua Hira, kenabiannya pun diakui dan diimani oleh Waraqah bin Naufal, pendeta Nasrani yang juga paman Khadijah, istri Nabi. Menurut Waraqah, ketika itu Muhammad telah menerima “Namus Besar” sebagaimana yang juga pernah diterima oleh Musa. Oleh karena itu dia adalah utusan Allah.

Menurut para sejarawan, “Namus Besar” dimaknai sebagai Malaikat Jibril. Sementara menurut orientalis Montgomery Watt, kata namus diambil dari bahasa Yunani noms, yang berarti “undang-undang” atau kitab suci yang diwahyukan.

Turunnya wahyu pertama kepada Rasulullah Shallallhu ‘alaihi wasallam yang ummi (buta huruf) yang diawali dengan kalimat Iqra bismi rabbikal ladzi khalaq (Bacalah dengan asma Tuhanmu yang menciptakan) itu jauh sebelumnya sudah disebut dalam Injil Yesaya (pasal 29:12), “Dan kitab itu diberikan kepada seorang yang tiada tahu membaca dengan mengatakan, ‘Bacalah ini,’ maka ia akan menjawab, ‘Aku tiada dapat membaca’.”

Ayat tersebut persis sama dengan kejadian di Gua Hira ketika Malaikat Jibril menyuruh Rasulullah Shallallhu ‘alaihi wasallam membaca, “Bacalah!”, dan Rasulullah, yang ummi, menjawab dengan gemetar, “Ma ana bi qari! (Aku tidak dapat membaca!).” Setelah dialog singkat itu berlangsung tiga kali, Jibril pun menyampaikan wahyu Allah SWT yang pertama, sebagaimana tertulis dalam Al-Quran surah Al-‘Alaq.

Bukan hanya rahib Yahudi dan pendeta Nasrani, ada pula para raja yang mengetahui (secara samar-samar) kedatangan seorang nabi akhir zaman. Seorang di antaranya adalah Raja Najasyi dari Habasyah alias Negus (kini Ethiopia). Setelah mendengar penjelasan Ja’far bin Abu Thalib, sepupu RasulullahShallallhu ‘alaihi wasallam, mengenai ajaran Muhammad, sang raja, yang tadinya Nasrani taat itu, pun akhirnya mengakui kenabian RasulullahShallallhu ‘alaihi wasallam.

Kisahnya, pada tahun ke-7 Hijriah, Rasulullah Shallallhu ‘alaihi wasallam mengirim surat kepada Raja Najasyi, mengajak memeluk Islam. Ketika menerima surat itu, sang raja berkata, “Aku bersaksi, sesungguhnya dialah (Muhammad) nabi yang ditunggu-tunggu Ahli Kitab.” Lalu ia menulis surat jawaban, “Saya mengakui bahwa Tuan adalah utusan Allah yang benar dan dibenarkan. Sesungguhnya saya telah berbai’at kepada Tuan dan telah berbai’at kepada sepupu Tuan. Dan saya telah memeluk Islam di hadapannya karena Allah, Tuhan semesta alam.”

Surat bernada sama dikirimkan oleh Nabi Muhammad Shallallhu ‘alaihi wasallam kepada Muqauqis, gubernur Mesir, pemeluk Nasrani Qibti. Dalam surat balasannya Muqauqis menulis, meskipun tidak memeluk Islam ia mengakui kenabian Rasulullah Shallallhu ‘alaihi wasallam. “Setelah membaca surat Tuan dan memahami apa yang Tuan sebutkan, sebenarnya saya mengetahui bahwa seorang nabi akan datang. Saya menduga, ia muncul di Syam, dan saya menghormati utusan Tuan.”
  
Tanpa Keraguan

Memang, kala itu, siapa pun yang benar-benar beriman kepada Nabi Musa ‘Alahissalam  dan Nabi Isa ‘Alahissalam, tentulah merindukan kedatangan seorang nabi yang dijanjikan Allah. Setelah menyaksikan sang nabi yang ditunggu-tunggu itu benar-benar datang, tanpa ragu mereka pun mengimaninya.

Ramalan mengenai kedatangan Rasulullah Shallallhu ‘alaihi wasallam juga santer di kalangan kaum Yahudi. Bukan hanya para rahib, bahkan orang awam pun sering mendiskusikannya. Ketika Rasulullah Shallallhu ‘alaihi wasallam hijrah ke Madinah, beliau didatangi Abdullah bin Salam, seorang tokoh rahib Yahudi. Setelah berdialog mengenai beberapa hal, rahib itu yakin bahwa Muhammad adalah Rasulullah Shallallhu ‘alaihi wasallam yang telah lama dijanjikan.

Maka, tanpa ragu, ia pun mengakui kerasulan Muhammad Shallallhu ‘alaihi wasallam. Lalu katanya, “Saya bersaksi bahwa Tuan adalah Rasulullah yang datang membawa kebenaran. Saya adalah rahib Yahudi dan anak rahib besar Yahudi. Harap Tuan tanyakan kepada siapa saja, sebelum mereka mengetahui bahwa saya telah masuk Islam. Sebab, jika nanti mereka tahu saya telah masuk Islam, pasti perkataan mereka mengenai saya bakal macam-macam.”

Lalu NabiShallallhu ‘alaihi wasallam memanggil tokoh-tokoh masyarakat Yahudi, sementara Abdullah bin Salam bersembunyi. Nabi minta mereka agar beriman kepada Allah dan bersaksi bahwa sebenarnya mereka tahu Muhammad Shallallhu ‘alaihi wasallam adalah utusan Allah.

“Kami tidak mengetahui tentang hal itu.”

Lalu Rasulullah bertanya, “Bagaimana kedudukan Abdullah bin Salam di antara kalian?”

“Dia adalah rahib kami dan anak rahib besar kami. Dia orang yang paling alim di antara yang alim.”

“Bagaimana jika ia telah masuk Islam?” tanya Rasulullah lagi.

“Tidak, tidak mungkin. Tidak mungkin ia masuk Islam!”

Sejurus kemudian NabiShallallhu ‘alaihi wasallam mempersilakan Abdullah bin Salam keluar dari persembunyiannya.

Maka Abdullah, yang telah menjadi muslim, pun muncul lalu berkata, “Wahai kaum Yahudi, takutlah kalian kepada Allah. Demi Allah, yang tidak ada Tuhan selain Dia, dialah Rasul Allah yang kamu juga ketahui itu. Dia telah datang membawa kebenaran.”

Meski sudah mendengar ucapan Abdullah bin Salam yang sangat dihormati itu, tetap saja mereka membangkang. “Tidak, Tuan telah berdusta!”

Di belakang hari, Abdullah bin Salam termasuk sahabat Nabi Shallallhu ‘alaihi wasallam yang terkemuka.

Berita mengenai kedatangan nabi baru – sekitar dua abad setelah wafatnya Nabi Isa‘Alaihissalam – memang menjadi bahan diskusi dan pergunjingan di kalangan kaum Yahudi. Bukan hanya di kalangan rahib atau rabi, bahkan juga di kalangan awam.

Suatu hari, di musim haji, enam orang Arab asal Madinah buru-buru menuju ke Makkah untuk menyampaikan kabar mengenai kenabian Muhammad, yang sudah lama dan sering mereka dengar dari komunitas Yahudi. Sampai di Makkah, mereka menyaksikan Rasulullah Shallallhu ‘alaihi wasallam yang dengan fasih dan bijak berdakwah.
  
Berlipat Ganda

“Inilah nabi yang selalu disebut-sebut oleh orang Yahudi Madinah itu. Ia membawa ajaran kebenaran. Mari kita menjadi pengikutnya, jangan sampai kedahuluan orang-orang Yahudi itu,” ujar salah seorang di antara mereka. Hebatnya, bahkan sebelum menyatakan beriman, mereka pulang kembali ke Madinah untuk berdakwah.

Pada musim haji tahun berikutnya, mereka kembali menunaikan haji ke Makkah. Kali itu bersama sejumlah kaum muslimin, yang ingin bertemu Rasulullah untuk menyatakan keimanan. Dalam musim haji tahun berikutnya lagi, jumlah kaum muslimin asal Madinah yang menunaikan ibadah haji di Makkah berlipat ganda, sehingga Islam tersiar luas di Madinah Al-Munawwarah, kota Nabi yang bercahaya terang benderang.

Berita akan datangnya nabi baru itu juga didengar oleh kalangan Majusi, kaum penyembah matahari di Persia (kini Iran). Di antara mereka terdapat seorang pemuda, Salman Al-Farisi, yang gelisah mencari kebenaran Ilahiah. Dari penganut Majusi, mula-mula ia memeluk Nasrani. Pada suatu hari ia diutus oleh gurunya, seorang pendeta Nasrani, untuk berangkat ke Makkah mencari informasi mengenai nabi baru yang dijanjikan Tuhan.

Ciri-cirinya, antara lain, ia berasal dari Tanah Arab, membawa agama Nabi Ibrahim‘Alaihissalam, akan hijrah ke suatu tempat di antara dua tanah berbatu-batu dan banyak pepohonan kurma, tidak mau menerima zakat, di antara dua bahunya terdapat cap kenabian. Maka berangkatlah Salman sehingga bertemu Rasulullah Shallallhu ‘alaihi wasallam.

Bahkan sampai belasan abad kemudian, Rasulullah Shallallhu ‘alaihi wasallam tetap dikenang sebagai “raksasa sejarah” – setidaknya oleh Will Durant, seorang cendekiawan dan orientalis Barat. Dalam bukunya, The Story of Civilization, antara lain ia menulis, “Jika kita mengukur kebesaran dan pengaruhnya, dia seorang raksasa sejarah. Dia berjuang meningkatkan tahap ruhaniah dan moral sebuah bangsa yang tenggelam dalam kebiadaban karena panas dan kegersangan gurun. Dia berhasil lebih sempurna dari pembaharu mana pun. Belum pernah ada orang yang begitu berhasil mewujudkan harapan-harapannya seperti dia.”

Sementara Thomas Carlyle, cendekiawan yang lain, menulis dalam On Heroes and Hero Worship, “Dia datang bagaikan sepercik sinar dari langit, jatuh ke padang pasir yang tandus, kemudian meledakkan butir-butir debu menjadi mesiu yang membakar angkasa, dari Delhi hingga ke Granada.” Padahal, kedua orientalis Barat itu belum pernah berjumpa dengan Rasulullah Shallallhu ‘alaihi wasallam, bahkan mereka sama sekali tidak beriman kepadanya!

Michael H. Hart bahkan seorang Nasrani. Namun dalam bukunya – yang diterjemahkan oleh kolumnis H. Mahbub Djunaidi dengan judul Seratus Tokoh Paling Berpengaruh dalam Sejarah – menempatkan beliau pada urutan pertama dari 100 tokoh dunia. Michael H. Hart bukan sembarang intelektual. Ia memiliki gelar doktor dalam empat bidang ilmu: matematika, hukum, kimia, angkasa luar, dari empat universitas terkemuka di Amerika Serikat.

Mengapa dia memilih Rasulullah Shallallhu ‘alaihi wasallam sebagai tokoh pada urutan pertama? Inilah antara lain alasannya, “... saya berpegang pada keyakinan saya, dialah satu-satunya manusia dalam sejarah yang berhasil meraih sukses-sukses luar biasa, baik ditilik dari ukuran agama maupun ruang lingkup duniawi.”