"Ya Rabb-ku, ampunilah aku, dan anugerahkanlah kepadaku kerajaan, yang tidak dimiliki oleh seorangpun juga sesudahku, sesungguhnya Engkaulah Yang Maha pemberi’."
Selasa, 05 Agustus 2014
Benarkah Ada Arwah Gentayangan
Di lingkungan masyarakat sudah terkenal sekali dengan adanya roh gentayangan. Mereka percaya bahwa orang yang sudah mati bisa hidup kembali berupa roh. Mereka juga beranggapan bahwa orang yang matinya tidak wajar seperti bunuh diri ataupun di bunuh orang lain maka arwahnya penasaran. Arwah tersebut akan meminta sesuatu agar arwahnya bisa tenang. Namun, adakah arwah gentayangan dalam Islam?
Tentang arwah gentayangan atau hantu ini merupakan opini yang salah kaprah. Bukan persoalan ada tidak orang yang telah diganggu oleh hantu tersebut, tetapi dalam hal mengalamatkan siapakah yang menakut-nakuti itu.
Memang ada riwayat yang menyebutkan adanya ruh manusia yang melihat bagaimana orang-orang yang masih hidup memperlakukan jasadnya.
Seperti yang diriwayatkan dari Abu Said Al-Khudri, Nabi SAW bersabda, “Jika jenazah telah siap, kemudian kaum lelaki memikulnya di atas pundak-pundak mereka, maka jenazah itu orang shalih ia berkata: ‘Segerakanlah aku!’, tetapi jika tidak (shalih), ia berkata kepada keluarganya: ‘Celaka, akan kalian bawa kemana aku?’ Segala sesuatu akan mendengar suaranya selain manusia, dan andaikan manusia mendengarnya niscaya akan jatuh tersungkur,”
(HR. Bukhari).
Hal ini juga dikuatkan pula oleh dua hal:
Pertama, keterangan yang shahih menyebutkan bahwa orang kafir mendapat siksa kubur, sedangkan orang yang shalih mendapat nikmat di kubur, bagaimana sempat mereka bergentayangan dengan berbagai motif misal balas dendam, menolong temannya yang masih hidup atau mencari kesenangan lain di dunia?
Kedua, andai saja orang yang telah mati diberi kesempatan untuk beramal lagi, tentulah mereka memilih fokus untuk beribadah, bukan untuk balas dendam atau yang lainnya. Lagi pula bagaimana dengan hisabnya di akhirat jika dia membunuh setelah matinya? Bagaimana pula dengan catatan amalnya? Jelas hal ini menyelisihi dalil-dalil qath’i yang menyebutkan bahwa manusia putus amalnya ketika telah mati. Seperti hadits yang sudah sangat populer, “Jika manusia mati, maka putuslah amalnya kecuali tiga perkara, yakni sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, atau anak shalih yang mendoakannya,” (HR. Muslim).
Allah dalam Q.S Al Mukminum: 99-100 memberitakan bahwa orang-orang yang telah dikuburkan mustahil bisa kembali kedunia, kecuali dibangkitkan setelah hari kiamat. Orang-orang kafir (roh jahat) terkurung dalam penjara alam kubur. Dan pada ayat lain (Q.S Arrum :56), jadi tidak ada kekuasaan manusia (yang telah berada dialam kubur) untuk bisa kembali ke dunia ini.
Rasullah SAW mengabarkan bahwa setelah roh keluar dari tubuh manusia (mati), roh itu diantar oleh malaikat menuju penciptanya (Allah). Setelah itu dikembalikan kealam kubur. Di alam kubur roh mendapat pemeriksaan oleh malaikat Munkar dan Nakir. Melalui pemeriksaan itulah roh ditempatkan pada tempat yang layak baginya “Kemudian dibukakanlah untuknya pintu kearah surga. Lalu kepadanya dikatakan; Inilah tempat tinggalmu dan itu pulalah yang diserakan oleh Allah untukmu yaitu segala sesuatu yang ada di dalamnya. Mayit itu merasakan kenikmatan yang besar dan umat berbahagia. Kemudian dikeluarkanlah kuburnya itu sampai 70 hasta dan diberi penerangan di dalamnya. Tubuhnya dikembalikan sebagai mana permulaan dahulu. Rohnya diletakkan di dalam kelompok roh yang suci yaitu dalam tubuh seekor burung yang bertengger di salah satu pohon surga,” (H.R Ahmad).
Berdasarkan keterangan al-Qur’an dan hadis maka jelaslah bahwa tidak ada roh gentayangan, yang ada adalah roh orang yang mukmin tidak bisa terangkat keatas gara-gara utangnya yang belum terbayar. Rasulullah SAW telah menegaskan bahwa tidak ada hantu, di dalam arti roh mati kedunia mengganggu manusia (HR. Muslim).
Apa yang selama ini diyakini oleh sebagian besar umat Islam hanyalah tipu daya setan dari bangsa jin. Setanlah yang menyamar sebagai orang yang telah mati seperti dilihat oleh orang-orang yang tertipu. Setanlah yang masuk ke dalam tubuh manusia dan mengaku-ngaku sebagi roh orang tua, atau orang-orang saleh. Karena hanya setan (jin) yang diberi kemampuan oleh Allah untuk masuk ke dalam tubuh manusia, sebagaimana keterangan Rasulullah SAW bahwa, “Sesungguhnya setan (jin) beredar di dalam diri manusia seperti aliran darah,” (HR. Bukhari Muslim)
Islampos
Keadaan Orang Shalih di Akhir Zaman, Gugur dalam Perang Suci
KETIKA orang-orang ketakutan di hari kiamat, orang yang mati syahid tidak merasa takut. Dalam Sunan At-Tirmidzi dan Ibnu Majah diriwayatkan dari Miqdam ibn Ma’dikarab, yang mengatakan bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Orang yang mati syahid mendapatkan enam keunggulan di sisi Allah, Pertama diampuni dosanya pada pembelaan pertama, diperlihatkan tempat duduknya di surga, dibebaskan dari azab kubur dan selamat dari ketakutan besar, di kepalanya diletakkan mahkota kehormatan yang satu batu mulianya bernilai lebih baik dari dunia dan isinya, diberi pasangan 72 bidadari, dan dapat memberi pertolongan pada 70 kerabatnya.”
Dalam hadis itu disebutkan bahwa orang yang mati syahid akan selamat dari ketakutan besar, yaitu ketakutan pada hari kiamat. Demikian pula halnya orang yang mendapatkan tugas penempatan sebagai prajurit perang di jalan Allah. Bila ia gugur dalam keadaan bertugas, Allah akan mengamankannya dari ketakutan besar.
Ath-Thabarani telah meriwayatkan dengan sanad yang shahih dari Abu ad-Darda bahwa Nabi SAW bersabda, “Tugas di suatu tempat (sebagai prajurit) selama satu hari lebih baik dari puasa selama setahun, dan siapa yang mgugur dalam keadaan bertugas di jalan Allah, ia akan selamat dari ketakutan besar, mendapat reseki dan wangi dari surga, dan pahala bertugasnya mengalir terus hingga Allah membangkitkannya.
Diantara kemuliaan yang Allah beri kepada orang yang mati syahid adalah bahwa Allah akan membangkitkannya dengan lukanya yang mengeluarkan darah segar dan bau harum mewangi. Dalam Shahih al-Bukhari diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Demi Yang menguasai diriku, siapa yang terluka di jalan Allah, dan Allah paling tau orang yang terluka di jalan – Nya, ia akan datang pada hari kiamat dengan lukanya yang berdarah dan semerbak mewangi.”
At-Tirmidizi, An-Nasa’i, dan Abu Dawud meriwayatkan dengan sanad yang shahih dari Mua’dz ibn Jabal, yang mendengar Rasulullah SAW bersabda, “Siapa yang berperang di jalan Allah dari pagi hingga petang, ia memperoleh surga. Siapa yang terluka atau berdarah di jalan Allah, maka darah itu pada hari kiamat akan tampak seperti yang dahulu pernah keluar paling banyak dengan warna minyak za’faran (merah) dan bau minyak misik (kasturi, wangi).
Ibn Hajar mengatakan, “Para ulama berkata bahwa hikmah dibangkitkan seperti itu adalah lukanya sebagai saksi atau bukti keluhurannya mengorbankan jiwa dalam ketaatan kepada Allah SWT.”
Islampos
Kembali Menjadi Pemenang
Idul Fitri berarti kembali pada kesejatian diri atau diri sejati. Di antara kesejatian diri itu adalah keberadaan manusia sebagai pemenang (the winner). Itu sebabnya, Idul Fitri dinamai Hari Kemenangan.
Menurut fitrahnya, manusia ingin menang, tidak ingin kalah. Setiap anak manusia yang terlahir ke dunia, sejatinya pemenang, lantaran dalam proses pembuahan dalam rahim, ia telah mengalahkan ribuan saudara-saudaranya yang lain.
Pada kenyataannya, secara faktual, tidak semua orang bisa menjadi pemenang. Sebab, untuk meraih kemenangan, diperlukan persyaratan-persyaratan yang tidak ringan, berupa kualitas-kualitas, kompetensi, track record, dan yang tidak kalah pentingnya, keterampilan memilih strategi pemenangan.
Secara konsep, untuk meraih kemenangan, diperlukan beberapa atribut yang mesti dimiliki. Pertama, kecerdasan atau kekuatan (power).
Dalam psikologi modern, kecerdasan atau kekuatan itu meliputi kecerdasan fisik (physical quotient), kecerdasan intelektual (intelligence quotient), kecerdasan emosi/moral (emotional quotient), dan kecerdasan spiritual (spiritual quotient).
Kedua, keberanian (syaja`ah), berarti kesiapan tampil atau maju dalam situasi yang menakutkan atau membahayakan disertai kesediaan berkorban dan menanggung risiko.
Berkorban berarti sedia memberikan sesuatu yang berharga untuk sesuatu yang lebih berharga lagi. Menanggung risiko (risk taker) berarti siap menerima akibat, nyawa sekalipun, untuk mencapai tujuan dan cita-cita mulia.
Tak ada kemenangan tanpa keberanian. Semua cerita kemenangan, sejatinya adalah cerita keberanian. Orang bijak berkata: “Ketahuilah, semua kesulitan tak akan bisa dihilangkan, dan semua kemuliaan tak pernah bisa dicapai, kecuali hanya dengan keberanian.”
Ketiga, kejuangan (jihad), berarti mengerahkan segala potensi dan kemampuan untuk mencapai kemenangan. Jihad juga bermakna masuk ke gelanggang pertarungan dengan menjadi pelaku atau pemain, bukan menjadi penonton, apalagi pengacau atau perusuh pertandingan. Hal ini, karena pemenang atau gelar juara diberikan hanya kepada pemain. Lain tidak!
Terakhir, selain tiga hal di atas, kemenanangan memerlukan ketahanan (determinasi) dan kegigihan (persistent) dalam perjuangan.
Firman Allah SWT: “Janganlah kamu bersikap lemah dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi (pemenang), jika kamu orang-orang yang beriman.” (QS. Ali Imran [3]: 139).
Ayat ini menggarisbawahi, sikap lemah dan kesedihan yang berkepanjangan (demoralisasi) merupakan penghambat kemajuan dan kemenangan.
Pakar tafsir Ibn Asyur, memandang al-wahan dan al-hazan sebagai penyakit jiwa (mental block) yang membuat manusia tak bisa melakukan perlawanan (tark al-muqawamah).
Al-hazn itu bisa dimaknai sebagai kondisi jiwa di mana seorang merasa dirinya tidak berharga (worthless) disertai perasaan putus asa (hopless) dan dengan begitu sulit diselamatkan (helpless). Al-Hazn tidak bisa bertemu dengan kemenangan, karenanya harus dijauhi.
Ibadah puasa menjadi penting, lantaran berfungsi mencegah penyakit-penyakit mental dan menumbuhkan sifat-sifat pemenang seperti telah disebutkan di atas.
Bahkan, ibadah ini menjadi istimewa, karena pada hakikatnya ia merupakan pusat restorasi rohani yang mampu mengembalikan manusia kepada jati diri (fitrah)-nya.
Maka, pada momen Idul Fitri ini, kepada orang-orang yang puasa pantas disampaikan ucapan selamat: Minal Aidin wa al-Faizin. Selamat Kembali menjadi Pemenang! Wallahu a`lam!
Republika.co.id
Silahturahmi Hati
Bulan rahmah dan maghfirah telah berlalu. Kepergiannya diiringi dengan berbagai sambutan dari para pecintanya; ada yang teramat menyesal dan bersedih karena merasa belum memaksimalkan bulan Ramadhan, ada pula yang bersyukur karena telah mampu menjalani serangkaian target yang telah disusun selama bulan Ramadhan.
Apa pun perasaan yang kita miliki, tetaplah kita harus mensyukuri bahwa Idul Fitri adalah momentum penyucian hati setelah sebulan lamanya kita dilatih untuk menahan dan menyucikan diri dari segala hasrat duniawi; makan, minum, termasuk mengelola emosi. Idul Fitri menjadi kesempatan terbaik untuk sama-sama membuka hati, memberi dan meminta maaf, serta menebarkan sifat belas kasih.
Meski memaafkan dan meminta maaf tak sebatas hanya pada saat perayaan Idul Fitri, momen perayaan ini kerap dispesialkan untuk berbagi dan memohon maaf. Tak ayal, ucapan yang sering kita dengar atau bahkan sering kita lontarkan ialah, ‘Mohon Maaf Lahir dan Bathin’.
Tak salah memang, memberi maaf terlebih meminta maaf adalah perilaku terpuji. Tak hanya bermaaf-maafan, Idul Fitri menjadi momen berharga untuk kembali merajut silaturahim bersama rekan dan sanak saudara.
Silaturahim (menyambung kasih sayang), atau yang justru sering disebut dengan silaturahmi adalah perbuatan baik yang dianjurkan Rasulullah SAW. Namun, hakikat silaturahim tak cukup dengan lahir (zahir/tampak), berupa berjabat tangan atau bertatap wajah. Hendaknya silaturahim bathin (hati) —yang sadar untuk meminta dan memberi maaf—benar-benar disadari, agar segala noda-noda di hati berupa iri, dengki, hasad, dendam, melebur hancur bersamaan dengan silaturahim tersebut.
Allah Swt berfirman, "Perkataan yang baik dan pemberian maaf lebih baik dari sedekah yang diiringi dengan sesuatu yang menyakitkan (perasaan si penerima). Allah Mahakaya lagi Mahapenyantun." (QS al-Baqarah: 263)
Secara tersirat, Allah menyebutkan dua tingkatan kebajikan dalam ayat ini, Pertama, perkataan yang baik. Berkata yang baik adalah salah satu usaha hifdz al-lisan (menjaga lisan) adalah hal yang benar-benar dianjurkan dalam Islam, sehingga Rasulullah SAW pun bersabda, ‘Berkatalah yang baik, atau (jika tidak bisa) lebih baik diam,’.
Dalam hadis ini Rasulullah mengajak umatnya untuk mampu berkata baik dan membuahkan manfaat bagi sesama, bukan perkataan penuh dusta, caci-maki, dendam dan amarah. Kedua, kebajikan dengan memberi maaf dan ampunan kepada orang yang telah berlaku buruk kepada kita, baik dengan perkataan maupun dengan perbuatan. Nah, yang terakhir inilah yang disadari maupun tidak, sulit dilakukan.
Meminta maaf memang terkadang bukanlah perkara yang mudah, namun, bukan berarti kita tidak mampu melakukannya. Terkadang pula, perasaan tinggi hati kerap merusak niat diri sehingga kita malu mengutarakan ‘maaf’ terlebih dulu, padahal, jika kita cermati bersama, Rasulullah SAW bersabda, “Tidak halal seorang Muslim menjauhi kawannya lebih dari tiga hari. Jika telah lewat waktu tiga hari itu, maka berbicaralah dengan dia dan berilah salam, jika dia telah menjawab salam, maka keduanya bersama-sama mendapat pahala, dan jika dia tidak membalasnya, maka sungguh dia kembali dengan membawa dosa, sedang orang yang memberi salam telah keluar dari dosa karena menjauhi itu.” (HR Abu Dawud)
Dalam hadis lain, Rasulullah SAW bersabda, “Pintu-pintu surga akan dibuka pada hari Senin dan Kamis, kemudian Allah akan memberi ampunan kepada setiap orang yang tidak menyekutukan Allah sedikit pun; kecuali seorang laki-laki yang ada perpisahan antara dia dengan saudaranya. Maka berkatalah Allah: ‘Tangguhkanlah kedua orang ini sehingga mereka berdamai, tangguhkanlah kedua orang ini sehingga mereka berdamai, tangguhkanlah kedua orang ini sehingga mereka berdamai.” (HR Muslim)
Semoga kita tergolong menjadi hamba-Nya yang mampu menyambung tali kasih sayang ikhlas dari hati, sehingga mudah untuk memberi dan meminta maaf dengan tulus. Amin.
Republika.co.id
Menaklukkan Waktu
Waktu merupakan salah satu nikmat Allah yang paling berharga yang dianugerahkan kepada para hamba-Nya.
Dalam Alquran disebutkan bahwa manusia itu akan mengalami kehancuran jika tidak memanfaatkan waktunya untuk kebaikan, sebagaimana firman Allah,
“Dan demi masa. Sesungguhnya manusia itu dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman, mengerjakan amal saleh, dan saling menasehati dalam kebenaran dan kesabaran.” (QS al-'Ashr [103]: 1-3).
Imam Fakhrurrazi dalam tafsirnya tentang surah al-'Ashr tersebut menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan al-'Ashr itu adalah waktu atau masa. Masa adalah sesuatu yang sifatnya sangat unik dan mengagumkan. Beragam kisah anak manusia terjadi silih berganti pada lintas generasi.
Kualitas kehidupan seorang anak manusia sangat tergantung dari caranya memanfaatkan waktu. Hidupnya akan berarti dan bernilai jika ia dapat memaksimalkan peran waktu di kehidupannya. Sebaliknya, kerugian dan kegagalanlah yang akan diperoleh saat dia menyia-nyiakan waktu yang dilaluinya.
Rasulullah SAW dalam hadisnya menjelaskan tentang urgensi waktu sebagai berikut, “Ada dua jenis nikmat yang sering kali dilalaikan kebanyakan orang, yaitu nikmat sehat dan waktu luang.” Kedua nikmat ini merupakan anugerah tak terhingga dari Allah SWT yang harus dimanfaatkan secara maksimal.
Terkait interpretasi dari hadis ini, Ibnul Jauzi menjelaskan, terkadang seseorang berada dalam kondisi sehat tapi tidak mempunyai waktu luang akibat tersita oleh pekerjaan dan urusan duniawi lainnya.
Sebaliknya saat seseorang mempunyai waktu luang namun tetap tidak bisa memanfaatkannya karena kondisi kesehatannya yang buruk sehingga waktu luang pun akan berlalu dengan sia-sia.
Dengan demikian, usia pada dasarnya tidaklah bernilai apa-apa dalam kehidupan ini, karena sebenarnya yang berharga itu adalah value dari pemanfaatan waktu. Value inilah yang akan membuat usia seseorang memiliki makna dan kualitas.
Seorang yang menyia-nyiakan puluhan tahun dari usianya, namun di saat-saat terakhirnya ia bertobat dan berbuat kebaikan maka kualitas usianya itu hanya di penghujung usianya saja. Ini menguatkan pernyataan dari ayat yang disebutkan sebelumnya.
Menarik sekali pernyataan dari Imam Syafi'i yang mengatakan bahwa selama dia bergaul dengan para ahli sufi, hanya dua pernyataan yang selalu dia dengar dari mereka, yaitu “Waktu itu ibarat pedang, jika kau tidak membunuhnya (waktu) maka dialah yang akan membunuhmu.”
Pernyataan lainnya, “Dan waktumu... jika tidak kau pergunakan untuk kebaikan maka dia akan menyibukkanmu dengan kejahatan.” Wallahu a'lam bish shawwab.
Republika.co.id
Langganan:
Postingan (Atom)