Banyak mungkin diantara kita yang masih berpendapat bahwa Rezeki,
Ajal, serta jodoh telah ditetapkan oleh Allah semenjak kita masih di
dalam kandungan. Pemikiran seperti ini mungkin telah mendarah daging di
dalam diri kita.
Apalagi kiranya sejak kecil mungkin orang tua, guru, dan lingkungan
masyarakat dimana tempat kita hidup pun kalimat ini sampai sekarang
masih sangat
familiar diulang-ulang.
Untuk membahas ini, maka mari kita coba untuk urai masalah ini
sehingga kita bisa menyimpulkan tentang hakikat dari ketiga kata
tersebut, yakni seputar Rezeki, Ajal, dan Jodoh.
1. REZEKI
Ar-Rizqu (rezeki) secara bahasa berasal dari akar kata
razaqa–yarzuqu–razq[an] wa rizq[an]. Razq[an] adalah mashdar yang
hakiki, sedangkan rizq[an] adalah ism yang diposisikan sebagai mashdar.
Kata rizq[an] maknanya adalah marzûq[an] (apa yang direzekikan);
mengunakan redaksi fi’l[an] dalam makna maf’ûl (obyek) seperti dzibh[an]
yang bermakna madzbûh (sembelihan).
Secara bahasa razaqa artinya a’thâ (memberi) dan ar-rizqu artinya al-‘atha’ (pemberian).
1. Menurut ar-Razi dan al-Baydhawi, secara bahasa ar-rizqu juga
berarti al-hazhzhu (bagian/porsi), yaitu nasib (bagian) seseorang yang
dikhususkan untuknya tanpa orang lain.Karena itu, Abu as-Saud
mengartikan ar-rizqu dengan al-hazhzhu al-mu’thâ (bagian/porsi yang
diberikan).
2 Menurut Ibn Abdis Salam dalam tafsirnya, asal dari ar-rizqu adalah
al-hazhzhu (bagian/porsi). Karena itu, apa saja yang dijadikan sebagai
bagian/porsi (seseorang) dari pemberian Allah adalah rizq[an].
Selain itu, ar-rizqu juga diartikan apa saja yang bisa dimanfaatkan.
Dari semuanya itu, ar-rizqu bisa diartikan sebagai: bagian/porsi dari
pemberian Allah kepada seorang hamba berupa apa saja yang bisa
dimanfaatkan sebagai bagian/porsi yang dikhususkan untuknya.
Ayat-ayat tentang rezeki lebih banyak menunjuk pada harta baik berupa
barang maupun jasa yang bisa dimanfaatkan untuk memenuhi aneka
kebutuhan manusia. Konteks ayat-ayat bahwa Allah meluaskan dan
menyempitkan rezeki juga lebih menunjuk pada konotasi harta.
Itu pula yang diindikasikan oleh ayat-ayat yang mengaitkan rezeki
dengan konsumsi dan infak (pembelanjaan), karena konsumsi dan infak
hanya terkait dengan harta.
Rezeki berbeda dengan kepemilikan. Kepemilikan adalah penguasaan
sesuatu dengan tatacara yang diperbolehkan syariah untuk menguasai
harta. Jadi, rezeki itu mencakup rezeki yang halal maupun yang haram.
Inilah yang menjadi pendapat Ahlus Sunnah sebagaimana yang ditegaskan
oleh Imam al-Qurthubi. Semuanya dikatakan sebagai rezeki. Harta yang
diambil penjudi dari lawannya dalam perjudian adalah rezeki.
Sebab, rezeki yang halal ataupun haram itu adalah harta yang
diberikan oleh Allah ketika seseorang berbuat untuk melangsungkan
kondisi yang di dalamnya bisa diperoleh rezeki.
3.Rezeki bukan hanya yang secara riil dimanfaatkan (dinikmati) oleh
seseorang. Ayat-ayat al-Quran menunjukkan bahwa rezeki manusia adalah
apa saja yang ia kuasai baik yang ia manfaatkan maupun tidak (Lihat QS
al-Baqarah [2]: 57, 60; an-Nisa’ [4]: 5; ar-Ra’d [13]: 26; al-Hajj [22]:
34).
Ayat-ayat itu jelas memutlakkan rezeki untuk menyebut semua yang
dikuasai baik dimanfaatkan (secara riil) maupun tidak. Tidak bisa
dikhususkan pada apa yang dimanfaatkan (secara riil) saja tanpa ada ayat
yang mengkhususkannya, karena ayat-ayat tersebut bersifat umum dan
penunjukannya juga umum.
Jika orang mencuri, menilap atau merampas harta orang lain, tidak
dikatakan ia mengambil rezeki orang itu. Namun, ia mengambil rezkinya
dari orang itu. Tidak ada seorang pun yang mengambil rezeki orang lain,
melainkan seseorang mengambil rezekinya dari pihak lain.
Rezeki dan Usaha
Banyak orang menduga, merekalah yang mendatangkan rezeki mereka
sendiri. Mereka menganggap kondisi-kondisi mereka meraih harta —barang
atau jasa—sebagai sebab datangnya rezeki; meskipun mereka menyatakan,
bahwa Allahlah Yang memberikan rezeki. Profesi atau usaha yang
dicurahkan mereka anggap sebagai sebab datangnya rezeki.
Fakta yang ada sebenarnya cukup jelas menunjukkan kesalahan anggapan
itu. Banyak orang yang telah berusaha dengan segenap tenaga dan
pikirannya, tetapi rezeki tidak datang, bahkan tidak jarang justru
merugi.
Sebaliknya, sangat banyak fakta bahwa rezeki datang kepada seseorang
tanpa dia melakukan usaha apapun. Ini menunjukkan bahwa usaha bukan
sebab bagi datangnya rezeki. Rezeki tidak berada di tangan manusia.
Allahlah yang menentukan rezeki itu datang kepada manusia dan Dia
memberinya kepada manusia menurut kehendak-Nya.
Banyak ayat al-Quran menegaskan secara pasti bahwa rezeki semata ada
di tangan Allah dan Allahlah yang memberi rezeki (QS. al-Baqarah [2]:
172, 212, 254; Ali Imran [3]: 27, 37; al-An’am [6]: 142; al-‘Ankabut
[29]: 60; ar-Rum [30]: 40; dsb). Dia meluaskan dan menyempitkan rezeki
seseorang sesuai dengan kehendakNya. (QS. ar-Ra’d [13]: 26; al-Isra’
[17]: 30; al-Qashshash [28]: 82; al-‘Ankabut [29]: 62; ar-Rum [30]: 37;
Saba’ [34]: 36; az-Zumar [39]: 52; asy-Syura [42]: 12).
Sesuai kehendak-Nya, Dia memberi rezeki kepada seseorang dari arah
yang tidak disangka-sangka. Karena itu, Allah SWT berfirman (artinya):
Mintalah rezeki itu di sisi Allah (QS. al-‘Ankabut [29]: 17). Jadi,
rezeki semata di tangan Allah dan hanya Allahlah yang memberi rezeki.
Ini adalah keyakinan yang harus diimani dan mengingkarinya berarti
kufur.
Adapun dari sisi amal, Allah SWT mewajibkan hamba-Nya untuk berusaha
dan berikhtiar melangsungkan kondisi-kondisi yang di dalamnya rezeki
bisa datang. Namun, pada saat yang sama, ia harus paham bahwa usaha,
ikhtiar dan kondisi itu bukan sebab bagi datangnya rezeki. Allah tidak
menanyakan tentang datang dan tidaknya rezeki, tetapi Allah akan
menanyakan usaha dan amal hamba untuk mencari rezeki. Karenanya, Allah
menjelaskan mana yang halal dan yang tidak.
Rezeki setiap hamba telah dijamin oleh Allah. Allah pun telah
menetapkan kadar dan takaran bagian atau porsi rezeki tiap hamba (Lihat
QS. Hud [11]: 6)
Imam Muslim meriwayatkan dari Ibn Mas’ud bahwa pada usia kandungan
120 hari, Allah mengutus malaikat untuk menuliskan beberapa ketetapan
atas janin itu, termasuk ketetapan rezeki dan ajalnya. Para ulama
menjelaskan, yaitu ketetapan sedikit dan banyaknya rezeki. Sedikit dan
banyaknya rezeki atau kaya dan miskinnya seorang hamba tidak akan
dihisab oleh Allah karena itu semata adalah ketetapan Allah.
Allah SWT meluaskan dan menyempitkan rezeki seorang hamba sesuai
kehendak-Nya. Itu adalah ujian bagi hamba (QS. al-Fajr [89]: 15-16).
Kaya dan miskin tidak bersifat baik atau buruk dengan sendirinya; juga
tidak menentukan mulia dan hinanya seseorang. Namun, kaya dan miskin itu
menjadi baik atau buruk, memuliakan atau menghinakan, ditentukan oleh
penyikapan terhadapnya.
Rezeki seorang hamba telah dijamin oleh Allah. Porsi dan takarannya
juga telah ditetapkan. Jika hamba itu memintanya dengan jalan yang halal
ataupun dengan jalan yang haram, Allah berikan. Namun, Allah akan
menanyai tatacara perolehan dan pembelanjaan harta itu.
اَ تَزُولُ قَدَمَا عَبْدٍ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
حَتَّى يُسْأَلَ عَنْ عُمْرِهِ فِيمَا أَفْنَاهُ وَعَنْ عِلْمِهِ فِيمَا
فَعَلَ وَعَنْ مَالِهِ مِنْ أَيْنَ اكْتَسَبَهُ وَفِيمَا أَنْفَقَهُ وَعَنْ
جِسْمِهِ فِيمَا أَبْلاَهُ
Kedua kaki seorang hamba tidak akan bergeser pada Hari Kiamat
hingga ia ditanya:Umurnya dia habiskan untuk apa; ilmunya diamalkan
untuk apa; hartanya dari mana ia peroleh dan dibelanjakan untuk apa dan
tubuhnya digunakan untuk apa.
(HR at-Tirmidzi).
Seret atau tertundanya rezeki hendaknya tidak membuat seseorang
tergesa-gesa lalu memintanya kepada Allah dan mencarinya dengan jalan
yang haram. Rasul saw. berpesan:
إِنَّ رُوْحَ الْقُدْسِ نَفَثَ فِيْ رَوْعِيْ: إِنَّ
نَفْسًا لاَ تَمُوْتُ حَتَّى تَسْتَكْمِلَ رِزْقُهَا فَاتَّقُوْا اللهَ
وَأَجْمِلُوْا فِيْ الطَّلَبِ وَلاَ يَحْمِلَنَّكُمْ اِسْتِبْطَاءُ
الرِّزْقِ أَنْ
تَطْلُبُوْهُ بِمَعَاصِيْ اللهِ فَإِنَّ اللهَ لاَ يُدْرَكُ
مَا عِنْدَهُ إِلاَّ بِطَاعَتِهِ
Malaikat Jibril membisikkan di dalam hatiku, bahwa suatu jiwa
tidak akan mati hingga telah sempurna rezekinya. Karena itu, bertakwalah
kepada Allah dan carilah (rezeki) dengan cara yang baik —halal,
proporsional dan tidak tersibukkan dengannya— dan hendaklah tertundanya
(lambatnya datang) rezeki tidak mendorong kalian untuk mencarinya dengan
kemaksiatan kepada Allah, karena sesungguhnya keridhaan di sisi Allah
tidak akan bisa diraih kecuali dengan ketaatan kepada-Nya.
(HR Abu Nu’aim, al-Baihaqi dan al-Bazar dari Ibn Mas’ud).
Keimanan tentang rezeki itu menjadi salah satu kunci seorang tidak
akan tersibukkan dengan dunia, tidak menjadi pemburu harta, bisa
bersikap zuhud, giat beramal, berdakwah amar makruf nahi mungkar dan
ketaatan pada umumnya. Imam Hasan al-Bashri pernah ditanya tentang
rahasia zuhudnya. Beliau menjawab, “Aku tahu rezekiku tidak akan bisa
diambil orang lain.Karena itu, hatikupun jadi tenteram. Aku tahu amalku
tidak akan bisa dilakukan oleh selainku. Karena itu, aku pun sibuk
beramal. Aku tahu Allah selalu mengawasiku. Karena itu, aku malu jika
Dia melihatku di atas kemaksiatan. Aku pun tahu kematian menungguku.
Karena itu, aku mempersiapkan bekal untuk berjumpa dengan-Nya.”
2. JODOH
Lafadz “jodoh” adalah kata yang dipakai dalam bahasa Indonesia untuk
menunjuk makna tertentu. Lafadz ini berbeda dengan lafadz suami, istri,
pasangan hidup atau yang semisal dengannya. Lafadz jodoh menurut kamus
bahasa Indonesia adalah “pasangan yang cocok” baik bagi laki-laki maupun
perempuan.
Oleh karena itu lafadz jodoh memiliki makna yang lebih spesifik dari
lafadz suami, istri, atau pasangan hidup, sebab di sana terdapat
penjelasan sifat lebih khusus dari sekedar pasangan hidup. Dalam bahasa
Arab, kata yang bermakna “jodoh” seperti yang terdapat dalam bahasa
Indonesia tidak ditemukan.
Para Fuqaha’ ketika membahas hukum pernikahan hanya menyebut istilah (
زَوْجٌ ) atau( بَعْلٌ ) untuk suami, dan ( زَوْجَةٌ ) atau ( امْرَأَةٌ )
untuk istri, yakni istilah-istilah yang berkonotasi “netral” tanpa ada
penekanan sifat tertentu sebagaimana kata suami, istri, atau pasangan
hidup dalam bahasa Indonesia.
Adapun makna jodoh yang menjadi topik diskusi di sini adalah “orang
atau individu tertentu yang akan menjadi pasangan hidup kita”, dengan
titik diskusi: Apakah Allah telah menentukan dalam Lauhul Mahfudz,
sebelum manusia dilahirkan bahwa ia akan dipasangkan dengan individu
tertentu ataukah tidak? Artinya apakah Allah sudah mentakdirkan dalam
Azal bahwa A akan dipasangkan dengan B, C dipasangkan dengan D, ataukah
tidak?
Untuk menjawab pertanyaan ini, tentu harus dilakukan studi yang
mendalam terhadap nash-nash yang terkait dengan topik tersebut
berdasarkan Al-Qur’an dan as-Sunnah atau dalil yang ditunjuk keduanya
seraya mengesampingkan semua dasar yang tidak terkait dengan nash
Al-Qur’an dan As-Sunnah baik ia berupa adat, tradisi, pameo, peribahasa,
dsb.
Hanya saja, pembahasan tentang jodoh termasuk perkara Qadha’ atau
bukan tidak boleh dicampur adukkan dengan pembahasan keimanan bahwa
Allah adalah ( اْلمُدَبِّرُ ) (Maha Pengatur). Sebab, pembahasan “jodoh
termasuk perkara Qadha’ atau bukan” adalah satu hal, sementara
pembahasan tentang keimanan bahwa Allah bersifat ( اْلمُدَبِّرُ ) adalah
hal yang lain.
Masing-masing adalah topik tersendiri yang harus dibahas berdasarkan
nash-nash yang terkait dengan topik itu. Mencampur adukkan dua topik
pembahasan ini adalah langkah keliru karena bertentangan dengan fakta
pembahasan, sebagaimana bisa berakibat kekacauan terhadap pemahaman.
Dengan demikian dua macam pembahasan itu harus dipisahkan.
Tinjauan sekilas terhadap persoalan jodoh menunjukkan bahwa persoalan
ini adalah termasuk masalah aqidah, sebab kepercayaan bahwa Allah
mentakdirkan A berpasangan dengan B, C berpasangan dengan D, atau Allah
tidak mentakdirkan itu adalah jenis keyakinan, bukan amal.
Efek pembahasan yang paling akhir adalah membentuk keyakinan tertentu
seputar persoalan tersebut, bukan membahas apa yang harus dikerjakan
oleh seorang mukallaf. Dengan demikian masalah jodoh adalah masalah
aqidah, bukan syariat dan dalam masalah ini pambahasan tersebut tidak
ada bedanya dengan pembahasan tentang rezeki, ajal, Dajjal, siksa kubur,
dsb.
Dalam persoalan aqidah, seorang Muslim harus mendasarkan semua
kepercayaannya atas dalil yang shohih. Tidak diperkenankan seorang
Muslim memiliki keyakinan tanpa ada dalil., yakni sekedar menduga-duga
atau mengikuti umumnya kata orang.
Dalil itupun harus bersifat ( قَطْعِيٌّ ) (pasti), tidak boleh
bersifat ( ظَنِّيٌّ ) (dugaan). Meskipun ada Qorinah (indikasi) yang
menunjukkan pada keyakinan tertentu, selama dalil itu bersifat (
ظَنِّيٌّ ) tidak boleh seorang Muslim mengambilnya sebagai aqidah. Allah
telah mencela keras orang-orang kafir yang memiliki keyakinan bahwa
para Malaikat itu berjenis kelamin wanita:
إِنَّ الَّذِينَ لا يُؤْمِنُونَ بِالآخِرَةِ لَيُسَمُّونَ الْمَلائِكَةَ تَسْمِيَةَ الأنْثَى
وَمَا لَهُمْ بِهِ مِنْ عِلْمٍ إِنْ يَتَّبِعُونَ إِلا الظَّنَّ وَإِنَّ الظَّنَّ لا يُغْنِي مِنَ الْحَقِّ شَيْئًا
“Sesungguhnya orang-orang yang tiada beriman kepada kehidupan
akhirat, mereka benar-benar menamakan Malaikat itu dengan nama
perempuan. Dan mereka tidak mempunyai sesuatu pengetahuanpun tentang
itu. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan sedang persangkaan
itu tiada berfaedah sedikitpun terhadap kebenaran.”
(An-Najm;(53)27-28).
Artinya orang-orang kafir itu punya keyakinan bahwa
Malaikat berjenis kelamin wanita tetapi mereka tidak memiliki bukti
(dalil) atau argumentasi untuk menguatkan keyakinannya.
Keyakinan mereka hanya didasarkan pada dugaan ( ظَنٌّ ), padahal dzon
itu sama sekali tidak ada nilainya untuk membuktikan ( الْحَقُّ )
Dari sini bisa difahami, bahwa langkah yang harus dilakukan untuk
menjawab persoalan jodoh adalah mencari dalil yang menunjukkan bahwa
Allah telah menetapkan pasangan hidup manusia sebelum mereka diciptakan.
Dalil itupun harus bersifat ( قَطْعِيٌّ ) baik ( قَطْعِيُّ الثُّبُوْتِ )
(pasti sumbernya) maupun ( قَطْعِيُّ الدَّلاَلَةِ ) (pasti penunjukan
maknanya).
Setelah dilakukan kajian terhadap persoalan ini, nyatalah bahwa tidak
ada nash baik dalam al-Qur’an mapun as-Sunnah, juga Ijma’ sahabat dan
Qiyas yang menunjukkan bahwa Allah menetapkan calon pasangan seseorang.
Bahkan nash-nash yang ada menunjukkan bahwa persoalan ini adalah masalah
mu’amalah biasa yang berada dalam area yang dikuasai manusia.
Artinya persoalan menentukan pasangan hidup adalah hal yang bersifat
pilihan, yang manusia bertanggung jawab di dalamnya dan dihisab atasnya.
Dalil yang menunjukkan bahwa menentukan pasangan hidup adalah pilihan
manusia adalah:
Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. (An-Nisa;4).
Lafadz ( فَانْكِحُوْا مَا طَابَ لَكُمْ ) begitu jelas menunjukkan
bahwa setiap Muslim dipersilahkan memilih calon istrinya. Alasannya,
ketika Allah memubahkan untuk menikahi wanita-wanita yang ( طَابَ )
(manis, enak, lezat, menyenangkan) bagi mereka, dan tidak mencela lelaki
yang tidak mau menikahi wanita karena merasa kurang mantap, baik karena
fisik maupun sifatnya, ini semua menunjukkan bahwa persoalan ini adalah
persoalan pilihan ( اخْتِيَارِيٌّ ) bukan Qadha’.
Dalil lain yang mendukung adalah kenyataan bahwa syara’ memberikan
hak menentukan calon suami sebagai hak penuh kaum wanita, yang tidak
boleh ada intervensi dari siapapun meski itu ayah, ibu, paman, musyrif,
atau khalifah sekalipun.
عن بن بريدة عن أبيه قال جاءت فتاة إلى النبي صلى
الله عليه وسلم فقالت ثم إن أبي زوجني بن أخيه ليرفع بي خسيسته قال فجعل
الأمر إليها فقالت قد أجزت ما صنع أبي ولكن أردت أن تعلم النساء أن ليس إلى
الآباء من الأمر شيء. (رواه ابن ماجه)
Dari Ibnu Buraidah dari ayahnya dia berkata: Seorang gadis datang
kepada Nabi Saw. Kemudian ia berkata: Sesungguhnya ayahku menikahkan
aku dengan putra saudaranya untuk mengangkat derajatnya melalui aku.
Maka Nabipun menyerahkan keputusan itu pada gadis tersebut. Maka gadis
itu berkata: Aku telah mengizinkan apa yang dilakukan ayahku, akan
tetapi aku hanya ingin agar para wanita tahu bahwa para ayah tidak punya
hak dalam urusan ini.
(HR. Ibnu Majah dan An-Nasa’i).
Dalam hadis di atas, Nabi memberi kebebasan penuh pada gadis tersebut
untuk memutuskan apakah melanjutkan pernikahannya ataukah
membatalkannya. Ini menunjukkan bahwa menentukan calon suami adalah hak
penuh bagi wanita dan merupakan pilihan dia semata-mata.
Dalil lain yang mendukung adalah adanya syari’at talak. Talak adalah
pembubaran akad nikah. Syari’at talak memungkinkan seseorang yang
menjadi pasangan hidup orang lain untuk berpisah pada satu waktu
tertentu dengan sebab-sebab tertentu. Karena itu mustahil dikatakan
bahwa seseorang sudah dipasangkan dengan orang tertentu jika ternyata
syara’ memberikan suatu mekanisme untuk membubarkan akad nikah.
Lebih dari itu studi terhadap akad-akad yang diatur dalam syari’at
Islam menunjukkan bahwa semua akad yang disana terdapat Ijab dan Qabul
adalah mu’amalah yang berada dalam area yang dikuasai manusia.
Dengan
demikian jual-beli, Ijarah, Wakalah, Syirkah, dan semisalnya adalah
termasuk perkara mu’amalah yang berada dalam area yang dikuasai manusia.
Manusia akan dimintai pertanggung jawaban dalam aktivitas itu. Jika ia
melakukan jual-beli, Ijarah, Wakalah, dan Syirkah, dengan cara yang
syar’i maka ia bebas dari hukuman, tetapi jika ia melakukannya dengan
cara batil maka ia akan dijatuhi hukuman.
Demikian pula masalah
menentukan pasangan hidup. Jika seorang wanita Muslimah memutuskan
menikah dengan orang kafir maka ia akan dihukum, sebaliknya jika ia
menikah dengan lelaki yang dihalalkan syara’ maka ia bebas dari hukuman.
Adapun ayat yang berbunyi:
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا
لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ
فِي ذَلِكَ لآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri.
(QS. Ar-Rum [30] : 21)
وَخَلَقْنَاكُمْ أَزْوَاجًا
Dan Kami menciptakan kalian berpasang-pasangan.
(QS. An-Naba’ [78] : 8)
Juga termasuk ayat-ayat yang semisal dengannya, maka ayat ini sama
sekali tidak terkait dengan masalah jodoh, dan tidak ada Qorinah apapun
yang menunjukkan bahwa Allah menetapkan A menikah dengan B, C menikah
dengan D, baik secara ( صَرَاحَةٌ ) (jelas) maupun ( دَلاَلَةٌ )
(penunjukan makna). Tidak hanya itu, secara Manthuq dan Mahfum ayat ini
tidak bisa difahami sebagai ayat jodoh, sebab Sighot (redaksional) ayat
serta ( مَوْضُوْعٌ ) (topik pembahasan) memang tidak menunjuk ke arah
sana. Maksud dari diciptakannya manusia berpasang-pasangan tidak lain
adalah bahwa manusia terdiri dari jenis laki-laki dan perempuan yang
dengannya Allah memperkembangbiakkan spesies manusia di muka bumi, bukan
ditetapkannya bahwa A akan menikah dengan B atau C akan menikah dengan
D.
Adapun ayat yang berbunyi Khobitsat adalah untuk Khobitsun, dan
Khobitsun adalah buat Khobitsat (pula), dan Thoyyibat adalah untuk
Thoyyibun dan Thoyyibun adalah untuk Thoyyibat (pula). Mereka (yang
dituduh) itu bersih dari apa yang dituduhkan oleh mereka (yang menuduh
itu). bagi mereka ampunan dan rezki yang mulia (surga) (An-Nur; 26)
maka ayat ini juga bukan ayat jodoh. Sebab As-babun Nuzul dari ayat ini
adalah terkait dengan (حَدِيْثُ اْلإِفْكِ ) yakni peristiwa tuduhan atas
Aisyah yang diisukan berbuat serong dengan seorang sahabat yang bernama
Shofwan bin Mu’ath-thol. Karena itulah para mufassirin ketika
menafsirkan ayat ini, mereka menukil penafsiran Ibnu Abbas yang
mengatakan bahwa yang dimaksud ( الْخَبِيْثَات ) dalam ayat ini adalah
ucapan-ucapan yang buruk. Artinya ucapan-ucapan yang buruk (diantaranya
adalah memfitnah wanita baik-baik berbuat zina) hanya akan muncul dari
orang-orang yang buruk, yakni orang-orang munafik atau orang-orang yang
hatinya ada penyakit. Bukannya orang shalih pasti akan menikah dengan
wanita shalih dan lelaki shalih akan menikah dengan wanita shalihah.
Karena itu wajar jika diceritakan dalam al-Qur’an bahwa Nabi Luth a.s
beristri wanita yang tidak shalihah sebagaimana istri Fir’aun yang
shalihah bersuami Fir’aun yang kafir.
Hal ini dikarenakan urusan
pernikahan adalah mu’amalah biasa bukan sesuatu yang telah ditetapkan
sebagai mana rizki dan ajal. Jadi ayat ini tidak sah digunakan sebagai
dalil bahwa persoalan jodoh adalah sesuatu yang ditakdirkan, atau Allah
telah menentukan “kaidah umum” dalam pengaturan jodoh seseorang.
Dari sini bisa difahami, bahwa jodoh bukanlah perkara yang sudah
ditetapkan di Lauhul Mahfudz, tetapi ia adalah mu’amalah biasa
sebagaimana mu’amalah yang lain, yang berada di area yang dikuasai
manusia dan manusia dihisab atasnya.
Namun pemahaman bahwa jodoh adalah sesuatu yang berada dalam area
yang dikuasai manusia bukan berarti pengingkaran bahwa Allah adalah (
اْلمُدَبِّرُ ) yang bersifat Maha Mengatur dan ( الْحَاكِمُ ) yang Maha
Memutuskan. Setiap Mukmin ketika melaksanakan suatu aktivitas dalam area
yang dikuasainya kemudian ternyata apa yang terjadi di luar harapannya
dan di luar dugaannya, maka ia harus ridlo terhadap hal itu dan
mengimani bahwa Allah adalah Dzat yang Maha Mengatur.
Sebagai contoh: Seorang Muslim hendak naik haji dan sudah menyiapkan
semua biaya dan bekal kemudian secara tiba-tiba Allah memberinya sakit.
Pada kondisi ini, harus difahami bahwa melaksanakan ibadah haji adalah
wilayah yang dikuasai manusia, tetapi pemahaman ini harus disertai
keyakinan bahwa Allah bersifat ( اْلمُدَبِّرُ ). Dengan demikian ia
menjadi ridlo terhadap segala apa yang menimpanya, karena semua itu
berada diluar kuat kuasanya.
Demikian pula dalam persoalan pasangan hidup. Memilih siapapun yang
akan menjadi pasangan hidup semuanya adalah perkara (اخْتِيَارِيٌّ),
akan tetapi terkait dengan kesepakatan, ini adalah masalah lain. Seorang
dalam memutuskan sesuatu boleh jadi Allah mencondongkan pada suatu
keputusan tertentu, boleh jadi membiarkannya. Sebab Allah adalah Dzat
yang kuasa membolak-balikkan hati manusia.
Namun ketika Allah
mencondongkan pada suatu keputusan, bukan berarti Allah memasangkan X
dengan Y atau P dengan Q sejak zaman Azali, alasannya orang masih punya
pilihan mutlak untuk memutuskan hatta terhadap sesuatu yang berlawanan
sama sekali dengan kehendaknya. Karena itu keimanan yang harus dimiliki
adalah keimanan bahwa Allah bersifat ( اْلمُدَبِّرُ ) secara mutlak,
baik pada area yang dikuasai manusia maupun yang tidak dikuasai manusia,
bukan keimanan bahwa Allah telah menetapkan dalam Lauhul Mahfudz bahwa A
dipasangkan dengan B atau C dipasangkan dengan D.
Atas dasar ini semua pemahaman yang belum sesuai dengan nash-nash
syara’ sesegera mungkin harus dikoreksi. Tidak boleh menjadikan alasan
kemaslahatan misalnya: “cara ini cukup efektif untuk menghentikan orang
dari pacaran” untuk mengadopsi pemahaman yang keliru tentang jodoh.
Alasannya hal ini adalah persoalan hukum syara’ bukan persoalan uslub
dakwah yang masih mungkin dipilih uslub yang paling tepat.
3. AJAL/KEMATIAN
Secara bahasa kata ajal berasal dari kata: ajila–ya‘jalu–ajal[an].
Menurut al-Khalil al-Farahidi dalam Kitâb al-‘Ayn dan ash-Shahib ibn
‘Abad di dalam Al-Muhîth fî al-Lughah, dikatakan ajila asy-syay‘u
ya‘jalu wahuwa âjilun artinya naqîdu al-‘âjil (lawan dari segera).
Dengan demikian, al-ajal (bentuk pluralnya al-âjalu) secara bahasa
artinya terlambat atau tertunda.
Selain itu, secara bahasa, kata ajal juga memiliki beberapa makna sebagai berikut:
- Ghâyah al-waqti fî al-mawti wa mahalu ad-dayn wa nahwuhu (akhir
waktu pada kematian dan jatuh tempo utang dan semacamnya) (Al-Azhari,
Tahdzîb al-Lughah).
- Muddah asy-syay‘i (jangka waktu sesuatu) (Ibn Manzhur, Lisân al-‘Arab; al-Jauhari, Ash-Shihah fî al-Lughah).
- Muddatuhu wa waqtuhu al-ladzî yahillu fîhi (jangka waktunya dan waktu saat sesuatu itu berlalu) (Al-Fayumi, Mishbâh al-Munîr).
- Jangka waktu yang ditetapkan untuk sesuatu atau perbuatan (Rawas Qal’ahji, Mu’jam Lughah al-Fuqahâ’).
- Waktu yang ditetapkan untuk habisnya sesuatu (Abu Hilal al-‘Askari, al-Furûq al-Lughawiyah).
Dari sini ajal al-insân (ajal manusia) adalah akhir kehidupan
seseorang atau habisnya umur seseorang. Artinya, saat ajal seseorang itu
tiba, saat itu pulalah kematian datang menjemputnya.
Di dalam al-Quran kata ajal dan bentukannya disebutkan sekitar 55
kali. Di antaranya dalam arti jangka waktu (misal: QS al-Baqarah [2]:
231, 232, 234, 235; al-A’raf [7]: 135); umur (misal; QS al-A’raf [7]:
34; Yunus [10]: 11, 49); akhir umur/akhir kehidupan (misal: QS an-Nahl
[16]: 61; Fathir [35]: 45).
Sebab Kematian: Berakhirnya Ajal
Ayat-ayat al-Quran yang qath’i tsubut dan qath’i dilalah menyatakan
secara pasti bahwa Allah SWT sajalah Zat Yang menghidupkan dan
mematikan. Allah SWT berfirman:
وَاللَّهُ يُحْيِي وَيُمِيتُ
Allah menghidupkan dan mematikan
(QS. Ali Imran [3]: 156).
Al-Quran juga menegaskan hal ini pada banyak ayat lainnya (lihat QS.
al-Baqarah [2]: 73, at-Tawbah [9]: 116, Yunus [10]: 56, al-Hajj [22]: 6,
al-Mu’minun [23]: 80, al-Hadid [57]: 2).
Allah SWT telah menetapkan ajal bagi tiap-tiap umat maupun individu.
Kematian, yaitu datangnya ajal, telah ditentukan waktunya sebagai suatu
ketetapan dari Allah yang tidak bisa dimajukan maupun dimundurkan. Allah
SWT berfirman:
وَمَا كَانَ لِنَفْسٍ أَنْ تَمُوتَ إِلا بِإِذْنِ اللَّهِ كِتَابًا مُؤَجَّلا
Sesuatu yang bernyawa tidak akan mati melainkan dengan izin Allah
sebagai ketetapan yang telah ditentukan waktunya.
(QS. Ali Imran [3]:
145).
مَا تَسْبِقُ مِنْ أُمَّةٍ أَجَلَهَا وَمَا يَسْتَأْخِرُونَ
Tidak ada suatu umat pun yang dapat mendahului ajalnya dan tidak pula
dapat memundurkannya
(QS. al-Hijr [15]: 5)
Bahkan diulang dalam ayat yang lain
:
مَا تَسْبِقُ مِنْ أُمَّةٍ أَجَلَهَا وَمَا يَسْتَأْخِرُونَ
Tidak ada suatu umat pun yang dapat mendahului ajalnya dan tidak pula
dapat memundurkannya
(QS. Al-Mu’minun [23]: 43)
Pernyataan senada antara lain terdapat dalam QS. Yunus [10]: 49;
an-Nahl [16]: 61 dan QS al-Munafiqun [63]: 11. Jadi, habisnya ajal atau
datangnya kematian adalah sesuatu yang pasti (QS al-‘Ankabut [29]: 5).
Karena kematian adalah pasti datangnya maka manusia tidak akan bisa lari
menghindar darinya. Allah SWT menegaskan:
قُلْ إِنَّ الْمَوْتَ الَّذِي تَفِرُّونَ مِنْهُ فَإِنَّهُ مُلاقِيكُمْ
Katakanlah, “Sesungguhnya kematian yang kalian lari darinya tetp akan menemui kalian.”
(QS. al-Jumu’ah [62]: 8).
Allah SWT juga menegaskan:
أَيْنَمَا تَكُونُوا يُدْرِكُكُمُ الْمَوْتُ وَلَوْ كُنْتُمْ فِي بُرُوجٍ مُشَيَّدَةٍ
Di mana saja kalian berada, kematian akan menjumpai kalian kendati
kalian berada dalam benteng yang tinggi lagi kokoh.
(QS. an-Nisa’ [4]:
78).
Ayat ini menegaskan, jika orang berupaya menghindar dari
kematian—dengan jalan membentengi diri dari apa saja yang dia sangka
menjadi sebab datangnya kematian seakan dia berlindung dalam benteng
yang tinggi lagi sangat kokoh sekalipun—maka hal itu tidak akan bisa
menghindarkannya dari kematian. Sebab, semua yang disangka sebagai sebab
maut itu baik berupa sakit, perang, dsb, sejatinya bukanlah sebab maut.
Semua itu hanyalah kondisi yang didalamnya kadang terjadi kematian,
namun kadang juga tidak.
Ayat-ayat tersebut menegaskan bahwa satu-satunya sebab kematian
adalah habisnya ajal, yaitu habisnya jangka waktu yang ditetapkan untuk
manusia; atau datangnya ajal, yaitu datangnya batas akhir umur manusia.
Ketika itulah, Allah SWT mematikannya dengan mengutus Malaikat Maut
untuk mencabut ruh dari jasad.
قُلْ يَتَوَفَّاكُمْ مَلَكُ الْمَوْتِ الَّذِي وُكِّلَ بِكُمْ ثُمَّ إِلَى رَبِّكُمْ تُرْجَعُونَ
"Katakanlah: 'Malaikat maut yang diserahi untuk (mencabut nyawa)mu akan
mematikan kamu; kemudian hanya kepada Rabb-mulah kamu akan
dikembalikan."
(QS. as-Sajdah [32]: 11).
Masalah ajal ini persis seperti masalah rezeki. Ajal dan umur tiap
orang telah ditetapkan oleh Allah. Allah SWT juga menegaskan tidak akan
memajukan atau menangguhkan ajal seseorang. Allah tidak akan menambah
atau mengurangi jatah umur seseorang. Dalam QS al-Munafiqun [63]: 11,
Allah mengungkapkan dengan kata lan yang merupakan penafian
selama-lamanya (Lihat pula QS. Fathir [35]: 11).
Datangnya ajal adalah pasti, tidak bisa dimajukan ataupun
dimundurkan. Berjihad, berdakwah, amar makruf nahi mungkar, mengoreksi
penguasa, dsb, tidak akan menyegerakan ajal atau mengurangi umur. Begitu
pula berdiam diri, tidak berjihad, tidak berdakwah, tidak mengoreksi
penguasa, tidak beramar makruf nahi mungkar, dan tidak melakukan
perbuatan yang disangka berisiko mendatangkan kematian, sesungguhnya
tidak akan bisa memundurkan kematian dan tidak akan memperpanjang umur.
Semua itu jelas dan tegas dinyatakan oleh ayat-ayat al-Quran seperti di
atas.
Memang, ada sabda Nabi saw. sebagai berikut:
مَنْ سَرَّهُ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ رِزْقُهُ أَوْ يُنْسَأَ لَهُ فِى أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ
Siapa saja yang suka dilapangkan rezekinya dan ditambah umurnya hendaklah ia bersilaturahmi.
(HR al-Bukhari, Muslim, Abu dan Ahmad).
Juga ada beberapa hadis semisalnya. Dalam hal ini, yang dimaksud
dengan pertambahan umur bukanlah penundaan ajal. Yang bertambah tidak
lain adalah keberkahan umurnya dalam ketaatan kepada Allah. Bisa juga
maknanya adalah bukan pertambahan umur biologis, tetapi umur sosiologis,
yakni peninggalan, jejak atau atsar al-‘umri-nya yang terus
mendatangkan manfaat dan pahala setelah kematian biologisnya. Abu Darda
menuturkan bahwa Rasul saw. pernah bersabda:
إِنَّ اللهَ لاَ يُؤَخِرُ نَفْسًا إِذَا جَاءَ
أَجَلُهَا، وَإِنَّمَا زِيَادَةُ الْعُمْرِ بِالذُّرِيَّةِ الصَّالِحَةِ
يَرْزُقُهَا الْعَبْدَ، فَيَدْعُوْنَ لَهُ مِنْ بَعْدِهِ، فَيَلْحِقَهُ
دُعَاؤُهُمْ فِيْ قَبْرِهِ، فَذَلِكَ زِيَادَةُ الْعُمْرِ
Sesungguhnya Allah tidak akan mengakhirkan (kematian) seseorang
jika telah datang ajalnya. Sesungguhnya bertambahnya umur itu dengan
keturunan salih yang Allah karuniakan kepada seorang hamba, lalu mereka
mendoakannya sesudah kematiannya sehingga doa mereka menyusulinya di
kuburnya. Itulah pertambahan umur.
(HR Ibn Abi Hatim dikutip oleh al-Hafizh Ibn Katsir di dalam tafsirnya QS. Fathir [35] : 11).
Selain anak salih, hadis lain menyatakan bahwa ilmu yang bermanfaat,
sedekah jariah dan sunnah hasanah juga akan memperpanjang umur
sosiologis seseorang. Pelakunya, meski telah mati secara biologis,
seakan ia tetap hidup dan beramal dengan semua itu serta mendapat pahala
karenanya.
Dengan demikian, tidak ada gunanya lari dari maut. Maut juga tidak
selayaknya ditakuti karena pasti datangnya. Sikap takut akan mati dan
berupaya lari dari maut yang pasti datang bisa dikatakan sebagai sikap
bodoh dan upaya yang sia-sia.
Yang harus dilakukan adalah mempersiapkan diri menyongsong datangnya
maut dan memelihara diri supaya maut itu datang dalam kondisi kita
sedang menunaikan ketaatan sehingga kita mendapatkan husnul khatimah.
Inilah sikap cerdas dan upaya yang berdaya guna. Orang yang paling
cerdas adalah orang yang paling banyak dan paling baik persiapannya
dalam menyongsong datangnya maut.
Ibnu Umar meriwayatkan, Rasul saw. pernah ditanya, siapakah Mukmin yang paling cerdas? Beliau menjawab:
أَكْثَرُهُمْ لِلْمَوْتِ ذِكْرًا وَأَحْسَنُهُمْ لَهُ اِسْتِعْدَادًا قَبْلَ أَنْ يَنْزِلَ بِهِمْ أُوْلَئِكَ مِنْ اْلأَكْيَاسِ
Mereka yang paling banyak mengingat maut dan paling baik
persiapannya untuk menghadapi maut itu sebelum turun kepada mereka.
Mereka itulah yang termasuk Mukmin yang paling cerdas.
(HR Ibn Majah, al-Hakim, al-Baihaqi, Abu Nu’aim dan ath-Thabrani).
KESIMPULAN
1. Rezeki merupakan takdir yang telah Allah tetapkan kadarnya. Rezeki
tidak terikat dengan adanya usaha manusia untuk mendapatkannya. Karena
Rezeki yang diperoleh oleh manusia bukanlah hasil dari usaha yang mereka
lakukan, namun karena memang rezeki tersebut telah Allah tetapkan atas
manusia.
Rezeki semata di tangan Allah dan hanya Allahlah yang memberi rezeki.
Adapun dari sisi amal, Allah SWT mewajibkan hamba-Nya untuk berusaha
dan berikhtiar melangsungkan kondisi-kondisi yang di dalamnya rezeki
bisa datang. Namun, pada saat yang sama, ia harus paham bahwa usaha,
ikhtiar dan kondisi itu bukan sebab bagi datangnya rezeki.
Allah tidak menanyakan tentang datang dan tidaknya rezeki, tetapi
Allah akan menanyakan usaha dan amal hamba untuk mencari rezeki.
Karenanya, Allah menjelaskan mana yang halal dan yang tidak. Rezeki
setiap hamba telah dijamin oleh Allah. Allah pun telah menetapkan kadar
dan takaran bagian atau porsi rezeki tiap hamba (Lihat QS. Hud [11]:
2. Jodoh merupakan sebuah pilihan, bukan ketetapan dari Allah. Tidak
ada satupun nash-nash di dalam al qur’an maupun di dalam hadist yang
mengindikasikan bahwa Jodoh adalah sebuah takdir/ketetapan dari Allah.
Adapun ketika manusia di dalam kandungan, memang ada hadist yang
menerangkan bahwa Ajal dan Rezeki telah Allah tetapkan, namun tidak ada
kata Jodoh pada isi hadist tersebut.
عَنْ عَبْدِاللهِ قَالَ:
حَدَثَنَا رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم، وَهُوَ الصَّادِقُ
الْمَصْدُوْقِ :إِنَّ أَحَدَكُمْ يُجْمَعُ خَلْقُهُ فِي بَطْنِ أُمِّهِ
أَرْبَعِيْنَ يَوْمًا. ثُمَّ يَكُوْنُ فِي ذَلِكَ عَلَقَةً مِثْلَ ذَلِكَ.
ثُمَّ يَكُوْنُ فِي ذَلِكَ مُضْغَةً مِثْلَ ذَلِكَ. ثُمَّ يُرْسِلُ
الْمَلَكَ فَيَنْفُخُ فِيْهِ الرُّوْحَ. وَيُؤْمَرُ بِأَرْبَعِ كَلِمَاتٍ:
بِكُتُبِ رِزْقِهِ، وَأَجَلِهِ، وَعَمَلِهِ، وَشَقِيٌّ أَوْ سَعِيْدٌ.
فَوَالَّذِي لاَ إِلَهَ غَيْرُهُ! إِنَّ أَحَدَكُمْ لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ
أَهْلِ الْجَنَّةِ حَتَّى مَا يَكُوْنُ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا إِلاَّ
ذِرَاعٌ. فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ الْكِتَابُ. فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ
النَّارِ. فَيَدْخُلُهَا. وَإِنَّ أَحَدَكُمْ لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ
النَّارِ. حَتَّى مَا يَكُوْنُ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا إَلاَّ ذِرَاعٌ.
فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ الْكِتَابُ. فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ الْجَنَّةِ.
فَيَدْخُلُهُا
Hadist riwayat Abdullah bin Masud Radhiyallahu’anhu, ia berkata:
Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam sebagai orang yang jujur dan dipercaya bercerita kepada kami:
Sesungguhnya setiap individu kamu mengalami proses penciptaan dalam perut ibunya selama empat puluh hari (sebagai nutfah).
Kemudian menjadi segumpal darah selama itu juga kemudian menjadi
segumpal daging selama itu pula. Selanjutnya Allah mengutus malaikat
untuk meniupkan roh ke dalamnya dan diperintahkan untuk menulis empat
perkara yaitu: menentukan rezekinya, ajalnya, amalnya serta apakah ia
sebagai orang yang sengsara ataukah orang yang bahagia.
Demi Zat yang tiada Tuhan selain Dia, sesungguhnya salah seorang
dari kamu telah melakukan amalan penghuni surga sampai ketika jarak
antara dia dan surga tinggal hanya sehasta saja namun karena sudah
didahului takdir sehingga ia melakukan perbuatan ahli neraka maka
masuklah ia ke dalam neraka.
Dan sesungguhnya salah seorang di antara kamu telah melakukan
perbuatan ahli neraka sampai ketika jarak antara dia dan neraka tinggal
hanya sehasta saja namun karena sudah didahului takdir sehingga dia
melakukan perbuatan ahli surga maka masuklah dia ke dalam surga.
3. Ajal atau Kematian merupakan suatu ketetapan yang telah Allah
takdirkan kapan waktunya, tidak bisa dimundurkan dan tidak bisa
dimajukan. Masalah ajal ini persis seperti masalah rezeki.
Eramuslim