Shalat qashar adalah shalat yang
disingkatkan. Qashar itu artinya singkat atau pendek yaitu shalat
diantara shalat fardhu yang lima, yang mestinya empat rakaat dijadikan
dua rakaat saja. Shalat yang boleh diqashar hanya shalat zuhur, ashar
dan isya. Adapun magrib dan subuh tetap sebagai biasa.
Sedangkan
shalat jama’ adalah shalat yang dikumpulkan.
Yang dimaksudkan adalah dikumpulkannya dua shalat wajib dalam waktu
yang sama, misal: shalat zuhur dengan shalat ashar, shalat magrib dengan
shalat isya. Shalat subuh tidak boleh dikumpulkan dengan shalat lain.
Shalat qashar dan shalat jama’ adalah sama-sama dilakukan oleh orang yang sedang bepergian kesuatu tempat yang jauh (musafir), dan
juga dibolehkan untuk mengqashar dan menjama’ shalatnya sekaligus
(zuhur dengan ashar, masing-masing dua rakaat). Mengerjakannya boleh
dengan jama’ taqdim (shalat zuhur dengan shalat ashar dikerjakan pada
waktu zuhur dan shalat magrib dengan shalat isya dikerjakan pada waktu
magrib) dan jama takhir (shalat zuhur dengan shalat ashar dikerjakan
pada waktu ashar dan shalat magrib dengan shalat isya dikerjakan pada
waktu isya).
Berikut ini beberapa contoh niat shalat jama’ dan qashar sekaligus, baik secara jama’ taqdim maupun jama’ takhir:
Niat shalat zuhur dan ashar dengan qashar sekaligus jama’ taqdim:
Ushalli fardhadh zuhri rak’ataini qashran majmuu’an bil ashri lillahi ta’aalaa
Artinya: “Aku niat shalat zuhur dua rakaat qashar dan jama’ dengan ashar karena Allah ta’aala”.
Niat shalat ashar dengan zuhur sekaligus dengan qashar sekaligus jama’ takhir:
Ushalli fardhadh zuhri rak’ataini qashran majmuu’an bil ashri lillahi ta’aalaa
Artinya: “Aku niat shalat zuhur dua rakaat qashar dan jama’ dengan ashar secara jama’ takhir karena Allah ta’aala”.
Niat shalat isya dan magrib dengan qashar sekaligus jama’ takhir:
Ushalli fardhadh ‘isyaa-i rak’ataini qashran majmuu’an bil maghribi lillahi ta’aalaa
Artinya: Aku niat shalat isya dua rakaat qashar dan jama’ dengan magrib karena Allah ta’aala”.
Pelaksanaan shalat dengan cara jama’ taqdim harus memenuhi syarat:
1. Tartib
, yakni melakukan kedua shalat itu
sesuai dengan urutan waktunya. Waktu yang digunakan untuk jama’ taqdim
adalah waktu shalat pertama, sedangkan shalat kedua merupakan turutan.
Jadi, shalat pertama itulah semestinya yang didahulukan.
2. Niat shalat jama’ ketika takbiratul ihram shalat pertama atau setidaknya sebelum selesai shalat tersebut.
3. Wala’, artinya pelaksanaan secara beruntun, shalat kedua tidak berselang lama dari shalat pertama.
4. Keadaan sebagai musafir masih berlanjut ketika ia memulai shalat kedua.
Apabila mengerjakan dengan
jama’ takhir maka
shalat zuhur dulu yang dikerjakan 2 rakaat baru shalat ashar 2 rakaat,
begitu pula halnya dengan shalat magrib dan isya maka shalat magrib dulu
yang dikerjakan 3 rakaat baru shalat isya 2 rakaat. Ini berdasarkan
ijtihad dari para ulama yang berpedoman kepada hadits nabi, yang artinya
‘mulailah olehmu darimana Allah memulai”, maka yang mula datang menurut
urutan adalah zuhur sebelum ashar dan magrib sebelum isya. Walaupun
jama’ takhir, maka mulailah mengerjakan menurut asal datangnya.
Untuk jama’ takhir hanya dua syarat, yaitu:
a. Berniat pada waktu shalat pertama, akan menjama’kan shalat
tersebut ke shalat kedua. Dengan demikian penundaan shalat tersebut
tidak dianggap sebagai pelanggaran atau kelalaian.
b. Pelaksanaan kedua shalat itu dalam keadaan musafir. Bila
safarnya putus sebelum kedua shalat itu selesai dilaksanakan maka shalat
pertama menjadi shalat qadha.[6]
Shalat jama’ boleh juga dilakukan oleh orang yang tidak bepergian
(mukim) pada waktu hujan atau ada hal-hal yang memaksakan kita untuk
melakukan itu, sehingga kalau tidak dilaksanakan yang demikian, besar
kemungkinan bisa menyebabkan tertinggalnya shalat. Misalnya kita sudah
tidak tidur beberapa malam, karena menjaga orang yang sakit. Maka untuk
lebih pulasnya tidur itu dibolehkan untuk menjama’ shalat. Nabi juga
pernah menjama’ shalat tanpa ada suatu yang mencemaskan dan bukan pula
karena hari hujan. Memang tidak dijelaskan dalam hadits itu, apa
sebabnya nabi menjama’ tapi besar dugaan tentu ada yang menjadi
penyebanya.
Apabila mengerjakan shalat jama’ pada waktu mukim (menetap) maka
harus dikerjakan pada waktu pertama dari kedua shalat tersebut (jama’
taqdim), bila mengerjakan shalat zuhur dan ashar maka harus diwaktu
zuhur dan bila menjama’ shalat isya harus pada waktu magrib.
Demikianlah penjelasan singkat tentang shalat qashar dan shalat
jama’. Pembahasan lebih lengkap akan dibahas pada bagian selanjutnya
dari makalah ini.
II. Sumber Hadits
Adapun hadits yang dipaparkan adalah yang terdapat dalam kitab Lu’luul Marjan no. 401 dan 410, sebagai berikut:
Artinya:
Hadits Anas, dimana ia berkata: “kami keluar dari Madinah menuju ke
Mekkah bersama-sama dengan Nabi saw, lalu beliau mengerjakan shalat dua
rakaat sehingga kami kembali ke Madinah” Yahya bin Ishaq ditanya:
“Berapa lama kamu bermukim (tinggal) di Mekkah?” Ia menjawab: “Kami
bermukim selama sepuluh hari”.[8]
Al Bukhari mentakhrijkan hadits ini dalam “kitab mengqashar shalat” bab tentang menqashar dan berapa lama ia bisa mengqashar .
Artinya:
Hadits Anas bin Malik, dimana ia berkata: “Rasulullah saw apabila
berangkat sebelum matahari tergelincir (ke barat), maka beliau
mengakhirkan shalat dhuhur sampai waktu ashar, kemudian beliau turun
lalu menjama’ kedua shalat itu. Apabila matahari sudah tergelincir
sebelum berangkat, maka beliau mengerjakan shalat dhuhur, kemudian
beliau naik kendaraan.[9]
Al Bukhari mentakhrijkan hadits ini dalam “kitab mengqashar shalat”
bab tentang apabila seorang berangkat sesudah matahari tergelincir maka
ia harus mengerjakan shalat zuhur kemudian naik kendaraan.
III. Dalil-Dalil Penguat
Adapun dalil-dalil yang dapat dijadikan penguat dari permasalahan shalat qashar dan shalat jama’ ini, diantaranya:
- Firman Allah dalam Al-qur’an surah An-Nisa: 101 ( 101: النسء )
Artinya:
Dan apabila kamu di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu meng-qashar
sembahyang(mu), jika kamu takut diserang orang-orang kafir.
Sesungguhnya orang-orang kafir itu adalah musuh yang nyata bagimu.
(An-Nisa: 101).[10]
Umar, Aisyah dan Ibnu Abbas mengatakan bahwa Allah telah mewajibkan
shalat dalam perjalanan, melalui nabinya sebanyak dua rakaat. Allah,
Rasulullah, dan ijma’ kaum muslimin tidak mengkhususkan perjalanan yang
bagaimana, kecuali dengan nash atau ijma’ yang diyakini kebenarannya.
- Hadits nabi yang menjabarkan tentang firman Allah diatas:
Artinya:
“Dari Ya’la bin Umayah, ia berkata: “Aku berkata kepada Umar bin
Khattab (yaitu ayat yang mempunyai arti) tidak ada dosa atasmu, bahwa
kamu memendekkan (mengqashar) shalat, jika kamu khawatir akan bahaya
dari orang-orang kafir, maka sesungguhnya sekarang manusia berada dalam
keamanan. “Berkata Umar: “Memang aku merasa heran diantara hal yang
mengherankan ku”. Maka aku tanyakan hal itu kepada Rasulullah SAW dari
hal yang demikian lalu beliau menjawab: “Itu adalah sedekah yang
disedekahkan Allah kepadamu, maka terimalah sedekahnya itu” (HR. Jamaah,
kecuali Bukhari).[11]
Deengan keterangan hadits diatas nyatalah bahwa mengqashar shalat
dalam perjalanan adalah sebagai sunnah dan sebagai sedekah yang harus
kita terima dengan segala senang hati dan tangan terbuka. Orang yang
tidak mau atau menolak sedekah yang diberikan orang lain kepadanya,
dianggap sebagai orang yang sombong, apalagi sedekah yang diberikan
Allah.
Sebagai alasan bahwa Nabi dan sahabat-sahabatnya tidak pernah
melaksanakan shalat secukupnya menurut shalat yang biasa dalam
perjalanan ialah hadits yang tertera dibawah ini:
Artinya:
Terdapat dalam buku shahih Muslim, dari Ibnu Umar: “Aku telah
menyertai (menemani) Nabi SAW dalam perjalanan, maka beliau tidak pernah
melebihi shalatnya dari dua rakaat sampai beliau meninggal, aku telah
menyertai Abu Bakar dalam perjalanan, maka tidak pernah ia melebihi
shalatnya dari dua rakaat, sampai ia meninggal, aku telah menyertai Umar
dalam perjalanan, maka tidak pernah ia melebihi shalatnya dari dua
rakaat, sampai ia meninggal, aku telah menyertai Utsman dalam
perjalanan, maka tidak pernah ia melebihi shalatnya dari dua rakaat
sampai ia meninggal”.[12]
Ada pula hadits yang berasal dari Aisyah menurut riwayat yang menyatakan bahwa orang yang bepergian mengqashar shalatnya.
Artinya:
“Hadits Aisyah Ummul Mukminin, dimana ia berkata: “Allah mewajibkan
shalat ketika mulai pertama diwajibkannya dua rakaat baik ditempat
tinggalnya sendiri maupun dalam bepergian, kemudian shalat dalam
bepergian itu ditetapkan (dua rakaat) dan shalat dalam tempat tinggalnya
sendiri ditambah”.[13]
Al Bukhari mentakhrijkan hadits ini dalam “Kitab Shalat” bab tentang
bagaimana shalat-shalat itu diwajibkan dalam Isra’ dan Mi’raj.
IV. Pendapat-Pendapat Para Ulama
Didalam pelaksanaan shalat Qashar dan shalat Jama’ ini terdapat
berbagai macam pendapat yang dikemukakan oleh para ulama, diantaranya
yaitu:
1. Tentang shalat qashar
a) Ibnul Qaiyim
Pendapat yang beliau kemukakan adalah bahwa:
“Jikalau bepergian, Rasulullah SAW selalu mengqashar shalat yang
empat rakaat dan mengerjakannya hanya dua-dua rakaat, sampai beliau
kembali ke Madinah, tidak ditemukan keterangan yang kuat bahwa beliau
tetap melakukannya empat rakaat. Hal ini tidak menjadi perselisihan lagi
bagi imam-imam walau mereka berlainan pendapat tentang hukum
mengqashar. Umar, Ali, Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, Abdullah bin Umar, Jabir
menetapkan bahwa hukumnya wajib.[14]
b) Abu Hanifah (Mazhab Hanafi)
Berpendapat bahwa hukum mengqashar shalat adalah wajib, musafir yang
tidak meringkas shalat yang empat rakaat, jika ia duduk pada rakaat
kedua setelah tasyahud, maka shalatnya sah, hanya hukumnya makruh karena
ia mengundurkan salam, sedang dua rakaat selanjutnya dianggap shalat.
Tapi bila ia tidak duduk pada rakaat kedua itu maka shalatnya tidak sah.
Dan jika berniat mukim 15 hari maka boleh mengqashar shalatnya.
Pendapat ini juga sama dengan Al-Laits bin Sa’ad, Umar, Abdullah bin
Umar, dan Ibnu Abbas. Ada juga riwayat yang menyatakan pendapat Said
Ibnul Musaiyab juga sama dengan mazhab Hanafi ini.
c) Maliki (Mazhab Maliki)
Berpendapat bahwa hukum mengqashar shalat adalah sunat muakkad dan
lebih ta’kid lagi dari shalat berjamaah, sehingga apabila musafir tidak
mendapatkan kawan sesama musafir untuk berjamaah, hendaklah ia bershalat
secara perseorangan dengan mengqashar, dan makruh baginya mencukupkan
empat rakaat dan bermakmum kepada orang yang mukim. Dan jika seseorang
berniat hendak mukim lebih dari empat hari, harus mencukupkan shalat dan
kalau kurang boleh mengqashar.
d) Ahmad bin Hambal (Mazhab Hanbali)
Berpendapat bahwa hukum mengqashar shalat adalah jaiz atau boleh saja, hanya lebih baik daripada menyempurnakan.
e) Imam Syafi’i (Mazhab Syafi’i)
Berpendapat bahwa hukum mengqashar shalat adalah jaiz atau boleh
saja, hanya lebih baik daripada menyempurnakannya. Kalau memang sudah
mencapai jarak boleh mengqashar.[15]
Mengenai jarak bolehnya mengqashar shalat dapat diberi penjelasan
oleh hadits yang diriwayatkan oleh Abu Sa’id Al Khudri, katanya:
Artinya:
“Apabila Rasulullah SAW bepergian sejauh satu farsakh, maka beliau
mengqashar shalat (diriwayatkan oleh Sa’id bin Mashur dan disebutkan
oleh Hafizh dalam At-Takhlis, dan ia mendiamkan hadits ini sebagai tanda
pengakuannya.[16]
Satu farsakh itu sama dengan tiga mil atau 5541 meter sedang 1 mil sama dengan 1748 meter.
Tempat dibolehkannya memulai mengqashar shalat adalah setelah keluar
dari rumah tempat kita tinggal (berdomisili). Dan bila seseorang telah
kembali ke tempat tinggal asalnya atau telah berniat untuk menetap di
tempat yang dituju itu, maka habislah baginya hukum qashar.
2. Tentang shalat jama’
Para ulama sependapat bahwa menjama’ shalat zuhur dan ashar secar
taqdim pada waktu zuhur di Arafah, begitupun antara shalat magrib dan
isya secara takhir diwaktu isya di mudzalifah, hukumnya sunnat,
berpedoman kepada apa yang dilakukan oleh Rasulullah saw.
Artinya: “Demi zat yang tiada tuhan selain Dia, Rasulullah tidak
pernah mengerjakan satu shalat pun kecuali pada tepat waktunya selain
shalat yang beliau jamak (gabung), yakni zuhur dengan ashar di Arafah
dan magrib dengan Isya di Mudzalifah. (Diriwayatkan oleh Syaikhan)
Dan menjama’ dua shalat ketika bepergian, pada salah satu waktu dari
kedua shalat itu, menurut sebagian besar para ahli hukumnya boleh, tanpa
ada perbedaan, apakah dilakukannya itu sewktu berhenti ataukah selagi
dalam perjalanan.
Dalam kitab Al-Muwaththa’ Malik meriwayatkan dari Mu’adz bahwa:
Artinya:
“Pada suatu hari nabi saw mengundurkan shalat diwaktu perang Tabuk
dan pergi keluar, lalu mengerjakan shalat zuhur dan ashar secara jama’,
setelah itu beliau masuk dan kemudian beliau pergi lagi dan mengerjakan
shalat magrib dan isya secara jama’ pula.[17]
Berkata Syafi’i: “Kata-kata pergi dan masuk itu menunjukkan bahwa
Nabi saw sedang berhenti. Lalu Imam Syafi’i juga berkata: “Jika
seseorang bershalat magrib dirumahnya dengan niat menjama’, kemudian ia
pergi ke mesjid melakukan shalat isya juga boleh”. Dikatakan bahwa Imam
Ahmad juga berpendapat seperti itu.
Ada pula hadits dari Ibnu Umar yang membolehkan menjama’ dua shalat dalam bepergian.
Artinya:
“Hadits Ibnu Umar ra, dimana ia berkata: Saya melihat Rasulullah saw,
jika tergesa-gesa dalam berangkat, beliau mengakhirkan shalat magrib
sehingga beliau menjama’ (mengumpulkan) shalat magrib dan shalat isya.[18]
Kemudian tentang menjama’ diwaktu hujan. Dalam sunnahnya Al-Atsram
meriwayatkan dari Abu Salamah bin Abdurrahman, katanya: “Termasuk sunnah
Nabi saw. menjama’ shalat magrib dengan isya, apabila hari hujan lebat.
Dan Bukhari meriwayatkan pula bahwa.
Artinya:
“Nabi saw menjama’ shalat magrib dan isya disuatu malam yang berhujan lebat”.[19]
- Kesimpulan pendapat mazhab-mazhab mengenai soal ini ialah sebagai
berikut: Golongan Syafi’i membolehkan seorang mukmin menjama’ shalat
zuhur dengan ashar dan magrib dengan isya secara taqdim saja, dengan
syarat adanya hujan ketika membaca takbiratul ihram dalam shalat yang
pertama sampai selesai, dan hujan masih Turun ketika memulai shalat yang
kedua.
- Menurut Maliki, boleh menjama’ taqdim dalam mesjid antara magrib
dengan isya disebabkan adanya hujan yang telah akan turun, juga boleh
dikerjakan karena banyak lumpur ditengah jalan dan malam sangat gelap
hingga menyukarkan orang untuk memakai sandal. Menjama’ shalat zuhur
dengan ashar ini, dimakruhkan.
- Menurut golongan Hanbali berpendapat bahwa boleh menjama’ magrib
dengan isya saja, baik secara taqdim atau secara takhir, disebabkan
adanya salju, lumpur, dingin yang amat sangat serta hujan yang
membasahkan pakaian, dan khusus bagi orang yang tempatnya jauh dari
mesjid.
Menjama’ sebab sakit atau uzur, menurut Imam Ahmad.,Imam Malik,
Qadhie Husien, Al-Khaththabi dan Al Mutawali dari golongan Syafi’i
membolehkan menjama’ baik taqdim atau taqdim dengan alasan karena
kesukaran waktu itu lebih besar daripada kesukaran diwaktu hujan.
Berkata Nawawi: “Dari segi alasan pendapat ini adalah kuat. Akan tetapi
Syafi’i tidak mebenarkan jama’ karena sakit sebab menurutnya, illat yang
menjadi alasan bolehnya jama’ itu adalah safar, jadi hanya terdapat dan
berlaku bagi musafir.
Menurut ulama Hanbali boleh pula menjama’ baik taqdim atau takhir
karena berbagai macam halangan dan juga sedang dalam ketakutan. Mereka
membolehkan orang yang sedang menyusui bila sukar untuknya buat mencuci
kain setiap hendak bershalat.
Kemudian menjama’ sebab ada keperluan tapi tidak karena sakit atau
sebab-sebab lainnya, dan asal saja hal itu tidak dijadikannya kebiasaan,
ada beberapa imam yang membolehkannya antara lain Ibnu Sirin dan
Asy-hab dari golongan Maliki, dan menurut Al-Khaththabi, Qaffal dan
Asy-Syasil Kabir dari golongan Syafi’i, Ishal Marwazi, jema’ah ahli
hadits, Ibnul Mundzir, Ibnu Abbas.
V. Analisis Pendapat Sendiri
Berdasarkan pendapat-pendapat yang telah dikemukakan para ulama, maka penulis mempunyai pendapatnya sendiri, yaitu:
Bagi orang yang sedang bepergian (musafir) boleh mengqashar shalat
(menyingkat shalat fardhu yang empat rakaat menjadi dua rakaat) dengan
beberapa syarat:
1. Kepergiannya bukan dalam rangka kemaksiatan
Jadi, qashar hanya dapat dilakukan pada safar yang dibenarkan oleh syari’at, meliputi:
a) Safar yang wajib, seperti safar haji.
b) Safar yang mandub, seperti menziarahi makam Rasulullah.
c) Safar yang mubah seperti perjalanan niaga.
2. jarak kepergiannya harus mencapai 16 farsakh (80 Km, lebih 640 m) atau 48 mil yang sama dengan 76, 80 Km.
3. Shalat yang diqashar itu harus shalat yang rakaatnya 4, dan bukan shalat qadha’.
4. Berniat qashar bersamaan dengan mengucapkan takbiratul ihram.
5. Tidak boleh bermakmum kepada orang yang menetap (mukim).[20]
6. Perjalanan itu dilakukan menuju ke suatu tempat tertentu,
orang yang berjalan tanpa tujuan, sekalipun jarak yang ditempuhnya jauh
tidak dibenarkan mengqashar shalat.
7. Shalat itu dilakukan setelah musafir melampaui batas kota
atau desa yang menjadi awal safarnya. Diriwayatkan dari Anas, katanya:
Artinya: “Saya shalat zuhur bersama Rasulullah di Madinah empat rakaat dan Zul Hulaifah dua rakaat” (Hadits Jama’ah)[21]
8. Shalat tersebut dilakukan sepenuhya dalam keadaan musafir.
Bila safarnya putus, misalnya ditengah pelaksanaan shalat itu ia sampai
ketujuan, maka ia harus menyempurnakannya menjadi empat rakaat.
Artinya: “Rasulullah bermukim di Mekkah selama delapan belas hari dan
selama itu pula beliau mengerjakan shalat hanya dua rakaat-dua rakaat,
dan sabdanya: “wahai penduduk negeri ini, shalat lah empat rakaat,
karena kami adalah musafir”. (Hadits Abu Daud)[22]
9. mengetahui bahwa ia boleh mengqashar shalat tersebut.[23]
Bagi orang musafir boleh menjama’ antara shalat zuhur dengan ashar
diwaktu mana saja ia kehendaki dengan jama’ taqdim atau jama’ takhir,
dan begitu pula halnya antara menjama’ antara shalat magrib dengan isya.
Orang yang tidak sedang bepergian atau mukim diperbolehkan menjama’
antara dua shalat (zuhur dengan ashar, magrib dengan isya), akan tetapi
harus dikerjakan pada waktu pertama dari kedua shalat tersebut dan boleh
pula menjama’ pada waktu hari hujan, karena sakit karena ada suatu
keperluan.
Dari penjelasan diatas, dan berdasarkan pendapat para ulama, maka
penulis menyimpulkan bahwa orang yang sedang bepergian (musafir)
diharuskan mengqashar dan menjama’ shalatnya. karena itu merupakan
sedekah dan keringanan yang diberikan oleh Allah kepada hamba-Nya.
Sesuai dengan firman Allah dalam surah An-Nisa ayat 101.
VI. Penutup
Kesimpulan
Dari Uraian yang telah disampaikan diatas dapat disimpulkan bahwa:
Shalat qashar adalah menyingkat shalat fardhu yang empat rakaat
(zuhur, ashar, dan isya) menjadi dua rakaat, dan ini dikerjakan oleh
orang yang sedang dalam perjalanan (musafir).
Shalat jama’ adalah mengumpulkan dua shalat wajib dalam waktu yang
sama, misal: shalat zuhur dengan ashar, dan shalat magrib dengan shalat
isya bisa dengan jama’ takhir.
Shalat jama’ juga boleh dikerjakan oleh orang yang tidak sedang
bepergian (mukim), karena hari hujan, karena sakit, atau karena
sebab-sebab atau keperluan lain yang mendesak.
Hukum shalat qashar apabila dalam perjalanan adalah wajib, akan
tetapi adapula ulama yang berpendapat hukumnya sunnat muakkad, jaiz
(boleh), sedangkan shalat jama’ juga boleh. Dan mengqashar shalat itu
merupakan sedekah yang dikaruniakan Allah kepada mu semua, maka
terimalah sedekah-Nya itu.
Jarak bolehnya mengqashar adalah 1 farsakh yang sama dengan 3 mil dan
memulai mengqashar adalah apabila telah keluar dari rumah tempat
tinggal.
Demikianlah yang dapat disimpulkan semoga kita dapat mengerjakan
shalat qashar dan shalat jama’ ini apabila kita bepergian kesuatu tempat
(musafir) karena ini merupakan sebuah keringanan dari Allah bagi
hamba-Nya.