1. Pengertian Riba
Kata Ar-Riba adalah isim maqshur, berasal dari rabaa yarbuu, yaitu akhir kata ini ditulis dengan alif.
Kata Ar-Riba adalah isim maqshur, berasal dari rabaa yarbuu, yaitu akhir kata ini ditulis dengan alif.
Asal arti kata riba adalah ziyadah ‘tambahan’; adakalanya tambahan itu berasal dari dirinya sendiri, seperti firman Allah swt:
(QS Al-Hajj: 5).
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنْ كُنْتُمْ فِي رَيْبٍ مِنَ الْبَعْثِ فَإِنَّا
خَلَقْنَاكُمْ مِنْ تُرَابٍ ثُمَّ مِنْ نُطْفَةٍ ثُمَّ مِنْ عَلَقَةٍ ثُمَّ
مِنْ مُضْغَةٍ مُخَلَّقَةٍ وَغَيْرِ مُخَلَّقَةٍ لِنُبَيِّنَ لَكُمْ
وَنُقِرُّ فِي الأرْحَامِ مَا نَشَاءُ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى ثُمَّ
نُخْرِجُكُمْ طِفْلا ثُمَّ لِتَبْلُغُوا أَشُدَّكُمْ وَمِنْكُمْ مَنْ
يُتَوَفَّى وَمِنْكُمْ مَنْ يُرَدُّ إِلَى أَرْذَلِ الْعُمُرِ لِكَيْلا
يَعْلَمَ مِنْ بَعْدِ عِلْمٍ شَيْئًا وَتَرَى الأرْضَ هَامِدَةً فَإِذَا
أَنْزَلْنَا عَلَيْهَا الْمَاءَ اهْتَزَّتْ وَرَبَتْ وَأَنْبَتَتْ مِنْ
كُلِّ زَوْجٍ بَهِيجٍ
"Hai manusia, kamu dalam keraguan tentang kebangkitan (dari kubur); maka
(ketahuilah) sesungguhnya, Kami telah menjadikan kamu dari tanah,
kemudian dari setetes mani, kemudian dari segumpal darah, kemudian dari
segumpal daging yang sempurna kejadiannya, dan yang tidak sempurna, agar
Kami jelaskan kepadamu, dan Kami tetapkan dalam rahim, apa yang Kami
kehendaki sampai waktu yang sudah ditentukan, kemudian Kami keluarkan
kamu sebagai bayi, kemudian (dengan berangsur-angsur) kamu sampai pada
kedewasaan, dan di antara kamu ada yang diwafatkan, dan (ada pula) di
antara kamu yang dipanjangkan umurnya sampai pikun, supaya dia tidak
mengetahui lagi sesuatupun, yang dahulunya telah diketahuinya. Dan kamu
lihat bumi ini kering pada awalnya, kemudian apabila Kami turunkan air
di atasnya, hiduplah bumi itu, dan suburlah tanahnya, dan menumbuhkan
berbagai macam tumbuh-tumbuhan yang indah."(QS Al-Hajj: 5).
Dan, adakalanya lagi tambahan itu berasal dari luar berupa imbalan, seperti satu dirham ditukar dengan dua dirham.
2. Hukum Riba
Riba, hukumnya berdasar Kitabullah, sunnah Rasul-Nya dan ijma’ umat Islam:
Riba, hukumnya berdasar Kitabullah, sunnah Rasul-Nya dan ijma’ umat Islam:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ
فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ
وَإِنْ تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَالِكُمْ لا تَظْلِمُونَ وَلا
تُظْلَمُونَ
“Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah dan tinggalkanlah sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka permaklumkanlah bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kami tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.”
(QS Al-Baqarah: 278-279).
الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا لا يَقُومُونَ إِلا كَمَا يَقُومُ الَّذِي
يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا
إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ
الرِّبَا فَمَنْ جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّهِ فَانْتَهَى فَلَهُ مَا
سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللَّهِ وَمَنْ عَادَ فَأُولَئِكَ أَصْحَابُ
النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
"Orang-orang yang makan (mengambil) riba, tidak dapat berdiri, melainkan
seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan, lantaran (tekanan)
penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan
mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual-beli itu sama dengan
riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya, larangan dari Rabb-nya,
lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah
diambilnya dahulu ,(sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah)
kepada Allah. Orang yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu
adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya."
(QS Al-Baqarah: 275).
"Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa."
(QS Al-Baqarah: 276).
(QS Al-Baqarah: 275).
يَمْحَقُ اللَّهُ الرِّبَا وَيُرْبِي الصَّدَقَاتِ وَاللَّهُ لا يُحِبُّ كُلَّ كَفَّارٍ أَثِيمٍ
"Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa."
(QS Al-Baqarah: 276).
Dari Abu Hurairah ra bahwa Nabi saw
bersabda, “Jauhilah tujuh hal yang membinasakan.” Para sahabat bertanya,
“Apa itu, ya Rasulullah?” Jawab Beliau, “(Pertama) melakukan
kemusyrikan kepada Allah, (kedua) sihir, (ketiga) membunuh jiwa yang
telah haramkan kecuali dengan cara yang haq, (keempat) makan riba,
(kelima) makan harta anak yatim, (keenam) melarikan diri pada hari
pertemuan dua pasukan, dan (ketujuh) menuduh berzina perempuan baik-baik
yang tidak tahu menahu tentang urusan ini dan beriman kepada Allah.”
(Muttafaqun ‘alaih: Fathul Bari V: 393 no: 2766, Muslim I: 92 no: 89,
‘Aunul Ma’bud VIII: 77 no: 2857 dan Nasa’i VI: 257).
Dari Jabir ra, ia berkata. “Rasulullah
saw melaknat pemakan riba, pemberi makan riba, dua saksinya dan
penulisnya.” Dan Beliau bersabda, “Mereka semua sama.” (Shahih:
Mukhtasar Muslim no: 955, Shahihul Jami’us Shaghir no: 5090 dan Muslim
III: 1219 no: 1598).
Dari Ibnu Mas’ud ra bahwa Nabi saw
bersabda, “Riba itu mempunyai tujuh puluh tiga pintu, yang paling ringan
(dosanya) seperti seorang anak menyetubuhi ibunya.” (Shahih: Shahihul
Jami’us Shaghir no: 3539 dan Mustadrak Hakim II: 37).
Dari Abdullah bin Hanzhalah ra dari Nabi
saw bersabda, “Satu Dirham yang riba dimakan seseorang padahal ia tahu,
adalah lebih berat daripada tiga puluh enam pelacur.” (Shahih: Shahihul
Jami’us Shaghir no: 3375 dan al-Fathur Rabbani XV: 69 no: 230).
Dari Ibnu Mas’ud ra dari Nabi saw, Beliau
bersabda, “Tak seorang pun memperbanyak (harta kekayaannya) dari hasil
riba, melainkan pasti akibat akhirnya ia jatuh miskin.” (Shahih:
Shahihul Jami’us Shaghir no: 5518 dan Ibnu Majah II: 765 no: 2279).
3. Klasifikasi Riba
Riba ada dua macam yaitu riba nasiah dan riba fadhl.
Adapun yang dimaksud riba nasiah ialah
tambahan yang sudah ditentukan di awal transaksi, yang diambil oleh si
pemberi pinjaman dari orang yang menerima pinjaman sebagai imbalan dari
pelunasan bertempo. Riba model ini diharamkan oleh Kitabullah, sunnah
Rasul-Nya, dan ijma’ umat Islam.
Sedangkan yang dimaksud riba fadhl adalah
tukar menukar barang yang sejenis dengan ada tambahan, misalnya tukar
menukar uang dengan uang, menu makanan dengan makanan yang disertai
dengan adanya tambahan.
Riba model kedua ini diharamkan juga oleh sunnah Nabi saw dan ijma’ kaum Muslimin, karena ia merupakan pintu menuju riba nasiah.
4. Beberapa Barang yang padanya Diharamkan Melakukan Riba
Riba tidak berlaku, kecuali pada enam jenis barang yang sudah ditegaskan nash-nash syar’i berikut:
Dari Ubaidah bin Shamir ra bahwa
Rasulullah saw bersabda, “(Boleh menjual emas dengan emas, perak dengan
perak, gandum dengan gandum, sya’ir (sejenis gandum) dengan sya’ir,
kurma dengan kurma, garam dengan garam, sebanding, sama dan tunai,
tetapi jika berbeda jenis, maka juallah sesukamu, apabila tunai dengan
tunai.” (Shahih: Mukhtashar Muslim no: 949, dan Muslim III: 1211 no: 81
dan 1587).
Dengan demikian, apabila terjadi barter
barang yang sejenis dari empat jenis barang ini, yaitu emas ditukar
dengan emas, tamar dengan tamar, maka haram tambahannya baik secara riba
fadhl maupun secara riba nasiah, harus sama baik dalam hal timbangan
maupun takarannya, tanpa memperhatikan kualitasnya bermutu atau jelek,
dan harus diserahterimakan dalam majlis.
Dari Abi Sa’id al-Khudri ra bahwa
Rasulullah saw bersabda, “Janganlah kamu menjual emas kecuali sama,
janganlah kamu tambah sebagiannya atas sebagian yang lain, janganlah
kamu menjual perak dengan perak kecuali sama, janganlah kamu tambah
sebagiannya atas sebagian yang lain, dan janganlah kamu menjual emas dan
perak yang barang-barangnya belum ada dengan kontan.” (Muttafaqun
‘alaih: Fathul Bari IV: 379 no: 2177, Muslim III: 1208 no: 1584, Nasa’i
VII: 278 dan Tirmidzi II: 355 no: 1259 sema’na).
Dari Umar bin Khattab ra bahwa Rasulullah
saw bersabda. “Emas dengan emas adalah riba kecuali begini dengan
begini (satu pihak mengambil barang, sedang yang lain menyerahkan) bur
dengan bur (juga) riba kecuali begini dengan begini, sya’ir dengan
sya’ir riba kecuali begini dengan begini, dan tamar dengan tamar adalah
riba kecuali begini dengan begini.” (Muttafaqun’alaih: Fathul Bahri IV:
347 no: 2134, dan lafadz ini bagi Imam Bukhari, Muslim III: 1209 no:
1586, Tirmidzi II: 357 no: 1261, Nasa’i VII: 273 dan bagi mereka lafadz
pertama memakai adz-dzahabu bil wariq (emas dengan perak) dan Aunul
Ma’bud IX: 197 no: 3332 dengan dua model lafadz).
Dari Abu Sa’id ra, ia bertutur: Kami pada
masa Rasulullah saw pernah mendapat rizki berupa tamar jama’, yaitu
satu jenis tamar, kemudian kami menukar dua sha’ tamar dengan satu sha’
tamar. Lalu kasus ini sampai kepada Rasulullah saw maka Beliau bersabda,
“Tidak sah (pertukaran) dua sha’ tamar dengan satu sha’ tamar, tidak
sah (pula) dua sha’ biji gandum dengan satu sha’ biji gandum, dan tidak
sah (juga) satu Dirham dengan dua Dirham.” (Muttafaqun ’alaih: Muslim
III: 1216 no: 1595 dan lafadz ini baginya, Fathul Bari IV: 311 no: 2080
secara ringkas dan Nasa’i VII: 272).
Manakala terjadi barter di antara enam
jenis barang ini dengan lain jenis, seperti emas ditukar dengan perak,
bur dengan sya’ir, maka boleh ada kelebihan dengan syarat harus
diserahterimakan di majlis:
Berdasar hadits Ubadah tadi:
“…tetapi jika berlainan jenis maka juallah sesukamu, apabila tunai dengan tunai.”
“…tetapi jika berlainan jenis maka juallah sesukamu, apabila tunai dengan tunai.”
Dalam riwayat Imam Abu Daud dan lainnya
dari Ubadah ra Nabi saw bersabda: “Tidak mengapa menjual emas dengan
perak dan peraknya lebih besar jumlahnya daripada emasnya secara kontan,
dan adapun secara kredit, maka tidak boleh; dan tidak mengapa menjual
bur dengan sya’ir dan sya’irnya lebih banyak daripada burnya secara
kontan dan adapun secara kredit, maka tidak boleh.” (Shahih: Irwa-ul
Ghalil V: 195 dan ‘Aunul Ma’bud IX: 198 no: 3333).
Apabila salah satu jenis di antara enam
jenis ini ditukar dengan barang yang berlain jenis dan ‘illah ‘sebab’,
seperti emas ditukar dengan bur, atau perak dengan garam, maka boleh ada
kelebihan atau secara bertempo, kredit:
Dari Aisyah ra bahwa Nabi saw pernah
membeli makanan dari seorang Yahudi secara bertempo, sedangkan Nabi saw
menggadaikan sebuah baju besinya kepada Yahudi itu. (Shahih: Irwa-ul
Ghalil no: 1393 dan Fathul Bari IV: 399 no: 2200).
Dalam kitab Subulus Salam III: 38,
al-Amir ash-Sha’ani menyatakan. “Ketahuilah bahwa para ulama’ telah
sepakat atas bolehnya barang ribawi (barang yang bisa ditakar atau
ditimbang, edt) ditukar dengan barang ribawi yang berlainan jenis, baik
secara bertempo meskipun ada kelebihan jumlah atau berbeda beratnya,
misalnya emas ditukar dengan hinthah (gandum), perak dengan gandum, dan
lain sebagainya yang termasuk barang yang bisa ditakar.”
Namun, tidak boleh menjual ruthab (kurma
basah) dengan kurma kering, kecuali para pemilik ‘ariyah, karena mereka
adalah orang-orang yang faqir yang tidak mempunyai pohon kurma, yaitu
mereka boleh membeli kurma basah dari petani kurma, kemudian mereka
makan dalam keadaan masih berada di pohonnya, yang mereka taksir, mereka
menukarnya dengan kurma kering.
Dari Abdullah bin Umar ra, bahwa
Rasulullah saw melarang muzabanah. Muzabanah ialah menjual buah-buahan
dengan tamar secara takaran, dan menjual anggur dengan kismis secara
takaran. (Muttafaqun ‘alaih: Fathul Bari IV: 384 no: 2185, Muslim III:
1171 no: 1542 dan Nasa’i VII: 266)
Dari Zaid bin Tsabit ra bahwa Rasulullah
saw memberi kelonggaran kepada pemilik ‘ariyyah agar menjualnya dengan
tamar secara taksiran. (Muttafaqun‘alaih: Muslim III: 1169 no: 60 dan
1539 dan lafadz ini baginya dan sema’na dalam Fathul Bari IV: 390 no:
2192, ‘Aunul Ma’bud IX: 216 no: 3346, Nasa’i VII: 267, Tirmidzi II: 383
no: 1218 dan Ibnu Majah II: 762 no: 2269).
Sesungguhnya Nabi saw melarang menjual kurma basah dengan tamar hanyalah karena kurma basah kalau kering pasti menyusut.
Dari Sa’ad bin Abi Waqqash ra bahwa Nabi
saw pernah ditanya perihal menjual kurma basah dengan tamar. Maka Beliau
(balik) bertanya, “Apakah kurma basah itu menyusut apabila telah
kering?” Jawab para sahabat, “Ya, menyusut.” Maka Beliaupun melarangnya.
(Shahih: Irwa-ul Ghalil no: 1352, ‘Aunul Ma’bud IX: 211 no: 3343, Ibnu
Majah II: 761 no: 2264, Nasa’i VII: 269 dan Tirmidzi II: 348 no: 1243).
Dan, tidak sah jual beli barang ribawi dengan yang sejenisnya sementara keduanya atau salah satunya mengandung unsur lain.
Riwayat Fadhalah bin Ubaid yang menjadi
landasan kesimpulan ini dimuat juga dalam Mukhtashar Nailul Authar
hadits no: 2904. Imam Asy-Syaukani, memberi komentar sebagai berikut,
“Hadits ini menunjukkan bahwa tidak boleh menjual emas yang mengandung
unsur lainnya dengan emas murni hingga unsur lain itu dipisahkan agar
diketahui ukuran emasnya, demikian juga perak dan semua jenis barang
ribawi lainnya, karena ada kesamaan illat, yaitu haram menjual satu
jenis barang dengan sejenisnya secara berlebih.”
Dari Fadhalah bin Ubaid ia berkata: “Pada
waktu perang Khaibar aku pernah membeli sebuah kalung seharga dua belas
Dinar sedang dalam perhiasan itu ada emas dan permata, kemudian aku
pisahkan, lalu kudapatkan padanya lebih dari dua belas Dinar, kemudian
hal itu kusampaikan kepada Nabi saw, Maka Beliau bersabda, ‘Kalung itu
tidak boleh dijual hingga dipisahkan.’” (Shahih: Irwa-ul Ghalil no:
1356, Muslim III: 1213 no: 90 dan 1591, Tirmidzi II: 363 no: 1273,
‘Aunul Ma’bud IX: 202 no: 3336 dan Nasa’i VII: 279).