"Ya Rabb-ku, ampunilah aku, dan anugerahkanlah kepadaku kerajaan, yang tidak dimiliki oleh seorangpun juga sesudahku, sesungguhnya Engkaulah Yang Maha pemberi’."
Minggu, 16 November 2014
Membalas Keburukan Dengan Kebaikan
WALAUPUN seorang Rasul, Muhammad saw sesungguhnya bukanlah seseorang yang dimanjakan oleh Allah swt. Layaknya manusia yang lain, beliaupun harus berjuang keras, mencurahkan tetesan keringat dan darah dalam mengemban amanat Allah selaku utusan-Nya. Tak jarang, ia dicaci, dihina, dan diancam oleh musuh-musuhnya dalam memperjuangkan tegaknya kebenaran ajaran Islam. Dan semua itu beliau hadapi dengan segala kelapangan dada, tanpa pernah mengeluh barang sebentar pun.
Pernah pada suatu ketika, setiap kali Rasulullah membuka pintu pagi-pagi untuk menjalankan Shalat Subuh di masjid, sebuah kotoran tertumpuk di ambang pintu rumahnya. Kotoran manusia. Rasulullah hanya mengernyit. Pada awalnya ia sempat terkejut juga. Tapi tidak berapa lama, dengan sabar beliau mengambil air dan segera membersihkan tempat itu dahulu. Setelah itu ia pun meneruskan niatnya pergi ke masjid yang sempat tertunda. Kejadian itu terus berulang hampir setiap hari.
Di hari-hari tertentu, bahkan bukan setumpuk kotoran manusia yang beliau dapatkan di muka pintu rumahnya. Melainkan dua tumpuk besar. Orang pun akan jijik melihatnya. Ternyata besok dan besoknya lagi, kotoran itu makin bertambah tumpukannya.
Namun, sekali lagi, Rasulullah tidak mengeluh. Ia membersihkan saja sendirian tempat bernajis itu tiap hari. Sampai akhirnya orang jahat yang melakukan perbuatan keji dan tidak beradab itu merasa bosan sendiri dan menghentikan tindakannya menumpuk kotoran manusia di depan pintu rumah Rasulullah saw.
Lepas dari kejadian itu, Rasulullah belum terbebas dari kedengkian dan kejahatan musuh-musushnya. Tiap kali beliau melalui sebuah rumah berloteng dalam perjalanan menuju masjid, selalu dari jendela atas ada seseorang yang menumpahkan air najis ke arahnya. Byur, air itupun seketika mengguyur kepalanya. Basah kuyuplah beliau. Setiap hari, beliau harus menghadapi hal itu.
Rasulullah tidak pernah sekalipun marah. Suatu kali, tatkala beberapa hari sesudah itu tidak ada air najis yang ditumpahkan ke kepalanya dari jendela loteng itu, Rasulullah merasa heran. Maka, ia pun bertanya kepada para sahabat.
“Ya sahabatku, kemana gerangan orang yang tinggal di loteng atas itu?”
Sahabat mengernyitkan dahi tanda keheranan. “Ada ya Rasulullah?” salah seorang dari mereka malah balik bertanya.
Rasulullah menjawab, “Tiap hari biasanya ia selalu memberikan sesuatu kepadaku. Kalian tahu, ia memberi guyuran air ke kepalaku setiap kali aku lewat hendak ke masjid. Tapi beberapa hari ini tidak. Terus-terang aku jadi bertanya-tanya tentang keadaannya.”
Para sahabat saling berpandangan. “Kebimbanganmu tidak keliru, ya Rasulullah. Orang itu sedang sakit keras dan tidak keluar dari biliknya.”
Rasulullah mengangguk-anggukkan kepalanya pelan. Sepulang dari pertemuannya, beliau segera menemui istrinya. Beliau menyuruhnya untuk menyiapkan makanan. Sang istri tidak banyak bertanya. Ia hanya menuruti saja perintah suami tercintanya. Ia tahu, suaminya pasti akan melakukan suatu kebajikan.
Dan benar saja, tanpa banyak yang tahu, Rasulullah membawa makanan itu ke rumah orang jahat yang tiap hari mengguyurnya dengan air. Ia memang bermaksud menengok keadaan sakitnya dan mendoakan agar cepat sembuh.
Ketika bertemu, tidak kepalang malunya orang itu. Ia sangat terperanjat menerima kedatangan Rasulullah dengan membawa makanan yang lezat-lezat. Padahal tiap hari ia memberikan air najis kepadanya. Orang itu pun amat malu dan menangis-nangis minta maaf.
Dengan lapang dada, Rasulullah memberi maaf. Tidak sedikitpun disinggungnya perbuatan keji yang dilakukan orang itu kepadanya. Apa yang terjadi, orang itu begitu kagum dan simpati kepada ketulusan dan kemuliaan akhlak Rasulullah. Bayangkan, tiap hari ia memperlakukannya dengan tidak beradab, tapi Muhammad begitu saja menerima permintaan maafnya. Seumur hidup ia baru menemukan orang seperti itu. Apalagi dari kalangan kaum lain. Orang itu seketika menyatakan dua kalimat syahadat memeluk Islam.
Suatu hari, Abu Jahal yang sangat jahat kepada Rasul, mengirim utusan. Utusan itu membawa kabar bahwa ia tengah menderita demam hebat. Ia ingin Rasulullah datang silaturahim ke rumahnya sekalian menengoknya.
Sebagai kemenakan yang berbakti, Rasulullah segera bergegas hendak berangkat menuju ke rumah pamannya itu.
Tapi sebenarnya, pemimpin orang musyrik itu tidak sakit. Ia telah menyiapkan lubang di depan pembaringannya yang di atasnya ditutup dengan permadani. Dan di dalam lubang itu telah dipasanginya beberapa tonggak yang runcing-runcing. Maksudnya jelas untuk menjerumuskan Rasulullah saw ke dalamnya.
Ketika terdengar langkah langkah-langkah Rasulullah memasuki kamarnya, tokoh busuk itu cepat-cepat menutupi badannya dengan selimut tebal sambil berpura-pura merintih-rintih. Namun dalam pendengaran Rasulullah, rintihan Abu jahal itu tidak wajar dan berlebih-lebihan, tidak sesuai dengan wajahnya yang tetap cerah dan berwarna merah.
Maka Rasulullah pun tahu bahwa pasti Abu Jahal sedang menyiapkan jebakannya. Karena itu begitu beliau hampir menginjak permadani yang di bawahnya menganga sebuah lubang berisi tonggak-tonggak runcing, beliau segera permisi lagi dan keluar tanpa berkata sepatah pun.
Abu Jahal terkejut. Ia bangun dan memanggil-manggil keponakannya agar mendekat kepadanya. Karena Rasulullah tidak menggubris, Abu Jahal jadi kesal dan geram. Ia bangkit tanpa sadar dan melompat ke permadani hendak mengejar Rasulullah. Ia lupa akan perangkap yang dibuatnya. Akibatnya, tak ampun, ia terjerumus sendiri ke dalam lubang itu dan menderita luka-luka yang cukup parah.
Akhirnya setelah kejadian itu, terpenuhi juga keinginan Abu Jahal ditengok Rasulullah. Sebab setelah terperosok ke lubang itu, ia betul-betul sakit. Rasulullah datang bersilturahmi membawakan makanan-makanan lezat yang diterima Abu Jahal dengan muka sangat kecut.
Islampos
Hubungan Pernikahan Antara Ahlu Bait dan Keluarga Umar bin Khattab
KELUARGA Ahlu bait Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam memiliki hubungan yang sangat dekat dengan keluarga Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu. Bahkan terjadi perkawinan d iantara dua keluarga tersebut yang mana hal ini menunjukkan bahwa Umar beserta keturunannya termasuk orang yang mulia.
Kitab-kitab biografi para tokoh dan kitab-kitab nasab menunjukkan kepada kita adanya beberapa hubungan perkawinan antara keluarga Nabi dengan keluarga Umar bin Khattab. Yang paling menonjol adalah pernikahan antara Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam sendiri dengan Hafsah putri Umar.
Pernikahan yang penuh berkah ini terjadi pada tahun 3 Hijriyah, setelah suami Hafsah mati syahid di perang Badar, dan pernikahan tersebut berlangsung hingga Rasulullah wafat.
Adapun pernikahan kedua adalah pernikahan Umar bin Al-Khattab dengan putri Ali dengan Fatimah binti Rasulillah yang Ummu Kultsum cucu Nabi shalallahu ‘alaihi salam.
Ummu Kultsum ini lahir tatkala Nabi masih hidup tepatnya tahun 6 Hijriyah dan dinikahi oleh Umar sebelum tahun 20 Hijriyah.
Ketika Ali bin Abi Thalib (ayahnya) terbunuh, Ummu Kultsum berkata : “Mengapa aku dengan shalat subuh !!”, maksudnya suaminya Umar bin Khatab yang terlebih dahulu menjadi Khalifah juga terbunuh ketika shalat subuh oleh seorang majusi bernama Abu Lu’lu’ah. Sedangkan ayahnya dibunuh oleh Abdurrahman bin Muljam juga dalam shalat subuh. Dan Allah pun berkehendak bahwa anaknya yang bernama Zaid bin Umar bin Khattab juga meninggal tatkala waktu subuh. Bahkan dia juga meninggal dunia bersama putranya di saat yang sama hingga orang-orang tidak mengetahui mana yang lebih dahulu meninggal.
Ummu kultsum juga dinikahi oleh Auf bin Ja’far bin Abi Thalib setelah Umar mati syahid, kemudian Auf meninggal dunia, dan Ummu Kultsum dinikahi oleh saudara Auf yang bernama Muhammad. Kemudian Muhammad meninggal dan Ummu Kultsum dinikahi saudaranya yang lain yang bernama Abdullah bin Ja’far hingga akhirnya Ummu Kultsum meninggal di sisinya.
Dulunya Ummu Kultsum berkata: “Saya malu kepada Asma’ binti Umais karena dua anaknya sudah meninggal di sisiku, aku mengkhawatirkan anaknya yang ketiga.” Kemudian Ummu Kultsum meninggal dan tidak melahirkan satu anak pun untuk mereka.
Adapun pernikahan ketiga antara keluarga Umar dan Ahlu bait Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam terjadi pada generasi kelima, yaitu antara Al-Husain bin Ali bin Ali bin Al-Husain bin Ali bin Abi Thalib dengan Juwairiyyah binti Khalid bin Abu Bakar bin Abdillah bin Umar, sebagai bentuk pengukuhan atas kasih sayang dan kecintaan para pendahulunya.
Islampos
Jin Qarin Pedamping Manusia
JIN merupakan sosok yang tak kasat mata. Kehadirannya, terkadang tak kita hiraukan. Bahkan, kita pun tak menyadari bahwa dalam diri kita terdapat jin yang selalu mendampingi kita. Ialah Qarin, jin pendamping manusia selama hidup di dunia.
Banyak kejadian yang dikisahkan oleh manusia tentang hantu atau roh orang yang sudah meninggal. Kita bisa melihat di acara-acara televisi dewasa ini yang mengemasnya dengan sajian yang menarik. Seseorang bercerita bahwa suatu ketika ditemui oleh si Fulan. Ternyata diketahui bahwa si Fulan tersebut baru saja meninggal dunia. Kisah-kisah sejenis ini sangatlah banyak ragam kejadiaannya. Misalnya saja, mengenai seseorang yang kerasukan.
Maka, kebanyakan manusia mengira bahwa roh orang yang sudah meninggal itu bergentayangan. Bahkan, peristiwa-peristiwa yang bersangkutan dengan kejadian orang yang baru meninggal tersebut sampai membuat segolongan aliran berkeyakinan bahwa orang yang sudah meninggal itu akan menitis kembali. Mereka menyebutkan bukti-bukti kejadian yang berkaitan dengan peristiwa kematian, dan juga hasil dari cerita-cerita seperti tersebut di atas.
Pasti kejadian ini sudah tak asing lagi bagi kita. Tahukah Anda biasanya ketika seseorang kerasukan dan mengaku dirinya adalah sosok orang yang telah meninggal, itu bukanlah setan? Ya, yang merasuki tubuh seseorang itu merupakan sahabat almarhum/almarhumah yang tidak lain adalah Qorin atau jin pendamping yang selalu mendampinginya sewaktu hidup. Jadi, ia tahu betul apa yang dilakukan almarhum/almarhumah sewaktu hidup.
Siapakah Qarin itu sebenarnya? Apakah ia jin pendamping yang baik atau jahat bagi orang yang di dampinginya? Mengapa Qarin tidak meninggal menyusul orang yang didampinginya ke alam baka (kekal)? Secara bahasa “Qarin” berarti teman atau pasangan, karena itu Qarin sering di artikan sebagai teman yang selalu mendampingi kita dimana saja kita berada.
Layaknya teman, ada yang baik dan ada yang buruk. Begitu juga dengan Qarin, ia kadang memiliki pengaruh baik pada kita kadang juga memiliki pengaruh buruk pada kita. Tetapi pengaruh kita sebagai manusia lebih tinggi dibandingkan pengaruh Qarin terhadap kita.
Qarin sudah ada sejak kita lahir. Karena itu, ada yang mengistilahkan Qarin itu pasangan kembar kita. Hanya saja ia bentuknya ghaib dan tak terlihat. Sebagai pasangan yang selalu mengikuti kita kemana saja, sudah pasti ia tahu betul apa yang kita kerjakan semasa hidup. Sehingga Qarin bisa menyampaikan keinginan-keinginan yang ingin di sampaikan almarhum/almarhumah saat hidupnya yang belum sempat terucap.
Ibn Mas’ud menceritakan, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam, bersabda, “Tidaklah salah seorang dari kalian melainkan ada pendampingnya dari golongan jin.” Mereka bertanya, “Juga padamu, ya Rasulullah?” “Ya, juga bagiku, hanya saja aku telah mendapat perlindungan dari Allah sehingga aku selamat. Ia tidak memerintahkan aku kecuali kebaikan,” (HR. Muslim).
Ath-Thabarani juga mengisahkan riwayat dari Syuraik bin Thariq. Ia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda, “Tidak ada seseorang di antara kalian melainkan ada baginya seorang setan.” Mereka bertanya, “Juga bagimu, ya Rasulullah?” “Ya, juga bagiku, tetapi Allah melindungiku sehingga aku selamat,” (HR. Ibnu Hibban).
KONON jin (Qarin) yang mendampingi nabi itu bernama Habib al-Huda dan ia beragama Islam. Disinyalir jin nabi ini masih hidup hingga sekarang. Dan tinggal di Baqi’. Di sana ia memiliki majelis dakwah, yang kerap kali didatangi oleh jin-jin lainnya yang beragama Islam. Jadi, layaknya manusia, jin juga memiliki tempat untuk belajar dan mengajar.
Seperti halnya manusia, Qarin juga ada yang beragama Islam, Ateis, Kristen dan Yahudi. Konon Qarin yang non muslim ini bertengger di bahu kiri pada orang yang didampinginya. Sebaliknya Qarin yang Muslim berada di bahu kanan. Dia selalu membantunya untuk taat kepada Allah. Jika kita lupa shalat, dia mengingatkan dan membangunkan kita. Dia tidak pernah meninggalkan orang yang didampinginya kecuali ia sedang menggauli istrinya. Ketika sang suami istri sudah masuk kamar dan pintu di tutup, maka Qarin pun dengan sekejap sudah berada di Mekkah untuk shalat di sana dan balik lagi dengan sekejap ke rumah muslim tersebut.
Sa’id al-Jariri mengomentari ayat yang berbunyi, “Barang siapa yang berpaling dari pengajaran Tuhan Yang Maha Pemurah (al-Quran), kami adakan baginya setan,” (QS. Az-Zukhruf: 36). Ia berkomentar, “Telah sampai berita kepada kami bahwa orang kafir apabila dibangkitkan pada hari kiamat, setan akan mendorong dengan tangannya, hingga ia tidak bisa melawannya, sampai Allah menempatkannya di api neraka, dan ketika itu ia berkata, ‘Aduhai, semoga (jarak) antaraku dan kamu seperti jarak antara timur dan barat’,” (QS. Az-Zukhruf: 38). Sementara, orang mukmin akan diwakilkan padanya malaikat sampai ia diadili di antara manusia dan menempatkannya dalam surga.
Demikianlah, orang yang berpaling dari petunjuk yang lurus, yaitu al-Quran dan sunah, maka baginya akan diadakan oleh Allah yaitu setan, yang akan menyesatkannya.
Tidak seperti manusia, Qarin tidak dapat mati hingga hari kiamat. Sebab ia merupakan bangsa jin. Seperti bangsa jin lainnya, ia pun tidak bisa mati kecuali saat datangnya hari kiamat. Maka dari itu, ketika yang didampinginya meninggal, Qarin kerap kali menampakkan wujudnya seperti diri orang yang dulu didampinginya.
Biasanya Qarin itu berperilaku persis seperti orang yang didampinginya. Jika orang yang didampinginya adalah orang yang saleh maka ia akan berperilaku persis seperti orang itu, meskipun orang itu sudah meninggal. Karena itu kerap kali kita mendengar kisah-kisah tentang orang saleh yang sudah meninggal dunia, tetapi kita masih melihatnya sedang mengaji di masjid, beribadah dan sebagainya.
Sebagian orang menilai itu karena karomahnya. Padahal itu adalah Qarin yang dulu mendampinginya ia akan persis melakonkan perilaku orang yang didampinginya saat masih hidup.
Bagi orang kita orang awam akan timbul pertanyaan, “Apakah jin pendamping muslim itu juga pasti muslim?” Jawabnya tidak mesti. Kadang-kadang jin pendamping seorang muslim itu adalah jin muslim, tetapi ada juga jin Kafir, Ateis, penyembah berhalah, Kristen maupun Yahudi.
Jin pedamping yang muslim, sangat mencintai orang muslim yang didampinginya dalam derajat yang tidak dapat dibayangkan oleh manusia. Dia melindungi manusia yang didampinginya dari berbagai bahaya, dan membantu untuk melaksanakan ketaatan kepada Allah.
Untuk melindungi diri dari jin Qorin maka banyaklah berdzikir dan memohon perlindungan kepada Allah. Jika kita sungguh-sungguh melakukan hal ini, insya Allah, akan datang perlindungan dari Yang Maha Kuasa.
Islampos
Langganan:
Postingan (Atom)