Bahwa banyak perempuan yang
menikah ketika sedang berbadan dua. Bagaimana Islam memandangnya?
Perempuan yang dinikahi dalam keadaan hamil ada dua macam :
Satu : Perempuan yang diceraikan oleh suaminya dalam keadaan hamil.
Dua : Perempuan yang hamil karena melakukan zina sebagaimana yang
banyak terjadi di zaman ini –Wal ‘iyadzu billah- mudah-mudahan Allah
menjaga kita dan seluruh kaum muslimin dari dosa terkutuk ini.
Adapun perempuan hamil yang diceraikan oleh suaminya, tidak boleh
dinikahi sampai lepas ‘iddah nya. Dan ‘iddah-nya ialah sampai ia
melahirkan sebagaimana dalam firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala :
وَ
اللاَّئي يَئِسْنَ مِنَ الْمَحيضِ مِنْ نِسائِكُمْ إِنِ ارْتَبْتُمْ فَعِدَّتُهُنَّ
ثَلاثَةُ أَشْهُرٍ وَ اللاَّئي لَمْ يَحِضْنَ وَ أُولاتُ الْأَحْمالِ أَجَلُهُنَّ
أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ وَ مَنْ يَتَّقِ اللهَ يَجْعَلْ لَهُ مِنْ أَمْرِهِ
يُسْراً
“Dan
perempuan-perempuan yang hamil waktu ‘iddah mereka sampai mereka
melahirkan kandungannya,” (QS. Ath-Tholaq : 4).
Dan hukum menikah dengan perempuan hamil seperti ini adalah haram dan
nikahnya batil tidak sah sebagaimana dalam firman Allah Ta’ala :
وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا عَرَّضْتُم بِهِۦ مِنْ خِطْبَةِ
ٱلنِّسَآءِ أَوْ أَكْنَنتُمْ فِىٓ أَنفُسِكُمْ ۚ عَلِمَ ٱللَّهُ أَنَّكُمْ
سَتَذْكُرُونَهُنَّ وَلَٰكِن لَّا تُوَاعِدُوهُنَّ سِرًّا إِلَّآ أَن
تَقُولُوا۟ قَوْلًۭا مَّعْرُوفًۭا ۚ وَلَا تَعْزِمُوا۟ عُقْدَةَ ٱلنِّكَاحِ
حَتَّىٰ يَبْلُغَ ٱلْكِتَٰبُ أَجَلَهُۥ ۚ وَٱعْلَمُوٓا۟ أَنَّ ٱللَّهَ
يَعْلَمُ مَا فِىٓ أَنفُسِكُمْ فَٱحْذَرُوهُ ۚ وَٱعْلَمُوٓا۟ أَنَّ ٱللَّهَ
غَفُورٌ حَلِيمٌۭ
“Dan
janganlah kalian ber’azam (bertetap hati) untuk beraqad nikah sebelum
habis ‘iddahnya”.
(QS. Al-Baqarah : 235).
Berkata Ibnu Katsir dalam tafsir-nya tentang makna ayat ini : “Yaitu
jangan kalian melakukan akad nikah sampai lepas ‘iddah-nya”. Kemudian
beliau berkata : ‘Dan para ‘ulama telah sepakat bahwa akad tidaklah sah
pada masa ‘iddah”. Lihat : Al-Mughny 11/227, Takmilah Al-Majmu’
17/347-348, Al-Muhalla 10/263 dan Zadul Ma’ad 5/156.
Adapun perempuan hamil karena zina, kami melihat perlu dirinci lebih
meluas karena pentingnya perkara ini dan banyaknya kasus yang terjadi di
seputarnya. Maka dengan mengharap curahan taufiq dan hidayah dari Allah
Al-‘Alim Al-Khabir, masalah ini kami uraikan sebagai berikut :
Perempuan yang telah melakukan zina menyebabkan dia hamil atau tidak,
dalam hal bolehnya melakukan pernikahan dengannya terdapat persilangan
pendapat dikalangan para ‘ulama.
Secara global para ‘ulama berbeda pendapat dalam pensyaratan dua perkara untuk sahnya nikah dengan perempuan yang berzina.
Syarat yang pertama : Bertaubat dari perbuatan zinanya yang nista.
Dalam pensyaratan taubat ada dua pendapat dikalangan para ‘ulama :
Satu : Disyaratkan bertaubat. Dan ini merupakan madzhab Imam Ahmad dan pendapat Qatadah, Ishaq dan Abu ‘Ubaid.
Dua : Tidak disyaratkan taubat. Dan ini merupakan pendapat Imam Malik, Syafi’iy dan Abu Hanifah.
Tarjih Yang benar dalam masalah ini adalah pendapat pertama yang mengatakan disyaratkan untuk bertaubat.
BERKATA Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Al-Fatawa 32/109 :
“Menikahi perempuan pezina adalah haram sampai ia bertaubat, apakah yang
menikahinya itu adalah yang menzinahinya atau selainnya. Inilah yang
benar tanpa keraguan”.
Tarjih diatas berdasarkan firman Allah ‘Azza Wa Jalla :
الزَّاني لا يَنْكِحُ إِلاَّ زانِيَةً
أَوْ مُشْرِكَةً وَ الزَّانِيَةُ لا يَنْكِحُها إِلاَّ زانٍ أَوْ مُشْرِكٌ وَ
حُرِّمَ ذلِكَ عَلَى الْمُؤْمِن
“Laki-laki
yang berzina tidak menikahi melainkan perempuan yang berzina atau
perempuan yang musyrik. Dan perempuan yang berzina tidak dinikahi
melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik. Dan telah
diharamkan hal tersebut atas kaum mu`minin,”
(QS. An-Nur : 3).
Dan dalam hadits ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya ‘Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash, beliau berkata :
“Sesungguhnya Martsad bin Abi Martsad Al-Ghonawy membawa tawanan
perang dari Makkah dan di Makkah ada seorang perempuan pelacur disebut
dengan (nama) ‘Anaq dan ia adalah teman (Martsad). (Martsad) berkata :
‘Maka saya datang kepada Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa
sallam lalu saya berkata : ‘Ya Rasulullah, Saya nikahi ‘Anaq?’.
Martsad berkata : “Maka beliau diam, maka turunlah (ayat) : “Dan
perempuan yang berzina tidak dinikahi melainkan oleh laki-laki yang
berzina atau laki-laki musyrik”. Kemudian beliau memanggilku lalu
membacakannya padaku dan beliau berkata : “Jangan kamu nikahi dia,”
(Hadits hasan, riwayat Abu Daud no. 2051, At-Tirmidzy no. 3177,
An-Nasa`i 6/66 dan dalam Al-Kubra 3/269, Al-Hakim 2/180, Al-Baihaqy
7/153, Ibnul Jauzy dalam At-Tahqiq no. 1745 dan disebutkan oleh Syeikh
Muqbil rahimahullahu dalam Ash-Shohih Al-Musnad Min Asbabin Nuzul).
Ayat dan hadits ini tegas menunjukkan haram nikah dengan perempuan
pezina. Namun hukum haram tersebut bila ia belum bertaubat. Adapun kalau
ia telah bertaubat maka terhapuslah hukum haram nikah dengan perempuan
pezina tersebut berdasarkan sabda Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala
alihi wa sallam :
“Orang yang bertaubat dari dosa seperti orang yang tidak ada dosa
baginya,” (Dihasankan oleh Syeikh Al-Albany dalam Adh-Dho’ifah 2/83 dari
seluruh jalan-jalannya)
Adapun para ‘ulama yang mengatakan bahwa kalimat ‘nikah’ dalam ayat
An-Nur ini bermakna jima’ atau yang mengatakan ayat ini mansukh
(terhapus hukumnya) ini adalah pendapat yang jauh dan pendapat ini
(yaitu yang mengatakan bermakna jima’ atau mansukh) telah dibantah
secara tuntas oleh Ibnu Taimiyah dalam Al-Fatawa 32/112-116. Dan
pendapat yang mengatakan haram nikah dengan perempuan pezina sebelum
bertaubat, ini pula yang dikuatkan Asy-Syinqithy dalam Adwa Al-Bayan
6/71-84 dan lihat Zadul Ma’ad 5/114-115.
Dan lihat permasalahan di atas dalam : Al-Ifshoh 8/81-84, Al-Mughny
9/562-563 (cet. Dar ‘Alamil Kutub), dan Al-Jami’ Lil Ikhtiyarat
Al-Fiqhiyah 2/582-585.
Catatan :
Sebagian ‘ulama berpendapat bahwa perlu diketahui kesungguhan taubat
perempuan yang berzina ini dengan cara dirayu untuk berzina kalau ia
menolak berarti taubatnya telah baik. Pendapat ini disebutkan oleh
Al-Mardawy dalam Al-Inshof 8/133 diriwayatkan dari ‘Umar dan Ibnu ‘Abbas
dan pendapat Imam Ahmad. Dan Ibnu Taimiyah dalam Al-Fatawa 32/125
kelihatan condong ke pendapat ini.
Tapi Ibnu Qudamah dalam Al-Mughny 9/564 berpendapat lain, beliau
berkata : “Tidak pantas bagi seorang muslim mengajak perempuan untuk
berzina dan memintanya. Karena permintaannya ini pada saat berkhalwat
(berduaan) dan tidak halal berkhalwat dengan Ajnabiyah (perempuan bukan
mahram) walaupun untuk mengajarinya Al-Qur’an maka bagaimana (bisa) hal
tersebut dihalalkan dalam merayunya untuk berzina?”
Maka yang benar adalah ia bertaubat atas perbuatan zinanya
sebagaimana ia bertaubat kalau melakukan dosa besar yang lainnya. Yaitu
dengan lima syarat :
1. Ikhlash karena Allah.
2. Menyesali perbuatannya.
3. Meninggalkan dosa tersebut.
4. Ber’azam dengan sungguh-sungguh tidak akan mengulanginya.
5. Pada waktu yang masih bisa bertaubat seperti sebelum matahari terbit dari Barat dan sebelum ruh sampai ke tenggorokan.
Dan bukan disini tempat menguraikan dalil-dalil lima syarat ini. Wallahu A’lam.
Syarat Kedua : Telah lepas ‘iddah.
Para ‘ulama berbeda pendapat apakah lepas ‘iddah, apakah merupakan
syarat bolehnya menikahi perempuan yang berzina atau tidak, ada dua
pendapat :
Pertama : Wajib ‘iddah. Ini adalah pendapat Hasan Al-Bashry,
An-Nakha’iy, Rabi’ah bin ‘Abdurrahman, Imam Malik, Ats-Tsaury, Imam
Ahmad dan Ishaq bin Rahawaih.
Kedua : Tidak wajib ‘iddah. Ini adalah pendapat Imam Syafi’iy dan Abu
Hanifah, tapi ada perbedaan antara mereka berdua pada satu hal, yaitu
menurut Imam Syafi’iy boleh untuk melakukan akad nikah dengan perempuan
yang berzina dan boleh berjima’ dengannya setelah akad, apakah orang
yang menikahinya itu adalah orang yang menzinahinya itu sendiri atau
selainnya.
Sedangkan Abu Hanifah berpendapat boleh melakukan akad nikah
dengannya dan boleh berjima’ dengannya, apabila yang menikahinya adalah
orang yang menzinahinya itu sendiri. Tapi kalau yang menikahinya selain
orang yang menzinahinya maka boleh melakukan akad nikah tapi tidak boleh
berjima’ sampai istibro` (telah nampak kosongnya rahim dari janin)
dengan satu kali haid atau sampai melahirkan kalau perempuan tersebut
dalam keadaan hamil.
Tarjih
Dan yang benar dalam masalah ini adalah pendapat pertama yang wajib ‘iddah berdasarkan dalil-dalil berikut ini :
1. Hadits Abu Sa’id Al-Khudry radhiyallahu ‘anhu, sesungguhnya Nabi
shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda tentang tawanan
perang Authos : “Jangan dipergauli perempuan hamil sampai ia melahirkan
dan jangan (pula) yang tidak hamil sampai ia telah haid satu kali”. (HR.
Ahmad 3/62,87, Abu Daud no. 2157, Ad-Darimy 2/224 Al-Hakim 2/212,
Al-Baihaqy 5/329, 7/449, Ath-Thobarany dalam Al-Ausath no. 1973 dan
Ibnul Jauzy dalam At-Tahqiq no. 307 dan di dalam sanadnya ada rowi yang
bernama
Syarik bin ‘Abdullah An-Nakha’iy dan ia lemah karena hafalannya yang
jelek tapi hadits ini mempunyai dukungan dari jalan yang lain dari
beberapa orang shohabat sehingga dishohihkan dari seluruh jalan-jalannya
oleh Syeikh Al-Albany dalam Al-Irwa` no. 187).
2. Hadits Ruwaifi’ bin Tsabit radhiyallahu ‘anhu dari Nabi
shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam, beliau bersabda : “Siapa
yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, maka jangan ia menyiramkan
airnya ke tanaman orang lain,” (HR. Ahmad 4/108, Abu Daud
no. 2158, At-Tirmidzi no. 1131, Al-Baihaqy 7/449, Ibnu Qoni’ dalam
Mu’jam Ash-Shohabah 1/217, Ibnu Sa’ad dalam Ath-Thobaqot 2/114-115,
Ath-Thobarany 5/no.4482 dihasankan oleh Syeikh Al-Albany dalam Al-Irwa`
no. 2137).
3. Hadits Abu Ad-Darda` riwayat Muslim dari Nabi shollallahu ‘alaihi
wa ‘ala alihi wa sallam : “Beliau mendatangi seorang perempuan yang
hampir melahirkan di pintu Pusthath. Beliau bersabda : “Barangkali orang
itu ingin menggaulinya?” (Para sahabat) menjawab : “Benar”. Maka
Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda :
“Sungguh saya telah berkehendak untuk melaknatnya dengan laknat yang
dibawa ke kuburnya. Bagaimana ia mewarisinya sedangkan itu tidak halal
baginya dan bagaimana ia memperbudakkannya sedang ia tidak halal
baginya?”
Berkata Ibnul Qayyim rahimahullah : “Dalam (hadits) ini ada dalil
yang sangat jelas akan haramnya menikahi perempuan hamil, apakah
hamilnya itu karena suaminya, tuannya (kalau ia seorang budak-pent.),
syubhat (yaitu nikah dengan orang yang haram ia nikahi karena tidak tahu
atau karena ada kesamar-samaran-pent.) atau karena zina.”
Nampaklah dari sini kuatnya pendapat yang mengatakan wajib ‘iddah dan
pendapat ini yang dikuatkan oleh Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim,
Asy-Syinqithy, Syaikh Ibnu Baz dan Al-Lajnah Ad-Daimah (Lembaga Fatwa
Saudi Arabia). Wallahu A’lam.
Catatan :
Nampak dari dalil-dalil yang disebutkan di atas bahwa perempuan hamil
karena zina tidak boleh dinikahi sampai melahirkan, maka ini ‘iddah bagi
perempuan yang hamil karena zina dan ini juga ditunjukkan oleh keumuman
firman Allah ‘Azza Wa Jalla :
وَ
اللاَّئي يَئِسْنَ مِنَ الْمَحيضِ مِنْ نِسائِكُمْ إِنِ ارْتَبْتُمْ فَعِدَّتُهُنَّ
ثَلاثَةُ أَشْهُرٍ وَ اللاَّئي لَمْ يَحِضْنَ وَ أُولاتُ الْأَحْمالِ أَجَلُهُنَّ
أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ وَ مَنْ يَتَّقِ اللهَ يَجْعَلْ لَهُ مِنْ أَمْرِهِ
يُسْراً
“Dan perempuan-perempuan yang hamil waktu ‘iddah mereka sampai mereka melahirkan kandungannya,”
(QS. Ath-Tholaq : 4).
Adapun perempuan yang berzina dan belum nampak hamilnya, ‘iddahnya
diperselisihkan oleh para ‘ulama yang mewajibkan ‘iddah bagi perempuan
yang berzina. Sebagian para ‘ulama mengatakan bahwa ‘iddahnya adalah
istibro` dengan satu kali haid. Dan ‘ulama yang lainnya berpendapat :
tiga kali haid yaitu sama dengan ‘iddah perempuan yang ditalak.
Dan yang dikuatkan oleh Imam Malik dan Ahmad dalam satu riwayat
adalah cukup dengan istibro` dengan satu kali haid. Dan pendapat ini
yang dikuatkan oleh Ibnu Taimiyah berdasarkan hadits Abu Sa’id Al-Khudry
di atas. Dan ‘iddah dengan tiga kali haid hanya disebutkan dalam
Al-Qur’an bagi perempuan yang ditalak (diceraikan) oleh suaminya
sebagaimana dalam firman Allah Jalla Sya`nuhu:
وَالْمُطَلَّقَاتُ
يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ ۚ وَلَا يَحِلُّ لَهُنَّ
أَنْ يَكْتُمْنَ مَا خَلَقَ اللَّهُ فِي أَرْحَامِهِنَّ إِنْ كُنَّ
يُؤْمِنَّ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۚ وَبُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ
بِرَدِّهِنَّ فِي ذَٰلِكَ إِنْ أَرَادُوا إِصْلَاحًا ۚ وَلَهُنَّ مِثْلُ
الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ ۚ وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ ۗ
وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
- See more at:
http://www.alim.org/library/quran/ayah/compare/2/228/waiting-period-after-divorce#sthash.BcCu8p57.dpuf
وَالْمُطَلَّقَاتُ
يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ ۚ وَلَا يَحِلُّ لَهُنَّ
أَنْ يَكْتُمْنَ مَا خَلَقَ اللَّهُ فِي أَرْحَامِهِنَّ إِنْ كُنَّ
يُؤْمِنَّ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۚ وَبُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ
بِرَدِّهِنَّ فِي ذَٰلِكَ إِنْ أَرَادُوا إِصْلَاحًا ۚ وَلَهُنَّ مِثْلُ
الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ ۚ وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ ۗ
وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
- See more at:
http://www.alim.org/library/quran/ayah/compare/2/228/waiting-period-after-divorce#sthash.BcCu8p57.dpuf
وَٱلْمُطَلَّقَٰتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنفُسِهِنَّ ثَلَٰثَةَ قُرُوٓءٍۢ ۚ
وَلَا يَحِلُّ لَهُنَّ أَن يَكْتُمْنَ مَا خَلَقَ ٱللَّهُ فِىٓ
أَرْحَامِهِنَّ إِن كُنَّ يُؤْمِنَّ بِٱللَّهِ وَٱلْيَوْمِ ٱلْءَاخِرِ ۚ
وَبُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِى ذَٰلِكَ إِنْ أَرَادُوٓا۟
إِصْلَٰحًۭا ۚ وَلَهُنَّ مِثْلُ ٱلَّذِى عَلَيْهِنَّ بِٱلْمَعْرُوفِ ۚ
وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌۭ ۗ وَٱللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
“Dan wanita-wanita yang
dithalaq (hendaknya) mereka menahan diri (menunggu) selama tiga kali
quru`(haid)”.
(QS. Al-Baqarah : 228).
Kesimpulan Pembahasan :
1. Tidak boleh nikah dengan perempuan yang berzina kecuali dengan dua
syarat yaitu, bila perempuan tersebut telah bertaubat dari perbuatan
nistanya dan telah lepas ‘iddah-nya.
2. Ketentuan perempuan yang berzina dianggap lepas ‘iddah adalah sebagai berikut :
• Kalau ia hamil, maka ‘iddahnya adalah sampai melahirkan.
• Kalau ia belum hamil, maka ‘iddahnya adalah sampai ia telah haid
satu kali semenjak melakukan perzinahan tersebut. Wallahu Ta’ala A’lam.
Lihat pembahasan di atas dalam : Al-Mughny 9/561-565, 11/196-197,
Al-Ifshoh 8/81-84, Al-Inshof 8/132-133, Takmilah Al-Majmu’ 17/348-349,
Raudhah Ath-Tholibin 8/375, Bidayatul Mujtahid 2/40, Al-Fatawa
32/109-134, Zadul Ma’ad 5/104-105, 154-155, Adwa` Al-Bayan 6/71-84 dan
Jami’ Lil Ikhtiyarat Al-Fiqhiyah Lisyaikhil Islam Ibnu Taimiyah
2/582-585, 847-850.
2. Telah jelas dari jawaban di atas bahwa perempuan yang hamil, baik
hamil karena pernikahan sah, syubhat atau karena zina, ‘iddahnya adalah
sampai melahirkan. Dan para ‘ulama sepakat bahwa akad nikah pada masa
‘iddah adalah akad yang batil lagi tidak sah. Dan kalau keduanya tetap
melakukan akad nikah dan melakukan hubungan suami-istri setelah keduanya
tahu haramnya melakukan akad pada masa ‘iddah maka keduanya dianggap
pezina dan keduanya harus diberi hadd (hukuman) sebagai pezina kalau
negara mereka menerapkan hukum Islam, demikian keterangan Imam Ibnu
Qudamah dalam Al-Mughny 11/242.
Kalau ada yang bertanya : “Setelah keduanya berpisah, apakah boleh keduanya kembali setelah lepas masa ‘iddah?”.
Jawabannya adalah Ada perbedaan pendapat di kalangan para ‘ulama. Jumhur
(kebanyakan) ‘ulama berpendapat : “Perempuan tersebut tidak diharamkan
baginya bahkan boleh ia meminangnya setelah lepas ‘iddah-nya.”
Dan mereka diselisihi oleh Imam Malik, beliau berpendapat bahwa
perempuan telah menjadi haram baginya untuk selama-lamanya. Dan beliau
berdalilkan dengan atsar ‘Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu yang
menunjukkan hal tersebut. Dan pendapat Imam Malik ini juga merupakan
pendapat dulu dari Imam Syafi’iy tapi belakangan beliau berpendapat
bolehnya menikah kembali setelah dipisahkan.
Dan pendapat yang terakhir ini zhohir yang dikuatkan oleh Ibnu Katsir
dalam tafsir-nya dan beliau melemahkan atsar ‘Umar yang menjadi dalil
bagi Imam Malik bahkan Ibnu Katsir juga membawakan atsar yang serupa
dari ‘Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu yang menunjukkan bolehnya.
Maka sebagai kesimpulan pendapat yang kuat dalam masalah ini adalah
boleh keduanya menikah kembali setelah lepas ‘iddah. Wal ‘Ilmu
‘Indallah. Lihat : Tafsir Ibnu Katsir 1/355 (Darul Fikr).
3. Laki-laki dan perempuan hamil yang melakukan pernikahan dalam
keadaan keduanya tahu tentang haramnya menikahi perempuan hamil kemudian
mereka berdua tetap melakukan jima’ maka keduanya dianggap berzina dan
wajib atas hukum hadd kalau mereka berdua berada di negara yang
diterapkan di dalamnya hukum Islam dan juga tidak ada mahar bagi
perempuan tersebut.
Adapun kalau keduanya tidak tahu tantang haramnya menikahi perempuan
hamil maka ini dianggap nikah syubhat dan harus dipisahkan antara
keduanya karena tidak sahnya nikah yang seperti ini sebagaimana yang
telah diterangkan.
Adapun mahar, si perempuan hamil ini berhak mendapatkan maharnya kalau memang belum ia ambil atau belum dilunasi.
Hal ini berdasarkan hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, Rasulullah
shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda : “Perempuan mana
saja yang nikah tanpa izin walinya, maka nikahnya batil, nikahnya batil,
nikahnya batil, dan apabila ia telah masuk padanya (perempuan) maka
baginya mahar dari dihalalkannya kemaluannya, dan apabila mereka
berselisih maka penguasa adalah wali bagi yang tidak mempunyai wali”.
(HR. Syafi’iy sebagaimana dalam Munadnya 1/220,275, dan dalam Al-Umm
5/13,166, 7/171,222, ‘Abdurrazzaq dalam Mushonnafnya 6/195, Ibnu Wahb
sebagaimana dalam Al-Mudawwah Al-Kubra 4/166, Ahmad 6/47,66,165, Ishaq
bin Rahawaih dalam Musnadnya 2/no. 698, Ibnu Abi Syaibah 3/454, 7/284,
Al-Humaidy dalam Musnadnya 1/112,
Ath-Thoyalisy dalam Musnadnya no. 1463, Abu Daud no. 2083, At-Tirmidzi
no. 1102, Ibnu Majah no. 1879, Ibnu Jarud dalam Al-Muntaqo no. 700,
Sa’id bin Manshur dalam sunannya 1/175, Ad-Darimy 2/185, Ath-Thohawy
dalam Syarah Ma’any Al-Atsar 3/7, Abu Ya’la dalam Musnadnya no.
4682,4750,4837, Ibnu Hibban sebagaimana dalam Al-Ihsan no. 4074,
Al-Hakim 2/182-183, Ad-Daruquthny 3/221, Al-Baihaqy 7/105,124,138,
10/148, Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah 6/88, As-Sahmy dalam Tarikh
Al-Jurjan hal. 315, Ibnul Jauzy dalam At-Tahqiq no. 1654 dan Ibnu ‘Abbil
Barr dalam At-Tamhid 19/85-87 dan dishohihkan oleh Al-Albany dalam
Al-Irwa` no.1840).
Nikah tanpa wali hukumnya adalah batil tidak sah sebagaimana nikah di
masa ‘iddah hukumnya batil tidak sah. Karena itu kandungan hukum dalam
hadits mencakup semuanya. Demikian rincian Ibnu Qudamah, Ibnu Taimiyah
dan Ibnul Qayyim.
Adapun orang yang ingin meminang kembali perempuan hamil ini setelah
ia melahirkan, maka kembali diwajibkan mahar atasnya berdasarkan
keumuman firman Allah Ta’ala :
وَآتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً ۚ فَإِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِنْهُ نَفْسًا فَكُلُوهُ هَنِيئًا مَرِيئًا
“Berikanlah kepada para perempuan (yang
kalian nikahi) mahar mereka dengan penuh kerelaan,”
(QS. An-Nisa` : 4)
Islampos