Suatu hari, Amirul Mukminin Abdul Malik bin Marwan tiba-tiba terbangun dari tidur siangnya dan tergesa. Ia segera memanggil penjaga, “Wahai Maisarah.
Penjaga sultan yang tegap dan gagah pun segera datang, “Ada apa Amirul mukminin?” tanyanya.
“Pergilah ke Masjid Nabawi dan undanglah kemari salah seorang ulama di sana untuk memberikan peringatan di istana,” pinta Ibn Marwan.
Maisarah pun segera ke masjid. Namun di sana hanya ada seorang syekh yang usianya telah sepuh. Namun auranya penuh wibawa dan karismatik. Orang-orang menghormatinya karena ilmunya yang tinggi.
Melihatnya, Maisarah pun mendekat majelis sang syekh. Ia menunjukkan jarinya memberikan tanda kepada syekh. Namun Syekh tak menghiraukannya. Karena tak dipedulikan, Maisarah akhirnya menghampiri sang syekh. “Tidakkah Anda melihat saya menunjuk kepada Anda?” ujarnya.
Sang syekh pun menjawab, “Anda menunjuk saya?”
Maisarah berkata, “Ya”
Syekh pun kembali bertanya, “Apa keperluan Anda?”
Maisarah menjawab, “Amirul mukminin memintaku untuk pergi ke Masjid Nabawi dan membawa seorang ulama untuk mengajarkan hadis untuknya.”
Syekh itu menjawab ringan, “Bukan saya orang yang beliau maksud.”
“Tapi amirul mukminin menginginkan seorang ulama untuk berbincang dengannya,” kata Maisarah.
Namun syekh hanya menjawab, “Barangsiapa yang menghendaki sesuatu, maka seharusnya dialah yang datang. Masjid ini memiliki ruangan yang luas. Jika beliau iingin, datanglah. Selain itu, hadts lebih layak untuk didatangi, namun beliau enggan mendatanginya,” kata syekh.
Maisarah pun kembali ke istana tanpa membawa seorang ulama. Ia menemui amirull mukminin dan mengisahkan pertemuannya dengan seorang syaikh sepuh tadi. Mendengar kisah Maisarah, Ibn Marwan pun menebak, “Pasti dia adalah Syekh Sa’id bin Musayyab,” tebakan sutan benar. Amirul mukminin pun meninggalkan tempatnya dan kembali ke kamar.
Ketika sang sultan telah masuk, anak-anaknya pun saling membicarakan kisah Maisarah yang mereka pun mendengarnya. Putra bungsu sultan pun geram. “Siapakah orang yang berani menentang Amirul Mukminin dan menolaknya. Padahal dunia tunduk padanya, raja-raja Romawi pun gentar karena wibawanya?” ujar si bungsu heran.
Kakaknya pun menimpali, “Dia adalah syekh yang putrinya pernah dipinang oleh ayah untuk saudara kita, Al Walid. Namun syekh menolak pinangan itu,” ujarnya.
Si bungsu makin terheran-heran. “Benarkah itu? Dia menolak menikahkan putrinya dengan putra mahkota?” ujarnya.
Nmaun sang kakak tak tahu bagaimana peristiwa penolakan itu terjadi. Lalu seorang pengasuh putra sultan pun berkata bahwa ia mengetahui kisah itu. “Sekiranya diizinkan, saya akan menceritakan seluruh kisah itu,” ujarnya. Ia pun kemudian mengisahkannya kepada kedua putra sultan.
“Gadis putri sang syekh telah menikah dengan seorang pemuda di kampung saya bernama Abu Wada’ah. Kebetulan dia adalah tetangga dekat saya. Pernikahannya menjadi suatu kisah yang sangat romantis seperti yang diceritakan Abu Wada’ah sendiri kepada saya,” ujar sang pengasuh.
Abu Wa’dah merupakan salah seorang murid Syekh Sa’id bin Musayyab. Ia tak pernah absen di setiap majelis beliau. Hingga suatu hari, ia tak menghadiri majelis selama beberapa hari. Tak ada kabar datang darinya.
Lalu ketika Abu Wa’dah telah mendatangi majelis, ia segera mendapat sapaan dari syekh. “Kemana saja kau wahai Abu Wada’ah?” tanya syaikh.
“Saya sibuk mengurus jenazah istri saya yang meninggal,” jawabnya.
Syekh pun berkata, “Jika kau memberi kabar, pastilah aku akan takziyah dan membantu kesulitamu,” kata syaikh.
Abu Wada’ah pun merasa berterima kasih atas kebaikan syaikh. Saat majelis telah usai, syaikh kembali menyapanya. Ia meminta Abu Wada’ah duduk sejenak untuk berbincang.
“Apa kau tak berfikir untuk menikah lagi?” tanya syaikh.
Mendengarnya tentu Abu Wada’ah terkejut. ‘Semoga Allah merahmati Anda wahai syaikh. Siapa yang mau menikahkan putrinya dengan saya sementara saya ini hanyalah pemuda yatim dan hidup dalam kondisi fakir. Aku hanya memiliki harta dua atau tiga dirham,” ujarnya.
Namun jawaban syaikh sangat mengejutkan, “Aku akan menikahkanmu dengan putriku,” ujarnya.
Abu Wada’ah tentu saja heran bukan kepalang. Ia sangat kaget mendengarnya. “Anda wahai syaikh? Anda berkenan menikahkan putri anda denga saya sementara anda tahu betul kondisi saya?” tanyanya tak percaya.
Namun syekh menjawab santai, “Ya benar. Jika ada seorang datang dan saya menyukai agama dan akhlaknya, maka saya akan menikahkan putri saya dengannya. Dan kau adalah orangyang saya sukai agama dan akhlaknya,’ jawab syekh.
Putri syekh pun kemudian menikah dengan Abu Wada’ah. Dalam membangun rumah tangga, syaikh selalu siap membantu rumah tangga putri dan murid kesayangannya.
Mendengar kisah Abu Wada’ah itu, para putra sultan pun terkejut. “Orang itu sungguh mengherankan,” ujar si bungsu, tak habis pikir dengan sikap syekh Sa’id.
Namun si pengasuh yang bercerita menimpali, “Apa yang mengherankan wahai tuan? Syekh memang manusia yang menjadikan dunia hanya sebagai kendaraan dan perbekalan untuk akhirat. Demi Allah, bukan karena beliau tak suka putra Amirul Mukminin. Hanya saja, syekh memandang A Walid tak sebandign dengan putrinya. Syekh hanya khawatir putrinya akan tergoda dengan fitnah dunia,” ujarnya.
Si pengasuh pun melanjutan kisahnya, bahwa syekh pernah ditanya mengapa menolak pinangan amirul mukminin dan justru memilih menikahkan putri dengan seorang awam yang miskin.
Dengan mantap syekh menjawab, “Putriku adalah amanat di leherku, maka kupilihkan apa yang sesuai untuk kebaikan dan keselamatan dirinya. Bagaimana pendapat kalian jika ia pindah ke istana Bani Umayyah lalu bergelimang harta? Bagaimana keteguhan agamanya nanti?” jawab Syekh.
Republika.co.id