"Ya Rabb-ku, ampunilah aku, dan anugerahkanlah kepadaku kerajaan, yang tidak dimiliki oleh seorangpun juga sesudahku, sesungguhnya Engkaulah Yang Maha pemberi’."
Kamis, 10 Desember 2015
Bermusyawarah Sesuai Tuntunan Islam
Dalam kehidupan bersama, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, maupun bangsa, musyawarah sangat diperlukan. Karena, musyawarah memiliki posisi penting dalam membangun tatanan kehidupan masyarakat.
Saking pentingnya, Islam memberikan kaidah dalam musyawarah agar suasana kondusif tetap terjaga—sebelum, selama, dan setelah musyawarah—sebagaimana dijelaskan dalam Alquran surah Ali Imran [3] ayat 159, "Maka, disebabkan rahmat dari Allahlah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad maka bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya, Allah menyukai orang-orang yang bertawakal kepada-Nya."
Yang dimaksud "bermusyawarah dalam urusan itu" dalam ayat tersebut sebagaimana dijelaskan dalam Alquran dan Terjemahnya Departemen Agama Republik Indonesia adalah urusan peperangan dan hal-hal duniawiah lainnya, seperti urusan politik, ekonomi, kemasyarakatan, dan lain-lainnya.
Agar musyawarah yang diselenggarakan itu mendapatkan hasil keputusan terbaik dan mendapat ridha Allah SWT maka setiap peserta mesti memahami kaidah dalam bermusyawarah (QS Ali Imran [3]: 159).
Pertama, bersikap lemah lembut. Setiap peserta musyawarah harus dapat bersikap lemah lembut, baik dalam sikap, ucapan dan tindakan, serta menghindari sikap emosional, berkata-kata kasar, menggebrak meja, dan keras kepala.
Kedua, mudah memberi maaf. Sikap ini harus dimiliki oleh setiap peserta sebab musyawarah itu tidak akan berjalan dengan baik jika masing-masing peserta masih diliputi kekeruhan hati.
Ketiga, membangun hubungan yang kuat dengan Allah melalui permohonan ampun. Dalam musyawarah dimungkinkan terjadi kesalahan, baik yang disadari maupun tidak, Rasulullah SAW mengajarkan doa kafaratul majelis sebagai penutup musyawarah. "Subhanakallahumma wabihamdika asyhadu alla ilahailla anta astaghfiruka wa'atubu ilaik" (Maha Suci Engkau ya Allah, dengan memuji-Mu aku bersaksi bahwa tiada sesembahan yang haq disembah melainkan diri-Mu, aku memohon pengampunan-Mu dan bertaubat kepada-Mu). (HR Tirmidzi).
Keempat, membulatkan tekad. Sudah semestinya peserta musyawarah membulatkan tekad dalam mengambil suatu keputusan yang disepakati bersama (mufakat), bukan saling ingin menang sendiri tanpa ada keputusan. Dan, jika suatu keputusan harus diputuskan melalui voting maka setiap peserta musyawarah hendaknya dapat menerima hasilnya dengan lapang dada.
Kelima, bertawakal kepada Allah. Setelah bermusyawarah semestinya keputusan yang telah diambil, baik secara mufakat maupun voting—hasilnya diserahkan sepenuhnya kepada Allah karena Dialah yang menentukan segala sesuatu itu terjadi.
Semoga Allah membimbing kita dan para pengelola bangsa dalam bermusyawarah agar tercipta ketenangan, keharmonisan, dan hasil yang terbaik dalam upaya membangun bangsa menuju kehidupan yang lebih baik dan bermartabat. Aamiin.
Republika.co.id
Orang Yang Pertama Kali Membaca Alqur'an Dengan Suara Keras Setelah Nabi Muhammad
Membaca Alquran dengan suara nyaring, tidak serta merta dilakukan. Bahkan Nabi Muhammad SAW di awal masa dakwahnya, ketika shalat, mengeraskan bacaannya mendapat teguran dari Allah SWT. Karena bacaan shalatnya yang keras membuat risih orang-orang musyrik.
Dalam Alquran Allah SWT berfirman, "Janganlah engkau mengeraskan suaramu dalam shalat dan janganlah pula merendahkannya dan usahakan jalan tengah di antara kedua itu," (QS Al Isra:110).
Nah, selain Nabi Muhammad, lalu siapakah orang yang kemudian ikut membaca Alquran dengan suara nyaring? Dalam buku Ensilopedia Muhammad SAW yang disusun Abdul Mun'im Al Hafni, ulama terkemuka Timur Tengah, disebutkan bahwa orang tersebut adalah sahabat beliau Abdullah bin Mas'ud. Ketika itu, ia sedang berada di samping Rasulullah dan para sahabat lainnya.
Para sahabat lalu bertanya kepada beliua, "Orang-orang Quraisy tidak akan mendengar sama sekali, wahai Rasulullah, jika Alquran ini dibaca dengan nyaring."
Para sahabat kemudian meminta izin kepada beliau agar salah satu di antara mereka membaca Alquran dengan nyaring.
Lalu datanglah Abdullah bin Mas'ud mengajukan diri sebagai pembacanya. Tetapi Rasulullah mengkhawatirkannya. Maka Rasul pun mensyaratkan agar orang yang membaca dengan nyaring adalah orang yang berpengaruh di kelompoknya. Karena hal itu dapat mencegah musuh jika ingin berbuat sesuatu kepadanya.
Abdullah bin Mas'ud tetap memaksakan diri agar dialah orang yang membaca Alquran dengan suara nyaring. Dia mengatakan, "Allah akan menjagaku wahai Rasulullah."
Maka pada saat waktu dhuha, dia sudah berada di tengah perkampungan Bani Tamam. Ia mulai membaca surah Ar Rahman dengan suara yang tinggi. Mulailah orang-orang Quraisy mendengar bacaan Abdullah bin Mas'ud. Akan tetapi mereka tidak memahaminya dan saling bertanya, "Apa yang dibaca oleh Ibnu Mas'ud?"
Sebagian dari mereka juga berkata, "Ia membaca sebagian dari apa yang dibawa Muhammad."
Mendegar itu, serentak orang-orang kafir menuju Ibnu Mas'ud dan memukuli wajahnya. Tetapi Ibnu Mas'ud tidak peduli dan tetap saja membaca Alquran dengan nyaring hingga ayat yang dia suka.
Setelah kejadian tersebut, Ibnu Mas'ud kembali menemui Nabi SAW dan para sahabatnya. Bekas pukulan orang-orang Quraisy pada wajahnya masih terlihat nyata. Para sahabat lalu berkata, "Inilah yang ditakutkan Rasulullah atas dirimu."
Ibnu Mas'ud pun berkata sambil tersenyum, "Apa yang mereka lakukan padaku itu tak seberapa. Sekarang terasa lebih ringan. Jika engkau menghendaki wahai Rasulullah, aku akan ke sana lagi untuk melakukan hal yang sama esok hari."
Lalu Nabi SAW pun menjawab, "Jangan, cukup bagimu. Engkau telah memperdengarkan kepada mereka apa yang mereka tidak suka."
Republika.co.id
Langganan:
Postingan (Atom)